This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 19 Mei 2011

Iran Pasca Embargo Amerika (Bagian 1)

Artikel menarik tentang Iran karya Pak Dahlan Iskan, Dirut PLN. Diurai dengan gaya populer dan lugas. Sangat baik untuk menambah cakrawala anak bangsa yang tengah mencari format terbaik bagi negeri ini. Tulisan ini saya sadur apa adanya, hanya judul diganti sedikit, semula: "Ke Iran Setelah 30 tahun Diembargo Amerika", saya ubah agar tampak seksi menjadi: ”Iran Pasca Embargo Amerika”. Selamat jalan-jalan ke Iran, Negeri Para Mullah!

Kuasai Teknologi Pembangkit Canggih saat Kepepet

BARU sekali ini saya ke Iran. Kalau saja PLN tidak mengalami kesulitan mendapatkan gas dari dalam negeri, barangkali tidak akan ada pikiran untuk melihat kemungkinan mengimpor gas dari Negara Para Mullah ini. Sudah setahun lebih PLN berjuang untuk mendapatkan gas dari negeri sendiri. Tapi, hasilnya malah sebaliknya. Jatah gas PLN justru diturunkan terus-menerus. Kalau awal 2010 PLN masih mendapatkan jatah gas 1.100 MMSCFD (million metric standard cubic feet per day atau juta standar metrik kaki kubik per hari), saat tulisan ini dibuat justru tinggal 900 MMSCFD. Perjuangan untuk mendapatkan tambahan gas yang semula menunjukkan tanda-tanda berhasil belakangan redup kembali.

Gas memang sulit diraba sehingga tidak bisa terlihat ke mana larinya. Bisa jadi gas itu akan berbelok-belok dulu entah ke mana, baru dari sana dijual ke PLN dengan harga yang sudah berbeda. Padahal, PLN memerlukan 1,5 juta MMSCFD gas. Kalau saja PLN bisa mendapatkan gas sebanyak itu, penghematannya bisa mencapai Rp 15 triliun setiap tahun. Angka penghematan yang mestinya menggiurkan siapa pun. Maka, saya memutuskan ke Iran.

Apalagi, upaya mengatasi krisis listrik sudah berhasil dan menuntaskan daftar tunggu yang panjang itu pasti bisa selesai bulan depan Kini waktunya perjuangan mendapatkan gas ditingkatkan. Termasuk, apa boleh buat, ke negara yang sudah sejak 1980- an diisolasi oleh Amerika Serikat dan sekutunya itu. Siapa tahu ada harapan untuk menyelesaikan persoalan pokok PLN sekarang ini: efisiensi. Sumber pemborosan terbesar PLN adalah banyaknya pembangkit listrik yang ’’salah makan’’.

Sekitar 5.000 MW pembangkit yang seharusnya diberi makan gas sudah puluhan tahun diberi makan minyak solar yang amat mahal. Salah makan itulah yang membuat kembung perut PLN selama ini. Kebetulan Iran memang sedang memasarkan gas dalam bentuk cair (LNG). Iran sedang membangun proyek LNG besar-besaran di kota Asaleuyah di pantai Teluk Parsi. Saya ingin tahu benarkah proyek itu bisa jadi? Bukankah Iran sudah 30 tahun lebih dimusuhi dan diisolasi secara ekonomi oleh Amerika Serikat dan sekutu- sekutunya dari seluruh dunia? Bukankah begitu banyak yang meragukan Iran bisa mendapatkan teknologi tinggi untuk membangun proyek LNG besar-besaran? Saya pun terbang ke Asaleuyah, dua jam penerbangan dari Teheran.

Meski Asaleuyah kota kecil, ternyata banyak sekali penerbangan ke kota yang hanya dipisahkan oleh laut 600 km dari Qatar itu. Bandaranya kecil, tapi cukup baik. Masih baru dan statusnya internasional. Pesawat-pesawat lokal, seperti Aseman Air, terbang ke sana. Itulah kota yang memang baru saja berkembang dengan pesatnya. Iran memang menjadikan kota Asaleuyah sebagai pusat industri minyak, gas, dan petrokimia. Beratus-ratus hektare tanah di sepanjang pantai itu kini penuh dengan rangkaian pipa-pipa kilang minyak, kilang petrokimia, dan instalasi pembuatan LNG. Saya heran bagaimana Iran bisa mendapatkan semua teknologi itu pada saat Iran sedang diisolasi oleh dunia Barat. Memang terasa jalannya proyek tidak bisa cepat, tapi sebagian besar sudah jadi.

Kilang minyaknya, kilang petrokimia, kilang etanolnya sudah beroperasi dalam skala raksasa. Hanya kilang LNG-nya yang masih dalam pembangunan dan kelihatannya akan selesai dua tahun lagi. Memang, kalau saja Iran tidak diembargo, proyek-proyek itu pasti bisa lebih cepat. Namun, Iran tidak menyerah. Iran membuat sendiri banyak teknologi yang dibutuhkan di situ. Hanya bagian-bagian tertentu yang masih dia datangkan dari luar. Entah dengan cara apa dan entah lewat mana. Yang jelas, barang-barang itu bisa ada. Orang, kalau kepepet, biasanya memang banyak akalnya. Asal tidak mudah menyerah. Demikian juga, Iran.

Bahkan, untuk memenuhi keperluan listrik untuk industri petrokimia itu, Iran akhirnya bisa membuat pembangkit sendiri. Termasuk bisa membuat bagian yang paling sulit di pembangkit listrik: turbin. Maka, Iran kini sudah berhasil menguasai teknologi pembangkit listrik tenaga gas, baik open cycle maupun combine cycle. Kemampuan membuat pembangkit listrik itu pun semula agak saya ragukan. Belum pernah terdengar ada negara Islam yang mampu membuat pembangkit listrik secara utuh. Karena itu, setelah meninjau proyek LNG, saya minta diantar ke pabrik turbin itu. Saya ingin melihat sendiri bagaimana Iran dipaksa keadaan untuk mengatasi sendiri kesulitan teknologinya.

Ternyata benar. Pabrik turbin itu sangat besar. Bukan hanya bisa merangkai, tetapi juga membuat keseluruhannya. Bahkan, sudah mampu membuat blade-blade turbin sendiri. Termasuk mampu menguasai teknologi coating blade yang bisa meningkatkan efisiensi turbin. Baru sepuluh tahun Iran menekuni alih teknologi pembangkit listrik itu. Sekarang Iran sudah memproduksi 225 unit turbin dari berbagai ukuran. Mulai 25 MW hingga 167 MW. Bahkan, Iran sudah mulai mengekspor turbin ke Lebanon, Syria, dan Iraq. Bulan depan sudah pula mengekspor suku cadang turbin ke India. Bulan lalu pabrik turbin Iran merayakan produksi blade-nya yang ke-80.000 unit! Kesimpulan saya: inilah negara Islam pertama yang mampu membuat turbin dan keseluruhan pembangkit listriknya.

Saya dan rombongan PLN diberi kesempatan meninjau semua proses produksinya. Mulai A hingga Z. Termasuk memasuki laboratorium metalurginya. Dengan kemampuan itu, untuk urusan listrik, Iran bisa mandiri. Bahkan, untuk pemeliharaan pembangkit-pembangkit listrik yang lama, Iran tidak bergantung lagi kepada pabrik asalnya. Mesin-mesin Siemens lama dari Jerman atau GE dari USA bisa dirawat sendiri. Iran sudah bisa memproduksi suku cadang untuk semua mesin pembangkit Siemens dan GE. Bahkan, mereka sudah dipercaya Siemens untuk memasok ke negara lain. "Anak perusahaan kami sanggup memelihara pembangkit- pembangkit listrik PLN dengan menggunakan suku cadang dari sini,’’ kata manajer di situ. Pabrik tersebut memiliki 32 anak perusahaan, masing-masing menangani bidang yang berbeda di sektor listrik. Termasuk ada anak perusahaan yang khusus bergerak di bidang pemeliharaan dan operasi pembangkitan. Bisnis kelihatannya tetap bisnis.

Saya tidak habis pikir bagaimana Iran tetap bisa mendapatkan alat-alat produksi turbin berupa mesin-mesin dasar kelas satu buatan Eropa: Italia, Jerman, Swiss, dan seterusnya.

Saya juga tidak habis pikir bagaimana pabrik pembuatan turbin itu bisa mendapatkan lisensi dari Siemens. Rupanya, meski membenci Amerika dan sekutunya, Iran tidak sampai membenci produk- produknya. Iran membenci Amerika hanya karena Amerika membantu Israel. Itu jauh dari bayangan saya sebelum datang ke Iran. Saya pikir Iran membenci apa pun yang datang dari Amerika. Ternyata tidak. Bahkan, Coca-Cola dijual secara luas di Iran. Demikian juga, Pepsi dan Miranda. Belum lagi Gucci, Prada, dan seterusnya. Intinya: dengan diembargo Amerika Serikat dan sekutunya, Iran hanya mengalami kesulitan pada tahun-tahun pertamanya. Kesulitan itu membuat Iran kepepet, bangkit, dan mandiri.

Kesulitan itu tidak sampai membuatnya miskin, apalagi bangkrut. Justru Iran dipaksa menguasai beberapa teknologi yang semula menjadi ketergantungannya. Banyaknya proyek yang sedang dikerjakan sekarang menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi Iran terus berjalan. Mulai pengembangan bandara di mana-mana, pembangunan jalan layang, hingga ke industri dasar. Tidak ketinggalan pula industri mobil. Kegiatan ekonomi di Iran memang tidak gegap gempita seperti Tiongkok, tapi tetap menggeliat. Pertumbuhan ekonominya sudah bisa direncanakan enam persen tahun ini. Mulai meningkat drastis jika dibandingkan dengan tahun-tahun pertama sanksi ekonomi diberlakukan. ’’Sebelum ada sanksi ekonomi, Iran hanya mampu memproduksi 300.000 mobil setahun. Sekarang Iran memproduksi 1,5 juta mobil setahun,’’ ujar seorang CEO perusahaan terkemuka di Iran.

BERSAMBUNG

Iran Pasca Embargo Amerika (Bagian 2)

Tak Banyak Pencakar Langit dan Tak Ada Gubuk Kumuh



KAMI mendarat di Bandara Internasional Imam Khomeini, Teheran, menjelang waktu salat Jumat. Maka, saya pun ingin segera ke masjid: sembahyang Jumat. Saya tahu tidak ada kampung di sekitar bandara itu. Dari atas terlihat bandara tersebut seperti benda jatuh di tengah gurun tandus yang mahaluas. Tapi, setidaknya pasti ada masjid di bandara itu. Memang ada masjid di bandara itu, tapi tidak dipakai sembahyang Jumat. Saya pun minta diantarkan ke desa atau kota kecil terdekat.



Ternyata saya kecele. Di Iran tidak banyak tempat yang menyelenggarakan sembahyang Jumat. Bahkan, di kota sebesar Teheran, ibu kota negara dengan penduduk 16 juta orang itu, hanya ada satu tempat sembahyang Jumat. Itu pun bukan di masjid, tapi di Universitas Teheran. Dari bandara memerlukan waktu perjalanan 1 jam. Atau bisa juga ke kota suci Qum. Tapi, jaraknya lebih jauh lagi. Di negara Islam Iran, Jumatan hanya diselenggarakan di satu tempat di setiap kota besar. ’’Jadi, tidak ada tempat Jumatan di bandara ini?’’ tanya saya. ’’Tidak ada. Kalau kita mau Jumatan, harus ke Teheran (40 km) atau ke Qum (70 km). Sampai di sana waktunya sudah lewat,’’ katanya.



Salat Jumat ternyata memang tidak wajib di negara Islam Iran yang menganut aliran Syiah itu. Juga tidak menggantikan salat Duhur Jadi, siapa pun yang salat Jumat tetap harus salat duhur. Karena Jumat adalah hari libur, saya tidak dijadwalkan rapat atau meninjau proyek. Maka, waktu setengah hari itu saya manfaatkan untuk ke kota suci Qum. Jalan tolnya tidak terlalu mulus, tapi sangat OK: enam jalur dan tarifnya hanya Rp 4.000. Tarif itu kelihatannya memang hanya dimaksudkan untuk biaya pemeliharaan. Sepanjang perjalanan ke Qum tidak terlihat apa pun.



Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya gurun, gunung tandus, dan jaringan listrik. Saya bayangkan alangkah enaknya membangun SUTET (saluran udara tegangan ekstratinggi) di Iran. Tidak ada urusan dengan penduduk. Alangkah kecilnya gangguan listrik karena tidak ada jaringan yang terkena pohon. Pohon begitu langka di sini. Begitu juga letak kota suci Qum. Kota ini seperti berada di tengah-tengah padang yang tandus. Karena itu, bangunan masjidnya yang amat besar, yang berada dalam satu kompleks dengan madrasah yang juga besar, kelihatan sekali menonjol sejak dari jauh. Tujuan utama kami tentu ke masjid itu. Inilah masjid yang luar biasa terkenalnya di kalangan umat Islam Syiah. Kalau pemerintahan Iran dikontrol ketat oleh para mullah, di Qum inilah pusat mullah. Demokrasi di Iran memang demokrasi yang dikontrol oleh ulama.



Presidennya dipilih secara demokratis untuk masa jabatan paling lama dua kali. Tapi, sang presiden harus taat kepada pemimpin tertinggi agama yang sekarang dipegang Imam Khamenei. Siapa pun bisa mencalonkan diri sebagai presiden (tidak harus dari partai), tapi harus lolos seleksi oleh dewan ulama. Tapi, sang imam bukan seorang diktator mutlak. Dia dipilih secara demokratis oleh sebuah lembaga yang beranggota 85 mullah. Setiap mullah itu pun dipilih langsung secara demokratis oleh rakyat. Dalam praktik sehari-hari, ternyata tidak seseram yang kita bayangkan. Amat jarang lembaga keagamaan itu mengintervensi pemerintah. ’’Dalam lima tahun terakhir, kami belum pernah mendengar campur tangan mullah ke pemerintah,’’ ujar seorang CEO perusahaan besar di Teheran.



Saya kaget melihat kehidupan sehari-hari di Iran, termasuk di kota suci Qum. Banyak sekali wanita yang mengendarai mobil. Tidak seperti di negara-negara di jazirah Arab yang wanitanya dilarang mengendarai mobil. Bahkan, orang Iran menilai negara yang melarang wanita mengendarai mobil dan melarang wanita memilih dalam pemilu bukanlah negara yang bisa menyebut dirinya negara Islam. Dan lihatlah cara wanita Iran berpakaian. Termasuk di kota suci Qum. Memang semua wanita diwajibkan mengenakan kerudung (termasuk wanita asing), tapi ya tidak lebih dari kerudung itu. Bukan jilbab, apalagi burqa.



Kerudung itu menutup rapi kepala, tapi boleh menyisakan bagian depan rambut mereka. Maka, siapa pun bisa melihat mode bagian depan rambut wanita Iran. Ada yang dibuat modis sedikit keriting dan sedikit dijuntaikan keluar dari kerudung. Ada pula yang terlihat dibuat modis dengan cara mewarnai rambut mereka. Ada yang blonde, ada pula yang kemerah- merahan. Bagaimana baju mereka? Pakaian atas wanita Iran umumnya juga sangat modis. Baju panjang sebatas lutut atau sampai ke mata kaki. Pakaian bawahnya hampir 100 persen celana panjang yang cukup ketat. Ada yang terbuat dari kain biasa, tapi banyak juga yang celana jins. Dengan tampilan pakaian seperti itu, ditambah dengan tubuh mereka yang umumnya langsing, wanita Iran terlihat sangat modis. Apalagi, seperti kata orang Iran, di antara sepuluh wanita Iran, yang cantik ada sebelas! Sedikit sekali saya melihat wanita Iran yang memakai burqa, itu pun tidak ada yang sampai menutup wajah.



