This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 30 Juli 2011

Sepintas Sejarah Perpolitikan INDONESIA

oleh:Ali Dzulfikar

Kekuasaan yang ada saat ini tidak terlepas dari perjalanan politik di masa lalu. Hadirnya penguasa ataupun para oposan tidak serta merta muncul tanpa proses politik. Mereka muncul setelah melalui proses panjang sejarah yang dilaluinya lewat political struggle (pertarungan politik), ideology diffuses (pembauran ideologi), international conspiracy (konspirasi internasional), serta aksi-aksi politik lainnya. Hingga akhirnya seperti layaknya hukum barbar, siapa yang kuat maka merekalah yang bertahan. Dan yang kalah mereka melakukan gerakan bawah tanah atau muncul dengan varians baru yang telah melalui berbagai penyesuaian ideologi dan pandangan politik.

- Pra Kemerdekaan

Munculnya gerakan politik modern di Indonesia diawali dengan kebijakan Pemerintah Kerajaan Belanda untuk melaksanakan Politik Etis di wilayah jajahannya. Setelah kebangkrutan VOC (perusahaan Belanda yang memegang hak monopoli dalam pengeloloahan daerah jajahan di Nusantara) dan perjalanan menyakitkan ketika Belanda menerapkan kebijakan Culture Stelsel, Politik Etis mampu dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat pribumi. Dari mulai didirikannya sekolah-sekolah modern hingga hak untuk berserikat mampu memunculkan semangat terutama generasi muda dalam beraktifitas di dunia politik. Diawali oleh ISDF (1897) pimpinan Sneevelt (Sosialis) kemudian diikuti SDI (1905) pimpinan H.Samanhudi (Islam), Budi Utomo (1908) (Nasionalis) dan organisasi massa lainnya, hingga akhirnya Belanda memberikan hak berpolitik formal secara kooperatif lewat Volksraad (semacam DPR).

Berikutnya muncul 3 kelompok kekuatan Politik di Indonesia, diantaranya adalah :

Islam, SI (Syarikat Islam)
Nasionalis, PI (Perhimpunan Indonesia), PNI (Partai Nasionalis Indonesia)
Marxis, Banyak bergerak di bawah tanah, ISDV sendiri dibubarkan karena terlibat pemberontakan buruh, kemudian menyusup ke Syarikat Islam cabang Semarang membentuk SI Merah (cikal bakal PKI).

Pada akhirnya banyak dari organisasi yang ada melakukan pembauran ideology karena interaksi diantara mereka. Akan tetapi pada masa berikutnya mereka kemudian memisahkan diri membentuk kelompok masing-masing. Sebagai contoh Masyumi (Majelis Syuro Muslimin) merupakan satu-satunya partai yang menghimpun kekuatan Islam, kemudian beberapa tahun kemudian PSII memisahkan diri diikuti oleh NO (Nahdlatoel Oelama, NU sekarang) pada tahun berikutnya.

Yang paling menarik adalah semangat yang muncul dikarenakan kebangkitan Asia dengan menggunakan symbol Negara Jepang. Setelah Restorasi Meiji Jepang menjadi kekuatan baru di Asia, mengalahkan tentara Rusia pada tahun 1905 menjadikan Jepang sebagai idola bagi kaum Nasionalis. Dan Pemuda Soekarno adalah salah satu contoh diantara kaum Nasionalis yang menjadi Agen Jepang. Jepang menggunakan kemampuan rethorika Soekarno untuk meyakinkan rakyat Indonesia menerima Jepang sebagai penjajah mereka. Seluruh program penjajahan Jepang dijembatani oleh kaum Nasionalis (yang rata-rata memempunyai kemampuan rethorika yang tinggi) untuk diterapkan di Indonesia. Soekarno sebagai boneka terdekat Jepang akhirnya menerima pembalasan setimpal ketika bersama kaum Nasionalis lainnya dipersiapkan untuk mempersiapkan Kemerdekaan Indonesia (setelah Jepang meyakini bahwa mereka kalah Perang). Kenapa Jepang memilih kaum Nasionalis menjadi pelanjut dalam estapeta kepemimpinan di Indonesia? Karena kaum Nasionalis-lah yang paling dekat dengan ideology mereka yang ultra Nasionalis/Fasis (pelanjut idea Pan Asia) dibandingkan dengan Islam atau Marxis. Islam yang beberapakali melakukan pemberontakan terhadap Jepang (atas penolakan beberapa program Jepang) mempunyai ideology yang bertentangan dengan Nasionalisme dan kaum Marxis yang merupakan musuh utama mereka di Cina, mempunyai program tersendiri untuk program internasionalnya.

Soekarno dan kaum Nasionalis lainnya akhirnya mampu memanfaatkan kedekatan mereka dengan Jepang, dan berdirilah Republik Indonesia yang pada dasarnya tidak diakui oleh seluruh rakyat Indonesia.

- Era Soekarno

Keberhasilan kaum Nasionalis dalam mendirikan sebuah Negara tidak terlepas dari munculnya pribadi Soekarno yang mampu meyakinkan beberapa aktivis gerakan lainnya yang sebenarnya berbeda ideology seperti dari Sosialis Barat (Sutan Syahrir, Syafrudin Prawiranegara) dari Islam (Wahid Hasyim, Abikusno Cokrosuyoso), Marxis (Tan Malaka, Semaun) untuk tidak menolak berdirinya Negara Republik Indonesia. Akan tetapi pada akhirnya setelah Negara berdiri kalangan yang masih memegang teguh ideology asli mereka dengan serta merta menolak eksistensi Republik Indonesia terutama setelah loby politik yang gagal pada perjanjinan Renville (1948) dimana territorial Republik hanya tinggal sebatas Jogja.

Dengan kosongnya territorial diluar itu (status quo) Partai Komunis Indonesia (Marxis Leninisme) akhirnya memproklamasikan berdirinya Negara Komunis Indonesia di Madiun yang dimotori kader utama mereka yang baru pulang dari pengkaderan di Moskow, Muso. Sedangkan SM Kartosuwirjo yang didukung oleh sebagian kader Masyumi yang konsisten terhadap Ideologi Islam, Hizbullah, Sabilillah, GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia), para Ulama di Jawa Barat, dan berbagai elemen masyarakat lainnya mendirikan Negara Islam Indonesia. Kemudian diikuti oleh Aceh dan Sumatra, Kalimantan, Sulawesi (Maluku+NTB).

Berbeda dengan Negara Islam Indonesia yang tidak pernah menyerah hingga Imam Asy Syahid Kartosuwirjo di eksekusi, Komunis setelah kegagalan pendirian negaranya maka kader-kader berikutnya malah bergabung dengan Republik Indonesia dengan mengaktifkan kembali Partai Komunis Indonesia melakukan strategi politik kooperatif (untuk mempersiapkan kudeta di kemudian hari).

Setelah Soekarno muncul menjadi rejim Diktator, Soekarno merangkul empat kekuatan besar untuk berkoalisi dalam cabinet berkaki 4 yang mencerminkan dominasi mereka, Masyumi, NO/NU, PNI, PKI. Toh pada akhirnya mereka tidak pernah berhasil disatukan dalam koalisi yang kompak.

Masyumi bersama PSI akhirnya terlibat pemberontakan PRRI/Semesta dan kemudian diikuti oleh PKI yang bersaing ketat dengan militer (sekutu CIA /Amerika) dan mengakibatkan jatuhnya Soekarno dalam kudeta halus para Jendral pro Amerika. Kemudian memunculkan sosok Jendral Soeharto sebagai rejim baru di Republik.

- Era Soeharto

Soeharto yang mendapat julukan The Smiling General merupakan politikus bertangan dingin ahli strategi yang mampu mengorbankan temannya demi kepentingan kelanggengan kekuasaanya. Mempunyai jargon politik pamungkas Asas Tunggal (Pancasila) untuk menghancurkan semua lawan-lawan politiknya. Dengan back up badan intelegent yang kuat dan dukungan Amerika mampu menjadikan politik Indonesia melalui masa paling suram dalam sejarah berdirinya Negara ini. Dengan politik propaganda pembentukan stigma terhadap dua lawan politik terbesar (Komunis dan Islam) Soeharto mampu bertahan hingga hampir 30 tahun meski harus berdarah-darah.

Saat memimpin Soeharto yang didukung penuh oleh militer memberlakukan konsep kenegaraan mirip Negara komunis. Partai politik secara bertahap di eliminir hingga 10 partai yang kemudian pada tahun 1977 menjadi 3, itupun kemudian di interfensi secara ideologis melalui asas tunggal, hingga praktis dua partai politik menjadi partai boneka saja. Parlemen di kebiri hak-hak politiknya hingga tidak pernah muncul oposisi, jika saja ada partai, atau anggotanya yang tidak sefaham dengan manifesto politik Soeharto, maka mereka akan ditarik dari arena. Soeharto layaknya The God Father (pimpinan mafia) adalah sosok yang tidak terbantahkan. Praktis pada saat itu seluruh kekuatan politik melakukan under ground movement (gerakan bawah tanah) untuk menghindar konfrontasi langsung selama belum kuat. Akan tetapi keahlian Soeharto dalam bidang militer sebagai ahli strategi, mampu membongkar beberapa gerakan sebelum besar, dengan melalui penyusupan kader-kader intelegent, memancing gerakan untuk terbuka, memberlakukan beberapa daerah rawan menjadi daerah operasi militer, dll.

