This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 26 Juli 2011

Utopisme dan Irasionalitas Sistem Khilafah Oleh Pradana Boy ZTF

Karena itu, jika khilafah diklaim sebagai sistem pemerintahan Islam yang universal, sesungguhnya akan mudah saja bagi kita menemukan sistem itu dipraktikkan di seantero Arab yang memiliki hubungan genealogis erat dengan sejarah kelahiran khilafah. Tapi yang terjadi adalah, hampir tidak ada negara-negara Timur Tengah yang mengadopsi sistem khilafah sebagai sistem negara modern. Tidak sedikit yang justru beralih mengadopsi sistem republik atau republik demokratis.

Proliferasi gerakan Islam berideologi kanan di Indonesia beberapa tahun belakangan, membuka kembali perdebatan tentang khilafah Islam. Ini terjadi karena Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), salah satu eksponen gerakan Islam ideologis di Indonesia, mengusung gagasan perlunya kembali ke sistem khilafah sebagai solusi semua problem yang dihadapi bangsa-bangsa dunia, termasuk Indonesia. Tulisan ini bermaksud mengkaji utopisme dan irasionalitas adopsi sistem khilafah Islam dalam konteks modernitas.

Irasionalitas mengadopsi sistem khilafah dalam konteks masa kini, sebenarnya bisa diidentifikasi melalui pelacakan setting dan struktur sosial suatu masyarakat. Kajian tentang sejarah pembentukan dan evolusi bentuk-bentuk pemerintahan di negara-negara Arab yang dilakukan Nazih al-Ayubi (1995) dalam Overstating Arab States, bisa dijadikan salah satu contoh. Al-Ayubi menggunakan kerangka teori Marxisme tentang mode of production untuk menganalisis evolusi sistem kenegaraan di dunia Arab. Tapi yang terjadi ketika menggunakan kerangka teori tersebut? Kegagalan dalam menjelaskan fenomena yang terjadi di Arab sana. Kerangka teori Marxisme mengidentifikasi bahwa suprastuktur negara sangat ditentukan oleh basis masyarakat. Oleh Marx, basis itu tidak lain adalah mode of production dan relasi antar para pemilik sarana-sarana produksi.

Di masyarakat Barat di mana Marx menelurkan gagasannya, sarana produksi lebih bersifat modern. Tapi dalam masyarakat Arab pra-Islam,mode of production seperti yang diandaikan Marx tidaklah ada. Yang berlangsung adalah apa yang disebut dengan Asiatic mode of productionatau model produksi Asia, di mana pemilik unsur-unsur produksi adalahtribe (suku). Yang dimiliki tidak lain adalah tanah. Penguasaan unsur produksi pada akhirnya ditentukan oleh pemilikan atas tanah. Untuk membuktikan bahwa basis menentukan suprastruktur, pendekatan Marxian bisa diterapkan di sini. Karena dominasi pemilikan tanah ada di tangan suku, maka proses penentuan suprastruktur negara sangat ditentukan oleh ikatan-ikatan primordial yang kemudian dikenalkan oleh Ibn Khaldun dengan nama ashabiyah (fanatisme).
Dalam konteks inilah, Ibn Khaldun kemudian mengintrodusir gagasan bahwa satu-satunya jalan untuk mengontrol negara adalah dengan peperangan, sehingga terjadi pergeseran pola produksi dari Asiatic mode of production kepada tributary, military atau conquest mode of production. Lahirnya imperium Islam, sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari mode produksi seperti ini. Jika dilihat secara kasar, tributary mode of production ini sebenarnya terjadi dalam satu sistem pemerintahan bernama khilafah.

Dalam konteks ini, simplifikasi khilafah sebagai sistem pemerintahan yang terbaik menjadi sangat ahistoris. Dengan melihat struktur sosial di atas, khilafah sama sekali bukan sistem Islam. Ia adalah produk zaman, di mana sistem kenegaraan didasarkan tribe atau puak sangat mendominasi. Lahirnya sistem khilafah adalah evolusi dari sistem dan mekanisme yang berkembang dalam tradisi masyarakat Arab pra-Islam. Karena itu, dia mengandung unsur-unsur partikularistik yang tidak bisa diadopsi begitu saja dalam konteks masyarakat yang memiliki sistem sosial yang berbeda.

Karena itu, jika khilafah diklaim sebagai sistem pemerintahan Islam yang universal, sesungguhnya akan mudah saja bagi kita menemukan sistem itu dipraktikkan di seantero Arab yang memiliki hubungan genealogis erat dengan sejarah kelahiran khilafah. Tapi yang terjadi adalah, hampir tidak ada negara-negara Timur Tengah yang mengadopsi sistem khilafah sebagai sistem negara modern. Tidak sedikit yang justru beralih mengadopsi sistem republik atau republik demokratis. Ini menunjukkan bahwa sistem bernegara adalah sesuatu yang bersifat evolutif dan merupakan human construction atau konstruksi manusia yang tidak terlalu jauh melibatkan Tuhan.

Dengan menjadikan negara-negara Arab sebagai objek pengamatan, Ibn Khaldun juga sampai pada kesimpulan bahwa terdapat lima tahapan perkembangan dan keruntuhan suatu negara: konsolidasi, tirani, eksploitasi hak-hak istimewa, perdamaian serta desolusi, dan pembusukan (Fakhry, 2003: 342). Pada tahapan yang terakhir ini, kekuasaan akan mengalami pembusukan, karena menurut Ibn Khaldun, telah terjadi penyalahgunaan hak milik publik untuk kesenangan penguasa (monarch).

Apa yang diidentifikasi Khaldun ini tentu terjadi dalam sebuah konteks di mana khilafah menjadi sistem dominan bagi bangsa-bangsa Arab di masa lampau. Karena besarnya potensi penyimpangan yang luar biasa pada sistem khilafah itulah, menjadi maklum kalau negara-negara Arab belakangan ini mulai melirik demokrasi sebagai sistem alternatif (Richard N. Hass, 2003).

Tentu demokrasi tidak sepenuhnya baik. Tapi sampai hari ini, demokrasi selalu dirujuk sebagai sistem pemerintahan terbaik. Di banding sistem pemerintahan lainnya, demokrasi termasuk yang paling reliable atau andal. Dan dalam demokrasi sendiri, terdapat varian-varian yang cukup beragam. Tapi keragaman varian itu sah saja sepanjang nilai-nilai dasar demokrasi tetap diberlakukan.

Tapi sementara kelompok menolak demokrasi atas dasar keyakinan bahwa hukum Tuhan adalah hukum terbaik. Gagasan ini sangat utopis dan terlampau abstrak. Bagaimana hukum Tuhan yang abstrak itu akan diberlakukan untuk menangani persoalan-persoalan kemanusiaan, kalau tidak juga melewati campur tangan manusia. Sementara pada awal pewahyuan saja hukum-hukum Tuhan itu masih memerlukan penjelasan teoretik dan praksis dari Nabi, apatah lagi di masa kita yang hidup di alam yang jauh dari Nabi. Penafsiran hukum-hukum Tuhan tidak pernah bisa dielakkan. Dalam konteks itu, demokrasi juga dapat disebut sebagai kreasi manusia untuk mengaktualisasi hukum Tuhan dalam konteks profanitas kehidupan manusia. Demokrasi tidak bermakna hilangnya suara Tuhan.

Bahwa Islam punya banyak sistem dalam mengatur kehidupan, tentu bisa dibenarkan. Tapi klaim bahwa Islam punya sistem bernegara yang lebih baik juga kesimpulan yang terburu-buru. Namun demikian, Islam punya hak dan potensi untuk mengadopsi nilai-nilai demokrasi yang tidak destruktif. Di luar soal dari mana demokrasi berasal, nilai-nilai demokrasi sebenarnya sangat kompatibel dengan Islam. Karena itu, yang diperlukan bukan semata-mata mengadopsi demokrasi ala Barat itu, melainkan melakukan “ekstraksi” sehingga nilai-nilai demokrasi yang sudah universal pada dasarnya itu bisa bertemu dengan gagasan Islam yang rahmatan lil `alamin.

Para filosof muslim telah memberikan teladan, bagaimana melakukan akselerasi warisan filsafat Yunani dengan nilai-nilai genuine Islam, sehingga lahirlah filsafat Islam yang kaya dan sarat dengan nilai-nilai Islam. Tapi meski begitu, mereka juga tidak menafikan perujukan terhadap filsafat Yunani sebagai inspirasi. Pilihan untuk meninggalkan sistem khilafah dan menggantinya dengan demokrasi justru menunjukkan kekayaan Islam dan fleksibilitas agama ini dalam melakukan akselerasi dengan perubahan.

23/05/2005 | Kolom, | #

Komentar Masuk (15)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

apakah khilafah tidak dekat dgn tirani ? menurut sejarah, “islam” pernah mengalami masa keemasan dengan menyebarkan “islam” dengan tirani sampai ke eropa, tapi tidak bertahan lama -itu jelas mungkin Allah tidak merestui- telah membuktikan cara itu tidak benar dan gagal total. Jelas Fanatisme euphoria dongeng masa lalu tidak mungkin terlaksana, kecuali dengan tirani. Kalau jelas saya tidak mau, bagi saya Nabi Muhammad itu no. 1. Dan saya masih bingung Nabi tidak pernah menunjuk orang lain dgn kata kasar bahkan buruk, tpi d sini ada. ?????!!!?!?!?!?!? aku mohon ampun kepada Allah

Posted by ratnaboy on 09/19 at 06:56 AM

sangat menyedihkan pertentangan khilafah terjadi, khilafah harus ditegakkan kembali, islamisasi peradaban harus digencarkan, jika liat sejarah khilafah menjadai pemerintahan yang serbaik, dan islam mencapai masa keemasannya, namun ketika khilafah ditumbangkan tahun 1924, Peradaban islam mulai tergeserkan dengan arus sekulerisme, sekulerisasi membuat kita luapa akan syariat yang ada. islam adalah totalitas kita dalam kehidupan bukan sekedar pegagang dan status. maka sudah saatnya kita secara totalitas kembali kepada jalan yang benar. khilafah sebagai salah satu syariat harus kita tegakkan.

Posted by oktavia okto on 08/25 at 06:02 AM

Mas ga usah banyak komentar, istigfar sekarang atau bersama-sama perjuangkan Khilafah, ALLAHU AKBAR
——-

Posted by Ganda ewata on 04/28 at 12:05 AM

Kalau khilafah dimaknai sbg model pemerintahan, maka tulisan Boy ini ada benarnya.

Namun sebenarnya ada kerancuan pemahaman khilafah pada beberapa aktivis gerakan Islam, yg mana khilafah dimaknai sbg sistem/model pemerintahan.

Khilafah hendaknya dimaknai kembali pada esensinya, yaitu sebuah naungan bagi ummat Islam. Khilafah dalam pengertian ini, maka memang sebagian besar ulama memandang wajib mengusahakannya.