Sampai di kota Qum, sembahyang Jumatnya memang sudah selesai. Ribuan orang bubaran keluar dari masjid. Saya pun melawan arus masuk ke masjid melalui pintu 15. Setelah salat Duhur, saya ikut ziarah ke makam Fatimah yang dikunjungi ribuan jamaah itu. Makam itu berada di dalam masjid sehingga suasananya mengesankan seperti ziarah ke makan Rasulullah di Masjid Nabawi. Apalagi, banyak juga orang yang kemudian salat dan membaca Alquran di dekat situ yang mengesankan orang seperti berada di Raudlah. Yang juga menarik adalah strata sosialnya. Kota Metropolitan Teheran berpenduduk 16 juta dan dengan ukuran 50 km garis tengah adalah kota yang sangat besar. Sebanding dengan Jakarta dengan Jabotabek-nya. Tetapi, tidak terlihat ada keruwetan lalu lintas di Teheran. Memang, Teheran tidak memiliki kawasan yang cantik seperti jalan Thamrin-Sudirman, namun sama sekali tidak terlihat ada kawasan kumuh seperti Pejompongan dan Bendungan Hilir. Memang, tidak banyak gedung pencakar langit yang cantik, tapi juga tidak terlihat gubuk dan bangunan kumuh.



Kota Teheran tidak memiliki bagian kota yang terlihat mewah, tetapi juga tidak terlihat ada bagian kota yang miskin. Teheran bukan kota yang sangat bersih, tapi juga tidak terasa kotor. Di jalan-jalan yang penuh dengan mobil itu saya tidak melihat ada Mercy mewah, apalagi Ferrari, tapi juga tidak ada bajaj, motor, atau mobil kelas 600 hingga 1.000 cc. Lebih dari 90 persen mobil yang memenuhi jalan adalah sedan kelas 1.500 hingga 2.000 cc. Saya tidak melihat ada mal-mal yang besar di Teheran. Tapi, saya juga sama sekali tidak melihat ada pedagang kaki lima, apalagi pengemis. Wanitanya juga tidak ada yang sampai pakai burqa, tapi juga tidak ada yang berpakaian merangsang. Orangnya ratarata juga ramah dan sopan. Baik dalam sikap maupun kata-kata. Pemerataan pembangunan terasa sekali berhasil diwujudkan di Iran. Semua rumah bisa masak dengan gas yang dialirkan melalui pipa tersentral. Demikian juga, 99 persen rumah di Iran menikmati listrik –untuk tidak menyebutkan 100 persen. Melihat Iran seperti itu saya jadi teringat makna kata yang ditempatkan di bagian tengah-tengah Alquran: Wal Yatalaththaf!



BERSAMBUNG

Rabu, 18 Mei 2011

Iran Pasca Embargo Amerika (Bag 3-HABIS)

Tahan Banting dengan Tradisi Keilmuan dan Bazari



BAGAIMANA Iran ke depan? Mengapa setelah lebih dari 30 tahun diisolasi dan diembargo Amerika Serikat, Iran tidak kolaps seperti Burma, Korut, atau Kuba? Banyak faktor yang melatar-belakanginya. Pertama, saat mulai diisolasi dulu, kondisi Iran sudah cukup maju. Kedua, tradisi keilmuan bangsa Iran termasuk yang terbaik di dunia. Ketiga, Iran penghasil minyak dan gas yang sangat besar. Keempat, jumlah penduduk Iran cukup besar untuk bisa mengembangkan ekonomi domestik. Kelima, tradisi dagang masyarakat Iran sudah terkenal dengan golongan bazarinya. Tradisi dagang itu tidak mudah dikalahkan. Pedagang selalu bisa berkelit dari kesulitan. Ini berbeda dengan tradisi agraris. Seperti Tiongkok, meski 60 tahun dikungkung oleh komunisme Mao Zedong yang kaku, penduduknya tetap tidak lupa kebiasaan berdagang. Demikian juga warga Iran. Ini terbukti sampai sekarang.



Setelah lebih dari 20 tahun diisolasi pun sektor jasa masih menyumbang sampai 40 persen GDP negara itu. Penduduk Iran yang 75 juta orang juga menjadi kekuatan ekonomi tersendiri. Apalagi, saat mulai diisolasi oleh Amerika pada 80-an, kondisi Iran sudah tidak tergolong negara miskin. Kelas menengah di Iran sangat dominan. Inilah faktor yang dulu membuat revolusi Islam Iran pada 1979 berhasil menumbangkan diktator Syah Pahlevi Keberhasilan itu disebabkan masyarakat Iran didominasi kaum bazari. Pedagang kelas menengah. Yakni, bukan konglomerat yang ketakutan ditebas penguasa, dan bukan pedagang kecil yang takut kehilangan tempat bergantung. Belum lagi kekayaan alamnya.



Iran adalah negara kedua terbesar penghasil minyak dan gas alam. Bukan hanya memiliki cadangan besar, tapi juga mampu melakukan drilling dan pengolahan sendiri. Tidak ada lagi ketergantungan akan teknologi drilling dan pengolahan. Salah satu sumber gasnya, yang baru saja ditemukan, akan membuat negara itu kian berkibar. Di lepas pantainya, di Teluk Parsi, ditemukan ladang gas terbesar di dunia. Ladang itu setengahnya berada di wilayah Qatar dan setengahnya lagi di wilayah Iran.



Pada 1999 lalu Qatar sudah berhasil menyedot gas bawah laut itu dari wilayah Qatar. Kalau Iran tidak menyedotnya dari wilayah Iran, tentu semua gas itu akan disedot Qatar. Karena itu, Iran juga bergegas menyedotnya dari sisi timur. Pada 2003 lalu Iran sudah berhasil menyedot gas itu dan akan terus meningkatkan sedotannya. ”Tiga tahun lagi kemampuan Iran menyedot gas itu sudah sama dengan Qatar,” ujar CEO perusahaan gas di sana.



Untuk menggambarkan seberapa besar potensi gas itu, ada baiknya dikutip kata-kata CEO yang saya temui di atas. ”Seluruh gas Iran di situ harganya USD 12 triliun,” katanya. Ini sama dengan 12 kali seluruh kekuatan ekonomi Indonesia yang USD 1 triliun saat ini. ”Kalau diambil dalam skala seperti sekarang, gas itu baru akan habis dalam 200 tahun,” tambahnya.



Gas itu letaknya memang 3.000 meter di bawah laut, namun dalamnya laut sendiri hanya 50 meter. Secara teknis ini jauh lebih mudah pengambilan gasnya daripada, misalnya, gas bawah laut Indonesia di Masela, di laut Maluku Tenggara. Memang masih ada kendala ekonomi yang mendasar. Defisit anggaran masih menghantui, subsidi masih besar, laju inflasi masih tinggi, dan akses perdagangannya masih terjepit oleh sanksi Amerika. Inflasi yang tinggi itu akibat naiknya harga bahan makanan, gas, dan BBM.



Bahkan, akibat inflasi itu Iran harus mencetak mata uang dengan pecahan lebih besar daripada rupiah. Kalau pecahan rupiah paling besar Rp 100.000, real Iran terbesar adalah 500.000 real (1 real hampir sama dengan Rp 1). Bahkan, ada juga real lembaran 1.000.000 meski penggunaannya hanya di lingkungan terbatas.



Seperti Indonesia, Iran juga berencana menghapus empat nol di belakang real yang terlalu panjang itu. Hanya, penghapusan nol tersebut baru dilakukan setelah inflasinya stabil kelak. Itulah sebabnya, pemerintah Iran kini mati-matian memperbaiki fondasi ekonominya. Tahun lalu parlemen Iran sudah menyetujui dilaksanakannya ”reformasi ekonomi”. Sebuah reformasi yang sangat penting dan mendasar.



Inti reformasi itu adalah menjadikan ekonomi Iran sebagai ”ekonomi pasar”. Artinya, harga-harga harus ditentukan oleh pasar. Tidak boleh lagi ada subsidi. Reformasi ekonomi itu ditargetkan harus berhasil dalam lima tahun ke depan.



Begitu pentingnya reformasi untuk meletakkan dasar-dasar ekonomi Iran itu, sampai Presiden Ahmadinejad berani mengambil risiko dihujat dan dibenci rakyatnya dua tahun terakhir ini. Subsidi pun dia hapus. Harga-harga merangkak naik. Ahmadinejad tidak takut tidak populer karena ini memang sudah masa jabatannya yang kedua, yang tidak mungkin bisa maju lagi menjadi presiden. Bahwa kini Iran memilih jalan ekonomi pasar sungguh mengejutkan. Alasannya pun ”sangat ekonomi”: untuk meningkatkan produktivitas nasional dan keadilan sosial. Subsidi (subsidi BBM tahun lalu mencapai USD 84 juta), menurut pemerintah, lebih banyak jatuh kepada orang kaya. Karena itu, daripada anggaran dialokasikan untuk subsidi, lebih baik langsung diarahkan untuk golongan yang berhak.



Pemikiran reformasi ekonomi seperti itulah yang tidak ada di negara-negara lain yang diisolasi Amerika Serikat. Inilah juga faktor yang membuat Iran tidak akan tertinggal seperti Burma, Kuba, atau Libya. Dengan bendera sebagai negara Islam pun Iran tetap menjunjung tinggi ilmu ekonomi yang benar.



Tradisi keilmuan di Iran, termasuk ilmu ekonomi, memang sudah tinggi sejak zaman awal peradaban. Inilah salah satu bangsa tertua di dunia dengan peradaban Arya yang tinggi. Dalam situasi terjepit sekarang pun, tradisi keilmuan itu tetap menonjol. Iran kini tercatat sebagai satu di antara 15 negara yang mampu mengembangkan nanoteknologi.



Iran juga termasuk 10 negara yang mampu membuat dan meluncurkan sendiri roket luar angkasa. Di bidang rekayasa kesehatan, Iran juga menonjol: teknologi stemcell, kloning, dan jantung buatan sudah sangat dikenal di dunia. Bahkan, untuk stemcell Iran masuk 10 besar dunia. Tidak heran kalau Iran juga tidak ketinggalan dalam penguasaan teknologi perminyakan, pembangkit listrik, dan otomotif. Jangankan jenis teknologi itu, nuklir pun Iran sudah bisa membuatnya, lengkap dengan kemampuan memproduksi uranium hexaflourade yang selama ini hanya dimiliki enam negara. AS kelihatannya berhasil membuat Burma, Korut, Kuba, dan Libya menderita dengan embargonya.



Tapi, tidak untuk Iran. Ke depan posisi Iran justru kian baik, antara lain karena ”dibantu” oleh Amerika Serikat sendiri. Sudah lama Iran ingin menumbangkan Saddam Husein di Iraq, namun selalu gagal. Perang Iran-Iraq yang sampai delapan tahun pun tidak berhasil mengalahkan Saddam Husein. Iran tidak menyangka bahwa Saddam dengan mudah ditumbangkan AS. Dengan tumbangnya Saddam Husein, Iraq kini dikuasai para pemimpin yang hati mereka memihak Iran. Banyak pemimpin Iraq saat ini adalah mereka yang di masa Saddam dulu terusir ke luar negeri dan mereka bersembunyi di Iran. Bahkan, saat terjadi perang Iran-Iraq dulu, mereka ikut angkat senjata bersama tentara Iran menyerbu Iraq.



Demokrasi yang diperjuangkan AS di Iraq telah membuat golongan mayoritas berkuasa di Iraq. Padahal, mayoritas rakyat Iraq adalah Islam Syiah. Golongan Sunni hanya 40 persen, itu pun tidak utuh. Yang separo adalah keturunan Arab, sedangkan separo lagi keturunan Kurdi. Ada kecenderungan keturunan Kurdi memilih berkoalisi dengan Syiah. Padahal, yang golongan Arab itu pun masih juga terpecah-pecah ke dalam berbagai kabilah. Saddam Husein, misalnya, datang dari suku Tikrit yang jumlahnya hanya sekitar 10 persen dari penduduk Iraq.



Dengan gambaran seperti itu, masa depan hubungan Iran dan Iraq tinggal menunggu waktu yang tepat untuk menjadi amat mesra. Waktu yang tepat itu adalah ini: mundurnya AS 100 persen dari Iraq. Dan itu tidak akan lama lagi. Pekan lalu pemimpin Iraq sudah mengatakan, ”Iraq hanya perlu bantuan militer untuk menjaga perbatasan, bukan untuk urusan dalam negeri.” Maka tidak lama lagi Iraq akan menjadi ”negara ketiga” yang akan mengalirkan barang dari dan ke Iran. Kalau ini terjadi, masih ada gunanyakah Iran diisolasi? HABIS.



Sumber: www.indopos.co.id

Impuls

Senin, 04 April 2011

”…kemerdekaan adalah hak semua bangsa.”


Di tengah gentingnya pemberontakan di Libya kini, di celah-celah perlawanan di Mesir, Tunisia, Yaman, dan Suriah, mungkin tak ada seorang pun yang mengetahui bahwa ada kalimat seperti itu. Para perumus Konstitusi Indonesia di tahun 1945 memang mencantumkannya dalam Mukadimah dalam suasana dan kondisi yang sangat berbeda: ”kemerdekaan” dalam pengertian mereka lebih berarti ”kemerdekaan” sebuah negeri, atau ”bangsa”, dari penjajahan negeri lain. Kita ingat tahun 1945 adalah tahun awal dekolonisasi di Asia dan Afrika, ketika koloni-koloni melepaskan diri, atau dibebaskan, dari kekuasaan Eropa yang menindasnya.

Tapi agaknya ada yang mempertalikan mereka yang di Indonesia 66 tahun yang lalu dengan mereka yang ingin melepaskan diri dari kungkungan Qadhafi dan para diktator lain hari-hari ini. Sama halnya ada impuls yang sama yang menggerakkan perlawanan di Palestina terhadap pendudukan Israel.

Memang ada yang bisa dikatakan ”universal” dalam dorongan itu. Di depan mahkamah kolonial yang kemudian menghukumnya, di Bandung, tahun 1930, Bung Karno telah menunjukkannya dengan fasih dan menggugah:

…. Diberi hak-hak atau tidak diberi hak-hak; diberi pegangan atau tidak diberi pegangan; diberi penguat atau tidak diberi penguat—tiap-tiap makhluk, tiap-tiap ummat, tiap-tiap bangsa tidak boleh tidak, pasti akhirnja berbangkit, pasti akhirnja bangun, pasti akhirnja menggerakkan tenaganja, kalau ia sudah terlalu sekali merasakan tjelakanja diri teraniaja oleh suatu daya angkara murka!

Yang umumnya terlupakan dari pidato pembelaan itu adalah tesis dasar Bung Karno: dorongan universal ke arah pembangkangan untuk emansipasi itu sesungguhnya sesuatu yang imanen. Ia lahir dari pengalaman manusia dalam sejarah, dengan jiwa dan raganya, dan bukan sebuah ide dengan ”I” kapital. Ia tak lahir dari luar ruang dan waktu. Saya di atas menyebut kata ”impuls”. Bung Karno bahkan menunjuk gerak perlawanan itu pada cacing sekalipun. Dan itu berarti, ”hak” yang disadari sebagai ”hak”, atau, dalam kata-kata Hannah Arendt, ”hak untuk memperoleh hak”, bukanlah awal. Pada awalnya: jasad yang sakit, hidup fisik dan psikis yang nyata tapi terluka.

Hidup yang seperti itu, pengalaman dengan jiwa dan raga itu, lazimnya akan terbatas, dibatasi ruang dan waktu tertentu. Ia tak akan membuahkan sesuatu yang universal. Tapi yang menakjubkan (atau mungkin tak menakjubkan?) ialah bahwa impuls ke arah kemerdekaan itu dapat menampilkan diri sebagai dorongan mencapai apa yang benar-benar ”baik”—artinya ”baik” bagi siapa saja, di mana saja.