Kediktatoran Soeharto akhirnya mulai melemah setelah beberapa kelompok pendukung utama mulai tidak loyal dan menjauh. Akhirnya Soeharto hanya mempunyai politikus-politikus oportunis yang didukung oleh floating mass (masa mengambang/tidak idealis). Nepotisme didalam tubuh militer mengakibatkan terjadinya konflik internal antar kubu yang mencoba untuk lebih mendominasi antara satu dengan yang lainnya. Dilain pihak gerakan bawah tanah dari beberapa kelompok politik malah semakin menguat, diantaranya adalah Marxis/Marhaenis (PDI-Megawati, LSM-LSM kiri), Islam (Tarbiyah, eks Masyumi, Kebangsaan/NU non pemerintah), Liberal (LSM-LSM barat). Dengan konspirasi Amerika yang tidak terdeteksi, akhirnya Soeharto berhasil digulingkan dengan kudeta tak berdarah oleh kelompok yang mengatasnamakan dirinya kaum reformer (lebih tepatnya sebagai kelompok “anti Soeharto yang ingin berkuasa”) didukung penuh oleh Amerika mereka berhasil merubah Republik dari setengah Komunis menjadi Kapitalis Liberal.

- Paska Reformasi

Liberalisasi Politik yang dilakukan oleh kaum Reformis berhasil memunculkan berbagai kekuatan politik yang ada di Republik Indonesia, dari politikus idealis hingga politikus oportunis berhasil mengekspresikan idea politik mereka demi posisi di eksekutif maupun legislatif dari pusat hingga desa-desa. Perubahan baru yang mengalihkan aliran dana dari kroni-kroni Soeharto berubah menyebar ke seluruh daerah yang pada dasarnya jauh lebih boros dan memunculkan lebih banyak jenis kroni dan Soeharto-soeharto baru. Para penguasa betul-betul membagi habis jatah rakyat demi kemunculan raja-raja baru tanpa idealism dan empati.

Pada awalnya liberalisasi politik berhasil memunculkan harapan nisbi bagi kaum idealis baik nasionalis, marxis, maupun islam. Mereka bebas membentuk partai tanpa syarat-syarat ketat, tetapi pada akhirnya euphoria tersebut hilang. Mereka kaum idealis itu lupa, bahwa Liberalisasi yang ada adalah Liberalisasi gaya America, Liberal Kapitalisme. Idealisme yang dapat diterima adalah yang berdasarkan Kapitalisme. Paradigm yang harus dimunculkan adalah untung rugi, kekuatan uang. Rakyat yang juga terdoktrin oleh bahasa-bahasa kaum berjuis berhasil terbawa arus dan menjadikan politik sebagai lahan subur untuk mengisi perut mereka yang lapar. Yang berhasil berkuasa didalam system kapitalis ini adalah mereka yang mempunyai cukup uang untuk menyumpal mulut-mulut yang sudah tidak perduli lagi dengan mimpi ideologis. Dan jadilah tatanan politik di Republik saat ini tidak jauh berbeda dengan perusahaan besar yang merupakan gabungan dari perusahaan-perusahaan kecil (Holding Company). Politikus layaknya bisnisman-bisnisman yang didalam otaknya hanya tertera kata ”profit”, “investasi”, “asset”, dan kata sejenis lainnya. Sedangkan “Rakyat”, itu hanya sebuah kata kunci saat kampanye politik 5 tahun sekali.

Kamis, 28 Juli 2011

Pengertian Kloning Gen,Manusia dan menurut agama islam

Kloning; pengertian sederhanya adalah cangkok; yaitu penggabungan
unsur-unsur hayati dua atau lebih untuk memperoleh manfaat tertentu. Di
bidang biologi molekuler, pengertian kloning ini sering dikonotasikan
dengan teknologi penggabungan fragment (potongan) DNA, sehingga
pengertiannya identik dengan teknologi rekombinan DNA atau rekayasa
genetik. Namun pengertian di luar itu juga masih tetap digunakan,
misalnya kloning domba dsb, yang merupakan “penggabungan” unsur inti sel dengan sel telur tanpa inti. Dengan demikian teknologi kloning ini juga termasuk dalam wacana bioteknologi; malah bisa dikatakan sebagai hal yang mendasar untuk bioteknologi.

Teknologi kloning memang memungkinkan untuk dikembangakan ke arah
rekayasa pembuatan jaringan atau organ tertentu. Namun mesti memperhatikan masalah etik (mungkin ada yang punya pandangan tertentu mengenai etika ini?
Ditinjau dari segi ajaran agama, misalnya?). Mengenai rekayasa darah
untuk keperluan transfusi, meskipun sel darahnya sendiri bisa diusahakan
melalui teknologi kloning (melalui stimulasi hematopoietic progenitors, atau
dari stem cells-nya), namun mesti juga harus memperhatikan komponen-komponen lainnya selain komponen sel-sel darah.

Pengertian kloning:Kloning adalah teknik membuat keturunan derngan kode genetik yang sama dengan induknya, pada manusia kloning dilakukan dengan mempersiapkan sel telur yang sudah di ambil intinya lalu disatukan dengan sel somatic dari suatu organ tubu, kemudian hasilnya ditanamkan dalam rahim seperti halnya pada bayi tabung.
Macam-macam teknik pengkloningan: kloning dapat dilakukan terhadap semua makhluk hidup tumbuhan,hewandan manusia.Pada tumbuhan kloning dapat dilakukan dengan tekhink okulasi,sedangkan pada hewan dan manusia,ada beberapa tekhnik-tekhnik yan dapat dilakukan, kloning ini dapat berupa kloning embrio dan kloning hewan atau manusia itu sendiri.
kloning terhadap hewan atau tumbuhan jika memiliki daya guna bagi kehidupan manusi maka hukumnya mubah/boleh dalilnya : Q.S. Al-Baqoroh:29,Q.S. Al-Jatsiyah
berdasarkan pengalaman yang telah dilakukan beberapa ulama’ dapat di ketahui mafsadat dari kloning lebih banyak daripada maslahatnya. oleh karna itu,praktek kloning manusia bertentangan dengan hukum islam dengan demikian kloning manusia dalam islam hukumnya haram.Dalil-dalil keharaman.:Q.S. An-Najm:45-46, Q.S. Al-Qiyamah:37-38,Q.S.Al-Hujurat:13,Q.S.Al-Ahzab:5,Q.S.Al-Israa’:70,Q.S.At-tiin:4

RUNTUHNYA TEORI EVOLUSI DALAM 20 PERTANYAAN




9.MENGAPA ANGGAPAN "KLONING MEMBUKTIKAN KEBENARAN EVOLUSI" ADALAH SUATU TIPUAN?


Kemajuan ilmiah seperti kloning tak ada kaitannya sama sekali dengan evolusi. Oleh sebab itu, pertanyaan "apakah kemajuan teknologi seperti kloning membuktikan kebenaran evolusi?" sebenarnya mengungkapkan adanya propaganda murahan yang dilakukan kaum evolusionis agar masyarakat menerima teori ini. Kloning tidak memiliki keterkaitan dengan teori evolusi, karenanya bukanlah menjadi bidang bahasan evolusionis profesional. Walaupun demikian, sebagian pendukung fanatik evolusi yang bersedia melakukan apa saja, terutama dari kalangan media massa, mencoba menjadikan masalah yang sama sekali tidak berkaitan seperti kloning, sebagai bahan propaganda evolusi.


Kloning adalah langkah penggandaan (membuat tiruan yang sama persis dari) suatu makhluk hidup dengan menggunakan kode DNA makhluk tersebut. Kloning adalah proses biologi yang tidak ada kaitannya dengan evolusi. Di sini tidak dihasilkan spesies atau organ baru, maupun perubahan atau perkembangan.


APA SEBENARNYA ARTI MELAKUKAN KLONING PADA MAKHLUK HIDUP?

DNA makhluk hidup yang akan digandakan (dibuat tiruannya), diambil dari sel tubuh bagian mana saja dari organisme yang dimaksud. DNA tersebut lalu diletakkan di dalam sel telur makhluk hidup lain dari spesies yang sama. Segera setelah itu, telur diberikan kejutan (listrik - penerj.) sehingga telur tersebut langsung mulai membelah diri. Embrio yang dihasilkan kemudian diletakkan dalam rahim suatu makhluk hidup, tempat di mana embrio tersebut akan terus membelah diri. Para ilmuwan lalu menantikan perkembangan dan kelahiran embrio tersebut.


MENGAPA KLONING TIDAK MEMILIKI KAITAN APA PUN DENGAN EVOLUSI?