Mengenai model pemerintahan, maka ini adalah berkembang seiring dinamika ummat. Bisa saja model pemerintahan republik. Tidak ada nash ttg model pemerintahan ini. Pada faktanya setelah khulafaur-rasyidin, adanya adalah khilafah kerajaan. Jadi tdk menutup kemungkinan khilafah republik. Tdk ada yg mengharamkan kerajaan ataupun republik. Ini kembali pada kesepakatan dan dinamika masyarakat.

Model pemerintahan apapun, jika dimasukkan asumsi yg sama, misalnya pemimpinnya adil, rakyatnya baik, maka akan menghasilkan output yg baik.

Jadi, berbeda antara khilafah dg model pemerintahan.

Salam, Edy M

Posted by Edy Marwanta on 06/13 at 08:06 PM

Negara didirikan atas asas persamaan dari suatu kumpulan orang ,maka hal ini diartikan adanya penduduk,adanya wilayah,adanya sistem pemerintahan, maka hal ini akan timbul sebuah Negara. Di zaman Nabi Muhammad SAW, adanya suatu wilayah di kawasan negeri arab,yang mungkin kita namakan Wilayah Mecca atau Mekah dan Madinah.Diwilayah tersebut sudah ada sistem pemerintahan yang sangat kacau, dimana semua orang selalu menyembah berhala ,membunuh bayi perempuan dan masih banyak lagi penistaan yang dilakukan pada zaman tersebut, dan zaman tersebut adalah zaman jahiliah. Rasul datang kebumi sebagai utusan Tuhan datang kebumi untuk dapat meluruskan sistem pemerintahan yg sudah hancur. Dahulu negeri arab adalah negeri yang sangat terbelakang dari peradaban manapun, tapi setelah islam lahir yang di bawa oleh rasul,maka sistem pemerintahan dirubah sebagai aturan yang tercantum dalam Al Quran, maka hal ini dapat dikatakan bahwa setelah datang Islam maka wilayah arab dapat berkembang dengan baik dan dapat pula mengalahkan sistem pemerintahan yang lain seperti Romawi dan Persia. Disini kita ambil kesimpulan bahwa apa yang dikatakan JIL sebagai pelopor jaringan sesat, memisahkan sistem negara dan Agama, maka hal itu jelas bertolak belakang terhadap upaya islam dalam membentuk negara yg di ridhoi Allah SWT,ingat dulu islam dapat membantu negara eropa dalam pengetahuan ilmu politik dan ilmu pemerintahan, tapi setelah negara islam lulai dengan kemewahan yg ada maka pemerintahan eropa dapat mengalahkan pemerintah islam di Arab.Jadi jelas negara tanpa agama akan seperti tubuh tanpa kaki,atau sebaliknya.Ingat Agama islam akan selalu unggul dalam berpolitik kenegaraan, jika para pemeluk islam dapat menjalan islamnya secara Kaffah.

Senin, 25 Juli 2011

Sejarah Khulafaur Rasyidin


Pada saat Nabi Muhammad meninggal, beliau tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik Islam setelah beliau wafat. Beliau tampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Karena itulah, tidak lama setelah beliau wafat, belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh muhajirin dan anhsar berkumpul di Balai kota Bani Sa’idah, Madinah. Mereka musyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot karena masing-masing pihak, baik muhajirin maupun anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam. namun semangat ukhuwah islamiyah yang tinggi, akhirnya, Abu Bakar, terpilih. Rupanya, semangat kegamaan Abu Bakar mendapat penghargaan tinggi dari umat Islam. setelah Abu Bakar meninggal dia kemudian mengangkat Umar sebagai penggantinya, setelah Umar meninggal dia, tidak menunjuk satu orang untuk menggantikannya tetapi meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang diantara 6 orang sahabatnya itu. kemudian Utsman ditunjuk oleh masyarakat pada saat itu. Utsman dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang kecewa kepada kepemimpiannya itu. setelah Utsman wafat, masyarakat beramai-ramai membaikat. Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah pada tanggal 20 Ramadhan 40 H. (660). Ali terbunuh oleh salah seorang anggota khawarij. Dengan demikian berakhirla apa yang disebut dengan masa khulafaur Rasyidin dan dimulailah kekuasaan Bani Umayah dalam sejarah politik Islam.

Pengertian Khalifah

Khalifah adalah pemimpin yang diangkat sesudah nabi wafat untuk menggantikan beliau melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan.

Dalam sejarah Islam, sempat orang pengganti nabi yang pertama adalah para pemimpin yang adil dan benar. Mereka menyelematkan dan mengembangkan dasar-dasar tradisi dari nabi bagi kemajuan Islam dan umatnya. Karena itu gelar “yang mendapat bimbingan di jalan lurus” (Al-Khulafa Ar-Rasyidin) diberikan kepada mereka yaitu:

Abu Bakar As-Shidiq (11-13 M/632-634 M)

Nama lengkapnya ialah Abdullah bin Abi Quhafa at-Tamimi. Di zaman praislam bernama Abdulll Ka’bah, kemudian diganti oleh nabi menjadi Abdullah. Ia termasuk salah seorang sahabat yang utama. Julukannya ialah Abu Bakar (bapak pemuji) karena dari pagi-pagi betul (orang yang paling awal) memeluk Islam. gelarnya as-Shidiq di perolehnya karena ia dengan segera membenarkan nabi dalam berbagai peristiwa, terutama isra’ mi’raj. Nabi seringkali menunjuknya untuk mendampinginya di saat-saat penting atau jika berhalangan, rasul mempercayainya sebagai pengganti untuk menangani tugas-tugas keagamaan dan atau mengurusi perosalan-persoalan di Madinah.

Pidato Inagurasi yang diucapkan sehari setelah pengangkatannya menegaskan totalitas kepribadian dan komitmen Abu Bakar terhadap nilai-nilai Islam dan strategi menilai keberhasilan tertinggi bagi umat sepeninggal nabi.

Abu Bakar menjadi khalifah hanya dua tahun. Masa sesingkat itu ia habiskan untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri terutama tantangan yang ditimbulkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintah Madinah. Mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat nabi Muhammad, dengan sendirinya batal setelah nabi wafat. Karena sikap keras kepala dan penentang mereka dapat membahayakan agama dan pemerintahan, Abu Bakar menyelesaikan persoalan in dengan cara perang Riddah (perang melawan kemudharatan) Khalid Ibn al-Walid adalah jenderal yang banyak berjasa dalam perang Riddah ini. Riddah berarti murtad, beralih agama dari Islam ke kepercayaan semula, secara politis merupakan pembangkang (Distorition) terhadap lembaga khalifah.

Oleh karena itu, khalifah dengan tegas melancarkan operasi pembersihan terhadap mereka. Mula-mula hal itu dimaskudkan sebagai tekanan untuk mengajak mereka kembali kejalan yang benar, kemudian tindakan kebersihan juga dilakukan untuk menumpas nabi-nabi palsu dan orang-orang yang enggan membayar zakat.

Penumpasan terhadap orang-orang murtaf dan para pembangkang tersebut terutama setelah mendapat dukungan dari suku Qutafan yang kuat ternyata banyak menyita konsentrasi, khalifah baik secara moral maupun politik. Situasi keamanan negara Madinah menjadi kacau, sehingga banyak sahabat, tidak terkecuali Umar yang dikenal keras, menganjurkan bahwa dalam keadaan yang begitu kritis lelah baik kalau mengikuti kebijakan yang lunak. Terhadap ini khalifah menjawab dengan marah.

Selama peperangan Riddah, banyak dari (penghafal Al-Qur’an) yang tewas. Karena orang-orang ini merupakan penghafal bagian-bagian Al-Qur’an, Umar cemas jika bertambah lagi angka kematian itu, yang berarti beberapa bagian lagi dari Al-Qur’an akan musnah. Karena itu, menasehati Abu Bakar untuk membuat suatu “kumpulan” Al-Qur’an kemudian ia memberikan persetujuan dan menugaskan Zaid ibn Tsabit. Para ahli sejarah menyebutkan bahwa pengumpulan Al-Qur’an ini termasuk salah satu jasa besar dari khalifah Abu Bakar.

Sesudah memulihkan ketertiban di dalam negeri. Abu Bakar lalu mengalihkan perhatiannya untuk memperkuat perbatasan dengan Persia dan Byzantium, yang akhirnya menjurus kepada serangkaian peperangan kedua kekaisaran itu.

Tentara Islam dibawah pimpinan Musanna dan Khalid ibn Wali dikirim ke Irak dan menaklukkan Hirah; sedangkan ke Suriah, Abu Bakar mengutus empat panglima, yaitu Abu Ubaidah, Yazid Ibn Abi Sufyah, Amr Ibn As dan Syutahbil.

Ekspedisi ke Suriah ini memang sangat besar artinya dalam konstalasi politik umat Islam, karena daerah protektorat itu merupakan front terdepan wilayah kekuasaan Islam dengan Ramawi timur. Faktor penting lainnya dari pengiriman pasukan besar-besaran ke Suriah ini sekaligus dimpimpin oleh empat panglima adalah karena umat Islam memandang suriah sebagai bagian integral dari semenanjung Arab.

Umar Ibn Khattab (13-23 H/633-644 M)

Ia bernama Umar Ibn Khattab ibn Nufail keturunan Abdul ‘Uzza Alquraisy dari suku Adi, salah satu suku yang terpandang muka, ia dilahirkan di Mekkah empat tahun sebelum kelahiran nabi saw. dia adalah seorang yang berbudi luhur, fasih dan adil serta pemberani ia ikut memelihara ternak ayahnya, dan berdagang hingga ke Syria ia juga dipercaya oleh suku bangsanya, Quraisy untuk berunding dan mewakilinya bila ada persoalan dengan suku-suku lain. Umar masuk Islam pada tahun kelima setelah kenabian dan menjadi salah satu sahabat terdekat nabi saw. ia berkorban untuk melindungi nabi saw. dan agma silam. Dan ikut berperang dalam peperangan yang besar dimasa rasul saw. serta dijadikan sebagai tempat rujukan oleh nabi mengenai hal-hal penting. Ia dapat memecahkan masalah yang rumit tentang siapa yang berhak mengganti Rasulullah dalam memimpin umat setelah wafatnya Rasulullah saw sebelum Abu Bakar meninggal dunia ia telah menunjuk Umar Ibn Khattab menjadi penerusnya. Dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadi perselisihan dan perpecahan dikalangan umat Islam. kebijaksanaan Abu Bakar tersebut ternyata diterima masyarakat yang segera membaiat Umar. Umar menyebut dirinya khalifah khalifati Rasulullah (pengganti dari pengganti Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amir al- Mu’min (Komandan daerah kekuasaan).

Dizaman Umar gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi, Ibu kota Syria, Damaskus, jaruh tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Byazantium kalah dipertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke bawah kekuasaan Islam.

Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi negara dengan mencontoh adminstrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi; Mekkah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Pada masanya mulai diatur dan ditertibtkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan menciptakan tahun Hijriah.