Saya kira revolusi dan perjuangan emansipasi punya dinamika itu: dengan keyakinan bahwa apa yang diperjuangkannya akan jadi sesuatu yang kekal dan diakui semua orang, seorang pejuang menemukan militansinya. Ia merasa mampu dan harus mengatasi kepentingan dirinya sendiri, latar belakang sosial dan budayanya, ikatan-ikatan primordialnya yang lain, termasuk pertalian famili. Tokoh Samaan dalam Keluarga Gerilya Pramoedya Ananta Toer bersedia meniadakan ayahnya sendiri yang berpihak kepada musuh kemerdekaan.

Ada yang mengerikan di dalam militansi itu. Tapi antara kekerasan yang satu dan kekerasan yang lain bisa ada perkara besar yang membedakan. Ada kekerasan terhadap orang lain yang sepenuhnya menegasikan ”yang-lain”—seperti yang dilakukan kaum Nazi dan kaum Taliban. Tapi Robespierre tak seperti itu. Tokoh Revolusi Prancis yang membinasakan banyak musuhnya dan akhirnya ia sendiri dipenggal ini mengucapkan satu pidato yang menyentuh menjelang kejatuhannya. Ia yakin bahwa dalam revolusi yang penuh darah itu ada ”jiwa yang perasa dan murni”.

”Ada gelora hati yang lembut, perkasa, dan tak dapat ditolak, ada siksaan dan keasyikan dari jiwa yang besar: rasa ngeri terhadap tirani, semangat berapi-api yang berbelas hati kepada yang tertindas, cinta yang suci kepada tanah air, dan kasih yang luhur kepada umat manusia….”

Tanpa itu semua, kata Robespierre, ”Sebuah revolusi besar akan hanya sebuah perbuatan kriminal yang gaduh yang menghancurkan perbuatan kriminal lain.”

Robespierre kini mungkin dilupakan sebagai inspirasi. Tapi ia telah memberi makna kepada sebuah impuls yang lahir dari ruang yang terbatas dan tubuh yang tak kekal. Dengan kata lain, manusia melahirkan sesuatu yang transendental dari kemungkinan-kemungkinannya yang muncul sewaktu-waktu.

Maka perjuangan untuk emansipasi di Libya atau Suriah atau Palestina bisa saja kalah, atau terpukul mundur. Tapi, dalam laku para pejuang itu, manusia telah mengangkat manusia lain—juga musuh-musuhnya—ke derajat yang lebih dari sekadar tubuh yang kesakitan dan kemarahan yang sepihak. Aku harus merdeka, dan pada saat yang sama aku yakin manusia lain harus merdeka.

Goenawan Mohamad

Hayy

Senin, 09 Mei 2011

SEMAKIN ramai agama dalam percakapan, semakin terasa pentingnya orang menemukan kembali gua yang hilang. Saya kira itulah yang saya temukan dalam membaca kisah Hayy Ibnu Yaqzan, yang ditulis Ibnu Tufayl, pemikir Spanyol abad ke-12 itu.

Di dalamnya kita bersua dengan seorang anak yang dibuang ibunya yang ketakutan ke laut. Bayi itu terdampar di sebuah pulau di khatulistiwa. Di pulau tanpa manusia itu ia dirawat seekor kijang betina. Ia disusui, dan ketika sudah bisa berjalan, diantar ke pohon-pohon buah, dan bila haus, dibawa ke tempat air.

Pelan-pelan, anak itu juga belajar perbedaan dan makna suara-suara hewan. Kemudian ia mulai menyadari beda tubuh dan kemampuan dirinya dibandingkan dengan binatang-binatang yang mengelilinginya. Ia menambah pengetahuannya tentang dunia. Pada umur 21 tahun ia sudah membuat pakaian, rumah (juga gudang penyimpanan), dan juga senjata.

Berangsur-angsur, pengalaman hidup membuatnya berpikir terus, dengan rasa ingin tahu yang intens hingga ia sampai pada keyakinan adanya Wujud yang jadi sebab pertama dari segala yang ada.

Dari cerita fiksi ini yang terus-menerus disela lapisan paragraf yang membahas pelbagai soal yang diamati dan direnungkan dari hidup kita dibawa ke suatu kesimpulan: iman, bahkan dalam bentuk tauhid, bisa dicapai sendiri oleh seseorang yang terbuka pikirannya dan tekun. Hasilnya akan tak berbeda dengan iman yang datang dari wahyu dan diyakini orang ramai. Itu terjadi karena ”mata hatinya terbuka, nyala pikirannya bersinar”, hingga ”ajaran akal budi pun akur dengan ajaran tradisi”, demikian tertulis dalam Hayy Ibnu Yaqzan.

Dengan kata lain, Ibnu Tufayl yang hidup di masa cemerlang sastra dan filsafat Islam Spanyol ingin menunjukkan bahwa agama wahyu, khususnya Islam, punya dasar yang universal. Tapi justru dengan demikian, tauhid yang tanpa wahyu atau keimanan di luar Islam juga tak berbeda nilainya.

Kesimpulan itu tentu membuat agama punya peran yang nisbi: ia perlu, tapi tak mutlak harus ada.

Dalam kisah yang dibawakan Ibnu Tufayl, ada dua tokoh lain. Salaman, seorang penguasa, lebih dekat ke makna harfiah dari ajaran. Ia memilih ”Percakapan”. Ia tak hendak menyendiri. Ia masuk ke dalam kehidupan sosial. Ia ikut serta dalam keimanan sebagai cara meramaikan komunitas, celebration of community, ketimbang cara menyatakan dalamnya keyakinan, jika kita pakai hasil pengamatan Ernest Gellner.

Sebaliknya Asâl: ia lebih mencari ke dalam batin, lebih bersentuhan dengan makna mistik hal-ihwal dunia. Ia memilih menghidupkan iman yang dibentuk kesendirian.

Maka ia pun datang ke pulau tempat Hayy hidup. Mereka bertemu. Asâl mengajari Hayy bahasa manusia. Mereka saling berkisah dan Asâl bercerita tentang kehidupan beragama dan berTuhan di masyarakat muslim dari mana ia datang.

Hayy heran. Ia tak mengerti kenapa Rasulullah menyampaikan ajarannya dalam pelbagai perumpamaan yang menyebabkan umatnya menggambarkan Tuhan dalam citra mirip manusia. Tuhan yang seperti itu akan bersifat terbatas. Ia tak mencegah manusia mengejar omong kosong: kekayaan, misalnya. Memang ada aturan tentang zakat dan amal, tapi itu justru membuka pintu bagi hasrat yang menganggap milik dan kekayaan itu barang yang tak sia-sia.

Merasa pandangannya lebih benar, Hayy berniat berdakwah. Bersama Asâl ia naik perahu ke pulau di mana Salaman dan orang-orang lain hidup. Di kota itu diwejangnya khalayak.

Tapi ia tak dimengerti. Ia terus tak dipahami.

Akhirnya Hayy sadar, manusia tak berani mencari kebenaran dengan menempuh jalan yang tanpa pemandu, dengan keyakinan bahwa ada nalar yang bisa mencapai dan menemukan kebenaran yang universal.

Hayy kecewa. Tapi ia tak melihat semuanya dengan pahit. Ia malah mengakui, Rasulullah benar: dengan menggunakan perumpamaan, dengan menggunakan citra manusia untuk membicarakan Tuhan, dengan hukum yang menyederhanakan soal, manusia mudah ditertibkan.

Tapi jika iman berarti ketertiban sosial, sangat mungkin Tuhan hanya dihadirkan sebagai komandan sebuah kamp. Tiap kamp ada perbatasan. Tiap kamp adalah indikasi bahwa ada ”kita” dan ”mereka”, ada ”Tuhan kita” dan ”Tuhan mereka”. Dalam kamp itu, orang cenderung tak mengakui ada yang universal dalam iman tak mengakui bahwa ada yang mempersatukan manusia yang berbeda-beda.

Mungkin sebab itu Hayy tak bersedia ikut. Ia sejak dulu lebih cocok dengan keadaan yang jauh dari ”Percakapan”. Di akhir cerita, ia pun kembali ke pulaunya. Ia kembali ke guanya.

Gua, dalam kisah ini, bukanlah alegori ketertutupan yang gelap. Justru sebaliknya: gua, seperti dalam Gua Hira, ketika Rasulullah menerima wahyu pertamanya, adalah proses pencarian ke dalam batin, proses dari gelap ke terang.

Di luar gua, suara batin umumnya lenyap dalam ”Percakapan”. ”Percakapan” mengasumsikan adanya jalan dua jalur yang lurus dan jelas, sementara bahasa bukan itu. Bahasa selalu punya bagian yang gelap dan licin dan membuat kita tergelincir. Bahasa selalu mengandung suara gaduh orang ramai yang ikut membentuknya.

Di antara ketidakpastian itu, agaknya Hayy mendahului apa yang dikatakan Raymond Panikkar ketika ia menunjukkan tak perlunya kita heboh dengan wacana tentang Tuhan dan iman. Kita justru perlu melihatnya sebagai ”a discourse that inevitably completes itself again in a new silence”.

Goenawan Mohamad

Ahimsa

Ahimsa

Senin, 28 Februari 2011

Lapangan Tahrir, sebelum Mubarak lengser. Ketika malam menutupi Kairo, para pemuda yang ikut protes bergeletakan berbaring. Ada yang tidur, ada yang membaca. Sebuah cerita di BBC menyebut, di bawah bayang-bayang tank tentara yang menjaga alun-alun itu, seorang demonstran membaca buku Gene Sharp.

Sejak itu Sharp disebut di BBC dan The New York Times sebagai pengilham gerakan yang meletus di Mesir dan Tunisia.

Mengagetkan juga. Lelaki 89 tahun ini tampak kuno banget. Di rumahnya yang sederhana di East Boston, ia tak tahu Facebook atau Twitter; bahkan ia harus diberi petunjuk untuk memakai e-mail.

Tapi rupanya, di dunia ia cukup dikenal. Ia, pendiri Albert Einstein Institution, pernah jadi salah satu calon penerima Nobel Perdamaian. Ia menulis satu buku tentang Gandhi dan kemudian menghasilkan satu buku lain, From Dictatorship to Democracy. Risalah tipis ini telah diterjemahkan ke dalam sekitar 30 bahasa, yang menurut The New York Times telah mempengaruhi gerakan prodemokrasi di Bosnia, Burma, Estonia, Zimbabwe, dan kini Mesir serta Tunisia. Sharp juga menulis sebuah manual, 198 Methods of Nonviolent Action, yang memberi petunjuk aksi bagaimana ”mogok makan” sampai bagaimana ”mengenal mata-mata”.

Tapi ia tak pernah ikut dalam pergerakan apa pun. Pada dasarnya ia seorang periset. Maka bisa dimengerti jika Sharp, yang pemalu dan rendah hati itu, tak mau mendaku bahwa apa yang terjadi di Mesir itu akibat pengaruhnya. ”Rakyat Mesir yang melakukan itu,” katanya, ”bukan saya.”

Bagaimanapun, sebuah ide bisa menyeberangi lautan. Ia bisa menyusup ke sebuah situasi yang memang pas untuknya—dan jadi kuat atau menakutkan. Di Venezuela dan Burma, Sharp dianggap biang pembangkangan. Di Teheran ia dituduh ”agen CIA”.

Demikian berbahayakah gagasan Sharp, yang menegaskan prinsip nonkekerasan? Ia sendiri akan menyebutnya sebagai ”gagasan Gandhi”. Pergolakan Mesir, katanya, itu ”datang langsung dari Gandhi”.

Memang Gandhi, yang menolak untuk memakai kekerasan dalam perjuangan antikolonialismenya, sebuah legenda yang mempesona. Salah satu adegan dalam film tentang sang Mahatma yang dibuat Richard Attenborough melekat di kepala saya: sejumlah demonstran tegak tak melawan ketika polisi kolonial Inggris datang menghantam mereka dengan tongkat. Tapi, ketika reportase tentang hal ini tersiar ke seluruh dunia, orang pun tahu mana yang ”biadab” dan mana yang teguh dalam keluhuran budi. Sejak itu penjajahan Inggris kehilangan legitimasinya, juga di Inggris sendiri.

Hari-hari ini kita tahu di Libya Qadhafi juga kehilangan legitimasinya. Selama 42 tahun ia berkuasa dan kini tetap ingin bertahan dengan menembaki ratusan orang penentangnya. Dalam pergaulan dunia ia tak akan dilihat sebagai pemimpin. Ia seorang pembantai, hanya dengan kostum yang teatral: aktor tunggal dalam sebuah teater kekejaman.

Tapi dibutuhkan sesuatu yang lebih hingga runtuh satu legitimasi dan jatuh seorang diktator. Apa gerangan yang akan terjadi dengan Qadhafi: gagalkah ia bertahan dengan ”darah & besi”? Butuhkah ia diakui sebagai seorang yang beradab? Jangan-jangan tidak. Jika ia begitu kuat dan begitu tak peduli, Libya akan tetap ditundukkannya.

Sebab tak semua perlawanan nonkekerasan berakhir bahagia. Apalagi jika yang disebut ”berhasil” bukanlah hanya makzulnya seorang penguasa, tapi hadirnya sebuah kekuasaan lain berdasarkan ahimsa. Prinsip ini memang berakar dari kata ”tak melakukan tindakan yang mencederai”. Tapi ia juga bagian dari sikap yang menampik untuk membenci apa pun, berdusta, dan mengutarakan kata-kata bengis.

Betapa tak gampang….

Dalam perjuangan merebut hak-hak asasi kaum Hitam di Amerika Serikat yang dipimpin Martin Luther King, yang tak gampang itu ternyata berbuah. Sebagaimana Gandhi berhasil. Tapi tak semua berakhir dengan kemenangan, baik dalam kekuasaan maupun dalam nilai-nilai.

Di Cina, para pemuda memprotes Partai Komunis yang berkuasa hanya dengan pengeras suara, patung darurat, dan sikap nekat. Kita ingat potret jurnalistik yang termasyhur itu: seseorang berdiri sendiri di tengah jalan menyetop barisan tank yang menderu ke Tiananmen. Tapi Partai yang berkuasa bersikeras. Entah berapa puluh orang tewas dibabat. Protes punah; kekuasaan tegak, malah makin kukuh.

Contoh lain di Iran. Para demonstran dalam revolusi ini tak menembakkan pistol atau melemparkan granat. Mereka hanya dengan berani berseru-seru. Syah akhirnya jatuh, Ayatullah Khomeini naik. Tapi, setelah itu, kekuasaan yang menggantikannya dengan rajin menghukum mati kawan-kawan revolusinya sendiri. Ahimsa—dikembangkan Gandhi dari tradisi Veda, Jainisme, dan Buddhisme—tak ada dalam tradisi Islam. Ahimsa tak menang di Iran.

Ataukah Gandhi sebuah perkecualian yang mujur? Kaum sosialis dari pelbagai penjuru dunia, dari Jawaharlal Nehru sampai George Orwell, novelis dan esais itu, tak menganggap sang Mahatma begitu suci. Orwell (yang pernah bekerja sebagai polisi kolonial) menulis bahwa pemerintah kolonial Inggris sengaja tak hendak menghancurkan Gandhi. Mereka takut, bila penganjur ahimsa ini lenyap, akan tampil para militan yang lebih menyukai bom. Gandhi sendiri tak selamanya konsisten, kata para pengkritiknya pula. Ahimsa asas yang terlalu luhur bagi dunia yang berdosa.

Tapi jangan-jangan kita berlebihan. Perjuangan politik bukanlah drama moralitas tentang yang ”luhur” dan yang ”berdosa”. Ahimsa sebuah strategi, dan tiap strategi bisa keliru. Jika ada yang tak keliru, itu adalah keberanian untuk berkata ”tidak” kepada yang lalim tapi punya bedil. Di dalamnya ada keberanian untuk gugur dan gagal.

Goenawan Mohamad

Revolusi

Senin, 21 Februari 2011

Revolusi tak bisa difotokopi. Revolusi tak bisa dipesan. Mungkin ini kesimpulan sejak revolusi pertama dalam sejarah modern.