Baru-baru ini, kloning telah menjadi masalah penting bagi para ilmuwan. Meskipun kloning adalah proses biologis yang dilaksanakan dalam kerangka hukum yang diketahui, kaum evolusionis berusaha mengambil alih dengan harapan besar bahwa hal tersebut akan memperkuat teori mereka - hal yang selalu mereka lakukan setiap kali ada kemajuan atau penemuan ilmiah. Berbagai media pendukung ideologi teori evolusi telah menampilkannya sebagai berita utama, dilengkapi berbagai slogan pendukung evolusi. Meskipun tidak berdasar ilmiah, dalam berbagai debat, kaum Darwinis berusaha menggunakan kloning sebagai bukti evolusi. Namun kloning jelas tak ada hubungannya dengan evolusi. Masyarakat ilmiah bahkan tidak menanggapi usaha menggelikan ini secara serius. Kanan: Sebuah gambar tentang proses kloning, diambil dari terbitan ilmiah.

Penggandaan, atau membuat tiruan yang sama persis, berarti memasukkan informasi genetis yang sudah ada ke dalam mekanisme perkembangbiakan suatu makhluk hidup yang juga sudah lebih dulu ada. Proses ini tidak menghasilkan informasi genetis atau mekanisme baru.

Kloning dan evolusi adalah dua konsep yang amat berbeda. Teori evolusi dibangun atas dasar anggapan yang menyatakan bahwa materi tak-hidup berubah menjadi materi hidup secara kebetulan. (Tak ada bukti ilmiah sedikit pun bahwa hal ini dapat terjadi.) Kloning, sebaliknya, adalah menghasilkan salinan makhluk hidup dengan menggunakan bahan genetis dari sel makhluk itu sendiri. Organisme baru itu berasal dari satu sel tunggal. Proses biologis dipindahkan ke laboratorium dan berulang di sana. Dengan kata lain, tak ada apa pun dalam proses semacam itu yang terjadi secara kebetulan - yang merupakan dasar teori evolusi - juga bukan "materi tak-hidup yang menjadi hidup".

Proses kloning sama sekali bukanlah bukti evolusi. Namun sebaliknya, adalah bukti suatu hukum biologi yang sama sekali meniadakan evolusi. Hukum tersebut adalah kaidah terkenal yang menyatakan bahwa "kehidupan hanya dapat berasal dari kehidupan", yang dikemukakan oleh ilmuwan ternama Louis Pasteur di akhir abad kesembilan belas. Digunakannya kloning sebagai bukti evolusi, meskipun kenyataan menunjukkan sebaliknya, menunjukkan adanya penipuan yang dilakukan media massa.

Kemajuan dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan selama 30 tahun terakhir menunjukkan kemunculan makhluk hidup tidak bisa dijelaskan sebagai peristiwa kebetulan. Kesalahan ilmiah evolusionis, serta pernyataan sepihak, telah didokumentasi dengan baik, dan teori evolusi tidak bisa dipertahankan dalam lingkup ilmiah. Fakta ini telah memaksa para evolusionis untuk mencari penyelesaian di bidang lain. Oleh sebab itu dalam beberapa tahun terakhir, secara fanatik, kemajuan ilmiah seperti kloning dan bayi tabung telah digunakan sebagai bukti evolusi.

Kaum evolusionis tidak lagi dapat berbicara kepada masyarakat atas nama ilmu pengetahuan. Hal ini menyebabkan mereka berlindung di balik kesenjangan pemahaman ilmiah yang ada di masyarakat. Mereka berharap cara ini akan memperpanjang masa berlaku teori evolusi, meskipun hal ini hanya akan menyebabkan teori ini lebih terpuruk lagi. Seperti halnya kemajuan ilmiah lainnya, kloning adalah kemajuan ilmiah teramat penting dan menyingkapkan bukti yang mengungkapkan fakta penciptaan mahluk hidup.


PEMAHAMAN KELIRU LAINNYA TENTANG KLONING

Salah paham lain yang sering terjadi di kalangan orang awam adalah kloning dapat "menciptakan manusia". Akan tetapi, kloning tidak dapat diartikan demikian. Kloning merupakan penambahan informasi genetis yang telah tersedia, ke dalam mekanisme reproduksi yang juga telah ada sebelumnya. Dalam proses ini tidak terjadi penciptaan mekanisme ataupun informasi genetis yang baru. Informasi genetis diambil dari seseorang yang sudah ada sebelumnya dan kemudian disisipkan ke dalam rahim seorang wanita.Hal ini menyebabkan anak yang nantinya dilahirkan merupakan "kembar identik" dari orang yang menjadi sumber informasi genetisnya.

Banyak orang, yang tidak sepenuhnya memahami kloning, memiliki gagasan-gagasan yang tidak masuk akal. Sebagai contoh, mereka membayangkan sebuah sel yang diambil dari seorang lelaki berusia 30 tahun, dapat menjadi seorang lelaki berusia 30 tahun pula dalam hari yang sama. Hal semacam ini hanya ada di dalam fiksi ilmiah, dan tidak mungkin, serta takkan pernah dapat terlaksana. Kloning pada dasarnya adalah menyebabkan lahirnya seorang "kembar identik" melalui metoda alamiah (dengan kata lain melalui rahim seorang ibu). Hal ini tidak ada kaitannya dengan teori evoulisi, ataupun dengan konsep "menciptakan manusia".

Menciptakan manusia atau makhluk hidup lain - dengan kata lain, membuat sesuatu yang tadinya tak ada menjadi ada - adalah kekuasaan Allah semata. Kemajuan ilmiah menegaskan hal ini dengan menunjukkan bahwa penciptaan tidak mungkin dilakukan oleh manusia. Hal ini dinyatakan dalam sebuah ayat Al Qur'an:

Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah" Lalu jadilah ia. (QS. Al Baqarah, 2:117)


Pandangan Ulama Tentang Kloning

Prof Dr M Quraish Shihab

Pakar Tafsir Alquran Dan Mantan Menteri Agama RI

cloning2Banyak persoalan menyangkut kloning. Pertama, apakah kloning dapat dinilai menandingi atau upaya mengintervensi Kuasa Tuhan? Kedua, apakah kloning merupakan ciptaan baru atau tidak? Ketiga, jika kloning manusia berhasil, maka siapakah manusia hasil kloning itu? Anak siapa dia? Siapa bertanggung jawab memeliharanya? Lalu bagaimana hukum kloning, halal atau haram?

Semua pertanyaan itu masih diperselisihkan jawabannya. Kalaupun ada jawaban yang hampir pasti, ia belum memuaskan semua pihak. Salah satu yang hampir disepakati adalah, keberhasilan mengklon, apapun bentuknya termasuk reproduksi manusia, sama sekali tidak dapat dinilai mengurangi kuasa Allah atau mengintervensi Tuhan, apalagi menandingi-Nya. Manusia yang berhasil direproduksi itu tetap saja menggunakan ‘bahan-bahan mentah’ yang telah diciptakan Tuhan sebelumnya.
Penemuan cara mengklon itu hanyalah keberhasilan manusia mengetahui hukum-hukum Tuhan dalam reproduksi, yang kemudian dimanfaatkan dengan menggunakan cara yang berbeda dengan cara yang selama ini dikenal. Dengan demikian ia tidak menjadikan manusia tersebut sebagai Pencipta yang menandingi atau mengintervensi Tuhan.

Di sisi lain, manusia yang melakukannya adalah atas izin Tuhan — walau belum tentu atas restu-Nya –, karena Tuhanlah yang menganugerahkan kepada manusia akal dan kemampuan mengembangkan ilmu sehingga mampu berhasil dalam upayanya itu.

Dari sini bercabang diskusi para ulama: apakah akal dan pengembangan kemampuan ilmiah memiliki batas-batas yang tidak boleh dilampaui ataukah ada batas-batasnya? Kalau ada, apakah batas-batas tersebut?

Hakim Agung Mahkamah Tinggi al-Ja’fariyah Lebanon, Sayyid Muhammad Hasan Al-Amin, menyatakan (1999): ”Kalau kita berandai kloning diterapkan pada manusia, maka menurut hemat saya ia merupakan suatu keberhasilan yang besar dan agung untuk kemaslahatan manusia. Pandangan agama secara umum dalam hal ini sejalan dengan pandangan agama terhadap semua keberhasilan ilmiah yang besar dan yang dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Kita harus membedakan sisi moral, sosial, dan kemanusiaan dengan pandangan agama menyangkut teori ilmiah tentang kloning.”

”Agama tidak mungkin mengharamkan atau melarang ditemukannya satu teori ilmiah baru yang dapat mengantar kepada pengungkapan rahasia dari sekian banyak rahasia kehidupan, manusia, dan alam raya. Sebaliknya pun demikian. Karena, agama mengundang manusia untuk berpikir, mengamati, menganalisis, dan mengambil kesimpulan.”
Ulama lain memberi pembatasan. Dalam buku Al-Islam wal-’Aql, mantan pemimpin tertinggi Al-Azhar Mesir, Sheikh Abdul Halim Mahmud, mengatakan: ”Benar, Islam mendukung penelitian dan pengembangan ilmu, tetapi pengembangan yang memiliki tujuan yang jelas berkaitan dengan kemaslahatan manusia. Dalam Islam tidak ada istilah ‘ilmu untuk ilmu’ atau ’seni untuk seni’, tetapi Iqra bismi Rabbika yang bermakna ilmu haruslah demi karena Allah, yakni demi kemaslahatan makhluk.”