Khalifah Umar juga meletakkan prinsip-prinsip demokratis dalam pemerintahannya dengan membangun jaringan pemerintahan sipil yang paripurna- kekuasaan Umar membangun jaringan pemerintahan sipil yang paripurna. Kekuasaan Umar menjamin hak yang sama bagi setiap warga negara.

Umar dikenal bukan saja pandai menciptakan peraturan-peraturan baru dua juga memperbaiki dan mengkaji ulang terhadap kebijaksanaan yang telah ada jika itu diperlukan oleh panggilan zaman demi tercapainya kemaslahatan umat Islam.

Masa jabatannya berakhir dengan kematian. Dia dibunuh oleh seorang budak Persia bernama Feror atau Abu Lu’lah. Untuk menentukan penggantinya. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang diantaranya menjadi khalifah, enam orang tersebut adalah Utsman, ah-talhah, Zubair, Sa’ad ibn Ali Waqas dan Aburrahman ibn Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Utsman sebagai khalifah melalui persaingan yang agak ketat dengan Ali bin Abi Thalib.

Utsman Ibn Affan (23-36 H/644-656 M)

Nama lengkapnya ialah Utsman Ibn Affan Ibn Abdil As Ibn Umaiyah dari Puak Quraisy. Ia memeluk Islam lantaran ajakan Abu Bakar, dan menjadi salah seorang sahabat dekat nabi saw ia sangat kaya dan menjadi salah seorang sahabat dekat nabi ia sangat kaya tetapi berlaku sederhana dan sebagian besar kekayaannya digunakan untuk kejayaan Islam. ia mendapat julukan zul nurain, karena mengawini putri kedua putri nabi saw ia juga merasakan penderitaan yang disebabkan oleh tekanan kaum Quraisy terhadap muslimin di Mekkah, dan ikut hijrah ke Abesinia beserta isinya ia menyumbang 950 ekor dan 50 bagol serta 1000 dirham dalam ekspedisi untuk melawn Byzantium diperbatasan Palestina. Ia juga membeli mata air orang-orang Romawi yang terkenal dengan harga 20.000 dirham untuk diwakafkan bagi kepentingan umat Islam, dan pernah meriwayatkan hadits kurang lebih 150 hadits.

Masa pemerintahan beliau adalah yang terpanjang dari semua khalifah di zaman khulafaurasyidin, yaitu 12 tahun, tetapi sejarah mencatat tidak seluruh masa kekuasaannya menjadi saat yang baik dan sukses baginya. Para pencatat sejarah membagi zaman pemerintahannya Ustman menjadi dua periode, ialah 6 tahun pertama merupakan masa pemerintahan yang baik, dan 6 tahun terakhir merupakan masa pemerintahan yang buruk.

Selama paruh pertama masa pemerintahannya, Utsman melanjutkan sukses para pendahulunya, terutama dalam perluasan wilayah kekuasaan Islam. daerah-daerah startegis yang sudah dikuasai Islam seperti mesir dan Irak terus dilindungi dan dikembangkan dengan melakukan serangakaian ekspedisi militer yang terencakan secara cermat dan simultan disemua front.

Karya besar Utsman lainnya dipersembahkan kepada umat Islam ialah susunan kitab suci Al-Qur’an. Penyusunan Al-Qur’an dimaksudkan untuk mengakhiri perbedaan perbedaan serius dalam bacaan Al-Qur’an. Ketua dewan penyusunan Al-Qur’an ialah Zaid bin Tsabit, yang mengumpulkan tulisan-tulisan Al-Qur’an antara lain ialah dari Hafsah, salah seorang isteri nabi saw kemudian dewan itu membuat beberapa salinan naskah Al-Qur’an untuk dikirimkan ke wilayah-wilayah Gubernuran sebagai pedoman yang benar untuk masa selanjutnya.

Pada paroh terakhir masa kekuasaanya, khalifah Utsman menghadapi berbagai pemberontakan dan pembangkangan dalam negeri yang dilakukan oleh orang-orang yang kecewa terhadap tabiat khalifah dan beberapa kebijaksanaan pemerintahannya.

Kelemahan dan nepotisme telah membawa khalifah ke puncak kebencian rakyat, yang pada beberapa waktu kemudian meletus pertikaiaan yang mengerikan dikalangan umat Islam.

Situasi politik diakhir masa pemerintahan Utsman semakin mencekam. Bahkan pun usaha-usaha yang bertujuan baik dan mempunyai alasan kuat untuk kemaslahatan umat disalah fahami dan melahirkan perlawanan dan masyarakat. Lawan-lawannya menuduh bahwa Utsman sama sekali tidak mempunyai otoritas untuk menetapkan edisi Al-Qur’an yang dibukukan itu.

Meskipun demikian, tidak berarti bahwa pada masanya tidak ada kegiatan-kegiatan yang penting. Utsman berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas masjid nabi Madinah

Ali Bin Abi Thalib (34-41 H/656-661 M)

Ali adalah putra Abi Thalib. Ia adalah sepupu nabi saw yang telah ikut bersamanya. Sejak bahaya kelaparan mengancam kota Makkah, demi untuk keluarga pamannya yang mempunyai banyak putra, Abbas, paman nabi yang lain membantu Abu Thalib dengan memelihara Ja’far, anak Abu Thalib yang lain, ia telah masuk Islam dalam waktu yang masih berada pada umur sangat muda. ketika nabi menerima wahyu yang pertama, menurut Hassan, Ali, berumur 13 tahun, atau 9 tahun menurut Mahmudunasir. Ia menemani nabi dalam perjuangan menegakkan Islam baik di Mekkah maupun di Madinah. Dan ia diambiil menantu oleh nabi saw karena kesibukannya merawat dan memakamkan jenazah Rasulullah saw ia tidak berkesempatan membaiat Abu Bakar sebagai khalifah, tetapi ia beru membaiatnya setelah Fatimah wafat.

Beberapa hari setelah pembunuhan Utsman, stabilitas keamanan kota Madinah menjadi rawan. Gafiqy ibn Harb memegang keamanan ibu kota Islam itu selama kira-kira Lima hari sampai terpilihnya khalifah yang baru. Kemudian Ali juga segera menurunkan semua gubernur yang tidak disenangi rakyat. Umar Ibn Hanif diangkat menjadi penguasa Basrah menggantikan Ibnu Amir, Dais dikirim ke Mesir untuk menggantikan gubernur negeri itu yang dijabat oleh Abdullah. Gubernur Syria, Muawiah juga diminta meletakkan jabatan, tetapi ia menolak perintah Ali, bahkan ia tidak mengakui kekhalifahannya.

Oposisi terhadap khalifah secara terang-terangan dimulai oleh Aisyah Ialhah dan Zubair. Sehubungan dengan penentangan terhadap Ali. Mereka sepakat menuntut khalifah segera menghukum para pembunuh Ustman. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Talha dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyeleasikan perkara itu secara damai, namun ajakan itu ditolak. Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Yang diknal dengan nama “perang jamal” (unta) karena Aisyah pada waktu itu menunggang unta. Ali berhasil mengalahkan lawnnya. Zubair dan Talhah terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah di kembalikan ke Madinah

Kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus, Mu’awiyah yang di dukung oleh sejumlah bekas jajahan tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Memaksa khalifah Ali untuk bertindak. Pertempuran terjadi di kota tua Siffin dekat sungai Euphrat pada tahun 37 H. perang ini diakhiri dengan Tahkim (arbitrase), tetapi Tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ke tiga, al khawarij. Orang-orang yang keluar dari barisan Ali akibatnya, di ujung masa pemerintahan Ali Ibn Abi Thalib, umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik yaitu mu’awiyah, syiah (pengikut) Ali, semakin lemah sementara posisi mu’awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 Ramadhan 40 H. (660 M), Ali terbunuh oleh salah seorang anggota khawarij.

Kedudukan Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya Hasan selama beberapa bulan. Namun, karena Hasan ternyata lemah, sementara muawiyah ini menyebabkan mu’awiyah menjadi penguasa absolut dalam Islam, tahun 41 H. (66 M) di kenal dalam sejarah sebagai tahun am jam’ah.

DAFTAR PUSTAKA

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2006.

Mufrod, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Cet. I; Jakarta: Logos, 1997.

Saya, Abied, dari sebuah tempat paling indah di dunia. :mrgreen:

Salam …

SEJARAH KEKHALIFAHAN ISLAM

SEJARAH KEKHALIFAHAN ISLAM
(PERIODE AWAL SAMPAI 1924 M)

oleh:Hifza Hamdan

A. PENDAHULUAN
Ilmu tentang sejarah adalah di antara ilmu yang sangat penting dalam usaha membangkitkan kembali semangat dan usaha perubahan di tengah-tengah kompleksnya perkembangan zaman. Karena sejarah bukanlah sekedar catatan tentang kejadian masa lalu, tetapi juga merupakan jembatan emas yang bisa memberikan banyak hikmah untuk kehidupan masa sekarang dan akan datang. Termasuk pembahasan mengenai dinamika sejarah pemikiran dan peradaban Islam, adalah bagian yang sangat penting untuk menjadi bahan pelajaran.
Pembahasan tentang perjalanan sejarah pemikiran dan peradaban Islam yang sangat panjang, tentu saja tidak terlepas dari pembicaraan mengenai sejarah perkembangan politik dan pemerintahannya. Karena persoalan politik dan pemerintahan, sangatlah menentukan bagi perkembangan aspek-aspek pemikiran dan peradaban Islam untuk masa selanjutnya. Di antara persoalan yang sangat penting berkenaan dengan aspek politik dan pemerintahan adalah mengenai sejarah kekhalifahan (Khilafah), yang tumbuh dan berkembang di dunia Islam, yakni sejak wafatnya Rasulullah sampailah kepada kekhalifahan “terakhir” yang bertahan sampai tahun 1924.
Bagaimana sesungguhnya corak pemerintahan yang dijalankan oleh masing-masing kekhalifahan, sehingga menjadi unsur yang dapat mendukung tumbuhnya nilai-nilai pemikiran dan peradaban bagi dunia Islam?, persoalan ini tentunya menarik untuk dikaji lebih jauh. Adapun makalah ini, secara singkat membahas tentang perkembangan beberapa kekhalifahan yang pernah eksis di dunia Islam, dan dianggap mewakili masing-masing periode kekhalifahan.