Pada usia 20, Lafayette, aristokrat dari Auvergne, Prancis Selatan, itu berangkat ke Amerika. Ini tahun 1777, ketika belum ada harapan bagi perjuangan orang Amerika untuk membebaskan diri dari penjajahan Inggris. Saat itu Raja Prancis tak mengizinkan siapa pun bergabung dengan revolusi di ”benua baru” itu. Tapi Lafayette punya kenekatan, ambisi, dan cita-cita luhur. Hatinya berkobar dengan keyakinan yang disuratkan Deklarasi Kemerdekaan Amerika. Ia pun berangkat dari pantai Spanyol dengan menyamar sebagai seorang perempuan.

Akhirnya—setelah menyatakan diri tak hendak menerima bayaran sepeser pun—ia diterima bergabung dengan tentara pembebasan yang dipimpin George Washington. Di antara pasukannya yang berpakaian berantakan, Jenderal Amerika itu menyambut pemuda Prancis yang kurus itu dengan hormat: ”Kami harus merasa malu, mempertontonkan diri di depan seorang perwira yang baru saja meninggalkan pasukan Prancis.” Lafayette menjawab: ”Untuk belajar, dan bukan mengajar, saya datang kemari.”

Dan Lafayette memang belajar banyak, melalui perang, luka, intrik politik—dengan gairah yang tak kunjung menciut. Ia kembali ke Prancis setelah empat tahun bertempur. Beberapa tahun kemudian ia terlibat langsung dengan Revolusi Prancis.

Pada 11 Juli 1789, dialah—yang darah birunya berasal dari kelas bangsawan lama—yang pertama kali mengajukan rancangan ”Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga Negara”: ”Manusia dilahirkan sama-rata dalam hak-haknya, dan tetap demikian adanya….” Dalam dokumen Prancis itu, terasa gema Deklarasi Kemerdekaan Amerika yang ditulis 13 tahun sebelumnya—gema sesuatu yang kemudian terbukti universal.

Tapi kita tahu, Revolusi Prancis berakhir tak sama dengan Revolusi Amerika. Bung Karno pernah mengatakan, tak ada model revolusi yang ”ready-for-use”. Masyarakat bisa diubah dengan satu desain, tapi tak akan bisa sepenuhnya terpenuhi. Sejarah dan geografi yang berbeda-beda tak mudah diutak-atik. ”Manusia memang membuat sejarah,” demikian kata-kata Marx yang terkenal dari tahun 1851, ”tapi di bawah kondisi yang bukan dipilihnya sendiri.”

Maka Rusia, dengan cita-cita pembebasan universal, tak bisa menyamakan kondisi Cina untuk melihat lahirnya sebuah revolusi sosialis. Jalan Mao berbeda dengan jalan Stalin. Bahkan pada akhirnya keduanya bertentangan. Rusia, Cina, Yugoslavia, Korea Utara, Kuba, dan lain-lain: revolusi tak bisa difotokopi.

Tapi ia bisa menjalar. Di abad ke-20 ia menjalar ke Asia, Afrika, Amerika Latin. Kini, di awal abad ke-21, tampak ia berjangkit dari Tunisia, Mesir, Aljazair, Bahrain, Libya….

Mengapa? Menulis tentang gemuruh yang terjadi di Alun-alun Tahrir, Kairo, bulan ini, Slavoj Žižek menyimpulkan: pemberontakan ini universal. Seperti Lafayette tergerak Revolusi Amerika, ”Semua kita di seluruh dunia dengan segera tak mustahil menyamakan diri dengannya.”

Yang menarik, Žižek melihat kontras pemberontakan di Mesir dengan ”revolusi Khomeini” di Iran. Di sana, kaum kiri harus ”menyelundupkan pesan mereka ke dalam kerangka yang paling kuat, yakni Islam.” Sebaliknya, di Alun-alun Tahrir, ”kerangka itu jelas merupakan satu seruan sekuler yang universal untuk kebebasan dan keadilan.” Justru Ikhwanul Muslimin, kata Žižek, ”menggunakan bahasa tuntutan sekuler.”

Kata ”sekuler” di sini tampaknya sama dengan ”tak didominasi pandangan agama apa pun” dan sebab itu ”universal”, menyentuh siapa saja, di mana saja. Tapi mampukah sebuah revolusi berhasil tanpa seruan yang universal?

Žižek salah. Di Iran, sebenarnya kerangka Islam itu juga punya sifat-sifat universal. Kita menemukannya dalam pemikiran Ali Shariati dan Mehdi Bazargan. Yang tragis ialah bahwa bersama tenggelamnya peran pemikiran Ali Shariati dan tersisihnya orang seperti Bazargan, kian terputus pula pertalian peninggalan Khomeini dengan yang universal: ”Islam” menjadi hanya ”kami”, tak lagi ”kita”.

Tapi apa boleh buat: revolusi bukan sekadar penjelmaan ”ide yang abadi” (kata-kata Žižek) tentang kemerdekaan dan keadilan. Revolusi meletus dari kehidupan yang tak terkait dengan langit. ”Hak untuk mempunyai hak” tak diberikan satu kekuasaan yang ada dari luar sejarah. Hak itu ditegakkan atau direbut mereka yang merasa terjepit.

Itu sebabnya revolusi tak bisa dipesan. Seperti puisi, revolusi punya saatnya sendiri untuk lahir. Ia buah yang panas dari kemarahan yang otentik dan antagonisme yang mendalam.

Tapi selalu jadi cacat dalam tambo manusia: dalam proses itu, pergeseran dari ”kita” ke ”kami” tak terelakkan. Revolusi harus mengukuhkan batas antara ”kami” dan ”mereka”—dan di situ, ”kita” ditiadakan.

Dengan kata lain, ada pembungkaman yang terjadi, ketika yang universal—kemerdekaan, keadilan, harga diri—dilembagakan dalam program partai, ideologi negara, atau hukum. Kaum revolusioner akan harus menentukan siapa yang masuk kemerdekaan, keadilan, dan harga diri itu dan siapa yang harus dikeluarkan.

Akan demikian jugakah gemuruh di Alun-alun Tahrir itu?

Karim, seorang demonstran muda, menyebut lapangan itu sebuah ”utopia kecil”. Tapi utopia, dalam arti harfiahnya, terdiri atas kata ou dan topos, ”bukan + tempat”. Ia jejak dari satu kejadian yang akan segera hilang. Mereka yang cemas perlu mengerahkan kesetiaan yang besar untuk selalu merebut kembali yang hilang itu.

Maka Lafayette tak berhenti di satu sisi Lautan Atlantik—dan namanya tak tenggelam hanya sampai di abad ke-18. Revolusi tak bisa difotokopi, tapi ia tak pernah selesai.

Goenawan Mohamad

Komunisme

Senin, 24 Januari 2011

Jika komunisme adalah masa lalu, ketakutan kepadanya setali tiga uang dengan nostalgia. Tapi haruskah ide ini hanya disikapi demikian, bila ia adalah impian yang tak pernah lapuk oleh cuaca yang berganti?

Kita bersua dengan Gonzalo: tokoh dalam lakon Shakespeare, The Tempest (diterjemahkan Trisno Sumardjo sebagai ”Prahara”). Ia penasihat Raja Alonso dari Napoli. Di tengah kelicikan dan tipu-menipu politik, orang tua ini tetap baik hati. Sejak awal lakon kita tahu ialah yang menolong Prospero dan putrinya ketika mereka dihanyutkan ke laut. Ia juga yang merayakan perdamaian di antara para bangsawan yang bertikai—orang-orang serakah dan mendendam yang akhirnya bertemu kembali di pulau yang penuh sihir itu.

Tapi yang penting dalam percakapan kita kini: Gonzalo punya sebuah bayangan tentang masyarakat yang dalam wayang purwa digambarkan oleh ki dalang sebagai gemah ripah loh jinawi, thukul kang sarwo tinandur. Di sana alam menghasilkan apa saja yang dibutuhkan dan orang tak berkekurangan:

… nature should produce

Without sweat or endeavour… and should bring forth,

Of its own kind, all foison, all abundance,

To feed my innocent people.

Di sana orang tak perlu bekerja, ”all men [are] idle.” Tak ada perebutan. Tak ada sengketa. Tak ada pengadilan yang menengahi sengketa: ”No name of magistrate.” Dan dengan demikian tak perlu ada raja yang berdaulat yang menjaga agar peradilan efektif: ”No sovereignty.”

Dalam kata-kata Marx dua abad kemudian, itulah masyarakat komunis, masyarakat di mana ”Negara”—sebuah instrumen pemaksaan—tak dibutuhkan lagi, sebab tak ada lagi konflik di antara kelompok sosial. Tingkat komunisme tercapai, kata Marx, bersama dengan saat Negara ”melapuk-lenyap”, der Staat stirbt ab.

Bagaimana menyiapkan keadaan yang seperti itu tak dijelaskan Marx. Ia tak hendak menuliskan ”resep bagi toko masakan masa depan”, seperti dikatakannya dalam pengantar Das Kapital edisi kedua. Memang ada gagasan agar alat-alat produksi dikuasai bersama oleh masyarakat, hingga hasilnya tak terganggu krisis. Tapi haruskah untuk gemah ripah itu manusia mengikuti agresivitas kapitalisme, karena—seperti disebutkan Manifesto Komunis—kaum borjuislah yang terbukti berhasil mengubah dunia?

Terry Eagleton, yang menyumbangkan satu tulisan yang segar untuk buku The Idea of Communism yang disusun Costas Douzinas dan Slavoj Žižek (terbitan Verso, 2010), mengetengahkan satu paradoks.

Di satu pihak, komunisme menghendaki satu tingkat di mana orang dapat ”memperoleh sesuai dengan yang dibutuhkannya, dan menyumbang sesuai dengan kemampuannya”. Ini berarti satu keadaan sosial yang merupakan, dalam kata-kata Eagleton, ”buah produktivitas yang intensif”. Di lain pihak, komunisme juga merupakan penentang dari desakan produktivitas yang tak sehat (”patologis”) itu: desakan yang kini terbukti merusak alam dan menindas manusia di bawah regimentasi kerja.

Dalam paradoks itu, pemecahan model imajinasi Gonzalo bukanlah melihat manusia sebagai sumber produktivitas. Yang produktif alam. Manusia cuma pasif menampung kedermawanan bumi: ”all men [are] idle” seperti telah dikutip tadi. Manusia yang agresif adalah pangkal kekejian, bukan saja terhadap air, pohon, fauna, udara. Manusia jadi tak peka akan nasib tubuhnya sendiri dan tubuh orang lain. Bagi Gonzalo yang lembut hati, manusia yang baik adalah manusia yang ramah dan menghargai momen bermain bersama.

Tapi komunisme semacam itu, seperti dikatakan Eagleton, bukanlah yang dilahirkan kaum pekerja. Komunisme semacam itu hanya diyakini seorang Oscar Wilde, seniman pesolek yang menyukai hidup sebagai keindahan dan keasyikan: komunisme yang berlangsung antara jamuan makan malam.

Sayangnya, sebuah masyarakat senantiasa hidup dalam kondisi keterbatasan, dan dengan itu mengatasi keterbatasan. Di sini Eagleton mengemukakan satu tokoh lain dari Shakespeare: Lear.

Raja ini meninggalkan takhta yang diperebutkan dengan bengis oleh putri-putrinya. Ia mengembara di tengah alam yang dingin, muram, hampa. Di situ, katanya, pengemis yang paling papa pun seakan-akan berlebih, dan hidup manusia demikian murahnya: ”Man’s life is cheap as beast’s.”

Hidup murah di sini berarti hidup yang tak memerlukan banyak. Dari Lear pun kita menyadari makna keterbatasan—bukan dari petuah-petuah agama tentang manusia yang daif dan Tuhan yang Akbar, melainkan dari tubuh yang hampir telanjang, tersisih, tak punya apa-apa.

Dari keterbatasan itu terbitlah rasa bersama. Demikianlah raja tua itu menyeru, anehnya dalam keadaan hampir gila, sesuatu yang menggugah, seakan-akan suara khotbah lain dari bukit: ”Expose thyself to feel what wretches feel”—sebuah seruan untuk solidaritas kepada yang nestapa.

Saya kira lewat kalimat-kalimat dalam King Lear itu Shakespeare berbicara kepada para penonton di teater The Globe, di tepi Sungai Thames, London, di masa ketika ketimpangan sosial awal abad ke-17 begitu tajam. Lewat mulut Lear ia menghujat ”orang yang serba berlebih dan hidup dari nafsu” (”the superfluous and lust-dieted man”). Melalui Lear juga ia mengimbau agar kekayaan yang berlimpah ruah itu didistribusikan, hingga tiap orang berkecukupan:

So distribution should undo excess,

And each man have enough

Jika itu adalah ide ”komunisme”, ia memang lebih tua ketimbang Marx. Dan saya kira, tanpa Marx, seruan Lear dan impian Gonzalo akan berlanjut. Kadang-kadang dengan ketakutan. Kadang-kadang dengan nostalgia.

Goenawan Mohamad

Selasa, 17 Mei 2011

Perang salib dalam pandangan kaum muslim

Membaca Perang Salib dalam Kacamata Islam
Sumber: Media Indonesia

Oleh: Ahmad badrus Sholihin

Judul buku : Perang Salib; Sudut Pandang Islam
Judul Asli : The Crusade; Islamic Perspectives
Penerjemah : Heryadi
Penerbit : Serambi, Jakarta
Cetakan I : Desember 2005
Tebal : lxi + 808

JIKA kita membuka lembaran sejarah, mungkin tidak ada kejadian yang lebih memilukan dan begitu dahsyat dampak jangka panjangnya bagi peradaban daripada Perang Salib. Perang yang terjadi antara 1099 hingga 1291 dan melibatkan seluruh kekuatan Eropa (Kristen) melawan kekuatan muslim di bawah imperium Bani Abbasiyah itu tercatat sebagai salah satu perang terbesar dan terlama sepanjang masa.

Kekejaman perang dan korban baik jiwa maupun materi yang tidak terhitung banyaknya menunjukkan betapa manusia bisa lebih kejam daripada hewan. Ironisnya, mereka berperang atas nama agama.

Dalam jangka panjang, dampaknya diyakini sebagian besar sejarawan sebagai akar dari segala konflik antara Timur (Islam) dan Barat. Hal ini digarisbawahi Carole Hillenbrand, penulis buku The Crusade; Islamic Perspectives (Perang Salib, Sudut Pandang Islam). Carole menegaskan telah terjadi distorsi dalam banyak literatur sejarah tentang Perang Salib yang ditulis sejarawan Eropa dan para orientalis. Selama berabad-abad, sejarah Perang Salib telah dijadikan sebagai propaganda penaklukan Eropa terhadap Islam dan dengan cara sedemikian rupa membentuk pandangan umum masyarakat Barat hingga saat ini terhadap Islam sebagai 'setan' yang harus dimusuhi dan diperangi.

Poin utama pendistorsian sejarah Perang Salib itu menurut Carole adalah pengabsahannya sebagai Perang Suci. Dalam banyak literatur para sejarawan beranjak dari asumsi bahwa Perang Salib merupakan serangkaian operasi militer yang didorong keinginan kaum Kristen Eropa untuk menjadikan tempat-tempat suci umat Kristen, terutama Yerusalem, masuk ke wilayah perlindungan mereka. Dengan kata lain, Perang Salib adalah perang suci untuk mengusir orang-orang kafir dari kerajaan Tuhan.

