This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 26 Januari 2012

MAKRIFAT KEPADA ALLAH


Deskripsi:
MAKRIFAT KEPADA ALLAH

Makrifat kepada Allah swt. adalah makrifat yang seluhur-luhurnya, bahkan yang semulia-mulianya sebab makrifat kepada Allah Taala itulah yang merupakan asas atau fundamen berdirinya segala kehidupan kerohanian. Dari makrifat kepada Allah itulah bercabang makrifat kepada para nabi dan rasul serta hal-hal yang berhubungan dengannya, mengenai kemaksuman, tugas-tugas dan sifat-sifatnya serta hajat umat manusia terhadap diutusnya para nabi, juga yang dimasukkan sebagai persoalan yang erat hubungannya dengan para nabi dan rasul seperti masalah mukjizat, kewalian, kekeramatan dan kitab-kitab suci yang diturunkan dari langit.

Bahkan dari makrifat kepada Allah Taala itu juga bercabang makrifat dengan alam yang ada di balik alam semesta ini, seperti malaikat jin dan ruh. Juga dari makrifat kepada Allah itu pulalah timbul makrifat perihal apa yang akan terjadi setelah kehidupan di dunia ini berakhir, juga mengenai kehidupan di alam barzakh, kehidupan di alam akhirat yang berupa kebangkitan kembali dari kubur, hisab (perhitungan amal), pahala, siksa, surga dan neraka.

CARA BERMAKRIFAT

Untuk bermakrifat kepada Allah swt. mempunyai dua cara, yaitu:

Pertama: Dengan menggunakan akal pikiran dan memeriksa secara teliti ciptaan Allah Taala yang berupa benda-benda yang beraneka ragam ini.

Kedua: Dengan mengetahui nama-nama Allah Taala serta sifat-sifat-Nya.

Dengan menggunakan akal pikiran dari satu sudut dan dengan memakrifati nama-nama serta sifat-sifat Allah dari sudut lain, seseorang akan dapat bermakrifat kepada Tuhan dan ia akan memperoleh petunjuk ke arah itu.

BERMAKRIFAT LEWAT PIKIRAN

Setiap anggota tentu ada tugasnya, tugas akal ialah merenung, memeriksa, memikirkan dan mengamati. Jika kekuatan semacam ini menganggur maka hilang pulalah pekerjaan akal, juga menganggurlah tugasnya yang terpenting dan ini pasti akan diikuti oleh terhentinya kegiatan hidup. Jika ini sudah terjadi, akan menyebabkan pula adanya kebekuan, kematian dan kerusakan akal itu sendiri. Agama Islam menghendaki agar akal bergerak dan melepaskan kekangannya segera bangun dari tidur nyenyaknya kemudian mengajak untuk mengadakan perenungan dan pemikiran. Pekerjaan yang sedemikian ini termasuk inti peribadatan kepada Tuhan. Allah Taala berfirman, “Katakanlah! ‘Perhatikanlah olehmu semua apa-apa yang ada di langit dan bumi." (Q.S. Yunus:101)

Allah Taala berfirman pula, “Katakanlah! ‘Aku hanya hendak mengajarkan kepadamu semua satu perkara saja yaitu hendaklah kamu semua berdiri di hadapan Allah, dua-dua orang atau seorang-seorang, kemudian berpikirlah kamu semua (gunakanlah akal pikiranmu)’" (Q.S. Saba:46)

Barangsiapa yang mengingkari kenikmatan akal dan tidak suka menggunakannya untuk sesuatu yang semestinya dikerjakan oleh akal, melalaikan ayat-ayat dan bukti-bukti tentang wujud dan kekuasaan Allah Taala, maka orang semacam itulah yang patut sekali mendapat cemoohan dan hinaan. Malah Allah Taala sendiri telah mencela sekali orang semacam itu dengan firman-Nya, “Alangkah banyaknya ayat (tanda kekuasaan Tuhan) di langit dan di bumi yang mereka lalui, tetapi mereka itu semua membelakanginya saja (tidak memperhatikannya).” (Q.S. Yusuf:105)

Allah Taala berfirman pula, “Tidaklah datang kepada mereka itu suatu ayat dari beberapa ayat Allah melainkan mereka itu membelakanginya saja (tidak memperhatikannya).” (Q.S. Yasin:46)

Menganggurkan akal dari tugas utamanya, akan menurunkan manusia itu sendiri ke suatu taraf yang lebih rendah dan lebih hina dari taraf binatang. Keadaan seperti itulah yang merupakan penghalang besar bagi umat yang dahulu untuk langsung menembus kepada hakikat-hakikat yang ada di dalam diri, jiwa dan alam semesta.

Allah Taala berfirman, “Sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam itu kebanyakan dari jin dan manusia, yang mempunyai hati, tetapi tidak mengerti dengan hatinya, mempunyai mata tetapi tidak melihat dengan matanya dan mempunyai telinga tetapi tidak mendengarkan dengan telinganya. Orang-orang itu seperti binatang ternak bahkan lebih sesat. Itulah orang-orang yang lalai (dari kebenaran).” (Q.S. Al-A’raf:179)

TAKLID ADALAH PENUTUP AKAL PIKIRAN

Taklid adalah penghalang besar terhadap kemerdekaan akal, kekang utama terhadap kebebasan berpikir. Oleh sebab itu, Allah Taala memuji sekali orang-orang yang dapat menjernihkan hakikat sesuatu menyisihkannya dari benda-benda lain, membedakan dan memurnikan benda-benda itu setelah dibahas, diperiksa, diteliti dan disaring oleh akal pikirannya, selanjutnya mengambil mana yang dianggap terbaik dan meninggalkan yang lain. Allah Taala berfirman, “Maka berikanlah berita gembira kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan ucapan lalu mengikuti mana-mana yang terbaik dari ucapan itu. Mereka itulah orang-orung yang memperoleh petunjuk Allah dan mereka itu pulalah arang-orang yang mempunyai akal pikiran.” (Q.S. Az-Zumar:17-18)

Allah Taala benar-benar mencela dan mengejek serta menyalahkan orang-orang yang suka mengekor dan mengikuti, yakni ahli taklid yang tidak suka menggunakan akal pikirannya sendiri. Mereka hanya mengikuti akal orang lain. Mereka betul-betul pasif sebab hanya mengikuti alam pikiran kuno yang sudah terbiasa dan berlangsung sejak dulu di sekitarnya sekalipun yang baru itu sebenarnya lebih tepat, lebih cocok lebih sesuai dan lebih dapat dipertanggungjawabkan karena sejalan dengan petunjuk dari Tuhan. Allah Taala berfirman, “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang diturunkan Allah!’ Mereka lalu berkata, ‘Tidak, kita hanya mengikuti apa yang telah kita dapati dari ayah-ayah kita,’ padahal ayah-ayah mereka itu tidak mengerti sedikit pun dan tidak pula mengikuti petunjuk yang benar.” (Q.S. Al-Baqarah:170)

BIDANG-BIDANG PEMIKIRAN

Agama Islam mengajak seluruh umat manusia supaya berpikir dan menggunakan akal, dengan anjuran yang demikian hebat. Tetapi yang dikehendaki bukanlah pemikiran secara tidak terkendalikan lagi kebebasannya. Semua itu dimaksudkan oleh Islam agar dilakukan dalam batas yang tertentu yang memang merupakan lapangan bagi manusia dan yang dapat dicapai oleh akal manusia itu. Maka yang dianjurkan oleh Islam untuk dipikirkan ialah dalam hal ciptaan Allah Taala yakni apa-apa yang ada di langit, di bumi, dalam dirinya sendiri, dalam masyarakat manusia dan lain-lain. Tidak ada pemikiran yang dilarang, melainkan memikirkan zat Allah swt., sebab soal yang satu ini pasti di luar kekuatan akal pikiran manusia.

Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda, “Berpikirlah kamu semua perihal makhluk Allah (apa-apa yang diciptakan oleh Allah) dan janganlah kamu sekalian berpikir mengenai zat Allah, sebab sesungguhnya kamu semua sudah tentu tidak dapat mencapai keadaan hakikatnya.”

Diriwayatkan oleh Abu Naim dalam kitab “Alhilyah" dengan sanad daif tetapi isi dan maknanya sahih. Alquran sendiri penuh dengan beratus-ratus ayat (bukti dan tanda) yang mengajak kita semua untuk merenungkan keadaan alam semesta yang terbuka lebar dan luas di hadapan kita ini, beserta cakrawalanya yang tiada terbatas oleh suatu apa pun karena sangat besarnya dan tidak ada ujung pangkalnya. Allah Taala berfirman, “Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepadamu semua, agar supaya kamu suka berpikir tentang dunia dan akhirat.” (Q.S. Al-Baqarah:219-220)

Alangkah luas dan lebarnya dunia yang diperintah oleh Islam untuk dipikirkan itu, tetapi sedemikian luasnya masih belum memadai sedikit pun dari keluasan yang terdapat di dalam alam akhirat.