B. KONSEP KEKHALIFAHAN DALAM ISLAM
Sebelum membahas lebih jauh mengenai perkembangan kekhalifahan Islam dalam hal corak pemerintahannya, terlebih dahulu diuraikan secara singkat mengenai sejarah kemunculan penggunaan istilah “Khalifah” atau Khilafah, yang diperuntukkan sebagai sebutan bagi “pemimpin (kepemimpinan)” atau “kerajaan (pemerintahan)” umat Islam, dalam perspektif beberapa sejarawan.
Menurut Luis Ma’luf Yasu’i, kata “khalifah” dapat diartikan sebagai “pengganti”, sedangkan Mas Mansur menyebutkan bahwa kata “khalifah” berarti “wakilnya”. Jika merujuk pada kitab al-Qur'an, penggunaan kata khalifah ataupun kata-kata yang serumpun dengannya, tidak ada satu pun ayat yang secara khusus ditujukan kepada Nabi Muhammad saw dan penggantinya (wakilnya).
Menurut Donner, pemimpin masyarakat Islam awal setelah wafatnya Nabi saw bukan disebut khalifah, tetapi amir al-mu’minun (pemimpin umat Islam). Tapi setelah beberapa waktu berjalan, sebutan itu diganti dengan khalifah, yang sebenarnya dianggap sinonim, namun mendapat keunggulan karena ditemukan dalam al-Qur'an. Pada konteks ini, Nabi Muhammad memang tidak memiliki pengganti dalam perannya sebagai Nabi, namun umat Islam awal memutuskan bahwa seseorang hendaknya mengganti Nabi saw sebagai pemimpin masyarakat.
Hasan Ibrahim Hasan menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw tidak pernah meninggalkan wasiat tentang siapa yang menjadi penggantinya sebagai pemimpin politik umat Islam setelah wafat. Ia nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslim sendiri untuk menentukannya. Oleh itu, tidak lama setelah ia wafat dan belum pun jenazahnya dimakamkan, telah terjadi dinamika di kalangan sahabat terkait orang yang layak menjadi pengganti Nabi saw. Abu Bakar yang terpilih pertama disebut sebagai khalifah Rasulillah, yang artinya pengganti Rasul dan dalam perkembangan selanjutnya disebut khalifah saja.
Dengan demikian, kepemimpinan dalam Islam yang menggunakan istilah khalifah sebenarnya dimulai pada era sahabat atau masa setelahnya, di mana gelar ini diberikan oleh umat Islam setelah wafatnya Rasulullah saw berdasarkan istilah yang ada di dalam al-Qur'an. Adapun fungsi utama dari para khalifah tersebut adalah untuk menggantikan posisi nabi, yakni dalam bidang politik atau pemerintahan. Kalaupun sekaligus bertindak sebagai pemimpin agama, maka otoritasnya bukan sebagai Nabi, tetapi lebih pada pelaksana prinsip-prinsip wahyu yang sudah ada.

C. PERIODE KEKHALIFAHAN ISLAM
1. Periode al-Khulafa al-Rasyidun (632-661 M)
Al-Khulafa al-Rasyidun artinya adalah para pemimpin dari kalangan sahabat Nabi dan dipilih melalui proses musyawarah dengan tugas untuk menggantikan Nabi. Pengganti dalam konteks ini adalah sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan. Adapun khalifah pertama pada periode al-Khulafa al-Rasyidun ini ialah Abu Bakar Siddiq (632-634 M).
Pada masa awal kepemimpinan Abu Bakar, pemerintah Islam diguncang oleh berbagai persoalan yang cukup genting, yakni terjadinya pemberontakan dari orang-orang murtad, muncul orang-orang yang mengaku Nabi dan orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Fokus awal pemerintahan adalah menjaga stabilitas keamanan. Dari sisi kebijakan dan sistem pemerintahan, Abu Bakar cenderung mengikuti prinsip dan kebijakan yang dilakukan Nabi saw. Kepemimpinan yang bersifat sentralistik atau kekuasaan yang terpusat di tangan khalifah, tanpa meninggalkan prinsip musyawarah dalam membahas kebijakan-kebijakan tertentu. Secara umum, kepemimpinan Abu Bakar dinilai berhasil dalam rangka menumpas kekacauan dan menjaga kemurnian al-Qur'an.
Setelah Abu Bakar wafat, kekhalifahan Islam dilanjutkan oleh Umar Bin Khattab (634-644 M). Terpilihnya Umar bin Khattab menjadi khalifah merupakan proses penunjukkan langsung oleh Abu Bakar Shiddiq yang di kala itu terbaring sakit. Walaupun pada awalnya ada yang keberatan atas penujukkan tersebut, namun dikarenakan kepercayaan dan kepatuhan para sahabat terhadap Abu Bakar, maka penunjukkan Umar diterima oleh semua pihah yang hadir. Selanjutnya, Umar di bai’at oleh umat Islam sebagai bentuk pengukuhannya atas jabatan khalifah.
Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, situasi politik dalam keadaan stabil. Gelombang ekspansi mulai dilakukan secara besar-besaran tidak hanya di jazirah Arab, tetapi telah sampai pula ke wilayah-wilayah non Arab. Karena perluasan wilayah terjadi dengan begitu cepat, maka dalam hal kebijakan, ada beberapa usaha pada masa Umar yang berbeda dengan masa Abu Bakar. Namun demikian, walaupun dalam aspek kebijakan, Umar banyak membuat ijtihad dengan memperhatikan kebutuhan yang berkembang, akan tetapi secara prinsip ia tetap berpegang kepada prinsip dan kebijakan Nabi saw. Di akhir masa kepemimpinannya, untuk menentukan pengganti ia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang di antaranya menjadi khalifah. Setelah Umar wafat karena dibunuh oleh seorang budak persia bernama Abu Lu’lu’ , maka tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Usman sebagai khalifah berikutnya.
Masa kepemimpinan Usman bin Affan dapat dibagi ke dalam dua periode, yakni periode kemajuan dan periode kemunduran. Pada periode pertama atau fase kemajuan, masa kepemimpinan Usman telah membawa umat Islam kepada kemajuan yang cukup luar biasa. Wilayah kekuasaan Islam semakin luas, yakni mulai dari perbatasan Aljazair sampai ke Tunisia, bahkan menjangkau sebagian Asia kecil, di Timur seluruh Persia, dan wilayah Kabul. Untuk kebijakan dalam negeri, Usman berjasa besar dalam membangun beberapa infra struktur penting di wilayah-wilayah Islam. Beberapa kebijakan di masa Umar, diganti oleh khalifah Usman. Mengingat semakin banyaknya umat Islam dengan kualitas keberagamaan yang beragam. Memasuki periode kedua, kepemimpinan Usman mengalami kelemahan karena diakibatkan oleh banyaknya kekacauan dan pemberontakan.
Munculnya kekacauan dan pemberontakan pada masa fase ini, diakibatkan oleh beberapa persoalan. Di antara yang paling menonjol adalah Usman dituduh melakukan praktek nepotisme, dalam hal penunjukkan pejabat yang berasal dari kalangan keluarganya dan dituduh melakukan penyalahgunaan uang negara. Padahal, apabila dikaji persoalan sebenarnya, maka akan ditemukan alasan-alasan logis terkait dengan kebijakannya. Pada puncak kekacauan tersebut, Usman dibunuh oleh beberapa kelompok yang menuntut keadilan, sehingga pada fase akhir kekhalifahan Usman telah menyisakan suasana yang sangat tidak kondusif dan masih berpotensi untuk timbulnya kekacauan-kekacauan lainnya.
Dengan terbunuhnya Usman, posisi khalifah menjadi kosong. Kemudian beberapa kelompok umat Islam, termasuk orang-orang yang terlibat dalam pemberontakan terhadap usman, membai’at Ali menjadi khalifah. Walaupun merasa berat, namun atas beberapa pertimbangan penting, maka Ali bersedia diangkat menjadi khalifah. Agenda awal yang dilakukan Ali adalah mengganti para gebernur yang diangkat Usman. Karena ia menganggap bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena kelalaian mereka.
Pengangkatan Ali sebagai khalifah dan kebijakan awal yang ditempuhnya, belum sepenuhnya diterima oleh beberapa pihak, seperti Muawiyah yang tidak bersedia membai’at Ali dengan alasan merasa dipecat secara sepihak. Aisyah dan beberapa tokoh sahabat di Makkah, juga menuntut kepada Ali untuk melakukan tindak pengadilan terlebih dahulu terhadap pembunuh Usman, bahkan berikrar untuk menuntut bela atas kematian Usman. Singkatnya, agenda mendesak dari Ali dengan tuntutan beberapa pihak di kalangan sahabat tersebut terdapat perbedaan, sehingga menyebabkan terjadinya konflik senjata, seperti perang Jamal dan perang Shiffin.
Masa pemerintahan Ali yang berjalan sekitar enam tahun tersebut, lebih banyak diwarnai oleh keacauan dan peperangan, sebagai sisa konflik di masa Usman. Peristiwa penting yang menandai kejatuhan Ali adalah ketika terjadi perang shiffin dengan pasukan Muawiyah. Dari perang ini terjadi proses tahkim (abitrase) dan menyebabkan Ali dilengserkan kedudukannya sebagai khalifah. Tidak lama setelah kejadian ini, Ali terbunuh oleh salah seorang utusan dari kelompok Khawarij yang menganggap Ali, Muawiyah dan Amr bin ‘Ash, sebagai penyebab kekacauan umat Islam. Dengan jatuhnya pemerintahan dan terbunuhnya Ali, maka berakhirlah masa kekhalifahan al-Khulafa al-Rasyidun.
Dari uraian singkat mengenai perjalanan empat khalifah di masa al-Khulafa al-Rasyidun tersebut, dapat digaris bawahi bahwa dalam aspek corak pemerintahan hampir keseluruhannya menerapkan sistem musyawarah (syuro) sebagai salah satu ciri demokrasi yang berkembang pada era awal Islam, sehingga menempatkan khalifah benar-benar sebagai pelayan masyarakat. Adapun posisi khalifah (Amirul Mu’minun) merupakan pengganti pemimpin Islam sebelumnya, baik sebagai pengganti Rasulullah atau khalifah sebelumnya, terutama dalam aspek pemerintahan dan kemasyarakatan.

