This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 24 Mei 2012

TAHLILAN (KENDURI ARWAH – SELAMATAN KEMATIAN) MENURUT MADZHAB IMAM SYAFI’I


MUQADDIMAH
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Masyarakat muslim Indonesia adalah mayoritas penganut madzhab Imam Syafi’i atau biasa disebut sebagai Syafi’iyah (penganut Madzhab Syafi’i). Namun, sebagain lainnya ada yang tidak bermadzhab Syafi’i. Di Indonesia, Tahlilan banyak dilakukan oleh penganut Syafi’iyah walaupun yang lainnya pun ada juga yang melakukannya. Tentunya tahlilan bukan sekedar kegiatan yang tidak memiliki dasar dalam syariat Islam, bahkan kalau ditelusuri dan dikaji secara lebih mendalam secara satu persatu amalan-amalan yang ada dalam tahlilan maka tidak ada yang bertentangan dengan hukum Islam, sebaliknya semuanya merupakan amalah sunnah yang diamalkan secara bersama-sama. Oleh karena itu, ulama seperti walisongo dalam menyebarkan Islam sangatlah bijaksana dan lihai sehingga Islam hadir di Indonesia dengan tanpa anarkis dan frontal, salah satu buahnya sekaligus kelihaian dari para ulama walisongo adalah diperkenalkannya kegiatan tahlilan dengan sangat bijaksana.Tahlilan, sebagian kaum Muslimin menyebutnya dengan “majelis tahlil”, “selamatan kematian”, “kenduri arwah” dan lain sebagainya. Apapun itu, pada dasarnya tahlilan adalah sebutan untuk sebuah kegiatan dzikir dan bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaa. Yang mana didalamnya berisi kalimat-kalimat thayyibah, tahmid, takbir, tasybih hingga shalawat, do’a dan permohonan ampunan untuk orang yang meninggal dunia, pembacaan al-Qur’an untuk yang meninggal dunia dan yang lainnya. Semua ini merupakan amaliyah yang tidak ada yang bertentangan dengan syariat Islam bahkan merupakan amaliyah yang memang dianjurkan untuk memperbanyaknya.
Istilah tahlilan sendiri diambil dari mashdar dari fi’il madzi “Hallalla – Yuhallilu – Tahlilan”, yang bermakna membaca kalimat Laa Ilaaha Ilaallah. Dari sini kemudian kegiatan merahmati mayyit ini di namakan tahlilan karena kalimat thayyibah tersebut banyak dibaca didalamnya dan juga penamaan seperti ini sebagaimana penamaan shalat sunnah tasbih, dimana bacaan tasbih dalam shalat tersebut dibaca dengan jumlah yang banyak (300 kali), sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Namun, masing-masing tempat kadang memiliki sebutan tersendiri yang esensinya sebenarnya sama, sehingga ada yang menyebutnya sebagai “Majelis Tahlil”, “Selamatan Kematian”, “Yasinan” (karena dimulai dengan pembacaaan Yasiin), “Kenduri Arwah”, “Tahlil”, dan lain sebagainya.
Tahlilan sudah ada sejak dahulu, di Indonesia pun atau Nusantara pun tahlilan sudah ada jauh sebelum munculnya aliran yang kontra, yang mana tahlilan di Indonesia di prakarsai oleh para ulama seperti walisongo dan para da’i penyebar Islam lainnya. Tahlilan sebagai warisan walisongo terus di laksanakan oleh masyarakat muslim hingga masa kini bersamaan dengan sikap kontra segelintir kaum muslimin yang memang muncul di era-era dibelakangan. Dalam bahasan ini setidaknya ada beberapa hal pokok dalam tahlilan yang harus dipaparkan sebab kadang sering dipermasalah. Untuk mempermudah memahami masalah ini yakni amaliyah-amaliyah masyru’ yang terdapat dalam tahlilan (kenduri arwah) maka bisa di rincikan sebagai berikut :
I. DO’A UNTUK ORANG MATI
II. SHADAQAH UNTUK ORANG MATI
III. QIRA’ATUL QUR’AN UNTUK ORANG MATI
PERMASALAHAN QAUL MASYHUR
HILANGNYA PERSELISIHAN DAN PENERAPAN DALAM TAHLILAN
IV. JAMUAN MAKAN PADA PERKUMPULAN KEGIATAN TAHLIL
PENJELASAN TERKAIT HADITS KELUARGA JA’FAR
PENJELASAN TERKAIT HADITS JARIR BIN ABDULLAH
Haramnya Niyahah dan Pengertian Niyahah
V. SEJAK DAHULU KALA DAN TERJADI DI MAKKAH JUGA MADINAH
VI. PENGHARAMAN TAHLILAN DILUAR AKAL SEHAT
Niyahah Versus Tahlilan
Bolehnya Menangisi Mayyit
Ma’tam Versus Tahlilan (Kenduri Arwah)
VII. PENTING : TIDAK SETIAP BID’AH DIHUKUMI HARAM (BID’AH BUKAN HUKUM)
LANJUT MASALAH BID’AH
Pendefinisian Bid’ah
VIII. PENTING : ALIRAN WAHABI SEBAGAI BID’AH MUHARRAMAH
IIX. BEBERAPA KOMENTAR ULAMA
al-Mughni lil-Imam Ibnu Qudamah al-Hanbali
Al-Furu’ wa Tashhih al-Furu’, Imam Ibnu Muflah al-Maqdisi
Al-Inshaf fiy Ma’rifatir Rajih minal Khilaf, Imam ‘Alauddin al-Mardawi
Al-‘Uddah syarh al-‘Umdah, Imam Abdurrahman bin Ibrahim al-Maqdisi al-Hanbali
Zadul Mustaqni’ fi Ikhtishar al-Muqna’, Imam Syarifuddin Musa al-Hajawi
Ar-Raudl al-Marbi’ syarh Zaad al-Mustaqni’, Imam al-Bahuti al-Hanbali
Al-Bahr ar-Raiq syarh Kanz ad-Daqaid, Imam Ibnu Najim al-Mishri al-Hanafi
Muraqi al-Falah syarh Matn Nur al-Idlah, Imam Hasan bin ‘Ammar al-Mishri al-Hanafi
Al-Fiqhu ‘alaa Madzahibil Arba’ah, Syaikh Abdurrahman al-Jaziri
Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jami’ at-Turmidzi, Syaikh Abul ‘Alaa al-Mubarakfuri
Mirqatul Mafaatiih syarh Misykah al-Mashaabih, al-Mulla ‘Ali al-Qarii
Madzhab Zaidiyyah (Madzhab Yang Lebih Dekat Ke 4 Madzhab)
- Naylul Awthaar, Imam Muhammad bin ‘Ali asy-Syawkani
- Subulus Salaam, al-Amir ‘Izzuddin Ash-Shan’ani
IX. FATWA IBNU TAIMIYAH DAN IBNUL QAYYIM AL-JAUZIYYAH
QS. an-Najm Ayat 39 dan Hadits Terputusnya Amal
Hukum Keluarga al-Marhum membaca al-Qur’an Untuk Mayyit
Ibnu Taimiyah Pernah Ditanya Hal Yang Sama (al-Qiraa’ah lil-Mayyit)
Bertahlil 70.000 Kali Dan Menghadiahkan Kepada Mayyit
Pasal Khusus Tentang Membaca al-Qur’an Untuk Mayyit
Ibnu Taimiyyah Hanya Bicara Soal Keutamaan (Afdlaliyah)
Penuturan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (Murid Ibnu Taimiyah)
X. KOMENTAR ALIRAN WAHHABIYAH
Polemik Seputar Ahkam at-Tamanni al-Mawt
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
Shalih bin Fauzan al-Fauzan
Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz
Muhammad bin Ibrahim bin Abdul Lathif Alu asy-Syaikh
Komisi Fatwa Kerajaan Bani Saud (al-Lajnah ad-Daimah)
XI. PENUTUP
Semoga dengan semua ini bisa memberikan informasi berimbang mengenai komentar para ulama Ahl Sunnah wal Jama’ah demikian juga komentar dari yang tidak menyetujui. Wallahu A’lam []