TUJUAN PEMIKIRAN
Di antara tujuan utama yang dikehendaki oleh Islam dalam memerintahkan berpikir ialah untuk membangunkan akal dan menggunakan tugasnya dalam berpikir merenungkan dan menyelidiki, dengan demikian akan manusia akan sampai kepada petunjuk yang memberikan penerangan sejelas-jelasnya mengenai peraturan-peraturan kehidupan, sebab-sebab wujud alam semesta, tabiat-tabiat keadaan dan hakikat-hakikat segala sesuatu benda. Manakala hal-hal itu sudah terlaksana dengan baik, tentu akan dapat merupakan cahaya terang untuk menyingkap persoalan siapa yang sebenarnya menjadi maha pencipta dan pembentuk semuanya itu. Selanjutnya setelah ini diperoleh maka dengan perlahan-lahan akan dicapai hakikat yang terbesar yaitu bermakrifat kepada Allah Taala. Jadi kemakrifatan kepada Allah Taala yang sesungguhnya merupakan buah atau natijah daripada akal pikiran yang cerdik dan bergerak terus, juga sebagai hasil dari usaha pemikiran yang mendalam serta disinari oleh cahaya yang terang-benderang.

Inilah salah satu perantaraan yang digunakan oleh Alquran untuk memberikan pembuktian tentang Allah Taala. Alquran telah mendorong akal pikiran manusia dengan mengemukakan ayat-ayat tentang ilmu alam yang menjelaskan segala isi dalam dunia semesta ini dengan menggunakan hasil dari pemikiran itu nanti akan terciptalah kemakrifatan kepada Allah Taala. Kemakrifatan ini terdiri dari hal-hal seperti mengenal kesempurnaan sifat-sifat-Nya, keagungan hal-ihwal-Nya, kenyataan dari kebesaran dan keluhuran-Nya, bukti kesucian-Nya, kelengkapan ilmu-Nya, kelangsungan kekuasaan-Nya dan keesaan-Nya dalam hal menciptakan dan membuat yang baru. Marilah kita semua renungkan baik-baik dalam kalbu dan pikiran kita makna dan ayat-ayat yang tercantum di bawah ini.

“Katakanlah! ‘Segenap puji adalah bagi Allah dan keselamatan untuk hamba-hamba-Nya yang dipilih oleh-Nya. Adakah Allah itu yang lebih baik, ataukah yang mereka persekutukan dengan Allah itu yang lebih baik? Atau siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit kepadamu semua kemudian Kami (Allah) menumbuhkan dengan sebab air tadi kebun-kebun yang indah permai. Kamu semua tentu tidak sanggup menumbuhkan pohonnya. Adakah tuhan di samping Allah? Tetapi mereka itu adalah kaum yang berpaling dari kebenaran. Atau siapakah yang menjadikan bumi untuk tempaberdiam dan menjadikan sungai-sungai di tengah-tengahnya, menjadikan gunung-gunung untuk menjadi pasak dan menjadikan batas antara dua lautan? Adakah tuhan di samping Allah? Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui yang sedemikian itu. Atau siapakah yang memperkenankan permohonan orang yang dipaksa keadaan menderita, apabila memohon kepada-Nya agar menghilangkan penderitaannya itu dan siapakah yang menjadikan kamu semua sebagai khalifah di bumi? Adakah tuhan di samping Allah? Sedikit sekali kamu semua mengingat kepada Allah itu. Atau siapakah yang menunjukkan jalan kepadamu semua dalam kegelapan di lautan dan di daratan? Dan siapakah yang mengirim angin untuk membawa berita gembira sebelum datangnya kerahmatan Allah? Adakah tuhan di samping Allah? Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan dengan Allah itu. Atau siapakah yang memulai menciptakan makhluk, kemudian akan mengulanginya kembali? Dan siapakah yang memberikan rezeki kepadamu semua dari langit dan bumi? Adakah tuhan di samping Allah? Katakanlah keterangan (alasan)mu, jika kamu semua memang benar!” (Q.S. An-Naml:59-64)

Pikirkanlah baik-baik, apakah ada suatu keterangan yang lebih jelas dari keterangan yang tertera di atas itu, adakah suatu argumen yang lebih kuat daripada argumen di atas?

Jika akal masih juga tidak suka tunduk kepada keterangan di atas, tidak suka takluk pada argumen itu, maka sungguh ia tidak akan tunduk pada keterangan lain dan tidak pula mau takluk pada hujah mana pun, suatu alamat akal yang sesat dan enggan terhadap petunjuk yang benar.

Allah Taala berfirman, “Dan barangsiapa yang tidak diberi cahaya oleh Allah, maka orang itu pun tidak akan memperoleh cahaya apapun.” (Q.S. An-Nur:40)

Seorang penyair berkata: “Hati nurani manusia itu Pasti tidak akan mampu memperoleh sesuatu apa pun Jika ia tetap menuntut bukti Mengapa waktu siang itu terang benderang.”

BERMAKRIFAT DENGAN MEMAHAMI NAMA-NAMA DAN SIFAT-SIFAT ALLAH

Jalan lain dalam mencapai makrifat kepada Allah swt. ialah memahami nama-nama Allah Taala yang baik-baik serta sifat-sifat-Nya yang luhur dan tinggi. Jadi nama-nama dan sifat-sifat itulah yang merupakan perantara yang digunakan oleh Allah Taala agar makhluk-Nya dapat bermakrifat pada-Nya. Inilah yang dapat dianggap sebagai saluran yang dari situ hati manusia dapat mengenal Allah Taala secara spontan. Malah itu pulalah yang dapat menggerakkan cara penemuan yang hakiki dan membuka alam yang amat luas terhadap kerohanian guna menyaksikan cahaya Allah swt.

Nama-nama itu adalah yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya, “Katakanlah, ‘Serulah Allah atau serulah Rahman. Mana saja nama Tuhan yang kamu semua seru, Dia adalah mempunyai nama-nama yang baik.’" (Q.S. Al-Isra:110)

Dengan nama-nama itulah yang kita semua diperintah untuk menyerunya. Allah Taala berfirman, “Bagi Allah adalah nama-nama yang baik, maka serulah dengan menggunakan nama-nama itu.” (Q.S. Al-A’raf:180)

Adapun jumlah nama-nama Allah yang baik (asmaul husna) itu ada sembilan puluh sembilan nama. Imam Bukhari, Muslim dan Tirmizi meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Allah itu mempunyai sembilan puluh sembilan nama. Barangsiapa menghafalnya ia masuk surga. Sesungguhnya Allah itu Maha Ganjil (tidak genap) dan cinta sekali pada hal yang ganjil (tidak genap).” (H.R. Ibnu Majah)

Imam Tirmizi memberikan tambahan dalam riwayatnya sebagai berikut, “Sembilan puluh sembilan nama Allah Taala yaitu:

1. Allah: Lafal yang Maha Mulia yang merupakan nama dari zat Ilahi yang Maha Suci serta wajib adanya yang berhak memiliki semua macam pujian dan sanjungan. Adapun nama-nama lain, maka setiap nama itu menunjukkan suatu sifat Tuhan yang tertentu dan oleh sebab itu bolehlah dianggap sebagai sifat bagi lafal yang Maha Mulia ini (yakni Allah) atau boleh dijadikan sebagai kata beritanya.
2. Arrahmaan: Maha Pengasih, pemberi kenikmatan yang agung-agung, pengasih di dunia.
3. Arrahiim: Maha Penyayang, pemberi kenikmatan yang pelik-pelik, penyayang di akhirat.
4. Almalik: Maha Merajai, mengatur kerajaan-Nya sesuai dengan kehendak-Nya sendiri.
5. Alqudduus: Maha Suci, tersuci dari segala cela dan kekurangan.
6. Assalaam: Maha Penyelamat, pemberi keamanan dan kesentosaan pada seluruh makhluk-Nya.
7. Almukmin: Maha Pemelihara keamanan, yakni siapa yang bersalah dari makhluk-Nya itu benar-benar akan diberi siksa, sedang kepada yang taat akan benar-benar dipenuhi janji-Nya dengan pahala yang baik.
8. Almuhaimin: Maha Penjaga, memerintah dan melindungi segala sesuatu.
9. Al’aziiz: Maha Mulia, kuasa dan mampu untuk berbuat sekehendak-Nya.
10. Aljabbaar: Maha Perkasa, mencukupi segala kebutuhan, melangsungkan segala perintah-Nya serta memperbaiki keadaan seluruh hamba-Nya.
11. Almutakabbir: Maha Megah, menyendiri dengan sifat keagungan dan kemegahan-Nya.
12. Alkhaalik: Maha Pencipta, mengadakan seluruh makhluk tanpa asal, juga yang menakdirkan adanya semua itu.
13. Albaari’: Maha Pembuat, mengadakan sesuatu yang bernyawa yang ada asal mulanya.
14. Almushawwir: Maha Pembentuk, memberikan gambaran atau bentuk pada sesuatu yang berbeda dengan lainnya. (Jadi Alkhaalik adalah mengadakan sesuatu yang belum ada asal mulanya atau yang menakdirkan adanya itu. Albaari’ ialah mengeluarkannya dari yang sudah ada asalnya, sedang Almushawwir ialah yang memberinya bentuk yang sesuai dengan keadaan dan keperluannya).
15. Alghaffaar: Maha Pengampun, banyak pemberian maaf-Nya dan menutupi dosa-dosa dan kesalahan.
16. Alqahhaar: Maha Pemaksa, menggenggam segala sesuatu dalam kekuasaan-Nya serta memaksa segala makhluk menurut kehendak-Nya.
17. Alwahhaab: Maha Pemberi, banyak kenikmatan dan selalu memberi karunia.
18. Arrazzaaq: Maha Pemberi rezeki, membuat berbagai rezeki serta membuat pula sebab-sebab diperolehnya.
19. Alfattaah: Maha Membukakan, yakni membuka gudang penyimpanan rahmat-Nya untuk seluruh hamba-Nya.
20. Al’aliim: Maha Mengetahui, yakni mengetahui segala yang maujud ini dan tidak ada satu benda pun yang tertutup oleh penglihatan-Nya.
21. Alqaabidl: Maha Pencabut, mengambil nyawa atau mempersempit rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
22. Albaasith: Maha Meluaskan, memudahkan terkumpulnya rezeki bagi siapa yang diinginkan oleh-Nya.
23. Alkhaafidl: Maha Menjatuhkan, yakni terhadap orang yang selayaknya dijatuhkan karena akibat kelakuannya sendiri dengan memberinya kehinaan, kerendahan dan siksaan.
24. Arraafi’: Maha Mengangkat, yakni terhadap orang yang selayaknya diangkat kedudukannya karena usahanya yang giat yaitu yang termasuk golongan kaum yang bertakwa.
25. Almu’iz: Maha Pemberi kemuliaan, yakni kepada orang yang berpegang teguh pada agama-Nya dengan memberinya pertolongan dan kemenangan.
26. Almudzil: Maha Pemberi kehinaan, yakni kepada musuh-musuh-Nya dan musuh umat Islam seluruhnya.
27. Assamii’: Maha Mendengar.
28. Albashiir: Maha Melihat.
29. Alhakam: Maha Menetapkan hukum, sebagai hakim yang memutuskan yang tidak seorang pun dapat menolak keputusan-Nya, juga tidak seorang pun yang kuasa merintangi kelangsungan hukum-Nya itu.
30. Al’adl: Maha Adil, serta sangat sempurna dalam keadilan-Nya itu.
31. Allathiif: Maha Halus, yakni mengetahui segala sesuatu yang samar-samar, pelik-pelik dan kecil-kecil.
32. Alkhabiir: Maha Waspada.
33. Alhaliim: Maha Penghiba, penyantun yang tidak tergesa-gesa melakukan kemarahan dan tidak pula gegabah memberikan siksaan.
34. Al’azhiim: Maha Agung, yakni mencapai puncak tertinggi dari keagungan karena bersifat dengan segala macam sifat kebesaran dan kesempurnaan.
35. Alghafuur: Maha Pengampun, banyak pengampunan-Nya kepada hamba-hamba-Nya.
36. Asysyakuur: Maha Pembalas yakni memberikan balasan yang banyak sekali atas amalan yang kecil dan tidak berarti.
37. Al’aliy: Maha Tinggi, yakni mencapai tingkat yang setinggi-tingginya yang tidak mungkin digambarkan oleh akal pikiran siapa pun dan tidak dapat dipahami oleh otak yang bagaimana pun pandainya.
38. Alkabiir: Maha Besar, yang kebesaran-Nya tidak dapat diikuti oleh pancaindera atau pun akal manusia.
39. Alhafiiz: Maha Pemelihara yakni menjaga segala sesuatu jangan sampai rusak dan goncang. Juga menjaga segala amal perbuatan hamba-hamba-Nya, sehingga tidak akan disia-siakan sedikit pun untuk memberikan balasan-Nya.
40. Almuqiit: Maha Pemberi kecukupan, baik yang berupa makanan tubuh atau pun makanan rohani.
41. Alhasiib: Maha Penjamin, yakni memberikan jaminan kecukupan kepada seluruh hamba-Nya. Juga dapat diartikan Maha Menghisab amalan hamba-hamba-Nya pada hari kiamat.
42. Aljaliil: Maha Luhur, yang memiliki sifat-sifat keluhuran karena kesempurnaan sifat-sifat-Nya.
43. Alkariim: Maha Pemurah, mulia hati dan memberi siapa pun tanpa diminta atau sebagai penggantian dari sesuatu pemberian.
44. Arraqiib: Maha Peneliti, yang mengamat-amati gerak-gerik segala sesuatu dan mengawasinya.
45. Almujiib: Maha Mengabulkan, yang memenuhi permohonan siapa saja yang berdoa pada-Nya.
46. Alwaasi’: Maha Luas, yakni bahwa rahmat-Nya itu merata kepada segala yang maujud dan luas pula ilmu-Nya terhadap segala sesuatu.
47. Alhakiim: Maha Bijaksana yakni memiliki kebijaksanaan yang tertinggi kesempurnaan ilmu-Nya serta kerapian-Nya dalam membuat segala sesuatu.
48. Alwaduud: Maha Pencinta, yang menginginkan segala kebaikan untuk seluruh hamba-Nya dan pula berbuat baik pada mereka itu dalam segala hal-ihwal dan keadaan.
49. Almajiid: Maha Mulia, yakni yang mencapai tingkat teratas dalam hal kemuliaan dan keutamaan.
50. Albaa’its: Maha Membangkitkan, yakni membangkitkan para rasul, membangkitkan semangat dan kemauan, juga membangkitkan orang-orang yang telah mati dari masing-masing kuburnya nanti setelah tibanya hari kiamat.
51. Asysyahiid: Maha Menyaksikan atau Maha Mengetahui keadaan semua makhluk.
52. Alhaq: Maha Haq, Maha Benar yang kekal dan tidak akan berubah sedikit pun.
53. Alwakiil: Maha Memelihara penyerahan, yakni memelihara semua urusan hamba-hamba-Nya dan apa-apa yang menjadi kebutuhan mereka itu.
54. Alqawiy: Maha Kuat, yaitu yang memiliki kekuasaan yang sesempurna-sempurna.
55. Almatiin: Maha Kokoh atau Perkasa, yakni memiliki keperkasaan yang sudah sampai dipuncaknya.
56. Alwaliy: Maha Melindungi, yakni melindungi serta menertibkan semua kepentingan makhluk-Nya karena kecintaan-Nya yang sangat pada mereka itu dan pemberian pertolongan-Nya yang tidak terbatas pada keperluan mereka.
57. Alhamiid: Maha Terpuji, yang memang sudah selayaknya untuk memperoleh pujian dan sanjungan.
58. Almuhshi: Maha Penghitung, yang tidak satu pun tertutup dari pandangan-Nya dan semua amalan itu pun diperhitungkan sebagaimana wajarnya.
59. Almubdi’: Maha Memulai, yang melahirkan sesuatu yang asalnya tidak ada dan belum maujud.
60. Almu’iid: Maha Mengulangi, yakni menumbuhkan kembali setelah lenyapnya atau setelah rusaknya.
61. Almuhyii: Maha Menghidupkan, yakni memberikan daya kehidupan pada setiap sesuatu yang berhak hidup.
62. Almumiit: Yang Mematikan, yakni mengambil kehidupan (ruh) dari apa-apa yang hidup, lalu disebut mati.
63. Alhay: Maha Hidup, kekal pula hidup-Nya itu.
64. Alqayyuum: Maha Berdiri sendiri, baik Dzat-Nya, sifat-Nya, perbuatan-Nya. Juga membuat berdiri apa-apa yang selain Dia. Dengan-Nya pula berdiri langit dan bumi ini.
65. Alwaajid: Maha kaya, dapat menemukan apa saja yang diinginkan oleh-Nya, maka tidak membutuhkan pada suatu apa pun karena sifat kaya-Nya yang mutlak.
66. Almaajid: Maha Mulia, (sama dengan nomor 49 yang berbeda hanyalah tulisannya. Ejaan sebenarnya nomor 49 Almajiid sedangkan nomor 66 ini Almaajid).
67. Alwaahid: Maha Esa.
68. Ashshamad: Maha Dibutuhkan, yakni selalu menjadi tujuan dan harapan orang di waktu ada hajat keperluannya.
69. Alqaadir: Maha Kuasa.
70. Almuqtadir: Maha Menentukan.
71. Almuqaddim: Maha Mendahulukan, yakni mendahulukan sebagian benda dari yang lainnya dalam perwujudannya, atau dalam kemuliaan, selisih waktu atau tempatnya.
72. Almu’akhkhir: Maha Mengakhirkan atau Membelakangkan.
73. Alawwal: Maha Pertama, Dahulu sekali dari semua yang maujud.
74. Alaakhir: Maha Penghabisan, Kekal terus setelah habisnya segala sesuatu yang maujud.
75. Azhzhaahir: Maha Nyata, yakni menyatakan dan menampakkan wujud-Nya itu dengan bukti-bukti dan tanda-tanda ciptaan-Nya.
76. Albaathin: Maha Tersembunyi, tidak dapat dimaklumi zat-Nya sehingga tidak seorang pun dapat mengenal zat-Nya itu.
77. Alwaalii: Maha Menguasai, menggenggam segala sesuatu dalam kekuasaan-Nya dan menjadi milik-Nya.
78. Almuta’aalii: Maha Suci, terpelihara dari segala kekurangan dan kerendahan.
79. Albar: Maha Dermawan, banyak kebaikan-Nya dan besar kenikmatan yang dilimpahkan-Nya.
80. Attawwaab: Maha Penerima tobat, memberikan pertolongan kepada orang-orang yang bermaksiat untuk melakukan tobat lalu Allah akan menerimanya.
81. Almuntaqim: Maha Penyiksa, kepada orang yang berhak untuk memperoleh siksa-Nya.
82. Al’afuw: Maha Pemaaf, pelebur kesalahan orang yang suka kembali untuk meminta maaf pada-Nya.
83. Arra-uuf: Maha Pengasih, banyak rahmat dan kasih sayang-Nya.
84. Maalikulmulk: Maha Menguasai kerajaan, maka segala perkara yang berlaku di alam semesta, langit, bumi dan sekitarnya serta yang dibaliknya alam semesta itu semuanya sesuai dengan kehendak dan iradat-Nya.
85. Dzuljalaali wal ikraam: Maha Memiliki kebesaran dan kemuliaan. Juga zat yang mempunyai keutamaan dan kesempurnaan, pemberi karunia dan kenikmatan yang amat banyak dan melimpah ruah.
86. Almuqsith: Maha Mengadili, yakni memberikan kemenangan pada orang-orang yang teraniaya dari tindakan orang-orang yang menganiaya dengan keadilan-Nya.
87. Aljaami’: Maha Mengumpulkan, yakni mengumpulkan berbagai hakikat yang telah bercerai-berai dan juga mengumpulkan seluruh umat manusia pada hari pembalasan.
88. Alghaniy: Maha Kaya, maka tidak membutuhkan apa pun dari yang selain zat-Nya sendiri, tetapi yang selain-Nya itu amat membutuhkan kepada-Nya.
89. Almughnii: Maha Pemberi kekayaan yakni memberikan kelebihan yang berupa kekayaan yang berlimpah-limpah kepada siapa saja yang dikehendaki dari golongan hamba-hamba-Nya.
90. Almaani’: Maha Membela atau Maha Menolak, yaitu membela hamba-hamba-Nya yang saleh dan menolak sebab-sebab yang menyebabkan kerusakan.
91. Adldlaar: Maha Pemberi bahaya, yakni dengan menurunkan siksa-siksa-Nya kepada musuh-musuh-Nya.
92. Annaafi’: Maha Pemberi kemanfaatan, yakni merata kebaikan yang dikaruniakan-Nya itu kepada semua hamba dan negeri.
93. Annuur: Maha Bercahaya yakni menonjolkan zat-Nya sendiri dan menampakkan untuk yang selain-Nya dengan menunjukkan tanda-tanda kekuasaan-Nya.
94. Alhaadi: Maha Pemberi petunjuk, yaitu memberikan jalan yang benar kepada segala sesuatu agar langsung adanya dan terjaga kehidupannya.
95. Albadii’: Maha Pencipta yang baru, sehingga tidak ada contoh dan yang menyamai sebelum keluarnya ciptaan-Nya itu.
96. Albaaqii: Maha Kekal, yakni kekal hidup-Nya untuk selama-lamanya.
97. Alwaarits: Maha Pewaris, yakni kekal setelah musnahnya seluruh makhluk.
98. Arrasyiid: Maha Cendekiawan, yaitu memberi penerangan dan tuntunan pada seluruh hamba-Nya dan yang segala peraturan-Nya itu berjalan menurut ketentuan yang digariskan oleh kebijaksanaan dan kecendikiawanan-Nya.
99. Ashshabuur: Maha Penyabar yang tidak tergesa-gesa memberikan siksaan dan tidak pula cepat-cepat melaksanakan sesuatu sebelum waktunya.