2. Periode Dinasti Umayah (661-750 M)
Setelah era al-Khulafa al-Rasyidun, pemerintahan Islam selanjutnya dipimpin oleh dinasti Umayah. Pusat kekuasaan Islam berpindah dari Madinah ke Damaskus. Dinasti Umayah merupakan fase ketiga kekuasaan Islam yang berlangsung selama kurang lebih satu abad. Pada fase ini, bukan saja menunjukkan perubahan sistem kekuasaan Islam dari masa sebelumnya, melainkan juga perubahan-perubahan lain di bidang sosial dan peradaban.
Perjalanan Dinasti Umayah Timur ini dipimpin oleh empat belas orang khalifah, di antaranya adalah: Muawiyah, Yazid I, Muawiyah II, Marwan I, Abdul Malik, Walid I, Sulaiman, Umar II, Yazid II, Hisyam, Walid II, Yazid III, Ibrahim, dan Marwan II. Dari sekian khalifah tersebut, puncak kejayaan Umayah dicapai pada masa Abdul Malik, Walid I, dan Umar II.
Sejak awal kekuasaan Umayah, sistem kepemimpinan Islam yang sebelumnya bersifat demokratis atas landasan musyawarah, diubah menjadi kepemimpinan yang bersifat monarchi heridetis, yakni bentuk kerajaan yang dipimpin secara turun temurun, bukan melalui pemilihan suara ataupun musyawarah. Hal ini dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan sumpah setia kepada anaknya Yazid. Sikap yang diambil Muawiyah dalam hal ini dipengaruhi oleh keadaan Syiria selama ia menjadi gubernur di wilayah tersebut. Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi heridetis di Persia dan kekaisaran Byzantium.
Pada masa ini juga terjadi pemisahan (dikotomi) peran kekuasaan, terutama antara kekuasaan agama (spiritual) dan kekuasaan politik (pemerintahan dan kemasyarakatan). Roda pemerintahan Umayah memposisikan khalifah adalah sebagai penguasan yang mutlak dan setiap perintahnya harus harus dipatuhi. Dengan itu, posisi rakyat tidak terlalu banyak berperan dalam menentukan kebijakan, karena khalifah tidak terlalu menghiraukan suara yang datangnya dari rakyat.
Di bidang administrasi pemerintahan, organisasi tata usaha negara terpecah ke dalam bentuk beberapa dewan, seperti dewan pajak, dewan pos, dewan dokumen negara, dan yang lainnya. Untuk mengurus administrasi di daerah, diangkat seorang Amir al-Umara (Gubernur Jenderal) yang menbawahi beberapa Amir sebagai penguasa satu wilayah. Didirikan pula organisasi kehakiman dan organisasi ketentaraan untuk menata masing-masing bidang. Untuk mengisi jabatan ini, Umayah lebih memprioritaskan kelompok Arab. Karena orang Arab atau keturunan Arab dianggap lebih superioritas dibanding kelompok lainnya (non-Arab). Pada aspek kemiliteran, dinasti Umayah meneruskan upaya-upaya ekspansi yang terhenti di masa Khalifah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Melalui dinamika perjalanan Umayah selama kurang lebih satu abad berkuasa, dalam corak pemerintahan terdapat ciri menonjol yang membedakannya dengan penguasa Islam sebelumnya (masa Nabi dan masa al-Khulafa al-Rasyidun), di antaranya adalah: 1) sistem kepemimpinan yang digunakan adalah monarchi heridetis (kerajaan turun-temurun), bukan musyawarah; 2) posisi khalifah sangat superior dan lebih cenderung sebagai penguasa; 3) kepemimpinan dikuasai oleh militer Arab dari lapisan bangsawan atau lebih mengutamakan dari keturunan Arab untuk menjabat posisi-posisi penting; dan 4) ekspansi wilayah yang lebih luas dan perubahan/pengembangan dalam sistem administrasi pemerintahan.
3. Periode Dinasti Abbasiyah (750 – 1258 M)
Setelah keruntuhan dinasti Umayah, maka kekhalifahan Islam selanjutnya dipegang oleh dinasti Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh salah satu tokoh keturunan al-Abbas, yakni Abdullah al-Saffah. Momentum berdirinya dinasti Abbasiyah terealisasi pada saat terjadi pertempuran pada bulan Februari 750 M. Abbasiyah berhasil mengalahkan dinasti Umayah dan melakukan pembunuhan terhadap semua tokoh-tokoh yang terkait dengan keluarga Umayah.
Secara singkat, masa pemerintahan Abbasiyah dapat dibagi menjadi lima periode, yaitu : periode I, disebut periode pengaruh Persia pertama (750-847 M); periode II, disebut periode pengaruh Turki pertama (847-945 M); periode III, masa kekuasaan dinasti Buwaihi dalam pemerintahan Abbasiyah - Pengaruh Persia kedua (945-1055 M); periode IV, masa kekuasaan dinasti bani Saljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah - pengaruh Turki kedua; periode V, masa khalifah bebas pengaruh dari intervensi dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad.
Untuk sistem kepemimpinan, selain Saffah, semua khalifah Dinasti Abbasiyah menganggap kekuasaannya merupakan mandat atau berasal dari Allah. Sejak masa kepemimpinan Mansur, dalam diri seorang khalifah terdapat dua jabatan, yakni sebagai khalifah dan raja. Jabatan khalifah di sini dianggap jabatan sakral yang disamakan dengan jabatan Paus dalam jabatan keagamaan. Walaupun dalam tugasnya tidak sama persis dengan tugas Paus, namun dalam kenyataannya jabatan khalifatullah ini lebih banyak diwujudkan untuk kepentingan politik (kekuasaan) semata. Dengan adanya jabatan yang sakral tersebut, maka sejak masa kekuasaan Mansur, para khalifah Dinasti Abbasiyah tidak membutuhkan kedaulatan rakyat dalam persoalan kepemimpinan, bahkan rakyat yang membutuhkan khalifah.
Namun demikian, walaupun pada satu sisi kekuasaan Abbasiyah cenderung menjadikan unsur agama untuk kepentingan politis, namun di sisi lain, patut dicatat bahwa pada periode awal dinasti Abbasiyah merupakan masa keemasan Islam (golden Age), khususnya di masa al-Mahdi, Harun al-Rasyid dan al-Makmun. Mehdi Nakosteen mencatat, banyaknya cendekiawan Muslim yang muncul pada masa ini merupakan wujud dari tingginya perhatian Abbasiyah terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, bukan hanya lewat karya tulis, tetapi juga mampu membangkitkan semangat kreatif. Hal ini menjadikan ilmu dapat terwujud manfaatnya.
Setelah Abbasiyah mampu mencapai puncak kemajuan, tapi akhirnya mengalami kemunduran dan kehancuran. Keruntuhan Abbasiyah memberikan dampak yang besar bagi kemajuan dunia Islam secara keseluruhan. Karena dinasti Abbasiyah termasuk kekhalifahan Islam yang berhasil mencapai puncak kemajuan, khususnya di bidang ilmu pengetahuan.
Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa sistem kepemimpinan yang digunakan pada masa Dinasti Abbasiyah berbeda dengan Umayah, apalagi jika dibandingkan dengan masa Nabi dan al-Khulafa al-Rasyidun. Hal ini tampak dari jabatan khalifah yang menempati posisi perpajangan langsung dari Allah swt, bukan bertindak sebagai pengganti khalifah sebelumnya. Penegasan tersebut memang tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politis untuk memperkuat posisi kekuasaan dalam jabatan khalifah.

4. Periode Dinasti Fatimiah (909-1171)
Bersamaan dengan terjadinya krisis politik di pemerintahan pusat antara Umayah dan Abbasiyah, maka di Afrika Utara bermunculan kerajaan-kerajaan Islam yang lepas dari pemerintah pusat. Di antara kerajaan yang muncul adalaha dinasti Fatimiah yang berpusat di Mesir Utara pada tahun 909 M. Dinasti Fatimiah merupakan kekhalifahan Islam yang beraliran Syi’ah Ismailiyah dan tumbuh sebagai bentuk akumulasi keinginan orang-orang Syiah yang telah lama mendambakan terbentuknya kekhalifahan berdasarkan idealisme posisi ahlul bait yang lebih berhak akan jabatan tersebut.
Pendiri Dinasti Fatimiah, Ubaidillah al-Mahdi mengklaim bahwa dia adalah keturunan langsung dari pasangan Fatimah az-Zahra bin Muhammad dengan Ali bin Abi Thalib. Adapun perjalanan dinasti Fatimiah dipimpinan oleh empat belas orang khalifah, yang dimulai dari khalifah Ubaidillah (al-Mahdi) sampai khalifah al-Adid. Sistem yang di anut dalam pemerintahan Fatimiah merupakan wujud dari paradigma keyakinan kelompok Syiah Ismailiyah yang menganggap para pemimpin mereka bersih dari segala bentuk kesalahan dan dosa, sehingga diyakini dapat memberikan syafaat.
Sebagai sebuah kerajaan yang menganut faham Syi’ah Ismailiyah, corak utama sistem pemerintahan Fatimiah adalah teokrasi, bahkan ada yang menganggap sebagai sistem monarki absolut. Hal ini didasarkan kepada penunjukkan khalifah yang bukan didasarkan pada sistem musyawarah, melainkan melalui wasiat (nash) dan penunjukkan langsung. Wasiat yang dimaksud di sini, sebagaimana Rasulullah saw mewasiatkan kepemimpinan kepada Ali bin Abi Thalib di Gadir Khummah. Untuk jabatan khalifah, selain sebagai kepala negara sekaligus menjadi pemimpin urusan keagamaan (spiritual). Adapun yang berhak menjadi pemimpin atau kepala pemerintahan adalah keturunan langsung dari Ali dan Fatimah az-Zahra, anak Rasulullah.
Dalam perjalananya, Dinasti Fatimiah sempat mencapai kemajuan yang cukup pesat di berbagai bidang. Kemajuan tersebut dicapai pada masa al-Muiz, al-Aziz, dan al-Hakim. Namun setelah itu, Fatimiah juga mengalami kemunduran, sehingga menyebabkan runtuhnya dinasti tersebut. Puncak kemunduran dinasti Fathimiyah terjadi pada masa al-Adid (1171 M), akibat perebutan kekuasaan di kalangan internal.
Dengan demikian, dalam persoalan kepemimpinan atau corak pemerintahan, Dinasti Fatimiah sangat berbeda dengan dinasti-dinasti lainnya. Sistem monarki absolut yang diterapkan dengan menyandarkan kepada keturunan ahlul bait dan diangkat melalui wasiat merupakan ciri utama dari corak kepemimpinan Fatimiah.