Rabu, 16 Mei 2012

Fundamentalisme Budaya; Tawaran Budaya Islami


  1. Pendahuluan
Modernisasi ditandai dengan kreativitas manusia mampu mengatasi kesulitan hidupnya. Sebagaimana modernism di Barat, adalah suatu bentuk antroposentrisme yang memiliki kegigihan melakukan kreatifitas hampir tak terkekang. Arnold Toynbee, menjelaskan bahwa modernitas telah ada dimulai menjelang akhir abad ke 15 masehi, ketika orang barat berhasil mengatasi kungkungan Kristen pada abad pertengahan.[1] Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa kreatifitas manusia di zaman modern, sesungguhnya merupakan kelanjutan berbagai hasil usaha (achievements) umat manusia sebelumnya.
Pada awal abad 19 kata ‘culture’ (budaya) digunakan sebagai sinonim atau suatu keadaan yang menunjukkan perbedaan dengan kata ‘civilization’ (peradaban). Civilis berasal dari bahasa latin, artinya sesuatu yang dimiliki oleh Negara/ bangsa, istilah peradaban pada mulanya digunakan dalam bahasa Perancis dan bahasa Inggris.[2] Namun istilah ini kemudian berkembang menjadi sebuah kebudayaan yang lahir dari sebuah tatanan masyarakat, baik dalam bentuk lembaga, organisasi, daerah, Negara dan sebagainya.
Mengkaji Budaya dibentuk oleh kerangka-kerangka tertentu, bagaimana berfikir dan berkarya yang menjadi acuan suatu kelompok. Sementara fundamentalis merupakan reaksi terhadap budaya barat, sehingga tidak akan kehilangan makna dan kehilangan rasa percaya diri.[3] Oleh karena itu gerakan fundamentalis ini sebagai upaya menangkal maraknya budaya barat yang mengusik peradaban bangsa. Ekspresi budaya modern yang sangat matrialistis dan vulgar telah mengancam nilai-nilai etika moral keagamaan masyarakat. Persoalan ini telah mendorong munculnya gerakan fundamentalisme, guna menentang kecenderungan hedonismevulgar dan sebagainya. Oleh karena itu perlu menawarkan model budaya dalam kehidupan yang religious/ Islami.