Selanjutnya, ia juga menyitir doa Nabi Muhammad SAW: ”Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat.”
Sejumlah ulama bahkan masih mempertanyakan kegunaan sebagian penemuan ilmiah yang digunakan untuk tujuan kedokteran. ”Berapa banyak manusia yang memiliki kemampuan ekonomi untuk menarik manfaat dari hasil penemuan itu. Katakanlah ratusan atau ribuan sedang kemanusiaan seluruhnya membayar harga kemajuan itu dengan kehormatannya, rezekinya, lingkungan dan kehidupannya,” tulis Pemimpin Majelis Tinggi Syiah di Lebanon, Muhammad Mahdi Syamsuddin, dalam buku Al-Istinsakh Baina al-Islam wa Al-Masihiyah.

Ia kemudian menyimpulkan, kloning adalah haram untuk diterapkan pada binatang dan penerapannya pada manusia adalah haram qat’an wa yaqinan, keharaman yang pasti dan sangat meyakinkan.

Pemimpin tertinggi Al-Azhar Sheikh Muhammad Thanthawi dan ulama Syiah pendiri Pusat Studi dan Riset Al-’Itrah Beirut Sheikh Muhammad Jamil Hammud Al-’Amily menegaskan, dalam upaya mereproduksi manusia terdapat pelecehan terhadap kehormatan manusia yang mestinya dijunjung tinggi — hidup atau mati –, bahkan walaupun tulang-tulangnya yang telah berserakan. Upaya itu mengarah kepada goncangnya sistem kekeluargaan serta penghinaan dan pembatasan peranan perempuan. Ia bukan saja memutuskan silaturahim tetapi juga mengikis habis cinta. Ia adalah mengubah ciptaan Allah dan bertentangan dengan Sunatullah. Itu adalah pengaruh setan bahkan upayanya menguasai dunia dan manusia.

Sheikh Muhammad Ali al-Juzu (Mufti Lebanon yang beraliran Sunni) menyatakan, kalaupun kloning telah berhasil diterapkan pada binatang, tetapi ”tidak ada keharusan menerapkannya pada manusia karena bahayanya sangat banyak. Yang terpenting adalah akan banyak orang-orang yang lemah akidahnya yang berlutut, jatuh menyerah di hadapan eksperimen-eksperimen ini dan bahwa kehidupan bukan lagi rahasia yang hanya diketahui Allah Sang Pencipta.”

”Keberhasilan kloning manusia akan mengakibatkan sendi kehidupan keluarga menjadi terancam hilang atau hancur, karena manusia yang lahir melalui proses kloning tidak dikenal siapa ibu dan bapaknya, atau dia adalah percampuran antara dua wanita atau lebih sehingga tidak diketahui siapa ibunya dan dalam saat yang keberadaan bapak sangat dibutuhkan. Selanjutnya kalau itu berulang dan berulang, maka bagaimana kita dapat membedakan seseorang dari yang lain yang juga mengambil bentuk dan rupa yang sama?”
Mantan Mufti Mesir Sheikh Farid Washil, walaupun dapat membenarkan kloning untuk tujuan penyediaan organ tubuh bagi yang membutuhkannya, tetapi menegaskan kloning dengan tujuan pengobatan kemandulan tidaklah dibenarkan. Ia juga menolak kloning reproduksi manusia karena dinilainya bertentangan dengan empat dari lima Maqashid asy-Syar’iah: pemeliharaan jiwa, akal, keturunan, dan agama.

Walhasil, yang melarang kloning — apalagi yang berkaitan dengan manusia — memiliki aneka alasan, baik karena kekuatiran mereka terhadap dampak buruk dari hasil penemuan ilmiah, atau adanya prioritas lain yang lebih utama, atau karena kaedah ”Menampik keburukan lebih diutamakan daripada mendatangkan manfaat”. Larangan itu dikuatkan lagi dengan aneka uraian yang boleh jadi dikemukakan oleh pendukung-pendukung kloning manusia yang tidak memahami agama, misalnya ungkapan yang menyatakan ”Kloning dapat membuktikan manusia adalah materi tidak ada unsur spiritualnya” atau ”Dengan kloning manusia dapat hidup kekal”.

Dalam pengamatan penulis, tak sedikit ulama yang dipengaruhi kenyataan adanya kelompok manusia yang menggunakan hasil penemuan ilmuwan justru untuk kepentingan terbatas, sehingga menyengsarakan umat manusia. Dari sini lahir pendapat yang tegas menolak karena sangat berhati-hati dan membayangkan dampak buruk dari kloning itu. Tetapi ada juga ulama yang optimis dan memberi peluang sehingga tidak menggugurkan upaya mengklon itu bagaikan menggugurkan janin yang sedang dikandung. Mereka itu memberi peluang hidup bagi janin, namun bila nanti ternyata membahayakan barulah dijatuhi hukuman mati.

Setiap ide ilmiah yang dikemukakan tidak keluar dari tiga katagori Syekh Muhammad Taufiq Miqdad.

Pertama, ia berkaitan dengan sesuatu yang telah pasti diharamkan agama, seperti eutanasia. Ini jelas ditolak oleh agama karena berkaitan langsung dengan kehidupan manusia yang merupakan anugerah Ilahi tanpa sedikit campur tangan manusia.

Kedua, ia berkaitan dengan sesuatu yang jelas didukung oleh agana dan juga pertimbangan akal, seperti penciptaan aneka obat untuk penyembuhan manusia. ini termasuk bagian dari kebutuhan pokok manusia. Islam mendukung setiap usaha ke arah sana, dan menilainya sebagai sesuatu yang amat terpuji.

Ketiga, suatu ide ilmiah yang belum terbukti hasil dan dampaknya baik positif maupun negatif. Ide semacam ini baru dalam proses pembentukan atau tahap awal. Kita belum dapat memperoleh gambaran jelas dan utuh yang dapat menyingkirkan segala ketidakjelasan yang berkaitan dengannya. Ide semacam ini, tidak dapat ditetapkan atasnya hukum haram atau halal secara pasti, karena ia baru berbentuk ide atau baru dalam bentuk kekuatiran adanya sisi mudharat dan negatif yang juga baru dalam benak dan teori. Menetapkah hukum — baik halal maupun haram — menyangkut hal semacam ini adalah ketergesa-gesaan yang bukan pada tempatnya dan tidak sejalan dengan tuntunan akal dalam berpikir atau menarik kesimpulan.

Ide tentang kloning yang dibicarakan dewasa ini adalah salah satu contoh dari bagian ketiga di atas. Kita tidak memiliki alasan untuk menghukum mati secara mutlak dan tidak juga memberinya kebebasan hidup secara mutlak. Kita hendaknya memberi ide ini peluang dalam bidang ilmiah yang luas sampai menjadi jelas ciri dan dampak-dampaknya dari segala sisi, kemudian setelah itu kita menetapkan hukumnya sesuai dengan hasil penerapannya dan dampak-dampak yang dihasilkannya.

Pendapat di atas — yang juga dianut tidak sedikit ulama — menilai penelitian ilmiah dalam bidang kloning merupakan mubah dan tidak perlu tergesa-gesa melarang atau mengharamkannya. Sheikh Muhammad Miqdad menegaskan: ”Apabila ternyata kloning reproduksi manusia menghasilkan manusia yang hanya serupa dengan manusia yang lahir normal, tetapi tidak memiliki sifat-sifat sebagaimana manusia normal baik fisik maupun mental, atau dia tidak mampu melaksanakan fungsi-fungsi yang dilaksanakan fungsi-fungsi manusia biasa, atau terbukti bahwa dia akan menjadi manusia yang buruk perangainya — luput dari semua sisi positif manusia, maka ketika itu kita baru dapat berkata bahwa ia haram secara pasti.”

Ia melanjutkan: ”Islam sebagai agama yang realistis dan melindungi serta mendorong perkembangan ilmu pengetahuan memandang kepada persoalan semacam ini sesuai dengan dampak dan hasil-hasilnya yang positif dan negatif. Kalau sisi positifnya lebih banyak, maka ia dapat dibenarkan dan kalau sebaliknya maka ia terlarang berdasar kaedah yang ditegaskan oleh firman Allah ((QS. 2: 219), ‘Dosa keduanya (minuman keras dan perjudian) lebih besar daripada manfaatnya’.”

Ini, tegasnya, hanya pada kloning reproduksi manusia. Adapun binatang dan tumbuh-tumbuhan, maka Islam secara jelas membolehkannya, lebih-lebih kalau tujuannya untuk meningkatkan mutu pangan dan kualitas daging yang dimakan manusia.

Demikian terbaca perbedaan pendapat ulama. Agaknya kita dapat menyimpulkan, mayoritas ulama tidak membenarkan kloning reproduksi manusia, tetapi dapat membenarkan kloning yang bertujuan terapi. Wallahu a’lam.