5. Periode Dinasti Umayah Spanyol (711-1492 M)
Sejarah penaklukan Islam di Spanyol (Andalusia) terjadi pada masa Dinasti Umayah tahun 711 M. Keberhasilan ekspansi Umayah, menjadikan seluruh wilayah tersebut di kuasai oleh Islam dan tunduk kepada kekhalifahan Islam. Pada fase awal ini, daerah Spanyol hanya sebatas daerah keamiran. Ketika Dinasti Umayah di Damaskus runtuh, perkembangan Spanyol kemudian di pegang oleh seorang pangeran Umayah, Abdurrahman Ibn Mu’awiyah Ibn Hisyam, yang berhasil lolos dari buruan Bani Abbas dan dikemudian hari berhasil mendirikan kembali Dinasti Umayah di Spanyol.
Untuk perkembangan kekhalifahan, M. Abdul Karim membagi sejarah kekuasaan Umayah di Andalusia menjadi dua periode, yaitu: periode dependen (711-756 M) dan periode independen (756-1031 M). Pada periode Pertama (dependen), Andalusia berada di bawah pemerintahan para wali yang diangkat oleh khalifah bani Umayah yang berpusat di Damaskus. Pada saat ini, stabilitas politik di negeri Andalusia belum tercapai secara sempurna, karena beberapa gangguan.
Untuk gangguan internal, antara lain berupa perselisihan di antara elit penguasa, terutama akibat perbedaan etnis dan golongan. Di samping itu, terdapat perbedaan pandangan antara khalifah di Damaskus dan gubernur Afrika Utara yang berpusat di Kairawan. Masing-masing pihak mengaku bahwa merekalah yang paling berhak menguasai daerah Andalusia, sehingga sering menimbulkan konflik peperangan sesama mereka. Gangguan eksternal datang dari sisa-sisa musuh Islam di Andalusia yang bermukim di daerah-daerah pegunungan dan tidak pernah mau tunduk kepada kekuasan Islam. Gerakan-gerakan seperti inilah yang pada saat posisinya sudah kuat menjadi kekuatan pengusir Islam dari bumi Andalusia. Singkatnya, pada periode ini situasi politik Islam belum stabil dan belum bisa melakukan kegiatan-kegiatan pembangunan di bidang pemikiran dan peradaban.
Periode Kedua (independen), berawal dari saat pusat pemerintahan Umayah yang berada di Damaskus mengalami kemunduran dan kehancuran. Abdurrahman Ibn Mu’awiyah Ibn Hisyam (al-Dakhil) yang berhasil lolos dari usaha pembunuhan dan melarikan diri ke Afrika Utara. Setelah melewati masa hampir lima tahun, akhirnya berhasil masuk Andalusia dan diangkat menjadi penguasa independen dengan gelar Amir (756 M). Selanjutnya, al-Dakhil berhasil menancapkan pondasi awal kekuatan dinasti Umayah di Andalusia dengan berbagai prestasi yang mampu dilakukannya. Ia berkuasa sekitar 32 tahun dan wafat pada tahun 788 M.
Kepemimpinan Umayah II selanjutnya dipegang oleh beberapa Amir dengan masing-masing prestasinya. Hisyam I dikenal berjasa dalam menegakkan hukum Islam, sedangkan Hakam I dikenal sebagai pembaharu dalam bidang kemiliteran dan memprakarsasi tentara bayaran di Andalusia. Kemudian Abdurrahman al-Autshat (Abdurrahman II) dikenal sebagai penguasa yang cinta ilmu dan banyak berperan dalam menghidupkan tradisi ilmiah di bumi Andalusia.
Adapaun kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh Islam Spanyol, di antaranya adalah kemajuan di bidang intelektual, dalam hal ini dengan tumbuh dan bangkitnya semangat ilmiah. Disiplin keilmuan yang berkembang di antaranya adalah filsafat, sains, fikih, musik (Kesenian), dan bahasa (sastra). Umayah Spanyol banyak melakukan pembangunan fisik (gedung), namun sedikit pembenahan pada sektor ekonomi dan pertanian. Namun secara umum, hadirnya kekhalifahan Islam di Spanyol telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi pembangunan peradaban di bumi Spanyol.
Sebagai kelanjutan dari dinasti Umayah, sistem kekhalifahan yang digunakan Umayah Spanyol tetap bercorak monarki. Hanya saja, Umayah Spanyol lebih dinamis dalam mengembangkan peradaban dan ilmu pengetahuan. Sehingga kesuksesan mereka sampai pada tahap yang luar biasa, sebanding dengan prestasi yang dicapai dinasti Abbasiyah.


6. Periode Turki Usmani (1288-1924)
Kehancuran kota Baghdad pada tahun 1258 M oleh pasukan Mongol, telah mengakhiri kekhalifahan Abbasiyah, serta sebagai awal kemunduran tatanan politik dan peradaban Islam. Kekuatan politik Islam mengalami penurunan secara drastis. Keadaan tersebut baru mengalami kebangkitan kembali setelah muncul dan berkembangnya tiga kerajaan besar, yang salah satu di antaranya adalah Turki Usmani.
Dinasti Usmani didirikan pada tahun 1289 M oleh Usman yang berasal dari keturunan bangsa Turki dari kabilah Oghuz, yang mendiami daerah Mongol dan daerah Utara negeri Cina. Sejak kerajaan Usmani dinyatakan berdiri dengan penguasa pertamanya Usman (Usman I), maka upaya ekspansi ke berbagai wilayah terus dilakukan, sehingga untuk masa kekuasaan beberapa khalifah Usmani selanjutnya, usaha-usaha ekspansi berhasil mencapai benua Eropa. Salah satu khalifah yang cukup fenomenal dalam sejarah dinasti Turki Usmani adalah Muhammad al-Fatih. Keberhasilan besar yang dicapainya adalah menaklukan Konstantinopel untuk pertama kalinya sepanjang sejarah kekhalifahan Islam.
Pasca pemerintahan al-Fatih dan Bayazid II, masa berikutnya Dinasti Usmani diperintah oleh Sultan Salim I (1512-1520 M). Pada masa inilah awal penggabungan dua kedudukan penting dalam sejarah Islam, yakni kedudukan sebagai sultan Turki dan sekaligus sebagai khalifah bagi seluruh dunia Islam. Setelah Salim I wafat, jabatan khalifah dilanjutkan oleh Sulaiman al-Qanuni (1520-1566). Pada saat ini wilayah kekuasaan Usmani semakin luas, mencakup sebagian besar wilayah Asia Kecil, Afrika dan Eropa. Sulaiman merupakan khalifah Usmani yang shaleh dan telah berhasil membawa kejayaan bagi dinasti Turki Usmani. Namun setelah wafatnya, Turki Usmani memasuki masa-masa kemunduran, karena terjadi perebutan kekuasaan di kalangan keluarga kerajaan.
Secara umum, sistem kepimpinan yang digunakan oleh Turki Usmani adalah monarki. Namun, pengaruh militer dalam pemerintahan cukup kuat, karena sebagai bangsa yang berdarah militer, maka dalam aspek pemerintahan dan kebijakan juga lebih banyak diwarnai militer dan untuk tujuan militer. Untuk pembangunan bidang-bidang yang lainnya, seperti bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan, perkembangannya tidak terlalu signifikan, apalagi jika dibandingkan dengan kejayaan Islam pada masa Umayah dan Abbasiyah. Pembangunan lebih banyak dilakukan dalam bidang pengembangan seni arsitektur Islam. Begitupun dalam bidang keagamaan, masyarakat Turki menempatkan ahli agama (Mufti) sebagai orang yang mulia. Banyak pula muncul tarekat-tarekat (sufi), dan dianut oleh sebagian besar kalangan sipil dan militer. Namun untuk pengembangan ilmu dan pemikiran keagamaan, seperti kajian fikih, tafsir dan hadis kurang berkembang. Karena penguasa cenderung untuk menerapkan satu paham (mazhab) dalam aspek keagamaan.
Fase kemunduran Turki Usmani dimulai sejak wafatnya Sulaiman al-Qanuni (1566 M). Namun, dikarenakan Turki Usmani sampai saat itu merupakan sebuah kerajaan Islam yang besar dan kuat, maka kemundurannya tidak langsung terlihat. Kemunduran dinasti Turki Usmani pada tahun 1924, menjadi akhir dari periode kekhalifahan yang pernah muncul di dunia Islam. Sejak saat itu, kekuatan politik umat Islam secara umum mengalami kemunduran, sehingga menyebabkan dunia Barat semakin mudah melakukan upaya-upaya imperialisme dan hegemoninya terhadap negara-negara muslim.

D. PENUTUP
Melihat perjalanan yang cukup panjang dari sejarah kekhalifahan Islam, mulai dari periode al-Khulafa al-Rasyidun sampai tahun 1924 yang diwakili oleh Turki Usmani, maka dapat difahami bahwa masing-masing kekhalifahan yang muncul di dunia Islam memiliki kepemimpinan atau bentuk pemerintahan dengan corak masing-masing. Kepemimpinan Islam pasca wafatnya Rasulullah saw yang dimulai dengan periode al-Khulafa al-Rasyidun, secara umum memiliki sistem kepemimpinan yang mengikuti prinsip dan kebijakan Rasulullah saw. Sistem demokrasi yang berlandaskan musyawarah, merupakan ciri utama yang dapat dilihat dari masa ini, baik dalam proses pergantian (penunjukan) khalifah maupun dalam hal kebijakannya.
Setelah era al-Khulafa al-Rasyidun, kepemimpinan Islam berada di bawah dinasti Umayah. Pada periode ini, terjadi pemisahan tugas khalifah dalam fungsi agama dan pemerintahan. Pola kepemimpinan menggunakan sistem monarki atau putra mahkota secara turun temurun (monarchi heridetis). Kedudukan khalifah tidak lagi berfungsi sebagai pelayan masyarakat, namun benar-benar sebagai penguasa. Dalam hal penunjukkan pejabat pemerintahan, Umayah juga cenderung mengistimewakan golongan Arab dibanding non Arab, sehingga posisi non-Arab (mawali) menjadi sedikit terpinggirkan. Ketika kekhalifahan Islam beralih ke Dinasti Abbasiyah, corak kepemimpinan lebih berkembang lagi. Kecuali Saffah, semua khalifah Abbasiyah menganggap kekuasaannya merupakan berasal dari Allah. Hal ini dimulai sejak masa Khalifah Mansur yang menisbatkan diri sebagai khalifah, kekuasaan, dan bayangan Allah di muka bumi. Pada saat ini, posisi rakyat menjadi tidak terlalu berarti, karena kekuasaan khalifah tidak membutuhkan kedaulatan dari rakyat.
Dinasti Fatimiah yang berkembang di wilayah Afrika Utara, merupakan kekhalifahan Islam yang menganut faham Syiah Ismailiyah. Sesuai dengan faham yang dianut, maka corak kepemimpinannya menggunakan sistem teokrasi, bahkan ada yang menganggap sistem monarki absolut. Hal ini didasarkan kepada penunjukkan khalifah yang tidak melalui sistem musyawarah, melainkan melalui wasiat (nash) dan penunjukkan langsung. Adapun yang berhak menjadi pemimpin atau kepala pemerintahan adalah orang yang dianggap keturunan langsung dari Ali dan Fatimah az-Zahra, anak Rasulullah. Untuk kekhalifahan Umayah II yang berkuasa di Andalusia (Spanyol), dalam perjalannya melalui dua periode penting, yakni periode dependen dan periode independen. Periode dependen adalah ketika Umayah yang berpusat di Damaskus masih menjadikan wilayah Andalusia sebagai daerah keamiran yang dipimpin oleh wali (gubernur), sedangkan periode independen adalah di saat pemerintahan Umayah di Andalusia sudah dapat berdiri sendiri dan memiliki otoritas untuk menjalankan pemerintahan sendiri. Secara umum, pola yang digunakan tidak jauh berbeda dengan sistem yang digunakan di Umayah Timur. Di masa Turki Usmani, eksistensi pemerintahan Islam cukup disegani. Corak utama kekhalifahan ini adalah militer dan banyak melakukan ekspansi ke berbagai wilayah, hingga mencapai Eropa. Pada periode ini, dikukuhkan sistem kekhalifahan dengan kekuasaan yang mencakup kerajaan Turki dan seluruh dunia Islam.
DAFTAR PUSTAKA


Abdurrahman, Dudung. 2004. “Peradaban Islam Masa Umawiyah Timur”, dalam Siti Maryam, dkk (ed), Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern. Yogyakarta: Lesfi.