  1. B. Fundamentalisme  Budaya
Pada mulanya, istilah fundamentalisme muncul di kalangan para teolog Kristen Amerika yang bereaksi atas perkembangan modernisme. Istilah ini merebak seiring dengan berkembangnya kebangkitan agama-agama di dunia pada pertengahan abad ini, termasuk Islam.[4] Secara sederhana tidak akan ada fundamentalism jika tidak muncul modernitas. Identitas fundamentalism itu berupa  sebuah psychological mindset dan gerakan sejarahhistorical movement, keduanya  dibentuk oleh dunia modern.[5]
Hingga kini fundamentalisme merupakan sebuah fenomena multicultural menarik dan memiliki reputasi buruk terutama perhatian media yang dianggap negative. Kreatifitas jurnalis dalam memulai kritik telah merambah fundamentalis yang pluralis. Mereka menghargainya sebagai sikap social yang kurang sreg diantara sikap multi agama. Lihat saja fundamentalis Kristen Protestan telah tampil tidak hanya di America tetapi juga di Canada, Inggris dan Eropa, fundamentalis Yahudi di Amerika dan Israel, fundamentalis Shi’i dan Sunni di sebagaian Afrika dan Asia. Fundamentalism Agama menjadi budaya dalam menyikapi modernitas yang dianggap membahayakan bagi keberlangsungan umat beragama.
Konsep “fundamentalisme” memang beragam penekanannya: (1) ada yang merujuk pada gagasan dasar agama yang dianut dengan teguh dan dipahami secara literal, menyeluruh, tanpa kompromi, reinterpretasi, pelunakan, dan pengurangan[6]; (2) ada yang merujuk pada penegasan terhadap kepercayaan khas sebagai sesuatu yang absolut serta dipahami secara literal, dimana penafsirannya menolak suatu kompromi, adaptasi, serta menolak interpretasi teks-teks dasar dan sumber kepercayaan.[7]
Untuk memahami  konsep budaya, perlu dilakukan penelaahan, yaitu; 1. adanya anggapan westernisasi yang tanpa sadar, 2. Situasi kemandekan (kondisi stagnan), 3. Menggabungkan diantara dua sistem tersebut. Konsep ini merupakan bentuk distorsi konsep yang diakibatkan oleh adanya epistimologi yang terbelah. Cultural schizophrenia, merupakan sebuah revolusi agama, yang mana  dipublikasikan di Paris tahun 1982. Tujuannya, untuk menunjukkan dunia tentang struktur budaya yang telah rusak/ hancur oleh pemikiran modern. Kondisi ini disebut sebagai proses ’pengingkaran fundamentalis’ (the fundamental breach). Sayegan menggambarkan  tentang wacana kemandekan politik dan budaya dalam dunia, dimana agama menyebabkan ketidakcocokan serta menimbulkan konflik antara pandangan dunia dan hegemoni westernisasi yang tidak dapat dihindari. Parahnya lagi yakni, dengan mengubah bentuk lain menjadi ideologi.[8]
Memahami fundamentalisme dalam Islam, menurut Voll[9] ciri-cirinya  adalah; (1) gerakan yang menekankan pada transendensi ketuhanan dan sekaligus penekanan pada implementasi etika. Gerakan ini berbeda dengan gerakan yang menekankan imanensi Tuhan; (2) gerakan yang menekankan pada kesatuan pemikiran dan praktiknya. Gerakan ini menolak keanekaragaman dan berkompromi dengan adat lokal serta menekankan aplikasi literal kitab suci pada seluruh kondisi lokal; (3) gerakan yang menekankan perlindungan pada otentisitas tradisi dan menghindari inovasi yang dapat menjadikan otentisitas itu menjadi kurang orisinal.
Untuk melengkapi konsep fundamentalisme model Voll, berikut ini adalah modifikasi kriteria fundamentalisme dari Marty (1992), yaitu; (1) adanya perlawanan terhadap apapun yang dianggap membahayakan agama, seperti modernisme, sekularisme, dengan mengacu pada kitab suci sebagai tolok ukurnya; (2) adanya penolakan terhadap hermeneutika, dimana teks dipahami secara literal dan nalar tidak dibenarkan menginterpretasi lebih jauh diluar teks; (3) adanya penolakan terhadap relatifisme dan pluralisme, seperi relatifisme moral, relatifisme budaya, dan pluralisme sosial; (4) penolakan terhadap perkembangan sosiologis dan historis.[10]
Rincian konsep yang bersifat sosiologis tentang “fundamentalisme” dikemukakan Hadden dan Shupe (1990) diantaranya : (1) penolakan radikalisme terhadap pemisahan antara yang suci dengan yang sekular dalam perkembangan modernisasi; (2) rencana untuk mengembalikan agama menjadi faktor penting bagi pembuatan kebijakan publik. Namun demikian, jika  menyimpulkan bahwa semua gerakan Islam adalah sebagai fundamentalis, yaitu ketaatan dalam mengamalkan dalam bentuk apresiasi terhadap ajaran Islam, maka hal ini bisa jadi merupakan suatu distorsi.
Rumusan budaya tidak dapat diabaikan begitu saja, karena ilmu pengetahuan modern telah memasuki berbagai bidang. Oleh karena itu budaya tidak hanya masuk pada wilayah tertentu, namun pada semua aspek yang memberikan keunikan dan merupakan interelasi dari kegiatan sosial, sehingga dapat memberikan suatu entitas baru.[11] Integrasi dari berbagai unsur tersebut membentuk sebuah karakter yang tercipta menjadi tradisi atau budaya tertentu, sehingga menjadi kebanggaan dan dijungjung tinggi keberlangsungannya.
Sementara bentuk-bentuk budaya itu dapat dipahami sebagai sebuah perputaran ideology dan membawa dampak ideology menjadi terpisah-pisah, namun berhubungan dengan satu sama lain dalam kehidupan masyarakat.[12] Artinya dalam masyarakat terdapat beragam budaya, yang dibentuk oleh interaksi antar individu dan masyarakat dengan bentuk ideology yang berbeda-beda.
Sebagaimana dapat dilihat dalam konflik personal dengan lingkungan yang kasar (tidak kondusif), secara alami dapat membentuk perasaan schizophrenia[13] dan tidak sehat, sehingga dapat terjadi tindakan menskors/ penuduhan terhadap lingkungannya (tetangga). Dengan demikian memahami budaya diperlukan batas-batasnya, khususnya persoalan antropologi dan etnografi.[14] Penelitian tentang etnografi merupakan bentuk ideal dari budaya yang berbeda dengan kaum urban,[15] karena karakter budaya yang dibawa memberikan kontribusi untuk mengintegrasikan dengan budaya yang lain. Ibn Khaldun menjelaskan Enam (6) prinsip yang diperoleh dari budaya orang-orang nomaden, diantaranya : 1. Paham Nomaden merupakan dasar nilai yang dimiliki, 2. Nomaden merupakan fakta yang mampu menaklukkan masyarakat yang diduduki, 3. Memiliki kekuatan yang mampu membuat control masyarakat bertanggungjawab, jujur dan berbuat curang (cheater), 4. Peradaban biasanya diasosiasikan dengan kecenderungan kemewahan, 5. Keberadaan perniagaan dan keahlian dalam peradaban memerlukan kelicikan dan penipuan dan 6. Nomaden dapat dilakukan dengan mudah, beradaptasi dengan mereka yang agamis sehingga disiplin dalam melakukan sesuatu.[16]
Berdasar deskripsi yang diuraikan tersebut, bahwa kehidupan masyarakat nomaden(berpindah-pindah) memberikan warna bagi masyarakat. Karakter orang-orang nomaden (disiplin, bertanggungjawab, curang, licik) merupakan fakta dan sisi lain yang memberikan dampak budaya bagi masyarakat, serta keagamaannya. Hal ini dikuatkan oleh Alfred Weber, bahwa budaya merupakan spiritualitas dan bentuk ekspresi intelektual kehidupan manusia, atau sebuah spiritual dan sikap intelektual kehidupan manusia.[17] Budaya dipahami sebagai ekspresi atau ciri khusus yang dimiliki oleh kelompok tertentu, yang menunjukkan sisi kebanggaan yang ditonjolkan dan memiliki sifat yang mengikat.
Sebagaimana konsep Ibn Khaldun (1332-1406) dalam karyanya ‘Muqoddimah’ bahwa ashabiyah merupakan suatu ikatan dan dapat dipahami sebagai solidaritas social, dengan penekanan pada kesadaran, kepaduan dan  persatuan kelompok.[18] Ashabiyah juga merupakan fenomena social, psikologis, fisik dan politik. Ashabiyah ini memiliki makna dengan gagasan Emile Durkheim, yaitu ‘kesadaran kolektif’, yaitu berperan menyatukan sekolompok orang yang berhadapan dengan orang-orang asing, sekaligus mengukuhkan nilai dan norma kelompok tersebut.
Sepanjang sejarah Islam, terdapat hubungan yang kuat antara ‘ashabiyah dan agama.Ikhwan al-shafa,[19] Ibn Khaldun dan pemikir lainnya menyakini bahwa agama dapat memperkokoh ikatan kelompok.  Fungsi social agama dalam mempersatukan orang dapat dilihat dari capaian bangsa Arab setelah menjadi muslim.[20] Hal ini dapat dilihat ketika ashabiyah kesukuan orang Arab bertemu dengan beberapa penganut agama, orang Arab menjadi sangat religious.
Dalam berbudaya biasanya orang-orang menggantungkan pada kelompoknya dan kekuatan/ kemampuan figur seseorang, yakni dengan memperluas hubungan kekeluargaan yang memiliki struktur/jabatan di masyarakat. Dengan demikian tidak menggantungkan pada kelompok masyarakat yang kurang memiliki kekuatan.[21]
Disisi lain budaya itu sebenarnya menggambarkan ekspresi seseorang dan menyenangkan, sehingga budaya itu anti institusi/lembaga dengan kata lain budaya tidak dapat dilembagakan. Karena itu seseorang dapat mengukur kepuasan  perasaannya dan pendapatnya yang tidak ada standar obyektif yang ditetapkan, baik mutu dan nilainya dari obyek budaya yang berharga/ bernilai.[22] Artinya tidak ada ketentuan terkait mutu dan nilai dari budaya itu, meskipun budaya itu memiliki manfaat atau bernilai tinggi atau sebaliknya.
Merunut ide diatas, maka  budaya itu dapat berkembang bebas tanpa batas, karena penentunya adalah kepuasan.  Oleh karena itu tidak ada ukuran atau standar nilai dalam merumuskan sebuah budaya, khususnya dalam melihat sebuah karya seni. Konsep ini tentu patut mendapatkan kritik untuk mengurainya  dibutuhkan frame atau kerangka-kerangka tertentu, yang mampu menopang sebuah idealism budaya. Adequasi budaya dapat berupa ukuran tata nilai yang berhubungan dengan moral dan etika, jadi bukan sekedar kepuasan.