Dalam kitab Addinul Islami disebutkan sebagai berikut: “Nama-nama Allah yang baik-baik (asmaul husna) yang tercantum dalam Alquran yaitu:

1. Nama-nama yang berhubungan dengan zat Allah Taala, yakni:
a. Alwaahid (Maha Esa)
b. Alahad (Maha Esa)
c. Alhaq (Maha Benar)
d. Alqudduus (Maha Suci)
e. Ashshamad (Maha dibutuhkan)
f. Alghaniy (Maha Kaya)
g. Alawwal (Maha Pertama)
h. Alaakhir (Maha Penghabisan).
i. Alqayyuum (Maha Berdiri Sendiri).

2. Nama-nama yang berhubungan dengan penciptaan, yakni:
a. Alkhaalik (Maha Menciptakan)
b. Albaari’ (Maha Pembuat)
c. Almushawwir (Maha Pembentuk)
d. Albadii’ (Maha Pencipta yang baru)

3. Nama-nama yang berhubungan dengan sifat kecintaan dan kerahmatan, selain dari lafal Rab (Tuhan), Rahman (Maha Pengasih) dan Rahim (Maha Penyayang), yakni:
a. Arra-uuf (Maha Pengasih)
b. Alwaduud (Maha Pencinta)
C. Allathiif (Maha Halus)
d. Alhaliim (Maha Penghiba)
e. Al’afuw (Maha Pemaaf)
f. Asysyakuur (Maha Pembalas, Pemberi karunia)
g. Almukmin (Maha Pemelihara keamanan)
h. Albaar (Maha Dermawan)
i. Rafi’ud darajat (Maha Tinggi derajat-Nya)
j. Arrazzaaq (Maha Pemberi rezeki)
k. Alwahhaab (Maha Pemberi)
l. Alwaasi’ (Maha luas)

4. Nama-nama yang berhubungan dengan keagungan serta kemuliaan Allah Taala yakni:
a. Al’azhiim (Maha Agung)
b. Al’aziiz (Maha Mulia)
C. Al’aliy (Maha Tinggi)
d. Almuta’aalii (Maha Suci)
e. Alqawiy (Maha Kuat)
f. Alqahhaar (Maha Pemaksa)
g. Aljabbaar (Maha Perkasa)
h. Almutakabbir (Maha Megah)
i. Alkabiir (Maha Besar)
j. Alkariim (Maha Pemurah)
k. Alhamiid (Maha Terpuji)
l. Almajiid (Maha Mulia)
m. Almatiin (Maha Kuat)
n. Azhzhaahir (Maha Nyata)
o. Zuljalaali wal ikraam (Maha Memiliki kebesaran dan kemuliaan)

5. Nama-nama yang berhubungan dengan ilmu Allah Taala, yakni:
a. Al’aliim (Maha Mengetahui)
b. Alhakiim (Maha Bijaksana)
C. Assamii’ (Maha Mendengar)
d. Alkhabiir (Maha Waspada)
e. Albashiir (Maha Melihat)
f. Asysyahid (Maha Menyaksikan)
g. Arraqiib (Maha Meneliti)
h. Albaathin (Maha Tersembunyi)
i. Almuhaimin (Maha Menjaga)

6. Nama-nama yang berhubungan dengan kekuasaan Allah serta caranya mengatur segala sesuatu, yakni:
a. Alqaadir (Maha Kuasa)
b. Alwakiil (Maha Memelihara penyerahan)
C. Alwaliy (Maha Melindungi)
d. Alhaafizh (Maha Pemelihara)
e. Almalik (Maha Merajai)
f. Almaalik (Maha Memiliki)
g. Alfattaah (Maha Pembuka)
h. Alhasiib (Maha Penjamin)
i. Almuntaqim (Maha Penyiksa)
j. Almuqiit (Maha Pemberi kecukupan)

7. Ada pula nama-nama yang tidak disebutkan dalam nas Alquran tetapi merupakan sifat-sifat yang erat kaitannya dengan sifat atau perbuatan Allah Taala yang tercantum dalam Alquran, yakni:
a. Alqaabidl (Maha Pencabut)
b. Albaasith (Maha Meluaskan)
C. Arraafi` (Maha Mengangkat)
d. Almu’iz (Maha Pemberi kemuliaan)
e. Almudzil (Maha Pemberi kehinaan)
f. Almujiib (Maha Mengabulkan)
g. Albaa’its (Maha Membangkitkan)
h. Almuhshii (Maha Penghitung)
i. Almubdi’ (Maha Memulai)
j. Almu’iid(Maha Mengulangi)
k. Almuhyii (Maha Menghidupkan)
l. Almumiit (Maha Mematikan)
m. Maalikulmulk (Maha Menguasai kerajaan)
n. Aljaami’ (Maha Mengumpulkan)
o. Almughnii (Maha Pemberi kekayaan)
p. Almu’thii (Maha Pemberi)
q. Almaani’ (Maha Membela, Maha Menolak)
r. Alhaadii (Maha Pemberi Petunjuk)
s. Albaaqii (Maha Kekal)
t. Alwaarits (Maha Pewaris).