Candra, Silvianti. 2007. “Pola Pendidikan Islam pada Periode Dinasti Umayyah”, dalam Samsul Nizar (ed). Sejarah Pendidikan Islam (Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia). Jakarta: Prenada Media Group.

Cornell, Vincent J. 2004. “Ancaman Ismailiyah”, dalam John L. Esposito (ed). Islam: Kekuasaan Pemerintahan, Doktrin Iman & Realitas Sosial (Judul Asli: The Oxford History of Islam). Pen. M. Khoirul Anam. Jakarta: Inisiasi Press.

Donner, Fred M. 2004. “Kekuasaan Pemerintahan Islam”, dalam John L. Esposito (ed). Islam: Kekuasaan Pemerintahan, Doktrin Iman & Realitas Sosial (Judul Asli: The Oxford History of Islam). Terj. M. Khoirul Anam. Jakarta: Inisiasi Press.

Hasan, Hasan Ibrahim. 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Terj. Jahdan Ibnu Humam. Yogyakarta: Kota Kembang.

Karim, M. Abdul. 2009. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. Cet. ke-2.

Mahmuddunnasir, Syed. 1994. Islam Konsepsi dan Sejarahnya, judul Asli: Islam It’s Consept and History, terj. Adang Affandi. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Mansur. 2004. Peradaban Islam dalam Lintas Sejarah. Yogyakarta: Global Pustaka Utama.

Nakosteen, Mehdi. 2003. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam (Judul Asli: History of Islamic Origins of Western Education). Terj. Joko S. Kahhar & Supriyanto Abdullah. Surabaya: Risalah Gusti.

Nasution, Harun. 1985. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jilid I, cet. ke-5. Jakarta: UI Press.

Nizar, Samsul. 2007. “Pola Pendidikan Islam Di Spanyol Era Awal (Tinjauan Historis Filosofis”, dalam Samsul Nizar (ed). Sejarah Pendidikan Islam (Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia). Jakarta: Prenada Media Group.

Yatim, Badri. 1998. Sejarah Peradaban Islam. cet. ke- 7. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

ABDULLAH BIN SABA’ TOKOH YAHUDI “PENCIPTA” GOLONGAN SYI’AH

oleh abu salma

ABDULLAH BIN SABA’

TOKOH YAHUDI “PENCIPTA” GOLONGAN SYI’AH

Idelogi Ibnu Saba’ dan Berbagai Kesesatannya

Dibawah ini disebutkan hal-hal urgen yang menjadi ideologi Ibnu Saba’ dimana ia membawa dan meyakinkan pengikutnya pada masalah-masalah tersebut. Demikianlah ideologi sesat ini menyusup ke dalam sekte-sekte Syi’ah. Sedang motivasi kami menggelar ideologi Yahudi ini dari kitab-kitab dan riwayat mereka tentang imam-imam yang ma’sum di kalangan mereka oleh karena mereka mengatakan :

  1. Percaya kepada ismah para imam menjadikan hadist-hadist yang berasal dari mereka shahih/benar, tanpa mengahruskan bersambungnya sanad tersebut dengan Nabi Sholallohu ‘alaihi was Salam, sebagaimana hal itu berlaku di kalangan ahli sunnah (lihat Tarikhul Imamah, hal : 158).

  2. Karena iamam di kalangan Imamiah adalah ma’sum, maka tidak ada keraguan sedikitpun terhadap apa yang ia ucapkan (lihat Tarikhul Imamiah, hal : 140)

  3. Al-Mamaqani berkata : ”Semua hadits kamu mutlak berasal dari Imam yang ma’sum.” (lihat Tanhiqul Maqol, jilid I/17). Kitab Al-Mamaqani termasuk diantara kitab-kitab jarh dan ta’dil yang paling urgen di kalangan syi’ah.

Setelah penjelasan-penjelasan ini, yang mengharuskan satu kaum untuk menerima kabar-kabar yang diriwayatkan dalam karangan-karangan mereka, maka akan kami sebutkan kesesatan-kesesatan utama yang disebarluaskan oleh Abdullah bin Saba’, yaitu :

  1. Ia adalah orang pertama yang berpendapat tentang adanya wasiat Rasululloh Sholallohu ‘alaihi was Salam untuk Ali, yaitu bahwa Ali adalah penggantinya atas ummatnya setelah beliau berdasarkan nash.

  2. Ia adalah orang pertama yang menunjukkan sikap ‘bebas diri’ terhadap musuh-musuh Ali –menurut anggapannya- dan menyatakan resistansi terhadap para penentangnya serta mengkafirkan mereka. Bukti akan kebenaran ungkapan tersebut berasal dari buku sejarah berdasarkan riwayat An-Nubakhti, Al-Kasyi, Al-Mamaqani, At-Tasturi dan para sejarawan Syi’ah lainnya.

  3. Ia adalah orang pertama yang mengatakan tentang ke-Tuhanan Ali radiallohu ‘anhu

  4. Ia adalah orang pertama yang mendakwahkan kenabian dari sekte-sekte Syi’ah yang ekstrim (ghulat). Sebagai bukti adalah apa yang diriwayatkan Al-Kasyi dengan sanadnya dari Muhammad bin Quluwaith Al-Qummi.

  5. Ia adalah orang pertama yang mengada-adakan pendapat mengenai kembalinya Ali ke dunia setelah wafatnya dan tentang kembalinya Rasululloh Sholallohu ‘alaihi was Salam. Petama kali ia mengutarakan pendapatnya secara nyata adalah ketika ia di Mesir.

  6. Ia berkata : “Adalah sangat mengherankan jika orang menganggap bahwa Isa kelak akan kembali, namun mendustakan kembalinya Muhammad sholallohu ‘alaihi was Salam. Sedang Alloh berfirman : “Sesungguhnya Alloh yang mewajibkan (pelaksanaan hukum0hukum) Al-Qur’an atasmu, pasti akan mengembalikanmu ke tempat kembali.” Maka, dengan denikian, Muhammad lebih berhak untuk kembali ke dunia daripada Isa. Ucapannya itu bisa ditermia. Ia meletakkan dasar-dasar raj’ah (kehidupan kembali setelah mati) bagi mereka, maka mereka mulai memperbincangkannya. (lihat Tarikh Dimasyq nomor 602, dalam terjemahan Abdullah bin Saba’, juga dalam Tahzib Tarikh Dimasyq oleh Ibnu Badran jilid V/428).

Ibnu Saba’ yang beragama Yahudi itu mendakwahkan, bahwa Ali adalah binatang yang akan keluar dari perut bumi dan sesungguhnya dialah yang menciptakan makhluk dan mebagi-bagikan rizki.

1. Kaum Sabaiah berkata : “Mereka sebenarnya tidak mati, melainkan terbang setelah kematian mereka dan mereka dinamakan Ath-Thoyyaroh (yang berterbangan).

Ibnu Thahir Al-Maqdisi berkata : “Sesungguhnya golongan Sabiah dinamakan Thoyarroh. Mereka menganggap diri mereka tidak mati, dan kematian mereka tidak lain adalah terbangnya diri mereka dalam gelapnya malam. Nama ini dipergunakan oleh Imam Jarh wat ta’dil di kalangan Syi’ah untuk –‘menetapkan’- kejelekan para rawi. (lihat Majmul Bayan fi tafsiri Quran oleh Abu Ali Fadhli bin Hasan Ath-Thabrani dari ulama Syi’ah Imamiah pada abad ke VI jilid IV, hal 234, cetakan Al-Irfan, Sidon 1355 H./1937 M. dan tafsir Al-Qummi jilid II, hal 131)

2. Suatu kamu dari golongan Sabaiah, telah berbicara tentang perpindahan ruhul qudus dalam diri para imam. Mereka menamakannya ‘reinkarnasi’.

Ibnu Thahir Al=Maqdisi berkata : “Ada satu kaum diantara kaum Thoyyaroh (golongan Sabaiah) yang beranggapan, bahwa ruhul qudus terdapat dalam diri nabi, sebagaimana sebelumnya terdapat dalam diri Isa yang kemudian berpindah ke dalam diri Ali, lalu Hasan, Husain, demikian pula berpindah ke dalam diri para Imam. Umumnya mereka mengakui adanya reinkarnasi dan raj’ah.” (lihat Al-Badu wat Tarikh jilid V hal 129, cetakan 1916).

3. Kaum Sabaiah berkata : “Kami mendapat petunjuk melalui wahyu, namun banyak orang yang tersesat melalui isinya dan kami mendapat petunjuk berupa ilmu, namun tersembunyi bagi mereka.

4. Mereka bertanya : “Sesungguhnya Rasululloh Sholallhou ‘alaihi was Salam telah menyembunyikan 9/10 dari wahyu. Ocehan-ocehan omong kosong semacam itu telah disanggah oleh salah seorang Imam Ahlu Bait, yaitu Al-Hasan bin Muhammad Ibnul Hanafiah dalam risalahnya Al-Irja dan yang meriwayatkannya adalah orang-orang terpercaya di kalangan Syi’ah.

Al-Hafidz Al-Jauzajani (259 H) berkata tentang Ibnu Saba’ : “Ia beranggapan bahwa Al-Qur’an (yang ada sekarang) hanya 1 juz dari 9 juz. Dan ilmunya ada pada Ali, maka Ali melarangnya setelah menginginkannya. (lihat Al-Farqu bainal Firaq, hal : 234, ide semacam ini juga disebutkan oelh Ibnu Abil Hadid dalam Syarhu Nahjul Balagah jilid II, hal : 309)

5. Mereka juga mengatakan : “Bahwa Ali ada di langit. Petir adalah suaranya, kilat adalah cemetinya. Siapa diantara mereka yang mendengar suara petir, maka akan mengatakan : “Alaikassalam, ya Amirul Mukminin! (salam sejahtera bagimu, wahai amirul mukminin).”

Asy-Syaikh Muhyiddin Abdul Hamid, telah berkomentar tentang ideology semacam ini, yaitu : “Hingga kini saya masih melihat anak-anak kecil di Kairo berlarian ketika hujan deras, sambil berteriak : “Wahai berkah Ali, melimpahlah.” (lihat Maqalatul Islamiyyin, hal : 85)

Sikap Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalih radiallohu ‘anhu dan Ahlul Baitnya

Ali radiallohu ‘anhu, berkata : “Akan binasa sehubungan dengan diriku dua golongan manusia : Pecinta yang berlebihan, hingga kecintannya menyebabkannya menyimpang dari yang haq dan pembenci yang ceroboh, hingga kebenciannya membuatnya menyimpang dari kebenaran. Maka, sebaik-baik keadaan manusia dalam kaitannya dengan diriku adalah yang di tengah. Ikutlah yang di tengah dan ikutilah kelompok terbesar, karena sesungguhnya pertolongan Alloh beserta jamaah. (Lihat Al-Adabul Hadist oleh Umar Dasuqi, jilid II/405-406, ia adalah Muhammad bin abdul Muthalib bin wasil dari Juhainah)

Demikianlah, kehendak Alloh atas manusia sehubungan dengan Ali terbagi menjadi tiga bagian :

  1. Pembenci yang ceroboh, mereka inilah yang mencelanya, bahkan sebagian dari mereka terlalu ekstrim, hingga mengkafirkannya. Seperti kaum KHAWARIJ

  2. Pecinta yang berlebihan, dan kecintaannya tersebut membuatnya melewati batas, hingga menjadikannya Nabi bahkan kesesatan mereka kian meluap, hingga memper-Tuhankannya, seperti kaum SYI’AH

  3. Kelompok ketiga adalah yang terbesar, mereka inilah Ahlus-Sunnah wal Jama’ah dari mulai kaum terdahulu yang saleh, hingga masa kita dewasa ini. Mereka inilah yang mencintai Ali dan keluarganya dengan cinta yang benar menurut syara’. Mereka mencintai Ali dan keluarganya adalah karena kedudukan mereka di sisi Nabi Sholallohu ‘alaihi wassalam.