  1. C. Alasan Fundamentalisme Budaya
Berikut ada beberapa alasan penting terkait dengan bergulirnya fundamentalisme budaya. Secara sederhana dapat dijelaskan menjadi 4 (empat) aspek, diantaranya sebagai berikut :
  1. 1. Imperialisme (Imperalism)
Konsepsi tentang imperialisme pada mulanya berkembang dalam tradisi teoritis Karl Marx dan seringkali diidentikkan dengan ekspansi kapitalisme. Dominasi negara-negara maju terhadap negara-negara kecil dan terbelakang (backward countries) adalah salah satu contoh kongkrit bagaimana kapitalisme berjalan dengan satu tujuan : mencari sebesar-besarnya keuntungan dan profit. Tesis yang menguatkan adanya keterkaitan erat antara imperialism dengan kapitalisme yang dilahirkan oleh Lenin (1939) dan Hobson (1971), ini memang bukan satu-satunya pendapat. Ada hipotesis lain misalnya; Frakn (1979), Luxembourg (1968) dan Wallerstein (1974) :  menyatakan bahwa kapitalisme memiliki sejarahnya sendiri dan tidak bersinggungan erat dengan gerakan imperialisme. Meski demikian, pada kenyataannya saat ini, kita bisa melihat bahwa eksploitasi gerakan imperialisme jelas-jelas tidak terpisahkan dari proses “transaksi” antara pemilik modal dan buruh yang terpinggirkan.[23]
Ekspansi imperialisme diatas melahirkan sistem dan sruktur sosial, baik dalam wujud formasi internal ataupun eksternalnya. Menurut Amin (1976) sedikitnya ada tiga hal yang perlu dicermati dalam konteks dinamika antara dunia pemilik modal—sebagai pusat—dan dunia buruh—sebagai yang terpinggirkan (periphery). Pertama, perekonomian dunia yang terpinggirkan bersifat extraverted dan selalu berorientasi kepada upaya-upaya ekspor. Kedua, perubahan-perubahan dinamis dalam dunia ekonomi selalu paralel dengan perubahan dan pertumbuhan struktur kelas sosial. Ketiga, kemajuan masyarakat menjadi asimetris karena dunia yang terpinggirkan bergantung kepada pusat dalam pemodalan dan teknologi.[24]

  1. 2. Teori Sistem Dunia (world-system theory)
Konsepsi tentang sistem-dunia (world-system theory) tidak sama dengan teori modernisasi. Konsep ini cenderung menolak konsep imperialisme dan lebih menekankan kepada pengukuhan dominasi politik atas negara-negara peripheral seperti Afrika, Asia dan Amerika Latin. Jika teori modernisasi memetakan negara berdasar atas klasifikasi “tradisional” dan “modern”, world-system theory melihat dengan arif bahwa negara maju dan tidak maju memiliki sejarahnya sendiri-sendiri dan tidak bisa dipisahkan secara parsial. Masing-masing memiliki fungsi dan peranannya dalam konteks kemajuan yang bersifat integral.
Biasanya telaah atas world-system theory selalu dimunculkan berdasar fakta-fakta ekonomi dan politik. Hal ini bisa disebut sebagai upaya berlebihan karena menafikan factor-faktor non-materi seperti moral, budaya lokal, pola hidup, dan sebagainya. Perspektif seperti ini sebenarnya bukan hal baru dalam ranah konsepsi sistem-dunia. Dimulai oleh Caulfield (1969), Geertz (1973) hingga Jansen (1979), perspektif semacam ini sudah mengalir lama. Dalam kritik yang disampaikan atas teori materialism Karl Marx, Caulfield mengatakan, “Eksploitasi imperialism tidak hanya berkutat pada persoalansebuah kelas mencaplok kelas yang lain, tetapi pada masalah budaya mencaplok budaya yang lain.”
Seakan meneruskan dan mengamini apa yang dinyatakan Caulfield, dalam catatan kritisnya atas fenomena militansi sebagian umat Islam di dunia modern, Jansen menegaskan bahwa musuh internal umat Islam adalah “para pemikir liberal yang telah ter-Barat-kan (westernized) dan saat ini merepresentasikan diri mereka sebagai penguasa”. Artinya, pola pikir yang bisa dimaknai luas sebagai budaya dan hal-hal non-materi adalah salah satu faktor penting dalam proses pertumbuhan dan gerakan eskploitatif imperialisme. Dengan demikian, jika harus diadakan upaya-upaya revivalisme, maka harus dilakukan juga melalui jalur budaya, perubahan pola hidup, rekonstruksi identitas dan keunikan keislaman. Cara-cara ini menjadi sebuah solusi kreatif untuk memproteksi sebuah kesamaan budaya yang tidak mampu mewarnai kehidupan masyarakat yang berperadaban.

  1. 3. Identitas Gerakan Sosial (Social Movement Identity)
Salah satu upaya yang harus direncanakan untuk melakukan perubahan dalam gerakan sosial adalah restorasi jati diri dan identitas budaya (cultural identity). Melalui identitas, maka tidak akan kehilangan makna dan pengikisan atau erosi nilai-nilai budaya tradisional menuju hedonism.[25] Perlu dicatat bahwa imperialisme dahulu berbeda dengan imperalisme sekarang. Apabila imperialisme dahulu bercorak menyerang struktur dan kultur masyarakat lokal, maka imperialisme kini lebih bersifat ekspansi ekonomi yang dilakukan oleh korporasi-korporasi multi nasional. Tetapi bukan berarti bahwa imperialisme ini tidak bergerak juga pada ranah budaya. Inilah yang oleh Amin (1981) disebut sebagai open door policy. Dengan kata lain, gerakan sosial pada masa sekarang semestinya tidak hanya bertumpu kepada gerakan ekonomi semata tetapi juga mengindahkan realitas degradasi moral.[26]
Secara mendasar semua gerakan sosial tidak bisa dilepaskan dari fenomena-fenomena negatif dalam masyarakat semisal adanya ketimpangan, ketidakadilan dan penyimpangan budaya yang menyebabkan kemarahan dan rasa frustasi. Trotsky (1959) pernah menyatakan bahwa pemberontakan adalah fitrah dari sebuah kerumunan masyarakat, the masses would be always in revolt, dan untuk mencapai hal itu diperlukan media yang salah satunya adalah ideologi. Sebab ideologi bukanlah mesin otomatik yang dapat bergerak mengikuti perubahan dan perkembangan ekonomi, maka sebuah ideologi harus diartikulasikan. Di sinilah peran penting aktor atau individual mutlak diperlukan sebagaimobilization resource (sumber utama sebuah gerakan).[27]