Selasa, 26 Juli 2011

Khalifah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Artikel ini adalah bagian dari seri
Islam
Allah-eser-green.png
Rasul

Nabi Muhammad SAW
.
Kitab Suci

Al-Qur'an
.
Rukun Islam
1. Syahadat · 2. Salat · 3. Puasa
4. Zakat · 5. Haji
Rukun Iman
Iman kepada : 1. Allah
2. Malaikat · 3. Al-Qur'an ·4. Nabi
5. Hari Akhir · 6. Qada & Qadar
Tokoh Islam
Muhammad SAW
Nabi & Rasul · Sahabat
Ahlul Bait
Kota Suci
Mekkah · & · Madinah
Kota suci lainnya
Yerusalem · Najaf · Karbala
Kufah · Kazimain
Mashhad ·Istanbul · Ghadir Khum
Hari Raya
Idul Fitri · & · Idul Adha
Hari besar lainnya
Isra dan Mi'raj · Maulid Nabi
Asyura
Arsitektur
Masjid ·Menara ·Mihrab
Ka'bah · Arsitektur Islam
Jabatan Fungsional
Khalifah ·Ulama ·Muadzin
Imam·Mullah·Ayatullah · Mufti
Hukum Islam
Al-Qur'an ·Hadist
Sunnah · Fiqih · Fatwa
Syariat · Ijtihad
Manhaj
Salafush Shalih
Mazhab
1. Sunni :
Hanafi ·Hambali
Maliki ·Syafi'i
2. Syi'ah :
Dua Belas Imam
Ismailiyah·Zaidiyah
3. Lain-lain :
Ibadi · Khawarij
Murji'ah·Mu'taziliyah
Lihat Pula
Portal Islam
Indeks mengenai Islam

Khalifah adalah gelar yang diberikan untuk pemimpin umat islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW (570–632). Kata "Khalifah" (خليفة Khalīfah) sendiri dapat diterjemahkan sebagai "pengganti" atau "perwakilan". Pada awal keberadaannya, para pemimpin islam ini menyebut diri mereka sebagai "Khalifat Allah", yang berarti perwakilan Allah (Tuhan). Akan tetapi pada perkembangannya sebutan ini diganti menjadi "Khalifat rasul Allah" (yang berarti "pengganti Nabi Allah") yang kemudian menjadi sebutan standar untuk menggantikan "Khalifat Allah". Meskipun begitu, beberapa akademis memilih untuk menyebut "Khalīfah" sebagai pemimpin umat islam tersebut.

Khalifah juga sering disebut sebagai Amīr al-Mu'minīn (أمير المؤمنين) atau "pemimpin orang yang beriman", atau "pemimpin umat muslim", yang kadang-kadang disingkat menjadi "emir" atau "amir".

Setelah kepemimpinan Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib), kekhalifahan yang dipegang berturut-turut oleh Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, dan Bani Usmaniyah, dan beberapa khalifah kecil, berhasil meluaskan kekuasaannya sampai ke Spanyol, Afrika Utara, dan Mesir.

Khalifah berperan sebagai kepala ummat baik urusan negara maupun urusan agama. mekanisme pengangkatan dilakukan baik dengan penunjukkan ataupun majelis Syura' yang merupakan majelis Ahlul Ilmi wal Aqdi yakni ahli Ilmu (khususnya keagamaan) dan mengerti permasalahan ummat. SedangkanKhilafah adalah nama sebuah system pemerintahan yang begitu khas, dengan menggunakan Islam sebagai Ideologi serta undang-undangnya mengacu kepada Al-Quran & Hadist.

Secara ringkas, Imam Taqiyyuddin An Nabhani (1907-1977) mendefinisikan Daulah Khilafah sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariat Islam dan mengembang risalah Islam ke seluruh penjuru dunia (Imam Taqiyyuddin An Nabhani, Nizhamul Hukmi fil Islam, hal. 17). Dari definisi ini, jelas bahwa Daulah Khilafah adalah hanya satu untuk seluruhdunia.

Jabatan dan pemerintahan Khalifah berakhir dan dibubarkan dengan pendirian Republik Turki pada tanggal3 Maret 1924 ditandai dengan pengambilalihan kekuasaan dan wilayah kekhalifahan oleh Majelis Besar Nasional Turki, yang kemudian digantikan oleh Kepresidenan Masalah Keagamaan (The Presidency of Religious Affairs) atau sering disebut sebagai Diyainah.

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting]Kelahiran Kekhalifahan Islam

Kekhalifahan Islam, 622-750

Kebanyakan akademis menyetujui bahwa Nabi Muhammad tidak secara langsung menyarankan atau memerintahkan pembentukan kekhalifahan Islam setelah kematiannya. Permasalahan yang dihadapi ketika itu adalah: siapa yang akan menggantikan Nabi Muhammad, dan sebesar apa kekuasaan yang akan didapatkannya?

[sunting]Pengganti Nabi Muhammad

Fred M. Donner, dalam bukunya The Early Islamic Conquests (1981), berpendapat bahwa kebiasaanbangsa Arab ketika itu adalah untuk mengumpulkan para tokoh masyarakat dari suatu keluarga (banidalam bahasa arab), atau suku, untuk bermusyawarah dan memilih pemimpin dari salah satu di antara mereka. Tidak ada prosedur spesifik dalam shura atau musyawarah ini. Para kandidat biasanya memiliki garis keturunan dari pemimpin sebelumnya, walaupun hanya merupakan keluarga jauh.

Muslim Sunni berpendapat bahwa Abu Bakar adalah pemimpin yang sah dan terpilih berdasarkan musyawarah yang sah dari komunitas islam. Mereka juga menyatakan bahwa sebaiknya pemimpin islam dipilih berdasarkan musyawarah atau pemungutan suara di antara umat muslim, walaupun pada akhirnya, kekuasaan kekhalifahan didapatkan melalui pemberontakan dan pengambilalihan kekuasaan secara paksa.

Namun Syiah tidak menyetujui hal tersebut. Mereka percaya bahwa Nabi Muhammad telah memberikan banyak indikasi yang menunjukan bahwa ˤAlī ibn Abī Talib, keponakan sekaligus menantunya, sebagai pengganti diriNya. Mereka mengatakan bahwa Abū Bakar merebut kekuasaan dengan kekuatan dan kelicikan. Semua Khalifah sebelum ˤAlī juga dianggap melakukan hal yang sama. ˤAlī dan keturunannya dianggap sebagai satu-satunya pemimpin yang sah, atau imam dalam sudut pandang syiah.

Sementara, cabang ketiga dari Islam, Muslim Ibadi, mempercayai bahwa khalifah adalah orang yang terbaik di antara umat islam, tanpa memandang keturunannya. Kaum Ibadi saat ini merupakan sekte paling kecil, yang kebanyakan berada di Oman.

[sunting]Kekuasaan khalifah

Berikut sebuah medali emas yang dipersembahkan oleh KhalifahUstmani di Turki kepada utusan SultanThaha Syaifuddin yang datang meminta pertolongan Khalifah untuk melawan penjajahan Belanda di Jambi

"Siapa yang akan menggantikan Nabi Muhammad" bukanlah satu-satunya masalah yang dihadapi umat Islam saat itu; mereka juga perlu mengklarifikasi seberapa besar kekuasaan pengganti sang nabi. Muhammad, selama masa hidupnya, tidak hanya berperan sebagai pemimpin umat islam, tetapi sebagai nabi dan pemberi keputusan untuk umat Islam. Semua hukum dan praktik spiritual ditentukan sesuai ajaran Nabi Muhammad. Apakah penggantinya akan menerima perlakuan yang sama?

Tidak satu pun dari para khalifah yang mendapatkan wahyu dari Allah, karena Nabi Muhammad adalah nabi dan penyampai wahyu terakhir di muka bumi, tidak satu pun di antara mereka yang menyebut diri mereka sendiri sebagai nabī atau rasul. Untuk mengatasinya, wahyu Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad kemudian ditulis dan dikumpulkan menjadi Al-quran, dijadikan patokan dan sumber utama hukum Islam, dan menjadi batas kekuasaan khalifah Islam.