Bagi guru besar studi Islam dan Bahasa Arab di University of Edinburg ini, penulisan sejarah yang demikian menyiratkan ketidakobjektifan. Sebab, data-data sejarah yang diungkapkan bersifat sepihak dan tidak mempertimbangkan kemungkinan lain yang bisa ditemukan dalam literatur-literatur Islam. Akibatnya, lahirlah kesalahpahaman yang berlangsung selama berabad-abad. Carole tertantang untuk menampilkan perspektif Islam yang lama terkubur dengan menggali kembali berbagai sumber Islam Abad pertengahan. Dia merujuk langsung kepada para sejarawan muslim masa itu seperti Ibn al-Qalanisi, Abu Syamah, Ibnu Jubayr, Ibnu Syaddad, Al-Maqrizi, al-Ishfahani, dan Ibnu Khaldun. Kemudian dia melengkapinya dengan penelitian arkeologis terhadap bangunan-bangunan, prasasti-prasasti, lukisan-lukisan dan benda-benda lain peninggalan Perang Salib.

Yang cukup menarik, dia tidak menyajikannya dalam bentuk yang kronologis. Hal ini bisa dimaklumi sebagai upaya Carole untuk memulai penulisan sejarah yang benar-benar baru dan berbeda dengan para pendahulunya. Dia membagi bab-bab dalam buku itu berdasarkan tema-tema utama Perang Salib dan pergeseran pandangan para sejarawan muslim tentangnya. Dia merangkai semuanya dengan menggunakan hipotesisnya bahwa Perang Salib bagi umat Islam adalah jihad.

Selanjutnya, dengan sengaja Carole memperbandingkan atau bahkan mungkin mempertentangkan konsep jihad dengan konsep perang suci. Dalam mengupas jihad, Carole tidak sekadar menampilkannya dalam kerangka penulisan hukum Islam (fikih). Dia mengombinasikan konsep jihad dalam berbagai literatur fikih dengan fakta-fakta sejarah yang dia temukan. Dia mencatat bahwa pandangan kebanyakan orang barat tentang jihad adalah keliru, demikian halnya dengan pemahaman sebagian kelompok muslim kontemporer.

Hingga saat ini, pandangan umum yang berlaku di barat adalah 'Islam agama pedang'. Sedangkan di kalangan muslim banyak yang tidak memahami seluk beluk jihad. Mereka memandang jihad hanya sebagai sebuah istilah retoris, seruan penggerak dan pemersatu yang menarik emosi, namun mereka tidak jelas dalam hal bagaimana jihad itu diwujudkan. Istilah jihad sering dijadikan buah mulut oleh kepala-kepala negara modern yang tidak memiliki sistem pendukung dari ahli-ahli hukum, penulis-penulis risalah, dan para pendakwah.

Menurut Carole, konsep jihad sebenarnya mengalami beberapa tahap evolusi. Dalam setiap tahapan itu, tercermin kehati-hatian dari para pelakunya dalam menetapkan implikasi-implikasi dan target-target jihad. Meskipun demikian, proses evolusi itu tidak mengubah esensi jihad yang meliputi dua hal, yaitu: jihad besar (al-jihad al-akbar) dan jihad kecil (al-jihad al-ashghar). Jihad besar adalah jihad yang wajib dilakukan setiap muslim melawan dirinya sendiri, menaklukkan hawa nafsunya sendiri. Nilainya lebih tinggi dari jihad kecil yaitu perang militer melawan orang-orang kafir.

Tahap pertama evolusi jihad dimulai pada masa Islam awal pasca-Nabi Muhammad, yaitu masa khulafaurrasyidin dan Bani Umayyah. Pada masa ini jihad dimaknai sebagai perjuangan menyebarkan agama Islam sebagai rahmat bagi semua umat manusia. Bahkan, jihad sering kali dianggap sebagai rukun Islam yang keenam. Motivasinya adalah murni keagamaan, yaitu mengislamkan orang kafir. Prestasi jihad ini ditandai dengan terbentuknya imperium Islam yang terbentang dari Spanyol di barat sampai bagian utara India dan Asia tengah di timur.

Tahap kedua adalah pada masa Dinasti Abbasiyah (sejak akhir abad ke-8). Jihad lebih dilandaskan pada konsep damai, bukan perang, yang dikenal dengan dar al-shulh (wilayah perdamaian). Maksud dari konsep ini adalah bahwa negara-negara nonmuslim boleh mempertahankan otonomi mereka dan bebas dari serangan asalkan mereka mengakui pemerintahan Islam dan membayar upeti. Hal ini disebabkan oleh faktor kegagalan upaya-upaya untuk merebut Konstantinopel yang waktu itu merupakan ibu kota imperium Byzantium (Romawi Timur), dan perpecahan di tubuh masyarakat Islam sendiri, antara Bani Abbasiyah yang Sunni dengan Bani Fatimiyah di Mesir yang Syiah. Tahap kedua ini dilanjutkan masa kefakuman jihad, sampai terjadinya Perang Salib.

Tahap ketiga terjadi pada masa Perang Salib. Inilah awal kebangkitan kembali jihad. Tahap ini terbagi menjadi dua. Pertama, jihad dengan tujuan menaklukkan kembali kota suci Yerusalem. Puncaknya adalah jatuhnya Yerusalem ke tangan Salahuddin al-Ayyubi (Saladin). Jihad ini bersifat reaksioner, yaitu sebagai perlawanan terhadap serangan tentara Salib. Kedua, jihad dengan tujuan sebagai pertahanan-–untuk membersihkan dunia Islam Sunni dari kehadiran orang kafir dan kaum bid'ah. Jihad bukan lagi agresi militer ke wilayah orang kafir, tetapi perjuangan untuk mendudukkan wilayah muslim di tempat yang pertama. Puncaknya adalah jatuhnya Acre ke tangan umat Islam yang berarti pengusiran kaum Frank (tentara Salib) dari seluruh bumi Islam.

Menurut Carole, dalam rentang waktu antara awal berdirinya imperium Islam pada abad ke-8 sampai berakhirnya Perang Salib di akhir abad ke-13 telah terjadi pergeseran makna yang sangat signifikan dalam konsep jihad. Jihad tidak lagi dimaksudkan untuk 'memerangi' atau 'mengislamkan' orang kafir. Tetapi jihad lebih ditujukan sebagai 'reaksi' atas agresi dari luar. Motivasi jihad pun tidak semata-mata bersifat ideologis (murni agama). Dalam perang-perang kaum muslim melawan tentara Salib, elemen ideologis jihad selalu berjalan paralel dengan banyak faktor lainnya: ekspansionisme, kepentingan-kepentingan politik-militer, xenophobia, faktor-faktor ekonomi, dan rasa takut terhadap erangan dari Eropa.

Lebih jauh lagi, Carole melihat bahwa penegasan fungsi jihad sebagai pendorong utama bagi gerakan penaklukan, penyebaran agama, dan pertahanan yang penting di sepanjang sejarah Islam, memiliki relevansi dengan kesadaran Arab dan muslim dewasa ini. Perang Salib dipandang oleh banyak kaum muslim sebagai upaya pertama Barat untuk menjajah 'wilayah Islam'. selain itu, Perang Salib merupakan model penggunaan elemen jihad yang berhasil mengusir bangsa asing, yakni para tentara Salib, dari wilayah muslim. Banyak kaum muslim di era 1990-an yang memandang Israel sebagai Negara tentara Salib yang baru dan harus dilawan dengan jihad. Perlawanan itu juga diberlakukan terhadap Amerika Serikat yang dianggap sebagai dalang dan penyokong utama Israel, dan Negara-negara Barat lain yang berada di belakangnya. Ironisnya, keadaan Yerusalem saat ini menunjukkan banyak kemiripan dengan keadaan Yerusalem pada masa Perang Salib.

Akhirnya, Carole mengakui bahwa pandangan sepihak buku ini (hanya dari perspektif muslim) sama bias dan sama tidak lengkapnya dengan pendekatan yang mempelajari Perang Salib hanya dari sudut pandang Eropa.

Namun, tujuan dari buku ini memang hanya untuk memberi perimbangan. Tugas yang masih harus terus dilakukan adalah menyeimbangkan bukti-bukti dari semua pihak 'kaum Eropa barat, Bizantium, Yahudi, Kristen Timur, dan Islam' sehingga bisa diperoleh pandangan yang lebih menyeluruh tentang Perang Salib. Dengan demikian, kesalahpahaman tentang fakta di seputar Perang Salib bisa segera dihapuskan, konflik berdarah atas nama agama segera berakhir, dan perdamaian abadi yang dicita-citakan oleh semua agama tercapai.


(Ahmad badrus Sholihin, mahasiswa tingkat akhir di Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).

Penyebab Perang Salib

Bookmark and Share
Quantcast
perang Salib itu sejarahnya cukup panjang luas dan rumit, hal ini terjadi atas profokasi imperium islam selama 5 abad (berarti sejak muhamad). Seperti yang telah diketahui, Perang Salib terderi dari 8 ekspedisi ke Timur yang terjadi selama dua abad, dari 1095 sampai 1270. Sejak itu, istilah “crusade,” yang arti sebenarnya adalah Perang Salib, di pakai untuk berbagai macam situasi seperti perang-perang lain (terutama yang berkaitan dengan agama) ataupun hal hal lain yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama.. Disini kita akan memfokuskan diri atas 8 Perang Salib dalam tradisi.
Latar Belakang
Untuk mengerti Perang Salib kita perlu menilai peristiwa yang menyebabkannya. Sejak legalisasi Kristianitas di awal tahun 300, Kristen Eropa mulai melakukan ziarah ke Palestina untuk mengunjungi situs kudus yang berhubungan dengan hidup Tuhan kita. Ziarah ini adalah bentuk kesalehan yang besar karena pada jaman tersebut perjalanan ke Tanah Suci adalah sulit, memakan waktu lama, mahal dan berbahaya. Beberapa ziarah membutuhkan bertahun-tahun untuk selesai.
Jemaat Kristen juga pergi ke Syria, Palestina dan Mesir untuk hidup seperti pertapa. Ini adalah jaman dimana kehidupan membiara berbuah banyak, dan banyak jemaat Kristen yang ingin pergi ke Tanah Kudus untuk hidup sebagai pertapa. Mereka juga mengalami kesulitan-kesulitan dalam perjalanan mereka. Bagi para peziarah dan mereka yang ingin menjadi pertapa ada satu faktior yang membikin mudah perjalanan: Jalan menuju Palestina membentang melalui wilayah Kristen.

Pada tahun 612, Mohammad bin Abdullah orang Arab, mengklaim menerima panggilan kenabian dari Allah melalui malaikat Jibril. Pada awalnya dia mendapatkan beberapa pengikut. Namun, setelah diusir dari tempat kelahirannya, yaitu Mekah, dia berlindung di Kota Medina dimana saat itu pengikutnya bertambah. Mengibarkan kampanye militer, Mohammad menaklukkan beberapa suku kafir, Yahudi dan Kristen dan dia juga berhasil mengambil alih tempat kelahirannya, Mekkah, dan juga Arabia. Dia meninggal pada tahun 632.
Seiring dengan matinya Muhammad, penerus Muhammad, para kalifah, meneruskan kampanye ekspansi yang agresif (jihad). Kurang dari satu abad mereka telah mengambil alih, antara lain, Siria, Palestina dan Afrika Utara. Meskipun sekarang kita menganggap daerah tersebut adalah daerah Muslim, pada waktu itu daerah daerah tersebut adalah Kristen. Dikatakan bahwa kerajaan Muslim yang berekspansi telah mencaplok setengah dari peradaban Kristen. Bahkan Eropa sendiri terancam. Muslem mengambil alih Spanyol Selatan, meng-invasi Prancis dan bahkan mengancam untuk meng-invasi Roma. Namun ekspansi mereka ditaklukkan oleh Charles Mattel pada pertempuran Poiters di 732.
Saat itu adalah masa-masa sulit
Setelah ekspansi Muslim di Eropa Barat telah tertahan untuk beberapa saat, perhatian mereka teralih ke tempat lain, dan dalam dua abad selanjutnya mereka menaklukkan Persia (Iran), Afghanistan, Pakistan dan sebagian India. Mereka lalu maju melawan negara Kristen dan menaklukkan Kekaisaran Byzantine pada 1453 dan berekspansi sampai Vienna, Austria pada 1683.
Perang Salib terjadi di pertengahan peperangan ini. Persiapan secepatnya dilakukan pada abad 11 dengan meningkatnya ketegangan antara Kristen dan Muslim di Tanah Kudus.
Palestina telah berada dalam kendali Muslim selama beberapa waktu, meskipun itu didapat dengan persetujuan (walaupun enggan) oleh pihak Kristen yang hidup di Palestina. Namun, pada 1009, Kalifah Fatimite dari Mesir memerintahkan penghancuran Kuburan Kristus di Yerusalem, yang merupakan tujuan utama peziarah Kristen. Kubur ini kemudian dibangun kembali. Selain itu di daerah taklukan muslim, umat kristen yang bertahan ditindas (tidak seperti klaim islam) antara lain dengan pajak jizyah dan perbudakan bahkan pengkebirian.
Meningkatnya bahaya bagi jemaat Kristen dalam melakukan ziarah ke Tanah Kudus hanya menambah antusiasme untuk melakukan perjalanan tersebut, karena sekarang ziarah menjadi tindakan kesalehan yang lebih besar. Selama abad ke 11, ribuan jemaat Kristen mengarungi dengan berani, sering dikawal oleh pengawal-pengawal Kristen yang kadang kadang mengawal dua belas ribu peziarah dalam waktu yang sama.
Bangsa Turki Seljug yang telah menganut Islam pada abad ke 10, mulai menaklukkan bagian-bagian dunia Muslim> Dan ini membuat ziarah semakin berbahaya, kalaupun tidak mungkin. Kaum Seljug mengambil alih Yerusalem pada 1070 dan mulai mengancam Kekaisaran Byzantine. Kaisar Byzantine, Romanus IV Diogenes ditangkap oleh kaum Seljuq pada perang Manzikert di 1071. Penerusnya, Michael VII Ducas, meminta bantuan Paus Gregory VII, yang juga berpikiran untuk memimpin ekspedisi militer untuk memukul balik bangsa Turki tersebut. memperbaiki Kuburan Kristus, dan mengembalikan keutuhan Kristen setelah perpecahan de facto Kristen Timur pada 1054. Namun “Konflik Pengangkatan” (ini ceritanya panjang dan akan diceritakan lain kali) menambah beban untuk pelaksanaan rencana ini.
Kaum Seljug terus berekspansi, pada 1084 menaklukkan kota Antioka dan pada 1092 kota Nicea, dimana dua konsili ekumenis diadakan berabad-abad sebelumnya. Pada 1090, Tahta Gembala metropolitan historis di Asia sudah berada di tangan Muslim, yang pada saat itu sudah sangat dekat dengan ibukota Byzantine di Konstantinopel. Sang Kaisar, Alexius I Comnenus, meminta Paus Urban II bantuan.
Perang Salib pertama (1095-1101)
Tidak seperti Gregory VII, Paus Urban II berada dalam posisi untuk menjawab permintaan Timur. Pada November 1095, dia memanggil Konsili Clermont di Prancis Selatan dimana dia meminta dengan sangat pada hadirin -yang terdiri dari bukan hanya Uskup dan Kepala Biara, tapi juga kaum bangsawan, ksatria dan rakyat sipil- untuk memberikan bantuan kepada Kekristenan Timur.
Telah terjadi banyak peperangan antar sesama Bangsa Eropa dan pada pertemuan yang diadakan di tempat terbuka tersebut, Paus mendorong mereka untuk berdamai satu sama lain dan memusatkan kekuatan militer mereka untuk tujuan yang konstruktif -membela Kekristenan dari aggresi Muslim, membantu Kristen Timur, dan mengambil alih kembali Kubur Kristus. Dia juga menekankan perlunya pertobatan dan motif spiritual dalam melakukan kampanye ini, menawarkan indulgensi total bagi mereka yang berkaul untuk melakukan tugas ini. Jawaban dari para hadirin sangat antusias, para hadirin berteriak “Deus Vult!” (Tuhan menghendakinya!)
Dalam Kosnili Clermont juga ditetapkan bahwa mereka yang pergi untuk melaksanakan tugas akan memakai Salib Merah (Latin:Crux). yang kemudian membuat kampanye ini disebut Perang Salib.
Persiapan dimulai di seluruh Eropa. Kebanyakan tidak terorganisasi ataupun tidak mempunyai semangat seperti yang didengungkan Paus. Beberapa prajurit begitu kurang persiapan sehingga mereka menjarah untuk memenuhi kebutuhan. Beberapa orang German membantai orang Yahudi. Beberapa tidak pernah sampai di Konstantinopel. Beberapa anggota dari “People’s crusade” yang tidak terorganisasi dan begitu tidak disiplin dan dikirim oleh Kaisar pada Agustus 1096 menuju ke Bosphorus, lebih dulu dari pasukan utama Perang Salib, mereka dibantai oleh tentara Turki.
Prajurit Salib utama terdiri dari empat pasukan yang berasal dari Perancis, German dan Normandia, dibawah pimpinan Godfrey dari Boullion, Bohemond dan Tancred (keduanya orang Normandia), Raymond dari Saint-Giles, dan Robert dari Flanders. Namun, Kaisar Byzantin Alexius tidak ingin tentara yang begitu banyak berada di Konstantinopel dan kemudian dikirimnya mereka ke Asia Minor sesuai dengan urutan kedatangan mereka. Sang Kaisar juga mensyaratkan agar kepala Pasukan bersumpah bahwa mereka akan mengembalikan tanah yang mereka rebut dari pihak Muslim yang dulunya adalah daerah Byzantine.
Pada Juni 1097, Nicea diambil alih oleh Byzantine dan para Prajurit Salib. Bulan berikutnya Prajurit Salib dan Byzantine mendapatkan kemenangan besar melawan Turki ketika mereka diserang di Dorylaeum. Kemajuan lebih lanjut cukup sulit dan nampaknya beberapa orang menjadi putus semangat. Salah satunya adalah Alexius, yang berjanji untuk membantu kota Antioka yang terkepung. Ketika sang Kaisar berhenti untuk berusaha, para Prajurit Salib merasa bahwa kewajiban untuk menyerahkan Dorylaeum kembali ke Kaisar, telah hilang karena sang Kaisar sendiri tidak mampu mempertahankannya (Alexus telah hilang semangat). Karena itu, saat Dorylaeum diambil alih pada Juni 1099, kota tersebut jatuh ke tangan orang Normandia.
Bulan berikutnya Fatimid Muslim dari Mesir mengambil alih kembali Yerusalem dari kaum Seljug Turky, jadi para Prajurit Salib melakukan serangan bukan kepada bangsa Turky. Ini terjadi pada 1099. Selama sebulan para Prajurit Salib, yang telah berkurang separuh dari kekuatan awal, mendirikan kemah disekeliling Yerusalem sementara Gubernur Fatimid menunggu bantuan tentara dari Mesir. Disisi lain Prajurit Salib mendapatkan persediaan makanan dan kebutuhan dari pelabuhan Jaffa dan memulai gerkan mereka.
Pada 8 Juli Prajurit Salib berpuasa dan berjalan dengan telanjang kaki mengelilingi kota menuju ke Gunung Zaitun (tempat Yesus mengalami Sakral Maut), dan pada tanggal 13, mereka mengepung tembok kota. Pada tanggal 15, beberapa prajurit berhasil melewati tembok dan membuka salah satu gerbang kota yang membuat pasukan utama mampu menyerbu kedalam. Di Menara Daud, Gubernur Fatimid menyerah dan diantar keluar dari kota. Dari dalam Mesjid Al-Agsa dekat Bukit Kuil (Temple Mount), Tacred, salah satu pimpinan Prajurit Salib, menjanjikan perlindungan bagi warga Muslim dan Yahudi di kota tersebut. Sayangnya, meskipun ada upaya tersebut, pembantaian tetap terjadi.
Bulan selanjutnya Prajurit Salib mengejutkan dan memukul balik pasukan bantuan dari Mesir yang dinanti-nanti Gubernur Fatimid. Prajurit Salib mengkokohkan kendali warga Kristen di Yerusalem, meskipun banyak kota pelabuhan masih berada dalam kendali Muslim. Kebanyakan Prajurit Salib kemudian pergi kembali ke rumah setelah merasa bahwa tujuan dan kaul mereka telah tercapai.
Sebagai hasil dari Perang Salib pertama, telah terbentuk empat negara bagian Kristen dari wilayah yang telah direbut Prajurit Salib: Kerajaan Jerusalem terdahulu, Principality Antioka (Prinsipality = daerah yang dikuasai pangeran/prince), Countship Edessa (Countship = daerah dalam kekuasaan Count. Count = semacam bangsawan) dan Countship Tripoli. Negara-negara bagian ini, yang menggunakan sistem feodal dalam konteks yang terlepas dari permusuhan lokal seperti yang terjadi di Eropa, telah disebut-sebut sebagai model administrasi Medieval. Namun, hubungan antara negara bagian, kekaisaran Byzantine dan daerah Muslim disekitarnya sering rumit.
Untuk mempertahankan negara-negara bagian baru ini, sebuah pasukan baru terbentuk –ordo-ordo Ksatria, seperti Hospitaleer oleh St John dari Yerusalem dan Templars. Ini adalah kelompok ksatria yang berkaul religius dan melakukan aturan-aturan religious.
Untuk suatu saat negara-negara bagian akibat Perang Salib berkembang. Seiring dengan waktu, negara-negara bagian tersebut membesar meliputi kota-kota pelabuhan yang ditinggal dan tidak diakui oleh siapapun sebagai daerah kekuasaan. Meskipun begitu, negara-negara bagian tersebut masih lemah. Pada 1144 negara bagian utara Edessa ditawan oleh Pasukan Muslim