  1. 4. Budaya Global (Global Culture)
Apa yang disebut dengan Budaya Global (global culture) mengandaikan adanya kesatuan, kesamaan atau integrasi budaya. Pertanyaanya adalah: apakah Budaya Global benar-benar ada? Jika jawabannya itu “iya”, maka kita dihadapkan dengan sebuah proses yang biasa dikenal dengan istilah globalisasi budaya (globalization of culture). Pada ranah ini upaya integrasi dan disintegrasi bermain, tidak hanya dalam konteks antar negara tetapi juga antar bangsa. Oleh karena itu, ada banyak faktor yang terlibat di dalamnya dan berfungsi sebagai media komunikasi dan “pertukaran”, seperti lalu lintas kebutuhan, masyarakat, informasi, ilmu pengetahuan dan kecitraan. Semua itu saling berkelindan untuk menjalin sebuah otonomi dalam dunia global. Maka tak heran jika kemudian muncul istilah Budaya Ketiga (the third culture) sebagai implikasi dari proses globalisasi budaya tersebut. Meski demikian, globalisasi bisa diartikan sebagai upaya melemahkan nation-state ataupun budaya setempat. Munculnya the third culture bukanlah implikasi logis dari penyamaan budaya (homogenisasi), yang semestinya dilakukan adalah memahami latar budaya dalam sebuah bangsa atau negara untuk mencapai pemahaman global, tentang budaya demi meretas dialektika global.[28]
Salah satu gejala dan imej budaya yang mengemuka dalam konteks Budaya Global adalah postmodernisme. Postmodernisme menolak homogenitas dan menghargai keragaman, perbedaan, kekayaan corak, wacana dan praktik-praktik kelokalan. Paradigma postmodernisme menepikan simbolisme rigid dan hirarkis. Globalisasi memerlukan konseptualisasi pada level yang baru yang bisa merangkul semua perbedaan dan keragaman.[29]
Dalam Teori Sosial dan Sosiologi modern, Anthony Gidden, menjelaskan bahwa perkembangan argumen sosiologi yang popular adalah melanjutkan sebuah ‘proyek modernitas’. Diantaranya dengan melakukan faham reduksionis ekonomi, tetapi focus pada tiga aspek utama dalam mengukur modernitas, yaitu pengembangan kekuatan administrasi, kekuatan militer dan perang.[30]
Disisi Lain Sosiologi memiliki tugas yang tidak mudah untuk melakukan teoritisasi dan konseptualisasi dalam konteks Budaya Global. Tugas ini tentu saja tak bisa diselesaikan hanya satu media sosiologi, sebab ilmu sosial adalah sebuah perpaduan dari banyak disiplin lainnya, semisal sejarah dan filsafat. Dan salah satu tugas sosiologi, menurut Tiryakian (1986), adalah melakukan rotasi kajian dari masyarakat-masyarakat lokal ke arah isu-isu global dan internasional.[31]
Dalam tradisi Perancis, kajian tentang kemanusian (humanity) muncul sebagai studi lengkap dalam tulisan-tulisan akhir Durkheim. Menurut Durkheim, keragaman manusia mengharuskan mereka berkembang ke satu arah, yaitu kemanusian. Durkheim mengaitkan ajaran kemanusian dengan dogmatika Kristen. Menindaklanjuti Durkheim, Tenbruck kemudian memaparkan wacana tentang budaya ideal yang menurutnya juga bisa dijajaki akarnya dalam dogmatika dan tradisi kekristenan (Christendom).
Sementara budaya barat di America sangat komplek, beberapa kelompok agama Kristen telah menyamakan budaya itu dengan “dunia”, karena itu harus menjauhkan diri; tetapi sesungguhnya yang lain  mempunyai identitas tentang agama Kristen dengan nilai-nilai dan budaya yang maju “progress”. H. Richard Niebuhr mempunyai pandangan lebih jelas dalam Kristen dan Budaya (in Christ and Culture), bahwa terdapat sebuah posisi spectrum yang dapat diklaim sebagai silsilah kuno (warisan nenek moyang). Ketegangan kekal ini telah ditekankan oleh sekularisasi dramatic dari budaya barat pada abad ini.[32]

  1. 5. Logika Budaya (Cultural Logic)
Secara sederhana logika budaya merupakan bentuk dari kapitalisme lanjut dengan ciri ideologisnya.[33] Logika budaya atau norma hegemoni menjadi sebuah konsep natural dalam mengukur dan menentukan nilai. Menurut Raymond William, Dorongan budaya merupakan satu kekuatan, yang berbeda dengan bentuk residual (bekas) dan emergent(baru) dari produk budaya. Apabila tidak mencapai dominasi budaya secara general, maka kembali pada sejarah sebagai suatu keragaman, dengan tujuan yang berbeda, serta kondisi yang hilang dan secara efektif  merupakan bentuk keraguan. Mutu budaya itu dinilai dari semangat politik, sehingga mampu menganalisis dan memikirkan tentang norma baru budaya yang sistematis dan mereproduksi dalam bentuk adiquasi yang efektif dari politik budaya radikal.[34]