Kisah-kisah tentang Ali dengan kelompok pertama tersebut, telah banyak disebutkan dalam kitab-kitab sejarah, sebagaimana yang kita telah ketahui. Kini kita ingin mengetahui sikap Ali dan keluarganya terhadap Ibnu Saba’ dan para pengikutnya.

Ketika Ibnu Saba’ menyatakan keislamannya dan mulai menampakkan sikap ‘amar ma’ruf nahi mungkar serta berhasil menarik simpati banyak orang, maka ia mulai mendekatkan diri dan menunjukkan kecintaannya kepada Ali. Ketika kedudukannya cukup stabil, ia mulai berdusta dan menciptakan kebohongan atas diri Ali. Salah seorang tokoh besar dari golongan Tabi’in, yang wafat pada tahun 103 H., yaitu Asy-Sya’bi berkata : “Yang pertama kali melahirkan kebohongan adalah Abdullah bin Saba’. Dia telah berdusta atas nama Alloh dan Rasul-Nya.” Ali berkata : “Ada urusan apa aku dengan si jahat berkulit hitam itu (yang dimaksud adalah Ibnu Saba’), ia telah mencaci Abu Bakar dan ‘Umar.” (lihat Tarikh Dimasyq, copy dari naskah manuskrip di lembaga manuskrip no : 302 Tarikh, biografi Abdullah bin Saba’, lihat juga Tahdzib Tarikh Ibnu Asakir jilid V hal : 430)

Ibnu Sakir meriwayatkan, bahwa ketika kabar tentang caci maki yang dilontarkan Ibnu Saba’ pada Abu Bakar dan ‘Umar sampai kepada Ali bin Abi Thalib, maka beliau memanggilnya, maka orang-orang meminta pertolongan kepadanya. Kemudian Ali berkata : “Demi Alloh, dia tidak boleh tinggal di negri yang sama denganku. Asingkanlah dia ke Madain.” (idem Tarikh Dimasyq)

Berkata Ibnu Asakir :

Ash-Shodiq-Abu Abdillah Ja’far bin Muhammad Ash-Shodiq, lahir di Madinah Munawaroh pada tahun 83 H, dan meninggal di kota yang sama pada tahun 148 H. Beliau Imam ke VI yang ma’sum di kalangan Syi’ah, meriwayatkan dari ayah-ayahnya yang suci ,eriwayatkan dari Jabir, ia berkata : “Ketika Ali telah di bai’at, ia berkhotbah di hadapan masa, maka Abdullah bin Saba’ bangkit lalu menghampirinya sambil berkata kepadanya : “Engkau adalah binatang melata yang akan keluar dari perut bumi (salah satu tanda kiamat).

Ali berkata kepadanya : “Bertaqwalah kepada Alloh !”.

Abdullah balik berkata : “Engkaulah Sang Raja.”

Sekali lagi Ali berkata : “Bertaqwalah kepada Alloh !”.

Namun Abdullah malah menjawab : “Engkaulah yang menciptakan makhluq dan membagi-bagikan rizki.”

Lalu Ali menginstruksokan agar ia segera dibunuh, maka kaum Rafidhah sempat menentang Ali dengan berkata : “Biarlah dia ! Asingkan saja ke pinggira Madain. Karena jika engkau membunuhnya di kota ini (Kufah) kawan-kawan beserta pengikutnya tentu akan menentang kita.” Maka beliau mengasingkannya ke pinggiran Madain. Disana terdapat Qaramithah dan Rafidhah. Setelah itu, berkat upaya Ibnu Saba’, maka kota Madain menjadi sentra pertemuan mereka.”

Jabir berkata : “Lalu, datang kepada Ali 11 (sebelas) orang dari kaum Sabaiah. Beliau berkata : ”Kembalilah kamu (Ali meminta agar mereka menarik kembali kata-kata mereka yang mengandung syirik) –aku adalah Ali. Ayah dan Ibuku sudah dikenal. Aku adalah putra paman Nabi sholallohu ‘alaihi was Salam.” Mereka berkata : “Kami tidak akan kembali, tinggalkan yang memanggilmu.” Lalu Ali membakar mereka. Kuburan mereka yang berjumlah 11 di padang pasir demikian terkenal. Sisa dari mereka mengatakan kepada Ali adalah Tuhan. Mereka berpegang kepada ucapan Ibnu Abbas : “Tidak;ah diperbolehkan menyiksa dengan api, kecuali Penciptanya (Alloh –maksudnya karena anggapan mereka Ali adalah Tuhan, maka Ali berhak melakukan siksaan tersebut). (lihat Tarikh Dimasyq, manuskrip oelh Ibnu Asakir, lihat juga Tahdzib Tarikh Ibnu Asakir jilid VII/430-431).

Sikap Pengikut Ibnu Saba’, Ketika Mendengar Terbunuhnya Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib

Para pengikut Ibnu Saba’ masih belum merasa puas dengan hanya mendustakan kabar itu (terbunuhnya Ali), tetapi mereka pergi ke Kufah dengan menyiarkan kesesatan-kesesatan guru dan pemimpin mereka, Ibnu Saba’.

Sa’d bin Abdullah Al-Qummi, penulis kitab Al-Maqalat wal Firaq dan orang yang sangat terpercaya di kalangan Syi’ah telah meriwayatkan, kaum Sabaiah telah berkata pada pembawa kabar tentang wafatnya Ali : “Engkau berdusta, wahai musuh Alloh. Seandainya engkau datang dengan membawa otaknya yang telah hancur serta membawa 70 orang saksi, kami tetap tidak akan mempercayaimu. Kami yakin bahwa dia tidak mati dan tidak terbunuh. Dia tidak akan mati sampai ia kelak menggiring orang-orang Arab dengan tongkatnya serta menguasai bumi.” Kemudian, sedang beberapa saat mereka pergi ke rumah Ali. Mereka minta ijin untuk masuk dengan penuh keyakinan bahwa Ali masih hidup, hingga mereka dapat memenuhi keinginan mereka untuk bertemu dengannya. Orang-orang yang menyaksikan pembunuhan terhadap Ali, yaitu keluarga, para sahabat serta putranya, mengatakan kepada para pendatang tersebut : “Subhanalloh ! Tidak tahukah kalian, bahwa Amirul Mukminin telah mati syahid ?!”

Mereka menjawab : “Kami tahu pasti, bahwa ia tidak terbunuh dan tidak mati, hingga kelak ia menggiring orang-orang Arab dengan pedang dan cemetinya, sebagaimana ia pimpin mereka dengan hujjah dan bukti nyata yang ada padanya. Sungguh ia mendengar segala bisikan yang penuh rahasia dan mengetahui apa yang ada dibawah selimut tebal. Ia demikian kemilau dalam kegelapan, sebagaimana kemilaunya pedang yang tajam.” (lihat Al-Maqalat wal Firaq oleh Sa’d bin Abdullah Al-Qummi tahun 301 H, hal : 21, cetakan : Teheran 1963 M. Tahqiq Dr. Muhammad Jawad Masykur).

Sikap Keluarga Nabi yang Mulia terhadap Ibnu Saba’

Ahlul Bait Nabi yang mulia menentang Abdullah bin Saba’, sebagaimana Ali bin Abi Thalib. Hingga mereka semua mendustakannya serta menentang ucapannya yang busuk, dan kesesatannya.

Al-Kasyi meriwayatkan dengan sanadnya dari Muhammad bin Quluwaih, ia berkata : Telah diceritakan kepadaku oleh Ya’qub bin Yazid dan Muhammad bin Isa dari Ali bin Mahziar dari Fudhalah bin Ayyub Al-Azdi dari Aban bin Ustman berkata : Aku telah mendengar Abu Abdillah radiallohu ‘anhu berkata : “Semoga Alloh mengutuk Abdullah bin Saba’, ia telah mendakwahkan adanya unsure ketuhanan dalam diri Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Sementara, Demi Alloh, beliau adalah orang yang sangat taat. Sungguh celaka orang yang berdusta atas nama kami dan sesungguhnya satu kaum mengatakan tentang apa yang tidak pernah kami katakana mengenai diri kami. Kami berlindung kepada Alloh dari mereka.” (lihat Rijatul Kasyi, hal : 100, Yaysan A’lami Karbala dan Tanhiqul Maqol fi Ahwalir Rijal oleh Al-Mamaqani jilid II hal 183-184 cetakan Al-Muradhowiah 1350 H, dan Qanusur Rijal jilid V hal : 461).

Al-Kasyi meriwayatkan dengan sanadnya dari Muhammad bin Quluwaih, telah berkata Ali bin Husain radiallohu ‘anhu : “Semoga Alloh mengutuk orang yang berdusta atas nama kami. Suatu ketika aku teringat pada Abdullah bin Saba’, tiba-tiba berdiri bulu roma di sekujur tubuhku. Ia telah mendakwahkan satu masalah besar yang sungguh tak layak diucapkannya. Semoga Alloh melaknatinya. Ali radiallohu ‘anhu adalah hamba Alloh yang saleh, seukhuwah dengan Rasululloh sholallohu ‘alaihi was Salam. Ia tidak mendapatkan kemuliaan dari Alloh, melainkan dengan ketaatannya dengan Alloh dan Rasul-Nya, sebagaimana Rasululloh sholallohu ‘alaihi was Salam tidak memperoleh kemuliaan, melainkan dengan taatnya kepada Alloh.”

Semua ini adalah riwayat Al-Kasyi yang berasal dari imam-imam Ahlul Bait. Sebagaimana kita telah ketahui, Kitab Kasyi yang berjudul Ma’rifatun Naqihin ‘Ani aim Matish Shodiqin telah diteliti oleh Imam Syi’ah yang sangat terpercaya di kalangan mereka, yaitu Ath-Thusi yang mereka gelari Syaikhul-Thaifah (wafat tahun 460 H.).

Dinukil dari buku “Abdulah bin Saba’ – Bukan Tokoh Fiktif”

oleh Dr. Sya’diy Hasyimi penerbit Amarpress

copyrigt; Juned Topan.. Diberdayakan oleh Blogger.