8. Ada pula nama-nama Allah Taala yang diambil dari makna atau pengertian nama-nama yang terdapat dalam Alquran, yakni:
a. Annuur (Maha Bercahaya)
b. Ashshabuur (Maha Penyabar)
c. Arrasyiid (Maha Cendekiawan)
d. Almuqsith (Maha Mengadili)
e Alwaalii (Maha Menguasai)
f. Aljaliil (Maha Luhur)
g. Al’adl (Maha Adil)
h. Alkhaafidl (Maha Menjatuhkan)
i. Alwaajid (Maha Kaya)
j. Almuqaddim (Maha Mendahulukan)
k. Almu-akhkhir (Maha Mengakhirkan)
l. Adldlaar (Maha Pemberi bahaya)
m. Annaafi’ (Maha Pemberi kemanfaatan)

Dengan nama-nama di atas dirangkaikan pula sifat-sifat:

a. Takallum (Berfirman) dan
b. Iradat (Berkehendak)

ZAT TUHAN DAN KEMUSTAHILAN MENEMUKANNYA

Hakikat dari zat Ketuhanan tidak mungkin dimakrifati oleh akal pikiran dan sudah pasti tidak akan dapat dicapai betapa keadaan yang sebenarnya atau puncaknya. Sebabnya ialah karena pikiran manusia tidak dapat menjangkau hal tersebut, karena manusia tidak diberi dan tidak ditunjuki pula jalan menemukannya atau wasilah mencapainya. Akal manusia bagaimana cerdik dan pandainya, begitu kuat daya tangkapnya, tetapi tetap terbatas dalam suatu batas yang tertentu dan malah lemah sekali atau belum dapat memakrifati hakikat berbagai benda yang dilihatnya sehari-hari. Manusia sampai saat ini masih belum dapat mengetahui secara benar tentang hakikat jiwa manusia itu sendiri. Bahkan pengetahuan tentang hal jiwa ini hingga sekarang tetap merupakan penyelidikan yang hangat dalam rangkaian persoalan-persoalan yang erat hubungannya dengan ilmu pengetahuan filsafat.

Manusia itu pun tidak dapat menguraikan hakikat cahaya atau sinar, padahal cahaya atau sinar itu sebenarnya adalah benda yang amat terang dan jelas sekali. Juga belum dapat diketahui hakikat sesuatu benda serta hakikat dari atom yang setiap benda itu pasti tersusun dari himpunan atom-atom itu, padahal semuanya ini adalah yang terdekat sekali hubungannya dengan manusia itu sendiri. Maka dari itu sampai saat sekarang ini pun ilmu pengetahuan modern masih belum mampu menguraikan berbagai hakikat benda yang ada di alam semesta ini. Ringkasnya kata terakhir masih belum dapat dijelaskan, sebagai tanda bahwa hakikat apa yang dicari itu belum terpecahkan dengan memuaskan.

Seorang profesor terkenal bernama Kamyl Flamaryon menulis dalam buku “Kekuatan Alam Yang Belum Dikenal” sebagai berikut: “Kita semua tahu bahwa kita ini berpikir, tetapi apakah sebenarnya makna berpikir itu? Rasanya tidak ada seorang pun yang dapat menjawab pertanyaan ini. Kita semua mengerti bahwa kita ini berjalan. Tetapi apakah sebenarnya pekerjaan otot itu? Pun tidak seorang dapat mengetahui hakikatnya. Saya menyadari bahwa kehendak saya adalah merupakan suatu kekuatan yang bukan termasuk dalam kebendaan (materi) dan saya menyadari pula bahwa segala sifat khusus diri saya bukan termasuk kebendaan juga. Namun demikian, setiap saya berkehendak mengangkat tangan, saya tahu bahwa kehendak itulah yang menggerakkan benda milikku yakni tangan tadi. Jadi bagaimana hal itu dapat terjadi secara spontan sekali. Apakah kiranya yang menjadi perantara yang berada di tengah-tengah antara kekuatan akal dalam menimbulkan suatu hasil yang mempengaruhi gerakan kebendaan itu? Tentang pertanyaan ini pun belum ada orang yang dapat memberikan jawaban pada saya. Atau secara mudahnya cobalah katakan pada saya dan jawablah ini, ‘Bagaimana urat-urat saraf mata itu dapat memindahkan gambar benda sampai ke dalam akal? Coba jawab pula, ‘Bagaimana akal dapat menerimanya? Lagi pula di mana letak akal tersebut? Bagaimana tabiat pekerjaan otak itu? Cobalah katakan pada saya, hai tuan-tuan (yang dimaksudkan ialah orang-orang yang membantah)..... Tetapi, yah..... cukuplah sudah, cukup..... Mungkin saya dapat bertanya kepada tuan-tuan selama duapuluh tahun, tetapi saya percaya bahwa orang yang paling cerdas di antara tuan-tuan itu pasti tidak dapat mengemukakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang serendah-rendahnya.”

Jika demikian kedudukan akal dalam menghadapi persoalan hakikat jiwa, cahaya dan benda, serta apa yang ada dalam alam semesta ini, baik yang dapat dilihat oleh mata atau pun yang tidak, maka bagaimana akal dapat memakrifati zat Tuhan Yang Maha Menciptakan semuanya itu yang bersifat Maha Luhur keadaan-Nya. Bagaimanakah akal yang lemah itu dapat mencapai zat Tuhan Yang Maha Tinggi itu? Sesungguhnya zat Allah masih jauh lebih besar dari apa yang dapat dicapai oleh akal atau pun yang dapat dijangkau oleh pemikiran-pemikiran. Oleh sebab itu alangkah tepatnya firman Allah swt., “Allah tidak akan dapat dicapai oleh penglihatan-penglihatan dan Dia dapat mencapai penglihatan-penglihatan itu dan Dia adalah Maha Halus dan Waspada.” (Q.S. Al-An’am:103)

PENGAKUAN KAUM INTELEK MODERN TENTANG WUJUD ALLAH

Pembahasan terakhir dalam bab adalah mengenai dalil akal (bukti rasional) perihal wujud Allah Taala dengan mengutip berbagai keterangan yang diucapkan oleh para sarjana kenamaan.

Prof. Harshell, seorang pakar astronomi dari Inggris berkata, “Semakin luas suatu bidang ilmu pengetahuan, semakin bertambah pula bukti-bukti yang memastikan dan lebih mengokohkan perihal adanya Zat yang Maha Menciptakan, juga Maha Dahulu yang tidak ada batas untuk kekuasaan-Nya dan pula tidak akan ada habis-Nya yakni kekal selama-lamanya. Para pakar geologi, fisika, astronomi dan eksakta saling memperkuat dan bantu-membantu. Mereka semua memberikan jaminan yang mantap perihal seruan ilmu pengetahuan yakni seruan pernyataan kemahaagungan Allah yang Maha Esa.”

Dr. Wets seorang pakar kimia bangsa Perancis berkata, “Jika pada suatu ketika aku merasa bahwa kepercayaanku kepada Allah agak kurang mantap dan agak guncang, maka segeralah aku menujukan arah perhatianku kepada akademi ilmu pengetahuan agar keimanan itu kembali kokoh dan kuat sentosa.”

Voltair secara senda gurau berkata, “Mengapa Tuan-tuan masih juga meragukan akan adanya Allah, padahal andaikata Allah tidak ada, rasanya pasti istriku sendiri akan mengkhianati diriku dan mungkin aku diculik oleh pelayanku.”


Diikutip dari www. al-islam.com

RUH DAN JIWA (AL-RUH DAN AL-NAFS)


Deskripsi:
Allah menjadikan Adam (manusia) sesuai dengan citra-Nya.
Setelah jasad Adam dijadikan dari alam jisim, kemudian Allah
meniupkan ruh-Nya ke dalam jasad Adam. Allah berfirman:

Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan Aku
tiupkan kepadanya ruh-Ku (QS. 15: 29)

Jadi jasad manusia, menurut para sufi, hanyalah alat, perkakas
atau kendaraan bagi rohani dalam melakukan aktivitasnya.
Manusia pada hakekatnya bukanlah jasad lahir yang diciptakan
dari unsur-unsur materi, akan tetapi rohani yang berada dalam
dirinya yang selalu mempergunakan tugasnya.