  1. Analisis Gerakan Fundamentalis Budaya
Alasan fundamentalis budaya tersebut memiliki sebuah konsep menarik khususnya pada wacana, dimana letak budaya dalam konsepsi sistem-dunia (word-system theory). Bagi Wallerstein, sistem-dunia tidak bisa dilepaskan dari logika sempit yang mengandaikan adanya proses akumulatif kapitalisme yang tanpa henti. Hipotesis ini dikritik oleh Worsley yang menganggap teori Wallerstein sebagai bentuk lain dari paradigm ekonomi-politik dan tidak memberikan ruang layak kepada budaya. Dalam pandangan Worsley, dunia modern tidak akan pernah terbentuk tanpa dimensi-dimensi budaya.
Menurut Robertson, nation-state tidak hanya berinteraksi tetapi juga membangun dunia global yang memiliki satu ruang (singular place) dengan berbagai proses dan bentuk-bentuk integrasi di dalamnya. Bagi Robertson, akselerasi globalisasi sebenarnya sudah dimulai sejak 1880an. Munculnya ide penyatuan nation-state adalah salah satu implikasi dari proses tersebut dan tidak boleh dianggap sebagai rintangan, karena hal ini juga merupakan bagian dari globalisasi.[35]
Globalisasi, sebagai salah satu upaya memperluas cakrawala budaya, bisa juga dipahami sebagai keberagamaan global (global ecumene) yang mengindikasikan dua hal. Pertama, homogenitas dan ketimpangan budaya. kedua, budaya tran-nasional yang bisa dipahami juga sebagai Budaya Ketiga (the third culture). Appadurai mengingatkan adanya kompleksitas budaya global yang menurutnya bisa meruntuhkan model interaksi pusat – pinggiran atau centre-periphery. Lebih dari itu, Appadurai menguraikannya dalam lima dimensi budaya global yang bisa bergerak dalam ritme non-isomorfik. Pertama,ethnoscapes: laju dan lalu lintas masyarakat seperti tourisme, migrasi, pengungsian, dan pekerja. Kedua, technoscapes: lalu lintas dan perkembangan mekanik yang dilakukan oleh korporasi multinasional, nasional atau egensi pemerintah. Ketiga, finanscapes: lalu lintas financial yang lahir dari rahim pasar. Keempat, mediascapes: perkembangan yang muncul dari lalu lintas informasi di surat kabar, majalah, televisi dan film. Kelima, ideoscapes: perkembangan yang dipacu oleh negara atau gerakan non-pemerintah.[36]
Sesungguhnya untuk mencermati fundamentalisme budaya, maka peran   agama bisa menjadi faktor penting dalam menggerakkan ideologi dan merespon imperialisme. Gerakan revolusi di Iran adalah salah satu contoh yang bisa dipaparkan di sini. Tidak hanya sebatas ideologi, agama juga bisa menggerakkan massa melalui ritual, koneksi keimanan (connection of clerical), dan gerakan arus bawah. Salah satu contoh ritual yang dijadikan sebagai media pergerakan, adalah shalat jum’at. Ayatullah Khomeini, penggerak revolusi Iran, menyebut shalat jum’at sebagai important means of mobilizing the people(media penting untuk menggerakkan masyarakat). Meski demikian, gerakan-gerakan berbasis agama ini tidak bisa begitu diklaim sebagai respon atas imperialisme budaya semata. Ada hal-hal lain yang bisa menjadi pemicu, semisal etnisitas, deskriminasi, kepemimpinan dan lain-lain.[37]
Secara konkrit, Islam sebagai sebuah agama, tidak menyatakan keterkaitan agama dengan gerakan sosial. Meski demikian, umat Islam mengenalkan Islam sebagai ad-din wa ad-daulah atau religion and state/politics atau agama dan negara/politik. Bagi umat Islam, Islam sebagai agama dan politik adalah dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Apalagi, menurut Westheus (1982), setiap agama lahir sebagai sebuah gerakan protes atau kritik, sebagai sebuah pertanda ke arah perubahan sosial.
Di dalam konteks Negara-negara Timur Tengah, gerakan revivalisme Islam juga tak bisa melepaskan diri dari peran pemerintah. Maksudnya, gerakan sosial yang lahir di sana masih bertumpu kepada sosok elit yang berkuasa untuk mencari legitimasi politis. Mungkin, seperti jargon bahwa Islam adalah ad-din wa ad-daulah, elit pemerintah masih diperlukan untuk merangkul identitas dan symbol-simbol keislaman. Fenomena seperti ini bisa dilihat, misalnya, pada apa yang terjadi di Aljazair, Libya, Arab Saudi, Malaysia dan Pakistan. Dalam konteks Negara-negara tersebut, pemerintah masih memiliki peran yang signifikan dalam membantu, mendorong atau memberikan sanksi atas gerakan-gerakan sosial Islam.
  1. Tawaran Budaya Islami Yang Modern
Salah satu konsekuensi perubahan yang disebabkan oleh globalisasi adalah munculnya problem komunikasi antar budaya. Gessner dan Schade menjelaskan bahwa komunikasi antar budaya telah dijadikan area penelitian sejak tahun 1960an guna mengetahui persoalan praktis dan kesalahpahaman. Untuk mengatasi problem ini, kita harus menggunakan perspektif kosmopolitan. Saat ini modernitas sudah menemui batasnya. Perang budaya yang berpijak pada negara sudah tidak bisa diterima. Saatnya kini masa postmodernisme yang menawarkan lebih banyak ruang untuk toleransi dimana batas-batas budaya dan nasionalisme ditimbang dan dirajut kembali.
Beragam respon yang muncul terkait proses globalisasi menandakan bahwa masih ada secercah harapan untuk membangun budaya bersama (unified global culture). Intensitas dan kecepatan lalu lintas budaya yang terjadi saat ini semakin menguatkan gambaran bahwa dunia adalah satu ruang (singular place) yang menyimpan berbagai bentuk budaya.
Kita bisa menerima, jika dikatakan bahwa Islam adalah sebuah ideologi gerakan. Namun demikian, gerakan sosial dalam Islam juga tak luput dari jerat-jerat politik. Bahkan, realitas politik dalam banyak hal lebih berperan menggerakkan dan melahirkan gerakan-gerakan sosial. Dengan kata lain, kita bisa mempertegas bahwa gerakan sosial dalam Islam (sebut saja Revivalisme Islam sebagai contohnya) terbentuk oleh dua hal : respon pemerintah Muslim terhadap  serangan budaya dan tantangan kekinian dari luar dan upaya mempertahankan legitimasi cultural dan budaya lokal. Akan tetapi, tidak bisa hanya meletakkan faktor politik sebagai faktor satu-satunya, sebab masih ada faktor-faktor lain, seperti ideologi.
Oleh karena itu entri point dalam menawarkan budaya Islami yang modern dapat dijelaskan sebagai berikut :
  1. 1. Konsep Ashabiyah
Konsep ashabiyah bukan sebuah ide baru, karena konsep ini dilahirkan oleh ibn Khaldun. Konsep tersebut merupakan kelompok yang memiliki rasa kebersamaan dalam membangun solidaritas social. Secara substantif bertujuan untuk memobilisasi masa dalam melihat sebuah ketidakadilan, penyelewengan, kesewenangan dan lain-lain. Bukan berarti melakukan penghakiman tanpa pengadilan, tetapi membangun emosional untuk menciptakan sebuah budaya moral yang tinggi.
Weber menyebut teori Ibn Khaldun dengan membuktikan ‘elective’ (yang menjadi pilihan) didasarkan pada ketertarikan dan kebutuhan. Konsep tersebut menjadi tujuan sebuah deskripsi moral dan dianalisis menjadi sebuah tipe ideal yang mampu menerangi dan menjadi pencerahan filsafat social oleh Gellner disebut dengan superior account(penjelasan yang lebih baik).[38]
Ashabiyah dapat dibangun melalui ideology yang sama dengan konsep-konsep yang jelas. Bentuk Realitas social dalam memerangi kemiskinan, yakni dengan membangun sebuah lembaga Bazis sebagai mediasi  untuk berkomunikasi dengan kaum mustadafun. Budaya ini telah dikembangkan sejak ajaran Islam digulirkan, hingga kini terus dikemas dalam bentuk lebih variatif. Misalnya model YDSF, Bantuan Bencana lewat media televisi, Bedah Rumah di RCTI , Jika Aku Menjadi di Transtivi, merupakan bentuk budaya dalam membangun solidaritas dan kepekaan social, sehingga menjadi sebuah ikatan umat manusia.

  1. 2. Islam sebagai ad-din wa ad-daulah
Islam tidak sekedar agama dalam bentuk ritual yang berkomunikasi dengan Tuhannya, tetapi Islam sebagai sebuah ideology yang mampu berhubungan dengan siapa saja, baik antar manusia dan lingkungan. Islam sebagai agama tentu memiliki peran dalam membela agama Allah. Islam sebagai addin dalam bentuk ritual membangun kebersamaan dan menumbuhkan semangat solidaritas dan kekeluargaan yang mampu memperkuat dan menyatukan umat dalam naungan agama Islam. Apapun ideology umat dalam kegiatan ritual sholat jamaah tidak akan keluar dari shaf sholat hanya beda aliran.
Peran Islam melalui sector politik mampu mengendalikan pemerintahan dengan mewujudkan sebuah Negara yang memiliki tatanan dengan fundamental agama yang kuat. Tatanan pemerintah dibangun oleh berbagai partai politik Islam yang dirajut oleh beberapa partai yang berhaluan Islam. Misalnya PPP, PKB, PAN, PKNU, Partai Bulan Bintang dan lain-lain. Di Negara-negara Islam tidak diragukan lagi perannya sebagai imam sekaligus pemerintah sebagaimana di Iran, Aljazair, Libya, Arab Saudi, Malaysia dan Pakistan.