Bagaimanapun, ada beberapa bukti yang menunjukan bahwa khalifah mempercayai bahwa mereka mempunyau otoritas untuk memutuskan beberapa hal yang tidak tercantum dalam al-Quran. Mereka juga mempercayai bahwa mereka adalah pempimpin spiritual umat islam, dan mengharapkan "kepatuhan kepada khalifah" sebagai ciri seorang muslim sejati. Sarjana modernPatricia Crone dan Martin Hinds, dalam bukunya God's Caliph, menggarisbawahi bahwa fakta tersebut membuat khalifah menjadi begitu penting dalam pandangan dunia Islam ketika itu. Mereka berpendapat bahwa pandangan tersebut kemudian hilang secara perlahan-lahan seiring dengan bertambah kuatnya pengaruh ulama di kalangan umat Islam. Para ulama beranggapan bahwa mereka juga berhak menentukan apa yang dianggap legal dan baik di kalangan umat islam. Pemimpin umat Islam yang paling tepat, menurut pendapat para ulama, adalah pemimpin yang menjalankan saran-saran spiritual dari para ulama, sementara para khilafah hanya mengurusi hal-hal yang bersifat duniawi sehingga mengakibatkan konflik di antara keduanya. Perselisihan antara Khalifah dan para ulama tersebut menjadi konflik yang berlarut-larut dalam sejarah Islam. Namun akhirnya, konflik ini berakhir dengan kemenangan para ulama. Kekuasaan Khalifah selanjutnya menjadi terbatas pada hal yang bersifat keduniawian. Khalifah hanya dapat dianggap menjadi "Khalifah yang benar" apabila ia menjalankan saran spiritual para ulama. Patricia Crone dan Martin Hinds juga berpendapat bahwa muslim Syiah, dengan pandangan yang berlebihan kepada para imam, tetap menjaga kepercayaan murni umat islam, namun tidak semua ilmuwan setuju akan hal ini.

Kebanyakan Muslim Sunni saat ini mempercayai bahwa para khalifah tidak selamanya hanya menjadi pemimpin masalah duniawi, dan ulama sepenuhnya bertanggung jawab atas arah spiritual umat islam dan hukum syariah umat islam. Mereka menyebut empat Khalifah pertama sebagai Khulafa'ur Rosyidin, Khalifah yang diberkahi, karena mereka berempat mematuhi hukum yang terdapat pada Al-Quran dansunnah Nabi Muhammad dalam segala hal. Mereka juga mempercayai bahwa sekali khalifah dipilih untuk memimpin, maka sepanjang hidupnya ia akan memerintah kecuali jika ia keluar dari syariat dan hukum Islam.

[sunting]Struktur pemerintahan Negara Khilafah

Struktur pemerintahan Islam terdiri daripada 8 perangkat dan berdasarkan af’al (perbuatan) Rasulullah saw:

  1. Khalifah
    Hanya Khalifah yang mempunyai kewenangan membuat UU sesuai dengan hukum-hukum syara’ yang ditabbaninya (adopsi); Khalifah merupakan penanggung jawab kebijakan politik dalam dan luar negeri; panglima tertinggi angkatan bersenjata; mengumumkan perang atau damai; mengangkat dan memberhentikan para Mu’awin, Wali, Qadi, amirul jihad; menolak atau menerima Duta Besar; memutuskan belanjawan negara.
  2. Mu'awin Tafwidh
    Merupakan pembantu Khalifah dibidang kekuasaan dan pemerintahan, mirip menteri tetapi tidak berhak membuat undang-undang. Mu’awin menjalankan semua kewenangan Khalifah dan Khalifah wajib mengawalnya.
  3. Mu'awin Tanfidz
    Pembantu Khalifah dibidang administrasi tetapi tidak berhak membuat undang-undang. Mu’awin Tanfidz membantu Khalifah dalam hal pelaksanaan, pemantauan dan penyampaian keputusan Khalifah. Dia merupakan perantara antara Khalifah dengan struktur di bawahnya.
  4. Amirul Jihad
    Amirul Jihad membawahi bidang pertahanan, luar negeri, keamanan dalam negeri dan industri.
  5. Wali
    Wali merupakan penguasa suatu wilayah (gubernur). Wali memiliki kekuasaan pemerintahan, pembinaan dan penilaian dan pertimbangan aktivitas direktorat dan penduduk di wilayahnya tetapi tidak mempunyai kekuasaan dalam Angkatan Bersenjata, Keuangan dan pengadilan.
  6. Qadi
    Qadi merupakan badan peradilan, terdiri dari 2 badan: Qadi Qudat (Mahkamah Qudat) yang mengurus persengketaan antara rakyat dengan rakyat, perundangan, menjatuhkan hukuman, dan lain-lain serta Qadi Mazhalim (Mahkamah Madzhalim) yang mengurus persengketaan antara penguasa dan rakyat dan berhak memberhentikan semua pegawai negara, termasuk memberhentikan Khalifah jika dianggap menyimpang dari ajaran Islam.
  7. Jihaz Idari
    Pegawai administrasi yang mengatur kemaslahatan masyarakat melalui Lembaga yang terdiri dari Direktorat, Biro, dan Seksi, dan Bagian. Memiliki Direktorat di bidang pendidikan, kesehatan, kebudayaan, industri, perdagangan, pertanian, dll). Mua’win Tanfidz memberikan pekerjaan kepada Jihaz Idari dan memantau pelaksanaannya.
  8. Majelis Ummat
    Majelis Ummat dipilih oleh rakyat, mereka cerminan wakil rakyat baik individu mahupun kelompok. Majelis bertugas mengawasi Khalifah. Majelis juga berhak memberikan pendapat dalam pemilihan calon Khalifah dan mendiskusikan hukum-hukum yang akan diadopsi Khalifah, tetapi kekuasaan penetapan hukum tetap di tangan Khalifah.

[sunting]Karakter kepemimpinan Kekhalifahan Islam

Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa karakter pemimpin Islam ialah menganggap bahwa otoritas dan kekuasaan yang dimilikinya adalah sebuah kepercayaan (amanah) dari umat Islam dan bukan kekuasaan yang mutlak dan absolut. Hal ini didasarkan pada hadist yang berbunyi:

"It (sovereignty) is a trust, and on the Day of Judgment it will be a thing of sorrow and humiliation except for those who were deserving of it and did well."

Hal ini sangat kontras dengan keadaan Eropa saat itu dimana kekuasaan raja sangat absolut dan mutlak.[1]

Peranan seorang kalifah telah ditulis dalam banyak sekali literatur oleh teolog islam. Imam Najm al-Din al-Nasafi menggambarkan khalifah sebagai berikut:

"Umat Islam tidak berdaya tanpa seorang pemimpin (imam, dalam hal ini khalifah) yang dapat memimpin mereka untuk menentukan keputusan, memelihara dan menjaga daerah perbatasan, memperkuat angkatan bersenjata (untuk pertahanan negara), menerima zakat mereka (untuk kemudian dibagikan), menurunkan tingkat perampokan dan pencurian, menjaga ibadah di hari jumat (salat jumat) dan hari raya, menghilangkan perselisihan di antara sesama, menghakimi dengan adil, menikahkan wanita yang tak memiliki wali. Sebuah keharusan bagi pemimpin untuk terbuka dan berbicara di depan orang yang dipimpinnya, tidak bersembunyi dan jauh dari rakyatnya.
Ia sebaiknya berasal dari kaum Quraish dan bukan kaum lainnya, tetapi tidak harus dikhususkan untuk Bani Hasyim atau anak-anak Ali. Pemimpin bukanlah seseorang yang suci dari dosa, dan bukan pula seorang yang paling jenius pada masanya, tetapi ia adalah seorang yang memiliki kemampuan administratif dan memerintah, mampu dan tegas dalam mengeluarkan keputusan dan mampu menjaga hukum-hukum Islam untuk melindungi orang-orang yang terzalimi. Dan mampu memimpin dengan arif dan demokratif.

Ibnu Khaldun kemudian menegaskan hal ini dan menjelaskan lebih jauh tentang kepemimpinan kekhahalifah secara lebih singkat:

"Kekhalifahan harus mampu menggerakan umat untuk bertindak sesuai dengan ajaran Islam dan menyeimbangkan kewajiban di dunia dan akhirat. (Kewajiban di dunia) harus seimbang (dengan kewajiban untuk akhirat), seperti yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad, semua kepentingan dunia harus mempertimbangkan keuntungan untuk kepentingan akhirat. Singkatnya, (Kekhalifahan) pada kenyataannya menggantikan Nabi Muhammad, beserta sebagian tugasnya, untuk melindungi agama dan menjalankan kekuasaan politik di dunia."

[sunting]Pencabutan gelar Khalifah

Kebanyakan ulama sunni menolak pencabutan gelar khalifah apabila sudah terpilih. Tetapi fakta yang terjadi adalah sebaliknya, banyak sekali pemberontakan pada masa kekhalifahan, seperti Imam Husain yang melakukan revolusi di Karbala melawan tirani Yazid atau pengkhianatan Ibnu al-Zubayr kepada Yazid, untuk kebanyakan bagian telah terbatas keberadaannya.[2]

Para ulama klasik berpikiran sama, mereka lebih memilih diam dan tunduk kepada kekuasaan tirani. Ketiadaan kekuasaan, anarki, dan sedisi harus dihindari dengan segala cara. Mereka menyarankan untuk mengabaikan perintah pemimpin yang dianggap tidak adil atau pemimpin yang korup daripada menjatuhkan atau memberontak secara langsung terhadap pemerintahannya. Dasar dari alasan ini adalah sebuah hadis dari Nabi Muhammad, "60 hari berada dalam kekuasaan pemimpin yang buruk lebih baik dari sehari tanpa seorang sultan".