Karena itu, pembahasan tentang jasad tidak banyak dilakukan
para sufi dibandingkan pembahasan mereka tentang ruh (al-ruh),
jiwa (al-nafs), akal (al-'aql) dan hati nurani atau jantung
(al-qalb).

RUH DAN JIWA (AL-RUH DAN AL-NAFS)

Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jasad.
Ruh berasal dari alam arwah dan memerintah dan menggunakan
jasad sebagai alatnya. Sedangkan jasad berasal dari alam
ciptaan, yang dijadikan dari unsur materi. Tetapi para ahli
sufi membedakan ruh dan jiwa. Ruh berasal dari tabiat Ilahi
dan cenderung kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkan
kepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci.

Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah
ditiup Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Ruh di
dalam diri manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baik
dan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang mulia dan
terpuji, maka lain halaya dengan jiwa. Jiwa adalah sumber
akhlak tercela, al-Farabi, Ibn Sina dan al-Ghazali membagi
jiwa pada: jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani
(binatang) dan jiwa insani.

Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang
organis dari segi makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwa
hewani, disamping memiliki daya makan untuk tumbuh dan
melahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yang
kecil dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyai
kelebihan dari segi daya berfikir (al-nafs-al-nathiqah).

Daya jiwa yang berfikir (al-nafs-al-nathiqah atau
al-nafs-al-insaniyah). Inilah, menurut para filsuf dan sufi,
yang merupakan hakekat atau pribadi manusia. Sehingga dengan
hakekat, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yang
khusus, Dzatnya dan Penciptaannya.

Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani
(berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa
(nafs) manusia mejadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat
yang tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa manusia
mempunyai sifat yang beraneka sesuai dengan keadaannya.

Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat dan
memperturutkan ajakan syaithan, yang memang pada jiwa itu
sendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang
menyuruh berbuat jahat. Firman Allah, "Sesungguhnya jiwa yang
demikian itu selalu menyuruh berbuat jahat." (QS. 12: 53)

Apabila jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifat
tercela, maka ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencela
manusia yang melakukan keburukan dan yang teledor dan lalai
berbakti kepada Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya, "Dan Aku
bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela." (QS. 75:2).

Tetapi apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifat
yang tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang tenang (al-nafs
al-muthmainnah). Dalam hal ini Allah menegaskan, "Hai jiwa
yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa puas lagi
diridhoi, dan masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke
dalam Surga-Ku." (QS. 89:27-30)

Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu jiwa yang telah
menjadi tumpukan sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telah
melakukan perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan jiwa yang
telah mencapai tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman,
yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah
dijamin Allah langsung masuk surga.

Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang selalu berhubungan dengan
ruh. Ruh bersifat Ketuhanan sebagai sumber moral mulia dan
terpuji, dan ia hanya mempunyai satu sifat, yaitu suci.
Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang ambivalen. Allah
sampaikan, "Demi jiwa serta kesempurnaannya, Allah
mengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan." (QS.91:7-8).
Artinya, dalam jiwa terdapat potensi buruk dan baik, karena
itu jiwa terletak pada perjuangan baik dan buruk.

HATI SUKMA (QALB)

Hati atau sukma terjemahan dari kata bahasa Arab qalb.
Sebenarnya terjemahan yang tepat dari qalb adalah jantung,
bukan hati atau sukma. Tetapi, dalam pembahasan ini kita
memakai kata hati sebagaimana yang sudah biasa. Hati adalah
segumpal daging yang berbentuk bulat panjang dan terletak di
dada sebelah kiri. Hati dalam pengertian ini bukanlah objek
kajian kita di sini, karena hal itu termasuk bidang kedokteran
yang cakupannya bisa lebih luas, misalnya hati binatang,
bahkan bangkainya.

Adapun yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yang
halus, hati-nurani --daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yang
ada pada hati, di rongga dada. Dan daya berfikir itulah yang
disebut dengan rasa (dzauq), yang memperoleh sumber
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Dalam kaitan ini Allah
berfirman, "Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan
memahaminya." (QS. 7:1-79).

Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan sementara,
bahwa menurut para filsuf dan sufi Islam, hakekat manusia itu
jiwa yang berfikir (nafs insaniyah), tetapi mereka berbeda
pendapat pada cara mencapai kesempurnaan manusia. Bagi para
filsuf, kesempurnaan manusia diperoleh melalui pengetahuan
akal (ma'rifat aqliyah), sedangkan para sufi melalui
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Akal dan hati sama-sama
merupakan daya berpikir.

Menurut sufi, hati yang bersifat nurani itulah sebagai wadah
atau sumber ma'rifat --suatu alat untuk mengetahui hal-hal
yang Ilahi. Hal ini hanya dimungkinkan jika hati telah bersih
dari pencemaran hawa nafsu dengan menempuh fase-fase moral
dengan latihan jiwa, serta menggantikan moral yang tercela
dengan moral yang terpuji, lewat hidup zuhud yang penuh taqwa,
wara' serta dzikir yang kontinyu, ilmu ladunni (ilmu Allah)
yang memancarkan sinarnya dalam hati, sehingga ia dapat
menjadi Sumber atau wadah ma'rifat, dan akan mencapai
pengenalan Allah Dengan demikian, poros jalan sufi ialah
moralitas.

Latihan-latihan ruhaniah yang sesuai dengan tabiat terpuji
adalah sebagai kesehatan hati dan hal ini yang lebih berarti
ketimbang kesehatan jasmani sebab penyakit anggota tubuh luar
hanya akan membuat hilangnya kehidupan di dunia ini saja,
sementara penyakit hati nurani akan membuat hilangnya
kehidupan yang abadi. Hati nurani ini tidak terlepas dari
penyakit, yang kalau dibiarkan justru akan membuatnya
berkembang banyak dan akan berubah menjadi hati dhulmani
--hati yang kotor.

Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah) ditentukan oleh
hasil perjuangan antara hati nurani dan hati dhulmani. Inilah
yang dimaksud dengan firman Allah yang artinya, "Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilah
orang yang mengotorinya." (QS. 91:8-9).

Hati nurani bagaikan cermin, sementara pengetahuan adalah
pantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jika
cermin hati nurani tidak bening, hawa nafsunya yang tumbuh.
Sementara ketaatan kepada Allah serta keterpalingan dari
tuntutan hawa nafsu itulah yang justru membuat hati-nurani
bersih dan cemerlang serta mendapatkan limpahan cahaya dari
Allah Swt.

Bagi para sufi, kata al-Ghazali, Allah melimpahkan cahaya pada
dada seseorang, tidaklah karena mempelajarinya, mengkajinya,
ataupun menulis buku, tetapi dengan bersikap asketis terhadap
dunia, menghindarkan diri dari hal-hal yang berkaitan
dengannya, membebaskan hati nurani dari berbagai pesonanya,
dan menerima Allah segenap hati. Dan barangsiapa memiliki
Allah niscaya Allah adalah miliknya. Setiap hikmah muncul dari
hati nurani, dengan keteguhan beribadat, tanpa belajar, tetapi
lewat pancaran cahaya dari ilham Ilahi.

Hati atau sukma dhulmani selalu mempunyai keterkaitan dengan
nafs atau jiwa nabati dan hewani. Itulah sebabnya ia selalu
menggoda manusia untuk mengikuti hawa nafsunya. Kesempurnaan
manusia (nafs nathiqah), tergantung pada kemampuan hati-nurani
dalam pengendalian dan pengontrolan hati dhulmani. Wallahu A'lamu
bish-Shawab

Tahu pada nan Empat unsur yang membentuk "pengetahuan" seseorang berdasarkan ilmu psikologi yang bersumber dari Barat

1. Apersepsi
2. Pengamatan
3. Fantasi
4. Konsep

Menurut Kuncaraningrat, pengetahuan ialah unsur-unsur yang mengisi akal dan alam jiwa seorang manusia yang sadar, secara nyata terkandung di dalam otaknya.
Pengetahuan adalah seluruh penggambaran yang unsur-unsurnya terdiri dari apersepsi, pengamatan, konsep serta fantasi terhadap alam.

Untuk memahami unsur-unsur yang membentuk pengetahuan tersebut, orang Barat menganalisanya dengan ilmu psikologi.
Ilmu psikologi yang bersumber dari Barat bertujuan untuk menganalisa kebiasaan-perilaku atau kepribadian manusia secara individu.