PENYEBAB PERANG SALIB Islam adalah bapak Imprialisme & Kolonialisme


Perang Salib itu sejarahnya cukup panjang luas dan rumit, hal ini terjadi atas profokasi imperium islam selama 5 abad (berarti sejak muhammad).


Seperti yang telah diketahui, Perang Salib terdiri dari 8 ekspedisi ke Timur yang terjadi selama dua abad, dari 1095 sampai 1270. Sejak itu, istilah "crusade," yang arti sebenarnya adalah Perang Salib, di pakai untuk berbagai macam situasi seperti perang-perang lain (terutama yang berkaitan dengan agama) ataupun hal hal lain yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama.. Disini kita akan memfokuskan diri atas 8 Perang Salib dalam tradisi.


Latar Belakang

Untuk mengerti Perang Salib kita perlu menilai peristiwa yang menyebabkannya. Sejak legalisasi Kristianitas di awal tahun 300, Kristen Eropa mulai melakukan ziarah ke Palestina untuk mengunjungi situs kudus yang berhubungan dengan hidup Tuhan kita. Ziarah ini adalah bentuk kesalehan yang besar karena pada jaman tersebut perjalanan ke Tanah Suci adalah sulit, memakan waktu lama, mahal dan berbahaya. Beberapa ziarah membutuhkan bertahun-tahun untuk selesai.


Jemaat Kristen juga pergi ke Syria, Palestina dan Mesir untuk hidup seperti pertapa. Ini adalah jaman dimana kehidupan membiara berbuah banyak, dan banyak jemaat Kristen yang ingin pergi ke Tanah Kudus untuk hidup sebagai pertapa. Mereka juga mengalami kesulitan-kesulitan dalam perjalanan mereka. Bagi para peziarah dan mereka yang ingin menjadi pertapa ada satu faktior yang membikin mudah perjalanan: Jalan menuju Palestina membentang melalui wilayah Kristen.


Pada tahun 612, Mohammad bin Abdullah orang Arab, mengklaim menerima panggilan kenabian dari Allah melalui malaikat Jibril. Pada awalnya dia mendapatkan beberapa pengikut. Namun, setelah diusir dari tempat kelahirannya, yaitu Mekah, dia berlindung di Kota Medina dimana saat itu pengikutnya bertambah. Mengibarkan kampanye militer, Mohammad menaklukkan beberapa suku kafir, Yahudi dan Kristen dan dia juga berhasil mengambil alih tempat kelahirannya, Mekkah, dan juga Arabia. Dia meninggal pada tahun 632.


Seiring dengan matinya Muhammad, penerus Muhammad, para kalifah, meneruskan kampanye ekspansi yang agresif (jihad). Kurang dari satu abad mereka telah mengambil alih, antara lain, Siria, Palestina dan Afrika Utara. Meskipun sekarang kita menganggap daerah tersebut adalah daerah Muslim, pada waktu itu daerah daerah tersebut adalah Kristen. Dikatakan bahwa kerajaan Muslim yang berekspansi telah mencaplok setengah dari peradaban Kristen. Bahkan Eropa sendiri terancam. Muslem mengambil alih Spanyol Selatan, meng-invasi Prancis dan bahkan mengancam untuk meng-invasi Roma. Namun ekspansi mereka ditaklukkan oleh Charles Mattel pada pertempuran Poiters di 732.


Saat itu adalah masa-masa sulit

Setelah ekspansi Muslim di Eropa Barat telah tertahan untuk beberapa saat, perhatian mereka teralih ke tempat lain, dan dalam dua abad selanjutnya mereka menaklukkan Persia (Iran), Afghanistan, Pakistan dan sebagian India. Mereka lalu maju melawan negara Kristen dan menaklukkan Kekaisaran Byzantine pada 1453 dan berekspansi sampai Vienna, Austria pada 1683. Perang Salib terjadi di pertengahan peperangan ini. Persiapan secepatnya dilakukan pada abad 11 dengan meningkatnya ketegangan antara Kristen dan Muslim di Tanah Kudus.


Palestina telah berada dalam kendali Muslim selama beberapa waktu, meskipun itu didapat dengan persetujuan (walaupun enggan) oleh pihak Kristen yang hidup di Palestina. Namun, pada 1009, Kalifah Fatimite dari Mesir memerintahkan penghancuran Kuburan Kristus di Yerusalem, yang merupakan tujuan utama peziarah Kristen. Kubur ini kemudian dibangun kembali. Selain itu di daerah taklukan muslim, umat kristen yang bertahan ditindas (tidak seperti klaim islam) antara lain dengan pajak jizyah dan perbudakan bahkan pengkebirian.


Meningkatnya bahaya bagi jemaat Kristen dalam melakukan ziarah ke Tanah Kudus hanya menambah antusiasme untuk melakukan perjalanan tersebut, karena sekarang ziarah menjadi tindakan kesalehan yang lebih besar. Selama abad ke 11, ribuan jemaat Kristen mengarungi dengan berani, sering dikawal oleh pengawal-pengawal Kristen yang kadang kadang mengawal dua belas ribu peziarah dalam waktu yang sama.


Bangsa Turki Seljug yang telah menganut Islam pada abad ke 10, mulai menaklukkan bagian-bagian dunia Muslim. Dan ini membuat ziarah semakin berbahaya, kalaupun tidak mungkin. Kaum Seljug mengambil alih Yerusalem pada 1070 dan mulai mengancam Kekaisaran Byzantine. Kaisar Byzantine, Romanus IV Diogenes ditangkap oleh kaum Seljuq pada perang Manzikert di 1071. Penerusnya, Michael VII Ducas, meminta bantuan Paus Gregory VII, yang juga berpikiran untuk memimpin ekspedisi militer untuk memukul balik bangsa Turki tersebut. memperbaiki Kuburan Kristus, dan mengembalikan keutuhan Kristen setelah perpecahan de facto Kristen Timur pada 1054. Namun "Konflik Pengangkatan" (ini ceritanya panjang dan akan diceritakan lain kali) menambah beban untuk pelaksanaan rencana ini.


Kaum Seljug terus berekspansi, pada 1084 menaklukkan kota Antioka dan pada 1092 kota Nicea, dimana dua konsili ekumenis diadakan berabad-abad sebelumnya. Pada 1090, Tahta Gembala metropolitan historis di Asia sudah berada di tangan Muslim, yang pada saat itu sudah sangat dekat dengan ibukota Byzantine di Konstantinopel. Sang Kaisar, Alexius I Comnenus, meminta Paus Urban II bantuan.


Perang Salib pertama (1095-1101)

Tidak seperti Gregory VII, Paus Urban II berada dalam posisi untuk menjawab permintaan Timur. Pada November 1095, dia memanggil Konsili Clermont di Prancis Selatan dimana dia meminta dengan sangat pada hadirin -yang terdiri dari bukan hanya Uskup dan Kepala Biara, tapi juga kaum bangsawan, ksatria dan rakyat sipil- untuk memberikan bantuan kepada Kekristenan Timur.


Telah terjadi banyak peperangan antar sesama Bangsa Eropa dan pada pertemuan yang diadakan di tempat terbuka tersebut, Paus mendorong mereka untuk berdamai satu sama lain dan memusatkan kekuatan militer mereka untuk tujuan yang konstruktif -membela Kekristenan dari aggresi Muslim, membantu Kristen Timur, dan mengambil alih kembali Kubur Kristus. Dia juga menekankan perlunya pertobatan dan motif spiritual dalam melakukan kampanye ini, menawarkan indulgensi total bagi mereka yang berkaul untuk melakukan tugas ini. Jawaban dari para hadirin sangat antusias, para hadirin berteriak "Deus Vult!" (Tuhan menghendakinya!). Dalam Kosnili Clermont juga ditetapkan bahwa mereka yang pergi untuk melaksanakan tugas akan memakai Salib Merah (Latin:Crux). yang kemudian membuat kampanye ini disebut Perang Salib.


Persiapan dimulai di seluruh Eropa. Kebanyakan tidak terorganisasi ataupun tidak mempunyai semangat seperti yang didengungkan Paus. Beberapa prajurit begitu kurang persiapan sehingga mereka menjarah untuk memenuhi kebutuhan. Beberapa orang German membantai orang Yahudi. Beberapa tidak pernah sampai di Konstantinopel. Beberapa anggota dari "People's crusade" yang tidak terorganisasi dan begitu tidak disiplin dan dikirim oleh Kaisar pada Agustus 1096 menuju ke Bosphorus, lebih dulu dari pasukan utama Perang Salib, mereka dibantai oleh tentara Turki.


Prajurit Salib utama terdiri dari empat pasukan yang berasal dari Perancis, German dan Normandia, dibawah pimpinan Godfrey dari Boullion, Bohemond dan Tancred (keduanya orang Normandia), Raymond dari Saint-Giles, dan Robert dari Flanders. Namun, Kaisar Byzantin Alexius tidak ingin tentara yang begitu banyak berada di Konstantinopel dan kemudian dikirimnya mereka ke Asia Minor sesuai dengan urutan kedatangan mereka. Sang Kaisar juga mensyaratkan agar kepala Pasukan bersumpah bahwa mereka akan mengembalikan tanah yang mereka rebut dari pihak Muslim yang dulunya adalah daerah Byzantine.


Pada Juni 1097, Nicea diambil alih oleh Byzantine dan para Prajurit Salib. Bulan berikutnya Prajurit Salib dan Byzantine mendapatkan kemenangan besar melawan Turki ketika mereka diserang di Dorylaeum. Kemajuan lebih lanjut cukup sulit dan nampaknya beberapa orang menjadi putus semangat. Salah satunya adalah Alexius, yang berjanji untuk membantu kota Antioka yang terkepung. Ketika sang Kaisar berhenti untuk berusaha, para Prajurit Salib merasa bahwa kewajiban untuk menyerahkan Dorylaeum kembali ke Kaisar, telah hilang karena sang Kaisar sendiri tidak mampu mempertahankannya (Alexus telah hilang semangat). Karena itu, saat Dorylaeum diambil alih pada Juni 1099, kota tersebut jatuh ke tangan orang Normandia.