Dr. Abdul Aziz Islahi membandingkan hal ini dengan pemikiran barat:

Mengikuti para filsuf Yunani, St. Thomas Aquinas juga menggunakan sudut pandang ini, William Archibald Dunningberkomentar: "Berhubungan dengan aksi-aksi individual dalam menjatuhkan pemerintahan tirani, dia (Aquinas) menemukan bahwa lebih sering orang jahat melakukan pemberontakan dibandingkan orang baik. Karena orang-orang jahat berpendapat bahwa pemerintahan raja-raja tidak kurang beratnya daripada para tiran (raja lalim, penindas), pengakuan hak-hak pribadi warga untuk membunuh para tiran lebih menyangkut lebih besarnya peluang untuk kehilangan seorang raja daripada membebaskan diri dari seorang tiran."

[sunting]Sejarah

Abu Bakar menunjuk Umar sebagai penggantinya sebelum kematiannya, dan untungnya, komunitas muslim menerima hal ini. Pengganti Umar, Utsman bin Affan, dipilih oleh dewan perwakilan kaum muslim. tetapi kemudian, Utsman dianggap memimpin seperti seorang "raja" dibandingkan sebagai seorang pemimpin yang dipilih oleh rakyat. Utsman pun akhirnya terbunuh oleh seseorang dari kelompok yang tidak puas. Ali kemudian diangkat oleh sebagian besar muslim waktu itu di Madinah untuk menjadi khalifah, tetapi ia tidak diterima oleh beberapa kelompok muslim. Dia menghadapi beberapa pemberontakan dan akhirnya terbunuh setelah memimpin selama lima tahun. Periode ini disebut sebagai "Fitna", atau perang sipil islam pertama.

[sunting]Bani Umayyah

Salah satu kelompok penentang ˤAlī adalah kelompok yang dipimpin oleh Gubernur Syam waktu itu Muawiyah bin Abu Sufyan, yang juga sepupu Utsman. Setelah kematian Ali, Muawiyah mengambil alih kekuasaan kekhalifahan. Dia kemudian dikenal dengan nama Muˤāwiyya, pendiri Bani Umayyah. Dibawah kekuasaan Muˤāwiyya, kekhalifahan dijadikan jabatan turun-menurun.

Di daerah yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Persia dan Byzantium, bani Umayyah menurunkan pajak, memberikan otonomi daerah dan kebebasan beragama yang lebih besar bagi umat Yahudi dan Kristen, dan berhasil menciptakan kedamaian di daerah tersebut setelah dilanda perang selama bertahun-tahun.

Dibawah kekuasaan Bani Umayyah, kekhalifahan Islam berkembang dengan pesat. Di arah barat, umat Muslim menguasai daerah di Afrika Utara sampai ke Spanyol. Di arah timur, kekhalifahan menguasai daerah Iran, bahkan sampai ke India. Hal ini membuat Kekhalifahan Islam menjadi salah satu di antara sedikit kekaisaran besar dalam sejarah.

Meskipun begitu, Bani Umayyah tidak sepenuhnya didukung oleh seluruh umat Islam. Beberapa Muslim lebih mendukung tokoh muslim lainnya seperti Ibnu Zubair; sisanya merasa bahwa hanya mereka yang berasal dari klan Nabi Muhammad, Bani Hasyim, atau dari keturunan Ali (yang masih sekeluarga dengan Nabi Muhammad), yang boleh memimpin. Akibatnya, timbul beberapa pemberontakan selama masa kepemimpinan bani umayyah. Pada akhir kekuasaannya, pendukung Bani Hasyim dan pendukung Ali bersatu untuk meruntuhkan kekuasaan Umayyah pada tahun 750. Bagaimanapun, para pendukung Ali lagi-lagi harus menelan kekecewaan ketika ternyata pemimpin kekhalifahan selanjutnya adalah Bani Abbasiyah, yang merupakan keturunan dari Abbas bin Abdul-Muththalib, paman Nabi Muhammad, bukan keturunan Ali. Menanggapi kekecewaan ini, komunitas muslim akhirnya terpecah menjadi komunitas Syiah dan Sunni.

[sunting]Bani Abbasyiah

Bani Abbasiyah berhasil memegang kekuasaan kekhalifahan selama tiga abad, mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan ilmu pengetahuan dan pengembangan budaya Timur Tengah. Tetapi pada tahun 940 kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang non-Arab, khususnya orang Turki (dan kemudian diikuti oleh orang Mameluk di Mesir pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan mulai memisahkan diri dari kekhalifahan. Meskipun begitu, kekhalifahan tetap bertahan sebagai simbol yang menyatukan dunia Islam.

Pada masa pemerintahannya, Bani Abbasiyah mengklaim bahwa dinasti mereka tak dapat disaingi. Namun kemudian, Said bin Husain, seorang muslim Syi'ah dari Bani Fatimiyah yang mengaku bahwa anak perempuannya adalah keturunan Nabi Muhammad, mengklaim dirinya sebagai Khalifah pada tahun 909, sehingga timbul kekuasaan ganda di daerah Afrika Utara. Pada awalnya ia hanya menguasaiMaroko, Aljazair, Tunisia dan Libya. Namun kemudian, ia mulai memperluas daerah kekuasaannya sampai ke Mesir dan Palestina, sebelum akhirnya Bani Abbasyiah berhasil merebut kembali daerah yang sebelumnya telah mereka kuasai, dan hanya menyisakan Mesir sebagai daerah kekuasaan Bani Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah kemudian runtuh pada tahun 1171. Sedangkan Bani Ummayah bisa bertahan dan terus memimpin komunitas Muslim di Spanyol, kemudian mereka mengkalim kembali gelar Khalifah pada tahun 929, sampai akhirnya dijatuhkan kembali pada tahun 1031.

[sunting]Kekhalifahan "bayangan"

Pada tahun 1258, pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan berhasil menguasai Baghdad, ibukota Kekhalifahan Abbasyiah, dan mengeksekusi Khalifah al-Mutasim. Tiga tahun kemudian, sisa-sisa Bani Abbasyiah membangun lagi sebuah kekhalifahan di Kairo, di bawah perlindungan Kesultanan Mameluk. Meskipun begitu, otoritas garis keturunan para khalifah ini dibatasi pada urusan-urusan upacara dan keagamaan, dan para sejarawan Muslim pada masa-masa sesudahnya menyebut mereka sebagai "khalifah bayangan".

[sunting]Kekaisaran Usmaniyah

Bersamaan dengan bertambah kuatnya Kesultanan Usmaniyah, para pemimpinnya mulai mengklaim diri mereka sebagai Khalifah. Klaim mereka ini kemudian bertambah kuat ketika mereka berhasil mengalahkan Kesultanan Mamluk pada tahun 1517 dan menguasai sebagian besar tanah Arab. Khalifah Abbasyiah terakhir di Kairo, Al-Mutawakkil III, dipenjara dan dikirim ke Istambul. Kemudian, dia dipaksa menyerahkan kekuasaannya ke Selim I.

Walaupun begitu, banyak Kekaisaran Usmaniyah yang memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Sultan, daripada sebagai Khalifah. Hanya Mehmed II dan cucunya, Selim, yang menggunakan gelar khalifah sebagai pengakuan bahwa mereka adalah pemimpin negara Islam.

Kekaisaran Usmaniyah

Menurut Barthold, saat dimana gelar Khalifah digunakan untuk kepentingan politik daripada sekedar simbol agama untuk pertama kalinya adalah ketika Kekaisaran Usmaniyah membuat perjanjian damai dengan Rusia pada tahun 1774. Sebelum perjanjian ini dibuat, Kekaisaran Usmaniyah berperang dengan Kekaisaran Kristen Rusia, mengakibatkan kekaisaran kehilangan sebagian besar wilayahnya, termasuk juga memiliki populasi tinggi seperti misalnya daerah Crimea. Dalam surat perjanjian damai dengan Rusia, kekaisaran Usmaniyah, dibawah kepemimpinan Abdulhamid I, menyatakan bahwa mereka akan tetap melindungi umat Islam yang berada di wilayah yang kini menjadi wilayah Rusia. Ini adalah pertama kalinya Kekhalifahan Usmaniyah diakui secara politik oleh kekuatan Eropa.

Sebagai hasilnya, meskipun wilayah kekuasaan Usmaniyah menjadi sempit namun kekuatan diplomatik dan militer Usmaniyah semakin meningkat. Sekitar tahun 1880 Sultan Abdulhamid II menegaskan kembali status kekhalifahannya sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialismeEropa yang semakin menjadi-jadi. Klaimnya ini didukung sepenuhnya oleh Muslim di India, yang ketika itu dalam cengkraman penjajahanInggris. Pada Perang Dunia I, Kekhalifahan Usmaniyah, dengan mengesampingkan betapa lemahnya mereka dihadapan kekuatan Eropa, menjadi negara Islam yang paling besar dan paling kuat di dunia.

[sunting]Keruntuhan kekhalifahan

Tepatnya pada tanggal 23 Maret 1924, keruntuhan kekhalifahanan terakhir, Kekhalifahan Turki Usmaniyah, terjadi akibat adanya perseteruan di antara kaum nasionalis dan agamais dalam masalah kemunduran ekonomi Turki.