  1. 3. Islam Sebagai Excelent Service (Hizmet)
Islam sebagai agama memiliki peran dan fungsi penting dalam kehidupan masyarakat. Peran itu berupa layanan yang mengagumkan dan menyenangkan bagi semua umat. Sikapprejudis, rasialis, xenophobia dan Islamophobia harus diabaikan, karena setiap individu memiliki hak untuk mendapatkan layanan terbaik. Sebagaimana ajaran  Fethullah Gulen dengan ‘cinta dan tolerance’ melalui fungsi ajaran agama sebagai hizmet[39]

  1. 4. Islam as Common Ground (kalimah Sawa’)
Istilah tersebut digunakan pada hubungan harmonisasi antara Islam dan Kristen yang digulirkan dalam sebuah Nostra Aetate[40] tahun 1965. Harmonisasi hubungan Islam dan Kristen, sebagai upaya untuk melunakkan semua pihak khususnya Islam-Kristen. Upaya itu terutama mereka para Ustadz, Kyai, Mudin dan pimpinan keagamaan di levelgrass root, terkait bagaimana cara menjelaskan dan memformulasikan dalam bentuk gerakan.
Oleh karena itu kerangka yang dibangun adalah dengan melihat sebuah hubungan antara ilmu dan agama. ‘Allâmah Muhammad Iqbal menulis tentang tema ini : Kemanusiaan memerlukan tiga hal sekarang ini, diantaranya : 1). Interpretasi spiritual atas alam semesta, 2). Emansipasi spiritual individual, dan 3). Prinsip-prinsip pokok dari signifikansi universal yang mengarahkan kepada evolusi masyarakat manusia dengan landasan spiritual.

  1. 5. Peran Cendekiawan
Intelektual, tehnokrat dan agamawan merupakan komponen yang memainkan peranan di dunia. Dalam ranah social dan budaya, aktifitas mereka dapat berdampak stagnan, jika selalu ada bayangan dibalik apa yang telah dilakukan mempunyai pengaruh besar. Dengan kata lain ada misi apa yang disembunyikan the hidden mission. Selanjutnya menilik kontek tersebut, maka harus melihatnya dari sebuah keputusan final, karena setiap apa yang dilihat adalah apa yang di dalam hatinya sendiri, begitulah sebagaimana dinyatakan oleh Max Weber.[41] Oleh karena itu perlu melakukan proses investigasi, baik dari sisi rumusan atau pembentukan konsep (pikiran) maupun dari perubahan pembentukan konsep tersebut yang bertalian dengan ahlinya, misalnya budayawan, cendekiawan, akademisi dan mediator.
  1. F. Kesimpulan
Budaya menjadi ikon atau kebanggaan suatu bangsa, maka tunjukkan pada dunia bahwa Islam dapat dibanggakan. Terorisme yang ditudingkan barat, bukanlah budaya Islam, karena teroris dapat dilakukan oleh siapa saja yang berusaha menghancurkan Islam dengan tuduhan-tudahan miring. Menyikapinya tentu dilakukan dengan seperangkat alat yang mampu menangkis atau membetengi diri dari keterpurukan.
Sementara Ekspresi budaya modern yang sangat matrialistis dan vulgar, merupakan tantangan yang dapat  mengancam nilai-nilai etika moral keagamaan masyarakat. Oleh karena itu, sangat realistis jika telah mendorong munculnya gerakan fundamentalisme, guna menentang kecenderungan hedonismevulgar dan sebagainya. Sebagai solusi kreatif dibuatlah beberapa tawaran model budaya dalam kehidupan yang religious/ Islami.
Beberapa tawaran itu dirumuskan guna menegakkan fundamentalisme, diantaranya mengurai kembali konsep ashabiyah yang lebih menukik, Islam sebagai addin wa daulah, Islam sebagai excelent service (Hizmet), Islam sebagai common ground (kalimah Sawa’) dan peran cendekiawan. Tawaran budaya Islami merupakan solusi kreatif, yakni sebagai media untuk menangkal arus modernitas dan menegakkan kembali fundamentalisme budaya yang santun dan Islami.

  1. G. Daftar Pustaka
Abdullah M. Amin, Muslim-Cristian Relation; Reinventing The Common Ground To Sustain A Peaceful Coexistence In The Global Era. Draf makalah dipresentasikan pada Seminar Internasional, ‘The Vision of Fethullah Gülen and Muslim-Cristian Relation, St. Patrick’s Campus, Australian University, Melbourne, Australia, 15-16 July 2009
Baali Fuad dan Ali Wardi, Ibn Khaldun And Islamic Thought – Style a Social Perspective, Boston, Massachusett : The United Stated Of America, 1981
Benedict Ruth, Pattern Of Culture, America : The New American Library, 1955
Bell Daniel, Modernism, Postmodernism  and The Decline Of Moral Order In Culture And Society Contemporary Debate, Edit Jeffrey C. Alexander, Steven Seidman Cambridge : University Press, 1990
Cohen Elie,   Human Behaviour in The Concentration Camp, terj. London, 1954
Dant Tim, Knowledge Ideology And Discourse A Sociologycal Perspective, London : Routledge, 1991
Esposito John L., Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Bandung : Mizan, 2002, jilid 6
Featherstone Mike, Global Culture : An Introduction in Theory Culture And Society , in Journal  Exploration in Critical Social Science, Great Britain : J.W. Arrowsmith Ltd, 1990,  Volume 7, Number 2-3, June
————, Consumer Culture And Postmodernism, London : SAGE Publication Ltd, 1993
Gellner, E. Postmodernism, Reason and Religion, London: Hutchinson Press, 1992
Gülen Fethullah, Towards a Global Civilization of Love and Tolerance, Clifton: Light Publications, 2004Lavanda Robert H., Emily A Schultz, Core Concepts In Cultural Anthropology, America : The United States Of America, 2002
Hofstede Geert, Culture And Organizations Sofware Of The Mind Intercultural Cooperation And Its Importance For Survival, London : McGraw – Hill Book Company, 1991
Jameson Frederich, Postmodernism Or The Cultural Logic Of Late Capitalism, Durhay : Duke University Press,  1994
Lawrence, B.Bruce, Menepis Mitos: Islam di Balik Kekerasan, terj. Jakarta: Serambi, 2002
————-, Ibn Khaldun And Islamic Ideology, Leiden : E.J. Brill, 1984
————-, The fundamentalismt Revolt Against The Modern Age Defenders Of God, New York : Harper & Row Publisher, 1989
Madjid Nurcholis, Islam Doktrin Peradaban, Jakarta : Dian Rakyat, Paramadina, 2008, cet. VI
Marsden George M., Fundamentalisme And American Culture The Shapping Of Twentieth-Century Evangelicalism 1870-1925, Oxford ; University Press, 1980
Öktem Kerem and Philip Robins, Turkey’s Engagement with Modernity Conflict and Change in the Twentieth Century, Edited by Celia Kerslake, the United States, New York  : Palgrave Macmillan, 2010
Ritzer George, Teori Sosial Postmodernisme, Terj. Yogjakarta : Kreasi wacana, 2003
Sayegan Daryush, Cultural  Schizophrenia  Islamic  Societies  Confronting  The West, terj. John Howe, America : Syracuse University Press, 1992
Spradley James P, Metode Etnografi, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007 Terj. Misbah Zulfa Elizabeth
Snow David A. and Susan E. Marshall, Cultural Imperialism, Social Movements And The Islamic Revival, Tt, JAI Press, 1984
Sutrisno Mudji dan Hendar Putranto (ed),  Teori-Teori Kebudayaan, Yogjakarta : Kanisius, 2005
Tibi Bassam, Islam And The Cultural Accomodating Of Social Change, terj. Clare Krojzl Oxford : Westview Press, 1991
Thompson John B., Ideology And Modern Culture, California : Stanford University Press, 1990
Voll, J.O. The Evolution of Islamic Fundamentalism in Twentieth-Century Sudan, dalam Gabriel R. Warburg dan Uri M. Kupferschmidt (eds.), Islam, Nationalism and Radicalism in Egypt and Sudan, (New York: Oxford University Press, 1983
Wilhelm Reich, The Mass Psychology Of Fascism, Terj. Wolfe New York : Orgone Institute Press, 1946