Bulan berikutnya Fatimid Muslim dari Mesir mengambil alih kembali Yerusalem dari kaum Seljug Turky, jadi para Prajurit Salib melakukan serangan bukan kepada bangsa Turky. Ini terjadi pada 1099. Selama sebulan para Prajurit Salib, yang telah berkurang separuh dari kekuatan awal, mendirikan kemah disekeliling Yerusalem sementara Gubernur Fatimid menunggu bantuan tentara dari Mesir. Disisi lain Prajurit Salib mendapatkan persediaan makanan dan kebutuhan dari pelabuhan Jaffa dan memulai gerkan mereka.


Pada 8 Juli Prajurit Salib berpuasa dan berjalan dengan telanjang kaki mengelilingi kota menuju ke Gunung Zaitun (tempat Yesus mengalami Sakral Maut), dan pada tanggal 13, mereka mengepung tembok kota. Pada tanggal 15, beberapa prajurit berhasil melewati tembok dan membuka salah satu gerbang kota yang membuat pasukan utama mampu menyerbu kedalam. Di Menara Daud, Gubernur Fatimid menyerah dan diantar keluar dari kota. Dari dalam Mesjid Al-Agsa dekat Bukit Kuil (Temple Mount), Tacred, salah satu pimpinan Prajurit Salib, menjanjikan perlindungan bagi warga Muslim dan Yahudi di kota tersebut. Sayangnya, meskipun ada upaya tersebut, pembantaian tetap terjadi.


Bulan selanjutnya Prajurit Salib mengejutkan dan memukul balik pasukan bantuan dari Mesir yang dinanti-nanti Gubernur Fatimid. Prajurit Salib mengkokohkan kendali warga Kristen di Yerusalem, meskipun banyak kota pelabuhan masih berada dalam kendali Muslim. Kebanyakan Prajurit Salib kemudian pergi kembali ke rumah setelah merasa bahwa tujuan dan kaul mereka telah tercapai.


Sebagai hasil dari Perang Salib pertama, telah terbentuk empat negara bagian Kristen dari wilayah yang telah direbut Prajurit Salib: Kerajaan Jerusalem terdahulu, Principality Antioka (Prinsipality = daerah yang dikuasai pangeran/prince), Countship Edessa (Countship = daerah dalam kekuasaan Count. Count = semacam bangsawan) dan Countship Tripoli. Negara-negara bagian ini, yang menggunakan sistem feodal dalam konteks yang terlepas dari permusuhan lokal seperti yang terjadi di Eropa, telah disebut-sebut sebagai model administrasi Medieval. Namun, hubungan antara negara bagian, kekaisaran Byzantine dan daerah Muslim disekitarnya sering rumit.


Untuk mempertahankan negara-negara bagian baru ini, sebuah pasukan baru terbentuk –ordo-ordo Ksatria, seperti Hospitaleer oleh St John dari Yerusalem dan Templars. Ini adalah kelompok ksatria yang berkaul religius dan melakukan aturan-aturan religious.


Perang Salib kristen islam tidak akan terjadi bila Muhammad dan pengikutnya bisa menahan egoismenya untuk menguasai negara2 lain dan ingin meng-islamkan bangsa lain. Dari sejarah Perang Salib inilah kita tau bahwa bangsa imprealisme dan kolonialisme itu bukanlah datang dari bangsa barat, tetapi justru bangsa Arab itu sendiri yang imprealisme dan kolonialisme. Kejahatan islam masalalu, membuah keburukan hingga sekarang. Karena itu, Tuhan memakai tangan bangsa Israel untuk menghancurkan mereka, termasuk juga Tuhan memakai tangan2 bangsa Iran yang aliran Shia untuk terus menginvasi aliran2 Sunni dimana saja. Kita lihat orang2 Arab sekarang banyak yang hidup didunia barat (negara kristen), karena mereka memahami akan kekuatan Shia Iran yang bekerjasama dengan bangsa Israel. Kita jujur saja, yang menjadi jihad bunuh diri dimana saja dibelahan dunia, 99% semua berasal dari orang2 Sunni. Shia tidak pernah melakukan bom bunuh diri bagi bangsa lain.

MAXII

Perang Salib

Konsili Clermont, Paus Urbanus II berkotbah dan terdengar teriakan "Deus Vult!", "Allah menghendaki"
1099jerusalem.jpg
Seri Perang Salib
Perang Salib Pertama
Perang Salib Rakyat
Perang Salib Jerman, 1096
Perang Salib 1101
Perang Salib Kedua
Perang Salib Ketiga
Perang Salib Keempat
Perang Salib Albigensian
Perang Salib Anak-anak
Perang Salib Kelima
Perang Salib Keenam
Perang Salib Ketujuh
Perang Salib Gembala
Perang Salib Kedelapan
Perang Salib Kesembilan
Perang Salib Utara

Perang Salib adalah gerakan umat Kristen di Eropa yang memerangi umat Muslim di Palestina secara berulang-ulang mulai abad ke XI sampai abad ke XIII, yang berguna untuk membersihkan tanah suci dari kekuasaan kaum Muslim dan bermaksud mendirikan gereja dan kerajaan latin di Timur.[1] Dikatakan Salib, karena setiap orang Eropa yang ikut bertempur dalam peperangan memakai tanda salib pada bahu mereka.

Istilah ini juga digunakan untuk ekspedisi-ekspedisi kecil yang terjadi selama abad ke 16 di wilayah di luar Benua Eropa, biasanya terhadap kaum pagan dan kaum non-Kristiani untuk alasan campuran antara agama, ekonomi dan politik. Skema penomoran tradisional atas Perang Salib memasukkan 9 ekspedisi besar ke Tanah Suci selama Abad ke 11 sampai dengan Abad ke 13. “Perang Salib” lainnya yang tidak bernomor berlanjut hingga Abad ke 16 dan berakhir ketika iklim politik dan agama di Eropa berubah secara signifikan selama masa Renaissance.

Perang Salib pada hakikatnya bukan perang agama, melainkan perang merebut kekuasaan daerah. Hal ini dibuktikan bahwa tentara Salib dan tentara Muslim saling bertukar ilmu pengetahuan.

Perang Salib berpengaruh sangat luas terhadap aspek-aspek politik, ekonomi dan sosial, yang mana beberapa bahkan masih berpengaruh sampai masa kini. Karena konfilk internal antara kerajaan-kerajaan Kristen dan kekuatan-kekuatan politik, beberapa ekspedisi Perang Salib (seperti Perang Salib Keempat) bergeser dari tujuan semulanya dan berakhir dengan dijarahnya kota-kota Kristen, termasuk ibukota Byzantium, Konstantinopel-kota yang paling maju dan kaya di benua Eropa saat itu. Perang Salib Keenam adalah perang salib pertama yang bertolak tanpa restu resmi dari gereja Katolik, dan menjadi contoh preseden yang memperbolehkan penguasa lain untuk secara individu menyerukan perang salib dalam ekspedisi berikutnya ke Tanah Suci. Konflik internal antara kerajaan-kerajaan Muslim dan kekuatan-kekuatan politik pun mengakibatkan persekutuan antara satu faksi melawan faksi lainnya seperti persekutuan antara kekuatan Tentara Salib dengan Kesultanan Rum yang Muslim dalam Perang Salib Kelima.

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Situasi

[sunting] Situasi di Eropa

Asal mula ide perang salib adalah perkembangan yang terjadi di Eropa Barat sebelumnya pada Abad Pertengahan, selain itu juga menurunnya pengaruh Kekaisaran Byzantium di timur yang disebabkan oleh gelombang baru serangan Muslim Turki. Pecahnya Kekaisaran Carolingian pada akhir Abad Ke-9, dikombinasikan dengan stabilnya perbatasan Eropa sesudah peng-Kristen-an bangsa-bangsa Viking, Slav dan Magyar, telah membuat kelas petarung bersenjata yang energinya digunakan secara salah untuk bertengkar satu sama lain dan meneror penduduk setempat. Gereja berusaha untuk menekan kekerasan yang terjadi melalui gerakan-gerakan Pax Dei dan Treuga Dei. Usaha ini dinilai berhasil, akan tetapi para ksatria yang berpengalaman selalu mencari tempat untuk menyalurkan kekuatan mereka dan kesempatan untuk memperluas daerah kekuasaan pun menjadi semakin tidak menarik. Pengecualiannya adalah saat terjadi Reconquista di Spanyol dan Portugal, dimana pada saat itu ksatria-ksatria dari Iberia dan pasukan lain dari beberapa tempat di Eropa bertempur melawan pasukan Moor Islam, yang sebelumnya berhasil menyerang dan menaklukan sebagian besar Semenanjung Iberia dalam kurun waktu 2 abad dan menguasainya selama kurang lebih 7 abad.

Pada tahun 1063, Paus Alexander II memberikan restu kepausan bagi kaum Kristen Iberia untuk memerangi kaum Muslim. Paus memberikan baik restu kepausan standar maupun pengampunan bagi siapa saja yang terbunuh dalam pertempuran tersebut. Maka, permintaan yang datang dari Kekaisaran Byzantium yang sedang terancam oleh ekspansi kaum Muslim Seljuk, menjadi perhatian semua orang di Eropa. Hal ini terjadi pada tahun 1074, dari Kaisar Michael VII kepada Paus Gregorius VII dan sekali lagi pada tahun 1095, dari Kaisar Alexius I Comnenus kepada Paus Urbanus II.

Perang Salib adalah sebuah gambaran dari dorongan keagamaan yang intens yang merebak pada akhir abad ke-11 di masyarakat. Seorang tentara Salib, sesudah memberikan sumpah sucinya, akan menerima sebuah salib dari Paus atau wakilnya dan sejak saat itu akan dianggap sebagai “tentara gereja”. Hal ini sebagian adalah karena adanya Kontroversi Investiture, yang berlangsung mulai tahun 1075 dan masih berlangsung selama Perang Salib Pertama. Karena kedua belah pihak yang terlibat dalam Kontroversi Investiture berusaha untuk menarik pendapat publik, maka masyarakat menjadi terlibat secara pribadi dalam pertentangan keagamaan yang dramatis. Hasilnya adalah kebangkitan semangat Kristen dan ketertarikan publik pada masalah-masalah keagamaan. Hal ini kemudian diperkuat oleh propaganda keagamaan tentang Perang untuk Keadilan untuk mengambil kembali Tanah Suci – yang termasuk Yerusalem (dimana kematian, kebangkitan dan pengangkatan Yesus ke Surga terjadi menurut ajaran Kristen) dan Antioch (kota Kristen yang pertama) - dari orang Muslim. Selanjutnya, “Penebusan Dosa” adalah faktor penentu dalam hal ini. Ini menjadi dorongan bagi setiap orang yang merasa pernah berdosa untuk mencari cara menghindar dari kutukan abadi di Neraka. Persoalan ini diperdebatkan dengan hangat oleh para tentara salib tentang apa sebenarnya arti dari “penebusan dosa” itu. Kebanyakan mereka percaya bahwa dengan merebut Yerusalem kembali, mereka akan dijamin masuk surga pada saat mereka meninggal dunia. Akan tetapi, kontroversi yang terjadi adalah apa sebenarnya yang dijanjikan oleh paus yang berkuasa pada saat itu. Suatu teori menyatakan bahwa jika seseorang gugur ketika bertempur untuk Yerusalemlah “penebusan dosa” itu berlaku. Teori ini mendekati kepada apa yang diucapkan oleh Paus Urbanus II dalam pidato-pidatonya. Ini berarti bahwa jika para tentara salib berhasil merebut Yerusalem, maka orang-orang yang selamat dalam pertempuran tidak akan diberikan “penebusan”. Teori yang lain menyebutkan bahwa jika seseorang telah sampai ke Yerusalem, orang tersebut akan dibebaskan dari dosa-dosanya sebelum Perang Salib. Oleh karena itu, orang tersebut akan tetap bisa masuk Neraka jika melakukan dosa sesudah Perang Salib. Seluruh faktor inilah yang memberikan dukungan masyarakat kepada Perang Salib Pertama dan kebangkitan keagamaan pada abad ke-12.

[sunting] Situasi Timur Tengah

Keberadaan Muslim di Tanah Suci harus dilihat sejak penaklukan bangsa Arab terhadap Palestina dari tangan Kekaisaran Bizantium pada abad ke-7. Hal ini sebenarnya tidak terlalu memengaruhi penziarahan ke tempat-tempat suci kaum Kristiani atau keamanan dari biara-biara dan masyarakat Kristen di Tanah Suci Kristen ini. Sementara itu, bangsa-bangsa di Eropa Barat tidak terlalu perduli atas dikuasainya Yerusalem–yang berada jauh di Timur–sampai ketika mereka sendiri mulai menghadapi invasi dari orang-orang Islam dan bangsa-bangsa non-Kristen lainnya seperti bangsa Viking dan Magyar. Akan tetapi, kekuatan bersenjata kaum Muslimlah yang berhasil memberikan tekanan yang kuat kepada kekuasaan Kekaisaran Byzantium yang beragama Kristen Orthodox Timur.

Titik balik lain yang berpengaruh terhadap pandangan Barat kepada Timur adalah ketika pada tahun 1009, kalifah Bani Fatimiah, Al-Hakim bi-Amr Allah memerintahkan penghancuran Gereja Makam Suci (Church of The Holy Sepulchre). Penerusnya memperbolehkan Kekaisaran Byzantium untuk membangun gereja itu kembali dan memperbolehkan para peziarah untuk berziarah di tempat itu lagi. Akan tetapi, banyak laporan yang beredar di Barat tentang kekejaman kaum Muslim terhadap para peziarah Kristen. Laporan yang didapat dari para peziarah yang pulang ini kemudian memainkan peranan penting dalam perkembangan Perang Salib pada akhir abad itu.

[sunting] Penyebab Langsung

Penyebab langsung dari Perang Salib Pertama adalah permohonan Kaisar Alexius I kepada Paus Urbanus II untuk menolong Kekaisaran Byzantium dan menahan laju invasi tentara Muslim ke dalam wilayah kekaisaran tersebut. Hal ini dilakukan karena sebelumnya pada tahun 1071, Kekaisaran Byzantium telah dikalahkan oleh pasukan Seljuk yang dipimpin oleh Sulthan Alp Arselan di Pertempuran Manzikert, yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 40.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia. Dan kekalahan ini berujung kepada dikuasainya hampir seluruh wilayah Asia Kecil (Turki modern). Meskipun Pertentangan Timur-Barat sedang berlangsung antara gereja Katolik Barat dengan gereja Orthodox Timur, Alexius I mengharapkan respon yang positif atas permohonannya. Bagaimanapun, respon yang didapat amat besar dan hanya sedikit bermanfaat bagi Alexius I. Paus menyeru bagi kekuatan invasi yang besar bukan saja untuk mempertahankan Kekaisaran Byzantium, akan tetapi untuk merebut kembali Yerusalem, setelah Dinasti Seljuk dapat merebut Baitul Maqdis pada tahun 1078 dari kekuasaan dinasti Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir. Umat Kristen merasa tidak lagi bebas beribadah sejak Dinasti Seljuk menguasai Baitul Maqdis.

Ketika Perang Salib Pertama didengungkan pada tahun 1095, para pangeran Kristen dari Iberia sedang bertempur untuk keluar dari pegunungan Galicia dan Asturia, wilayah Basque dan Navarre, dengan tingkat keberhasilan yang tinggi, selama seratus tahun. Kejatuhan bangsa Moor Toledo kepada Kerajaan Leon pada tahun 1085 adalah kemenangan yang besar. Ketidakbersatuan penguasa-penguasa Muslim merupakan faktor yang penting dan kaum Kristen yang meninggalkan para wanitanya di garis belakang amat sulit untuk dikalahkan. Mereka tidak mengenal hal lain selain bertempur. Mereka tidak memiliki taman-taman atau perpustakaan untuk dipertahankan. Para ksatria Kristen ini merasa bahwa mereka bertempur di lingkungan asing yang dipenuhi oleh orang kafir sehingga mereka dapat berbuat dan merusak sekehendak hatinya. Seluruh faktor ini kemudian akan dimainkan kembali di lapangan pertempuran di Timur. Ahli sejarah Spanyol melihat bahwa Reconquista adalah kekuatan besar dari karakter Castilia, dengan perasaan bahwa kebaikan yang tertinggi adalah mati dalam pertempuran mempertahankan ke-Kristen-an suatu Negara.