Setelah menguasai Istambul pasca-Perang Dunia I, Inggris menciptakan sebuah kevakuman politik dengan menawan banyak pejabat negara dan menutup kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan khalifah dan pemerintahannya tersendat. Kekacauan terjadi di dalam negeri, sementara opini umum mulai menyudutkan pemerintahan khalifah yang semakin lemah dan memihak kaum nasionalis. Situasi ini dimanfaatkan Mustafa Kemal Pasha untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional - dan ia menobatkan diri sebagai ketuanya - sehingga ada dua pemerintahan saat itu; pemerintahan khilafah di Istambul dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional di Ankara. Walau kedudukannya tambah kuat, Mustafa Kemal Pasha belum berani membubarkan khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan konsep yang memisahkan khilafah dengan pemerintahan. Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan Perwakilan Nasional, konsep ini ditolak. Pengusulnya pun mencari alasan membubarkan Dewan Perwakilan Nasional dengan melibatkannya dalam berbagai kasus pertumpahan darah. Setelah memuncaknya krisis, Dewan Perwakilan Nasional ini diusulkan agar mengangkat Mustafa Kemal Pasha sebagai ketua parlemen, yang diharap bisa menyelesaikan kondisi kritis ini.

Setelah resmi dipilih jadi ketua parlemen, Pasha mengumumkan kebijakannya, yaitu mengubah sistem khilafah dengan republik yang dipimpin seorang presiden yang dipilih lewat Pemilu. Tanggal 29 November 1923, ia dipilih parlemen sebagai presiden pertama Turki. Namun ambisinya untuk membubarkan khilafah saat itu, yang telah lemah dan digerogoti korupsi, terintangi; Ia dianggap murtad, dan beberapa kelompok pendukung Sultan Abdul Mejid II terus berusaha mendukung pemerintahannya. Ancaman ini tak menyurutkan langkah Mustafa Kemal Pasha. Malahan, ia menyerang balik dengan taktik politik dan pemikirannya yang menyebut bahwa penentang sistem republik ialah pengkhianat bangsa dan ia kemudian melakukan beberapa langkah kontroversial untuk mempertahankan sistem pemerintahannya. Misalnya, Khalifah digambarkan sebagai sekutu asing yang harus dienyahkan.

Setelah suasana negara kondusif, Mustafa Kemal Pasha mengadakan sidang Dewan Perwakilan Nasional (yang kemudian disebut dengan "Kepresidenan Urusan Agama" atau sering disebut dengan "Diyaniah"). Pada tanggal 3 Maret 1924, ia memecat khalifah sekaligus membubarkan sistem kekhalifahan dan menghapuskan hukum Islam dari negara. Hal inilah yang kemudian dianggap sebagai keruntuhan kekhalifahan Islam.

Saat ini, Diyaniah berfungsi sebagai entitas dari lembaga Shaikh al-Islam/Kekhalifahan [1]. Mereka bertugas untuk: "memberikan pelayanan religius kepada orang Turki dan Muslim di dalam dan di luar negara Turki". Diyainah memiliki kantor pusat di Ankara, Turki.

Diyaniah adalah sebuah lembaga yang mewarisi semua sumber-sumber yang berhubungan dengan hal-hal religius dari Kekaisaran Ottoman, termasuk semua arsip kekhalifahan yang telah runtuh tersebut. Saat ini, Diyainah merupakan otoritas tertinggi Muslim Sunni. Diyainah juga memiliki kantor cabang di Eropa (Jerman).

Perbedaan utama antara kekhalifahan dengan Diyainah adalah Dinaiyah, tidak seperti kekhalifahan yang mengurusi masalah negara, hanya berfungsi sebagai lembaga keagamaan. Hal ini sesuai dengan prinsip sekularisme Turki yang memisahkan urusan Agama dengan urusan negara.

Sempat muncul keinginan dan gerakan untuk mengendirikan kembali kekhalifahan setelah runtuhnya Kekaisaran Ottoman, tetapi tak ada satupun yang berhasil. Hussein bin Ali, seorang gubernur Hejaz pada masa Kekaisaran Ottoman yang pernah membantu Britania raya pada masa Perang Dunia I serta melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Istambul, mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah dua hari setelah keruntuhan Ottoman. Tetapi klaimnya tersebut ditolak, dan tak lama kemudian ia di usir dari tanah Arab. Sultan Ottoman terakhirMehmed VI juga melakukan hal yang sama untuk mengangkat kembali dirinya sebagai Khalifah di Hejaz, tetapi lagi-lagi usaha tersebut gagal. Sebuah pertemuan diadakan di Kairo pada tahun 1926 untuk mendiskusikan pendirian kembali kekhalifahan. Tetapi, hanya sedikit negara Muslim yang berpartisipasi dan mengimplentasikan hasil dari pertemuan tersebut.

[sunting]Gerakan Khilafat

Pada tahun 1920-an "gerakan Khilafat", sebuah gerakan yang bertujuan untuk mendirikan kembali kekhalifahan, menyebar diseluruh daerah jajahan Inggris di Asia. Gerakan ini sangat kuat di India, yang saat itu menjadi pusat komunitas Islam. Sebuah pertemuan kemudian diadakan di Kairo pada tahun 1926 untuk mendiskusikan pendirian Kekhalifahan. Tapi sayang, sebagian besar negara mayoritas Muslim tidak berpartisipasi dan mengambil langkah untuk mengimplentasikan hasil dari pertemuan ini. Meskipun gelar Amir al-Mukmin dipakai olehRaja Maroko dan Mullah Mohammed Omar, pemimpin rezim Taliban di Afganistan, kebanyakan Muslim di luar daerah kekuasaan mereka menolak untuk mengakuinya. Organisasi yang mendekati bentuk sebuah bentuk kekhalifahan saat ini adalah Organisasi Konferensi Islamatau OKI, sebuah organisasi internasional dengan pengaruh yang terbatas yang didirikan pada tahun 1969 beranggotakan negara-negara mayoritas Muslim.

[sunting]Perbandingan kekhalifahan dengan sistem pemerintahan lain

Khalifah sangat berbeda dari sistem pemerintahan yang pernah ada di dunia, seperti disebutkan di bawah ini:

  • Dalam kedudukan monarki, kedudukan raja diperoleh dengan warisan. Artinya, seseorang dapat menduduki jabatan raja hanya karena ia anak raja. Jabatan khalifah didapatkan dengan bai'at dari umat secara ikhlas dan diliputi kebebasan memilih, tanpa paksaan. Jika dalam sistem monarki raja memiliki hak istimewa yang dikhususkan bagi raja, bahkan sering raja di atas UU, maka seorang khalifah tak memiliki hak istimewa; mereka sama dengan rakyatnya. Khalifah ialah wakil umat dalam pemerintahan dan kekuasaan yang dibaiat buat menerapkan syariat Allah SWT atas mereka. Artinya, khalifah tetap tunduk dan terikat pada hukum islam dalam semua tindakan, kebijakan, dan pelayanan terhadap kepentingan rakyat.
  • Dalam sistem republik, presiden bertanggung jawab kepada rakyat atau yang mewakili suaranya (misal: parlemen). Rakyat beserta wakilnya berhak memberhentikan presiden. Sebaliknya, seorang khalifah, walau bertanggung jawab pada umat dan wakilnya, mereka tak berhak memberhentikannya. Khalifah hanya dapat diberhentikan jika menyimpang dari hukum Islam, dan yang menentukan pemberhentiannya ialah mahkamah mazhalim. Jabatan presiden selalu dibatasi dengan periode tertentu, sebaliknya, seorang khalifah tak memiliki masa jabatan tertentu. Batasannya, apakah ia masih melaksanakan hukum Islam atau tidak. Selama masih melaksanakannya, serta mampu menjalankan urusan dan tanggung jawab negara, maka ia tetap sah menjadi khalifah.

[sunting]Berbagai pendapat tentang Khalifah

[sunting]Daftar Khalifah

[sunting]Khulafa'ur Rasyidin di Madinah

[sunting]Kekhalifahan Bani Umayyah di Damaskus

  1. Muawiyah I bin Abu Sufyan, 661-680
  2. Yazid I bin Muawiyah, 680-683
  3. Muwaiyah II bin Yazid, 683-684
  4. Marwan I bin al-Hakam, 684-685
  5. Abdul-Maluk bin Marwan, 685-705
  6. Al-Walid I bin Abdul-Malik, 705-715
  7. Sulaiman bin Abdul-Malik, 715-717
  8. Umar II bin Abdul-Aziz, 717-720
  9. Yazid II bin Abdul-Malik, 720-724
  10. Hisyam bin Abdul-Malik, 724-743
  11. Al-Walid II bin Yazid II, 743-744
  12. Yazid III bin al-Walid, 744
  13. Ibrahim bin al-Walid, 744
  14. Marwan II bin Muhammad (memerintah diHarran, Jazira) 744-750

[sunting]Kekhalifahan Bani Abbasiyah di Baghdad

copyrigt; Juned Topan.. Diberdayakan oleh Blogger.