[1] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin Peradaban, (Jakarta : Dian Rakyat, Paramadina, 2008, cet. VI),446
[2] John B. Thompson, Ideology And Modern Culture (California : Stanford University Press, 1990), 124
[3] Achmad Jainuri, Kuliah Ideologi Gerakan Islam Kontemporer, di Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel, Selasa, 21 Maret 2011.
[4] Lawrence, B.B. Menepis Mitos: Islam di Balik Kekerasan, (Jakarta: Serambi, 2002), 37
[5] Bruce B. Lawrence, The fundamentalismt Revolt Against The Modern Age Defenders Of God, (New York : Harper & Row Publisher, 1989), 2-3
[6] Gellner, E. Postmodernism, Reason, and Religion, (London: Hutchinson Press, 1992), 87
[7] Voll, J.O. The Evolution of Islamic Fundamentalism in Twentieth-Century Sudan, dalam Gabriel R. Warburg dan Uri M. Kupferschmidt (eds.), Islam, Nationalism and Radicalism in Egypt and Sudan, (New York: Oxford University Press, 1983), 97
[8] Daryush Sayegan, Cultural  Schizophrenia  Islamic  Societies  Confronting  The West, terj. John Howe (America : Syracuse University Press, 1992), ix
[9] Voll, J.O., Ibid, 84
[10] Voll, Ibid 85-86
[11] Ruth Benedict, Pattern Of Culture, (America : The New American Library, 1955), 42
[12] Tim Dant, Knowledge Ideology And Discourse A Sociologycal Perspective, ( London : Routledge, 1991), 166
[13] Scizophrenia merupakan istilah yang sering digunakan dalam bahasan psikologi. Bleuler lebih menekankan pola perilaku, yaitu  adanya integrasi otak yang mempengaruhi pikiran dan perasaan, Lihat Reich Wilhelm, The Mass Psychology Of Fascism, Terj. Wolfe (New York : Orgone Institute Press, 1946), 69  and Elie Cohen, Human Behaviour in The Concentration camp, terj. (London, 1954),  73. Schizophrenia menjadi hidden mission(penghancuran tatanan yang sudah mapan sehingga menimbulkan resistensi) Kerem Öktem and Philip Robins, Turkey’s Engagement with Modernity Conflict and Change in the Twentieth Century, Edited by Celia Kerslake (the United States, New York  : Palgrave Macmillan, 2010), First Edition, 305
[14] Pendekatan etnografi sebagai upaya mendeskripsikan suatu kebudayaan, dengan memperhatikan makna-makna suatu tindakan dari peristiwa/kejadian di masyarakat. James P Spradley, Metode Etnografi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007), Terj. Misbah Zulfa Elizabeth, 7
[15] Robert H. Lavanda, Emily A Schultz, Core Concepts In Cultural Anthropology, (America : The United States Of America, 2002), 22
[16] Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibn Khaldun And Islamic Thought – Style a Social Perspective (Boston, Massachusett : The United Stated Of America, 1981), 108-109
[17] Bassam Tibi, Islam And The Cultural  Accomodating Of Social Change, terj. Clare Krojzl (Oxford : Westview Press, 1991) 45
[18] John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern,  (Bandung : Mizan, 2002, jilid 6), 198
[19] Ikhwan al-Shafa’ merupakan gerakan yang mempertahankan semangat berfilsafat khususnya dan pemikiran rasional umumnya. Tokoh terkemuka kelompok ini adalahAhmad ibnu Abd Allah, Abu Sulaiman Muhammad Ibnu Nashr al-Busti yang terkenal dengan sebutan al-Muqaddasi, Zaid ibn Rifa’ah selaku ketua dan Abu al-Hasan Ali ibnu Harun al-Zanjany. Lahirnya Ikhwan al-shafa’ adalah ingin menyelamatkan masyarakat dan mendekatkannya pada jalan kebahagiaan yang diridhai Allah. Menurut mereka, syariat telah dinodai bermacam-macam kejahiliyahan dan dilumuri keanekaragaman kesesatan. Satu-satunya jalan untuk membersihkannya adalah filsafat.
[20] Ibid, 199
[21] Geert Hofstede, Culture And Organizations Sofware Of The Mind Intercultural Cooperation And Its Importance For Survival (London : McGraw – Hill Book Company, 1991), 55
[22] Daniel Bell, Modernism, Postmodernism  and The Decline Of Moral Order In Culture And Society Contemporary Debate, Edit Jeffrey C. Alexander, Steven Seidman (Cambridge : University Press, 1990), 320
[23] David A. Snow and Susan E. Marshall, Cultural Imperialism, Social Movements And The Islamic Revival, (Tt, JAI Press, 1984), 133 – 135
[24] Ibid,  137 -138
[25] Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed),  Teori-Teori Kebudayaan, (Yogjakarta : Kanisius, 2005), 244
[26] David A. Snow and Susan E. Marshall,  Ibid, 137
[27] Ibid, 138
[28] Mike Featherstone, Global Culture : An Introduction in Theory Culture And Society , in journal  Exploration in Critical Social Science (Great Britain : J.W. Arrowsmith Ltd, 1990),  Volume 7, Number 2-3, June
[29] Mike Featherstone, ibid, 5-6
[30] Mike Featherstone, Consumer Culture And Postmodernism, (London : SAGE Publication Ltd, 1993), 28
[31] Ibid, Global Culture, 7
[32] George M. Marsden, Fundamentalisme And American Culture The Shapping Of Twentieth-Century Evangelicalism 1870-1925, (Oxford ; University Press, 1980) vi
[33] George Ritzer, Teori Sosial Postmodernisme Terj. (Yogjakarta : Kreasi wacana, 2003), 377 -378
[34] Frederich Jameson, Postmodernism Or The Cultural Logic Of Late Capitalism, (Durhay : Duke University Press,  1994), 6
[35] Mike Fetherstone, ibid, 11-12
[36] Mike Featherstone, Ibid 8-10
[37] David Snow And Susan E. Marhall, Ibid 138 -139
[38] Bruce B. Lawrence, Ibn Khaldun And Islamic Ideology, (Leiden : E.J. Brill, 1984), 119-120
[39] Fethullah Gülen,  Towards a Global Civilization of Love and Tolerance, (Clifton: Light Publications, 2004), 78
[40] Nostra Aetate lebih tepat disebut upaya yang “terus menerus” dilakukan dalam rangka menemukan dan menerapkan Common Word/Common Ground/Kalimah Sawa’ bagi harmonisasi hubungan Islam dan Kristen. M. Amin Abdullah, Muslim-Cristian Relation; Reinventing The Common Ground To Sustain A Peaceful Coexistence In The Global Era. Draf makalah dipresentasikan pada Seminar Internasional, The Vision of Fethullah Gülen and Muslim-Cristian Relation”, St. Patrick’s Campus, Australian University, Melbourne, Australia, 15-16 July 2009
[41] Mike Featherstone, Consumer Culture Dan Postmodernisme, (London : Sage Publication, 1993),  Second Edition, vii

copyrigt; Juned Topan.. Diberdayakan oleh Blogger.