[sunting] Perang

[sunting] Perang Salib I

Pada musim semi tahun 1095 M, 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Perancis dan Norman, berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini mereka mendirikan County Edessa dengan Baldawin sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai Antiochea dan mendirikan Kepangeranan Antiokhia di Timur, Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Baitul-Maqdis (15 Juli 1099 M) dan mendirikan Kerajaan Yerusalem dengan rajanya, Godfrey. Setelah penaklukan Baitul-Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M), Tripoli (1109 M) dan kota Tyre (1124 M). Di Tripoli mereka mendirikan County Tripoli, Rajanya adalah Raymond.

Selanjutnya, Syeikh Imaduddin Zanki pada tahun 1144 M, penguasa Moshul dan Irak, berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa. Namun ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya, Syeikh Nuruddin Zanki. Syeikh Nuruddin berhasil merebut kembali Antiokhia pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M, seluruh Edessa dapat direbut kembali.

[sunting] Perang Salib II

Kejatuhan County Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib kedua. Paus Eugenius III menyampaikan perang suci yang disambut positif oleh raja Perancis Louis VII dan raja Jerman Conrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Syeikh Nuruddin Zanki. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Conrad II sendiri melarikan diri pulang ke negerinya. Syeikh Nuruddin wafat tahun 1174 M. Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M, setelah berhasil mencegah pasukan salib untuk menguasai Mesir. Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali Yerusalem pada tahun 1187 M, setelah beberapa bulan sebelumnya dalam Pertempuran Hattin, Shalahuddin berhasil mengalahkan pasukan gabungan County Tripoli dan Kerajaan Yerusalaem melalui taktik penguasaan daerah. Dengan demikian berakhirlah Kerajaan Latin di Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir. Sehabis Yerusalem, tinggal Tirus merupakan kota besar Kerajaan Yerusalem yang tersisa. Tirus yang saat itu dipimpin oleh Conrad dari Montferrat berhasil sukses dari pengepungan yang dilakukan Shalahuddin sebanyak dua kali. Shalahuddin kemudian mundur dan menaklukan kota lain, seperti Arsuf dan Jaffa.

[sunting] Perang Salib III

Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum muslimin sangat memukul perasaan tentara salib. Mereka pun menyusun rencana balasan. Selanjutnya, tentara salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa raja Jerman, Richard the Lionheart raja Inggris, dan Philip Augustus raja Perancis memunculkan perang Salib III. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M dengan dua jalur berbeda. Pasukan Richard dan Philip melalui jalur laut dan pasukan Barbarossa-saat itu merupakan yang terbanyak di Eropa-melalui jalur darat, melewati Konstantinopel. Namun, Barbarossa meninggal di daerah Cilicia karena tenggelam di sungai, sehingga menyisakan Richard dan Philip. Sebelum menuju Tanah Suci, Richard dan Philip sempat menguasai Siprus dan mendirikan Kerajaan Siprus. Meskipun mendapat tantangan berat dari Shalahuddin, namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan Latin. Philip kemudian balik ke Perancis untuk "menyelesaikan" masalah kekuasaan di Perancis dan hanya tinggal Richard yang melanjutkan Perang Salib III. Richard tidak mampu memasuki Palestina lebih jauh, meski bisa beberapa kali mengalahkan Shalahuddin. Pada tanggal 2 Nopember 1192 M, dibuat perjanjian antara tentara salib dengan Shalahuddin yang disebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang pergi berziarah ke Baitul Maqdis tidak akan diganggu.

[sunting] Perang Salib IV

Pada tahun 1219 M, meleteus kembali peperangan yang dikenal dengan Perang Salib periode keenam, dimana tentara Kristen dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II, mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen Qibthi. Dalam serangan tersebut, mereka berhasil menduduki Dimyat, Raja Mesir dari Dinasti Ayyubiyah waktu itu, al-Malik al-Kamil, membuat penjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan Dimyat, sementara al-Malik al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum muslimin di sana, dan Frederick tidak mengirim bantuan kepada Kristen di Syria. Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1247 M, di masa pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa Mesir selanjutnya.

Ketika Mesir dikuasai oleh dinasti Mamalik yang menggantikan posisi Daulah Ayyubiyyah, pimpinan perang dipegang oleh Baybars, Qalawun dan Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah. Pada masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1291 M. Demikianlah Perang Salib yang berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol, sampai umat Islam terusir dari sana.

[sunting] Kondisi Sesudah Perang Salib

Perang Salib Pertama melepaskan gelombang semangat perasaan paling suci sendiri yang diekspresikan dengan pembantaian terhadap orang-orang Yahudi yang menyertai pergerakan tentara Salib melintasi Eropa dan juga perlakuan kasar terhadap pemeluk Kristen Orthodox Timur. Kekerasan terhadap Kristen Orthodox ini berpuncak pada penjarahan kota Konstantinopel pada tahun 1024, dimana seluruh kekuatan tentara Salib ikut serta. Selama terjadinya serangan-serangan terhadap orang Yahudi, pendeta lokal dan orang Kristen berupaya melindungi orang Yahudi dari pasukan Salib yang melintas. Orang Yahudi seringkali diberikan perlindungan di dalam gereja atau bangunan Kristen lainnya, akan tetapi, massa yang beringas selalu menerobos masuk dan membunuh mereka tanpa pandang bulu.

Pada abad ke-13, perang salib tidak pernah mencapai tingkat kepopuleran yang tinggi di masyarakat. Sesudah kota Acra jatuh untuk terakhir kalinya pada tahun 1291 dan sesudah penghancuran bangsa Occitan (Perancis Selatan) yang berpaham Catharisme pada Perang Salib Albigensian, ide perang salib mengalami kemerosotan nilai yang diakibatkan oleh pembenaran lembaga Kepausan terhadap agresi politik dan wilayah yang terjadi di Katolik Eropa.

Orde Ksatria Salib mempertahankan wilayah adalah orde Knights Hospitaller. Sesudah kejatuhan Acra yang terakhir, orde ini menguasai Pulau Rhodes dan pada abad ke-16 dibuang ke Malta. Tentara-tentara Salib yang terakhir ini akhirnya dibubarkan oleh Napoleon Bonaparte pada tahun 1798.

[sunting] Peninggalan

[sunting] Benua Eropa

Perang Salib selalu dikenang oleh bangsa-bangsa di Eropa bagian Barat dimana pada masa Perang Salib merupakan negara-negara Katolik Roma. Sungguh pun demikian, banyak pula kritikan pedas terhadap Perang Salib di negara-negara Eropa Barat pada masa Renaissance.

[sunting] Politik dan Budaya

Perang Salib amat memengaruhi Eropa pada Abad Pertengahan. Pada masa itu, sebagian besar benua dipersatukan oleh kekuasaan Kepausan, akan tetapi pada abad ke-14, perkembangan birokrasi yang terpusat (dasar dari negara-bangsa modern) sedang pesat di Perancis, Inggris, Burgundi, Portugal, Castilia dan Aragon. Hal ini sebagian didorong oleh dominasi gereja pada masa awal perang salib.

Meski benua Eropa telah bersinggungan dengan budaya Islam selama berabad-abad melalui hubungan antara Semenanjung Iberia dengan Sisilia, banyak ilmu pengetahuan di bidang-bidang sains, pengobatan dan arsitektur diserap dari dunia Islam ke dunia Barat selama masa perang salib.

Pengalaman militer perang salib juga memiliki pengaruh di Eropa, seperti misalnya, kastil-kastil di Eropa mulai menggunakan bahan dari batu-batuan yang tebal dan besar seperti yang dibuat di Timur, tidak lagi menggunakan bahan kayu seperti sebelumnya. Sebagai tambahan, tentara Salib dianggap sebagai pembawa budaya Eropa ke dunia, terutama Asia.

Bersama perdagangan, penemuan-penemuan dan penciptaan-penciptaan sains baru mencapai timur atau barat. Kemajuan bangsa Arab termasuk perkembangan aljabar, lensa dan lain lain mencapai barat dan menambah laju perkembangan di universitas-universitas Eropa yang kemudian mengarahkan kepada masa Renaissance pada abad-abad berikutnya.

[sunting] Perdagangan

Kebutuhan untuk memuat, mengirimkan dan menyediakan balatentara yang besar menumbuhkan perdagangan di seluruh Eropa. Jalan-jalan yang sebagian besar tidak pernah digunakan sejak masa pendudukan Romawi, terlihat mengalami peningkatan disebabkan oleh para pedagang yang berniat mengembangkan usahanya. Ini bukan saja karena Perang Salib mempersiapkan Eropa untuk bepergian akan tetapi lebih karena banyak orang ingin bepergian setelah diperkenalkan dengan produk-produk dari timur. Hal ini juga membantu pada masa-masa awal Renaissance di Itali, karena banyak negara-kota di Itali yang sejak awal memiliki hubungan perdagangan yang penting dan menguntungkan dengan negara-negara Salib, baik di Tanah Suci maupun kemudian di daerah-daerah bekas Byzantium.

Pertumbuhan perdagangan membawa banyak barang ke Eropa yang sebelumnya tidak mereka kenal atau amat jarang ditemukan dan sangat mahal. Barang-barang ini termasuk berbagai macam rempah-rempah, gading, batu-batu mulia, teknik pembuatan barang kaca yang maju, bentuk awal dari mesiu, jeruk, apel, hasil-hasil tanaman Asia lainnya dan banyak lagi.

Keberhasilan untuk melestarikan Katolik Eropa, bagaimanapun, tidak dapat mengabaikan kejatuhan Kekaisaran Kristen Byzantium, yang sebagian besar diakibatkan oleh kekerasan tentara Salib pada Perang Salib Keempat terhadap Kristen Orthodox Timur, terutama pembersihan yang dilakukan oleh Enrico Dandolo yang terkenal, penguasa Venesia dan sponsor Perang Salib Keempat. Tanah Byzantium adalah negara Kristen yang stabil sejak abad ke-4. Sesudah tentara Salib mengambil alih Konstantinopel pada tahun 1204, Byzantium tidak pernah lagi menjadi sebesar atau sekuat sebelumnya dan akhirnya jatuh pada tahun 1453.

Melihat apa yang terjadi terhadap Byzantium, Perang Salib lebih dapat digambarkan sebagai perlawanan Katolik Roma terhadap ekspansi Islam, ketimbang perlawanan Kristen secara utuh terhadap ekspansi Islam. Di lain pihak, Perang Salib Keempat dapat disebut sebuah anomali. Kita juga dapat mengambil suatu kompromi atas kedua pendapat di atas, khususnya bahwa Perang Salib adalah cara Katolik Roma utama dalam menyelamatkan Katolikisme, yaitu tujuan yang utama adalah memerangi Islam dan tujuan yang kedua adalah mencoba menyelamatkan ke-Kristen-an, dalam konteks inilah, Perang Salib Keempat dapat dikatakan mengabaikan tujuan yang kedua untuk memperoleh bantuan logistik bagi Dandolo untuk mencapai tujuan yang utama. Meski begitu, Perang Salib Keempat ditentang oleh Paus pada saat itu dan secara umum dikenang sebagai suatu kesalahan besar.

[sunting] Dunia Islam

Perang salib memiliki efek yang buruk tetapi terlokalisir pada dunia Islam. Dimana persamaan antara “Bangsa Frank” dengan “Tentara Salib” meninggalkan bekas yang amat dalam. Muslim secara tradisional mengelu-elukan Saladin, seorang ksatria Kurdi, sebagai pahlawan Perang Salib. Pada abad ke-21, sebagian dunia Arab, seperti gerakan kemerdekaan Arab dan gerakan Pan-Islamisme masih terus menyebut keterlibatan dunia Barat di Timur Tengah sebagai “perang salib”. Perang Salib dianggap oleh dunia Islam sebagai pembantaian yang kejam dan keji oleh kaum Kristen Eropa.

Konsekuensi yang secara jangka panjang menghancurkan tentang perang salib, menurut ahli sejarah Peter Mansfield, adalah pembentukan mental dunia Islam yang cenderung menarik diri. Menurut Peter Mansfield, “Diserang dari berbagai arah, dunia Islam berpaling ke dirinya sendiri. Ia menjadi sangat sensitive dan defensive……sikap yang tumbuh menjadi semakin buruk seiring dengan perkembangan dunia, suatu proses dimana dunia Islam merasa dikucilkan, terus berlanjut.”

[sunting] Komunitas Yahudi

Ilustrasi dalam Injil Perancis dari tahun 1250 yang menggambarkan pembantaian orang Yahudi (dikenali dari topinya yakni Judenhut) oleh tentara Salib

Kekerasan tentara Salib terhadap bangsa Yahudi di kota-kota di Jerman dan Hongaria, belakangan juga terjadi di Perancis dan Inggris, dan pembantaian Yahudi di Palestina dan Syria menjadi bagian yang penting dalam sejarah Anti-Semit, meski tidak ada satu perang salib pun yang pernah dikumandangkan melawan Yahudi. Serangan-serangan ini meninggalkan bekas yang mendalam dan kesan yang buruk pada kedua belah pihak selama berabad-abad. Posisi sosial bangsa Yahudi di Eropa Barat semakin merosot dan pembatasan meningkat selama dan sesudah Perang Salib. Hal ini memuluskan jalan bagi legalisasi Anti-Yahudi oleh Paus Innocentius III dan membentuk titik balik bagi Anti-Semit abad pertengahan.

Periode perang salib diungkapkan dalam banyak narasi Yahudi. Di antara narasi-narasi itu, yang terkenal adalah catatan-catatan Solomon bar Simson dan Rabbi Eliezer bar Nathan, “The Narrative of The Old Persecution” yang ditulis oleh Mainz Anonymus dan “Sefer Zekhirah” dan “The Book of Remembrance” oleh Rabbi Ephrain dari Bonn.

[sunting] Pegunungan Kaukasus

Di Pegunungan Kaukasus di Georgia, di dataran tinggi Khevsureti yang terpencil, ada sebuah suku yang disebut Khevsurs yang dianggap merupakan keturunan langsung dari sebuah kelompok tentara salib yang terpisah dari induk pasukannya dan tetap dalam keadaan terisolasi dengan sebagian budaya perang salib yang masih utuh. Memasuki abad ke-20, peninggalan dari baju perang, persenjataan dan baju rantai masih digunakan dan terus diturunkan dalam komunitas tersebut. Ahli ethnografi Rusia, Arnold Zisserman, yang menghabiskan 25 tahun (1842 – 1862) di pegunungan Kaukasus, percaya bahwa kelompok dari dataran tinggi Georgia ini adalah keturunan dari tentara Salib yang terakhir berdasarkan dari kebiasaan, bahasa, kesenian dan bukti-bukti yang lain. Penjelajah Amerika Richard Halliburton melihat dan mencatat kebiasaan suku ini pada tahun 1935.

[sunting] Referensi

  1. ^ (Indonesia)M. Yahya Harun. 1987. Perang Salib dan Pengaruh Islam di Eropa. Yogyakarta: CV. Bina Usaha Yogyakarta. Hlm. 4.
  • Carole Hillenbrand, The Crusades, Islamic Perspectives. New York, 2000.
  • P.M. Holt, The Age of the Crusades: The Near East from the Eleventh Century to 1517. New York, 1986.
  • Hans E. Mayer, The Crusades. Oxford, 1965.
  • Jonathan Riley-Smith, The First Crusade and the Idea of Crusading. Philadelphia, 1986.
  • Jonathan Riley-Smith, The Oxford History of the Crusades. Oxford, 1995.
  • As-Suyuthi, Imam, Tarikh Khulafa': Sejarah Para Penguasa Islam. Jakarta: Al-Kautsar, 2006. ISBN 979-592-175-4.

copyrigt; Juned Topan.. Diberdayakan oleh Blogger.