Tidak ada manusia yang sama di dunia, setiap orang berbeda sikapnya menghadapi lingkungannya dan itulah yang disebut sebagai pribadi; sedangkan ilmu antropologi-sosiologi berfungsi untuk menganalisa menguraikan sifat-sifat atau kebiasaan-kebiasaan sekelompok orang.

Pengisian kesadaran otak ini datang dari pancaindera yang menerima gelombang cahaya-warna, getaran akustik, bau, rasa, tekanan-mekanik, suhu, dsb. dari alam sekitarnya.
Di otak terjadi proses fisik, fisiologi dan psikologi sehingga orang menjadi sadar terhadap keadaan lingkungannya dan hal ini disebut sebagai persepsi.

Contohnya: Ketika seseorang sedang berjalan dipinggir jalan raya, tiba-tiba matanya melihat bak sampah.
Bak sampah itu berisi macam barang bekas seperti kaleng, plastik, bangkai ayam, kucing yang mencari makan dsb.
Setiap orang memiliki pemahaman sendiri-sendiri terhadap bak sampah tersebut.
Ada yang memahaminya sebagai tempat penularan penyakit.
Ada yang merasa kasihan kepada kucing dan ada pula yang berpikir petugas kebersihan kota malas dan banyak pemahaman lainnya.

Persepsi ini berbeda dengan rekaman lensa kamera foto yang merekam semua unsur yang ada di depan kamera secara objektif.
Pada manusia sesuatu yang telah dilihatnya, kemudian mata tersebut dipejamkan maka yang tergambar dalam kesadaran orang itu tidak seluruh benda-benda yang telah dilihat tadi, tapi banyak hal-hal yang hilang di dalam kesadarannya.
Ada fokus atau bagian-bagian yang menarik dari persepsi tersebut.
Orang lalu menghubungkannya dengan penggambaran sejenis yang pernah diterima pada masa lalu, sehingga muncul pemahaman baru samasekali.

Dengan demikian timbul banyak pengertian terhadap yang mula-mula hanya berupa persepsi saja. Keadaan semacam ini di dalam ilmu psikologi disebut sebagaiapersepsi.

Apabila individu secara intensif memusatkan akalnya terhadap persepsi yang secara khusus sangat menarik perhatiannya maka kegiatan tersebut dalam psikologi dikatakan sebagai pengamatan.
Misalnya orang tersebut merasa kasihan kepada kucing, dan selanjutnya dia akan mengamati mengapa kucing tersebut berada di situ.

Ketika mengamati keadaan lingkungan, seseorang kadang-kadang melebih-lebihkan atau mengurangi sesuatunya sehingga hal tersebut tidak mungkin terealisasi di alam nyata karena tidak realis, dan aktifitas semacam ini disebut sebagai fantasi.
Misalnya, bagaimana kalau tempat sampah tersebut langsung dihubungkan dengan pipa yang bertekanan tinggi dan dapat menghisap seluruh sampah di bak sehingga tempat tersebut tidak kotor.
Kemampuan orang untuk membuat konsep dan berfantasi akan mengembangkan daya cipta manusia untuk menghasilkan sesuatu yang baru.

Orang juga menggabungkan dan membanding-bandingkan suatu penggambaran yang sejenis secara mantap dengan metode-metode tertentu sehingga mendapatkan hal yang baru samasekali.
Penggambaran yang baru ini bersifat abstrak karena belum pernah dialami bahkan mungkin juga belum pernah dilihat dan didatangi.
Misalnya membandingkan bangkai ayam di tempat sampah itu, dengan makanan ular di kebun binatang yang juga ayam mati.
Inilah yang disebut sebagai konsep.
Kemudian timbul pemikirannya (konsep), mungkin bangkai ayam tadi dapat dikumpulkan dan dijual ke kebun binatang.

Dari uraian unsur-unsur yang membentuk pengetahuan manusia berdasarkan ilmu psikologi Barat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa semuanya berpusat dan bersumber dari kesadaran serta kegiatan otak yang menerima rangsangan dari pancaindera.
Tidak ada disebut-sebut peranan jiwa atau ruh.

Meskipun mengakui adanya psiche manusia, yang sifatnya abstrak tapi psiche ini tidak dapat disamakan dengan jiwa atau ruh di dalam pemahaman bangsa Timur.
Menurut kepercayaan Timur, ruh atau jiwa adalah badan halus yang juga mengatur perasaan manusia dan membentuk tubuh manusia secara bersama-sama dengan badan kasar.

Otak hanya ada di badan kasar. Badan halus juga menerima hidayah, yang harus diekspresikan di badan kasar, untuk selanjutnya "rasa" ini dibawa naik ke arah atas yaitu ke otak.
Badan kasar serta badan halus yang berisi ruh-jiwa merupakan pasangan yang tidak terpisah selama manusia masih hidup.
Badan kasar serta badan halus ini saling isi mengisi, dan membentuk bit informasi tubuh manusia ibarat lambang 0 dan 1.

Hidayah yang ada di otak berupa kesadaran logika harus bekerjasama dengan hidayah "rasa" yang turun di dada. Bukan saling mengatur seperti yang dipahami oleh budaya Barat.

Hanya sedikit manusia diberi tahu tentang ruh ini.
Oleh sebab itu psiche atau ilmu psikologi tidak dapat diterjemahkan sebagai ilmu jiwa manusia.

Ilmu psikologi dapat dianalisa dengan bermacam-macam teori, diantaranya teori psikoanalisa dari Sigmund Freud.
Freud berpendapat semua aktifitas psiche selalu dihubungkan dengan kesadaran otak manusia.
Sedangkan letak ruh diisyaratkan oleh gerakan tangan yang menunjukkan ke "aku"an dengan cara menepuk atau meletakkan telapak tangan di dada sendiri.

Adat yang fungsinya lebih memfokuskan pada aturan bermasyarakat, juga dapat digunakan untuk memahami pandangan falsafah Minang terhadap ilmu pengetahuan atau akal manusia.
Hal ini karena adat itu sendiri merupakan hasil dari aktifitas merasa serta memeriksa yang selanjutnya bertemu di otak, sesuai dengan adagium rasa dibawa naik, periksa dibawa turun.
Kita tidak boleh menolak ilmu psikologi Barat ini, tapi pakailah petuah: "Iya-kan pendapat orang, kerjakan keyakinan sendiri", untuk menyikapi ilmu psikologi ini

Antara Sukma Nurani dan Sukma Dzulmani

Selasa, 14 Juni 2011 20:20 WIB

oleh Jalaluddin Rakhmat

Menurut para sufi, manusia adalah mahluk Allah yang paling sempurna di dunia ini. Hal ini, seperti yang dikatakan Ibnu Arabi, manusia bukan saja karena merupakan khalifah Allah di bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-Nya, tetapi juga karena ia merupakan madzaz (penampakan atau tempat kenyataan) asma dan sifat Allah yang paling lengkap dan menyeluruh.

Allah menjadikan Adam (manusia) sesuai dengan citra-Nya. Setelah jasad Adam dijadikan dari alam jisim, kemudian Allah meniupkan ruh-Nya ke dalam jasad Adam. Allah berfirman, "Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud." (QS Al-Hijr: 29)

Jadi jasad manusia, menurut para sufi, hanyalah alat, perkakas atau kendaraan bagi rohani dalam melakukan aktivitasnya. Manusia pada hakikatnya bukanlah jasad lahir yang diciptakan dari unsur-unsur materi, akan tetapi rohani yang berada dalam dirinya yang selalu mempergunakan tugasnya.

Karena itu, pembahasan tentang jasad tidak banyak dilakukan para sufi dibandingkan pembahasan mereka tentang ruh (al-ruh), jiwa (al-nafs), akal (al-'aql) dan hati nurani atau jantung (al-qalb).

Ruh dan Jiwa (Al-Ruh dan Al-Nafs)

Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jasad. Ruh berasal dari alam arwah dan memerintah dan menggunakan jasad sebagai alatnya. Sedangkan jasad berasal dari alam ciptaan, yang dijadikan dari unsur materi. Tetapi para ahli sufi membedakan ruh dan jiwa. Ruh berasal dari tabiat Ilahi dan cenderung kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkan kepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci.

Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah ditiup Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Ruh di dalam diri manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baik dan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang mulia dan terpuji, maka lain halnya dengan jiwa. Jiwa adalah sumber akhlak tercela, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Al-Ghazali membagi jiwa pada; jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani (binatang) dan jiwa insani.

Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang organis dari segi makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwa hewani, di samping memiliki daya makan untuk tumbuh dan melahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yang dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyai kelebihan dari segi daya berfikir (al-nafs al-nathiqah).

Daya jiwa yang berfikir (al-nafs al-nathiqah atau al-nafs al-insaniyah). Inilah, menurut para filsuf dan sufi, yang merupakan hakikat atau pribadi manusia. Sehingga dengan hakikat, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yang khusus, dzatnya dan penciptaannya.

Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani (berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa (nafs) manusia mejadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat yang tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa manusia mempunyai sifat yang beraneka sesuai dengan keadaannya.

Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat dan memperturutkan ajakan syaithan, yang memang pada jiwa itu sendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang menyuruh berbuat jahat. Firman Allah, "Sesungguhnya jiwa yang demikian itu selalu menyuruh berbuat jahat." (QS Ar-Ra'd: 53)

Apabila jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifat tercela, maka ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencela manusia yang melakukan keburukan dan yang teledor dan lalai berbakti kepada Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya,"Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela." (QS Al-Qiyamah: 2)

Tetapi apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifat yang tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah). Dalam hal ini Allah menegaskan, "Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa puas lagi diridhai, dan masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam Surga-Ku." (QS Al-Fajr: 27-30)

Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu jiwa yang telah menjadi tumpukan sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telah melakukan perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan jiwa yang telah mencapai tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman, yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah
dijamin Allah langsung masuk surga.

Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang selalu berhubungan dengan ruh. Ruh bersifat Ketuhanan sebagai sumber moral mulia dan terpuji, dan ia hanya mempunyai satu sifat, yaitu suci. Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang ambivalen. Allah sampaikan, "Demi jiwa serta kesempurnaan-Nya, Allah mengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan." (QS Asy-Syams: 7-8). Artinya, dalam jiwa terdapat potensi buruk dan baik, karena itu jiwa terletak pada perjuangan baik dan buruk.

Akal

Akal yang dalam bahasa Yunani disebut nous atau logos atau intelek (intellect) dalam bahasa Inggris adalah daya berpikir yang terdapat dalam otak, sedangkan "hati" adalah daya jiwa (nafs nathiqah). Daya jiwa berpikir yang ada pada otak di kepala disebut akal. Sedangkan yang ada pada hati (jantung) di dada disebut rasa (dzauq). Karena itu ada dua sumber pengetahuan, yaitu pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah) dan pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Kalau para filsuf mengunggulkan pengetahuan akal, para sufi lebih mengunggulkan pengetahuan hati (rasa).

Menurut para filsuf Islam, akal yang telah mencapai tingkatan tertinggi—akal perolehan (akal mustafad)—ia dapat mengetahui kebahagiaan dan berusaha memperolehnya. Akal yang demikian akan menjadikan jiwanya kekal dalam kebahagiaan (surga). Namun, jika akal yang telah mengenal kebahagiaan itu berpaling, berarti ia tidak berusaha memperolehnya. Jiwa yang demikian akan kekal dalam kesengsaraan (neraka).

Adapun akal yang tidak sempurna dan tidak mengenal kebahagiaan, maka menurut Al-Farabi, jiwa yang demikian akan hancur. Sedangkan menurut para filsuf tidak hancur. Karena kesempurnaan manusia menurut para filsuf terletak pada kesempurnaan pengetahuan akal dalam mengetahui dan memperoleh kebahagiaan yang tertinggi, yaitu ketika akan sampai ke tingkat akal perolehan.

Hati Sukma (Qalb)

Hati atau sukma terjemahan dari kata bahasa Arab qalb. Sebenarnya terjemahan yang tepat dari qalb adalah jantung, bukan hati atau sukma. Tetapi, dalam pembahasan ini kita memakai kata hati sebagaimana yang sudah biasa. Hati adalah segumpal daging yang berbentuk bulat panjang dan terletak di dada sebelah kiri. Hati dalam pengertian ini bukanlah objek kajian kita di sini, karena hal itu termasuk bidang kedokteran yang cakupannya bisa lebih luas, misalnya hati binatang, bahkan bangkainya.

Adapun yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yang halus, hati-nurani --daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yang ada pada hati, di rongga dada. Dan daya berfikir itulah yang disebut dengan rasa (dzauq), yang memperoleh sumber pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Dalam kaitan ini Allah berfirman, "Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan memahaminya." (QS Al-A'raaf: 179)

Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan sementara, bahwa menurut para filsuf dan sufi Islam, hakikat manusia itu jiwa yang berfikir (nafs insaniyah), tetapi mereka berbeda pendapat pada cara mencapai kesempurnaan manusia. Bagi para filsuf, kesempurnaan manusia diperoleh melalui pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah), sedangkan para sufi melalui pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Akal dan hati sama-sama merupakan daya berpikir.

Menurut sufi, hati yang bersifat nurani itulah sebagai wadah atau sumber ma'rifat—suatu alat untuk mengetahui hal-hal yang Ilahi. Hal ini hanya dimungkinkan jika hati telah bersih dari pencemaran hawa nafsu dengan menempuh fase-fase moral dengan latihan jiwa, serta menggantikan moral yang tercela dengan moral yang terpuji, lewat hidup zuhud yang penuh taqwa, wara' serta dzikir yang kontinyu, ilmu ladunni (ilmu Allah) yang memancarkan sinarnya dalam hati, sehingga ia dapat menjadi sumber atau wadah ma'rifat, dan akan mencapai pengenalan Allah. Dengan demikian, poros jalan sufi ialah moralitas.

Latihan-latihan ruhaniah yang sesuai dengan tabiat terpuji adalah sebagai kesehatan hati dan hal ini yang lebih berarti ketimbang kesehatan jasmani sebab penyakit anggota tubuh luar hanya akan membuat hilangnya kehidupan di dunia ini saja, sementara penyakit hati nurani akan membuat hilangnya kehidupan yang abadi. Hati nurani ini tidak terlepas dari penyakit, yang kalau dibiarkan justru akan membuatnya berkembang banyak dan akan berubah menjadi hati dzulmani—hati yang kotor.

Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah) ditentukan oleh hasil perjuangan antara hati nurani dan hati dzulmani. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah yang artinya, "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilah orang yang mengotorinya." (QS Asy-Syams: 8-9)

Hati nurani bagaikan cermin, sementara pengetahuan adalah pantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jika cermin hati nurani tidak bening, hawa nafsunya yang tumbuh. Sementara ketaatan kepada Allah serta keterpalingan dari tuntutan hawa nafsu itulah yang justru membuat hati-nurani bersih dan cemerlang serta mendapatkan limpahan cahaya dari Allah SWT.

Bagi para sufi, kata Al-Ghazali, Allah melimpahkan cahaya pada dada seseorang, tidaklah karena mempelajarinya, mengkajinya, ataupun menulis buku, tetapi dengan bersikap asketis terhadap dunia, menghindarkan diri dari hal-hal yang berkaitan dengannya, membebaskan hati nurani dari berbagai pesonanya, dan menerima Allah segenap hati. Dan barangsiapa memiliki Allah niscaya Allah adalah miliknya. Setiap hikmah muncul dari hati nurani, dengan keteguhan beribadah, tanpa belajar, tetapi lewat pancaran cahaya dari ilham Ilahi.

Hati atau sukma dzulmani selalu mempunyai keterkaitan dengan nafs atau jiwa nabati dan hewani. Itulah sebabnya ia selalu menggoda manusia untuk mengikuti hawa nafsunya. Kesempurnaan manusia (nafs nathiqah), tergantung pada kemampuan hati-nurani dalam pengendalian dan pengontrolan hati dzulmani.

Filsafat Ilmu


Pengetahuan (knowledge atau ilmu )adalah bagian yang esensial- aksiden manusia, karena pengetahuan adalah buah dari "berpikir ". Berpikir ( atau natiqiyyah) adalah sebagai differentia ( atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya,yaitu hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan " barangkali " keunggulannya dari spesies-spesies lainnya karena pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya. Lalu apa yang telah dan ingin diketahui oleh manusia ? Bagaimana manusia berpengetahuan ? Apa yang ia lakukan dan dengan apa agar memiliki pengetahuan ? Kemudian apakah yang ia ketahui itu benar ? Dan apa yang mejadi tolak ukur kebenaran ?

Pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan-pertanyaan ini sudah terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam realita. Namun ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu maka tidak menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah dari sesuatu yang mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang rumit (complicated). Oleh karena masalah-masalah itu dibawa ke dalam pembedahan ilmu, maka ia menjadi sesuatu yang diperselisihkan dan diperdebatkan. Perselisihan tentangnya menyebabkan perbedaan dalam cara memandang dunia (world view), sehingga pada gilirannya muncul perbedaan ideologi. Dan itulah realita dari kehidupan manusia yang memiliki aneka ragam sudut pandang dan ideologi.

Atas dasar itu, manusia -paling tidak yang menganggap penting masalah-masalah diatas- perlu membahas ilmu dan pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini, ilmu tidak lagi menjadi satu aktivitas otak, yaitu menerima, merekam, dan mengolah apa yang ada dalam benak, tetapi ia menjadi objek.

Para pemikir menyebut ilmu tentang ilmu ini dengan epistemologi (teori pengetahuan atau nadzariyyah al ma'rifah).

Epistemologi menjadi sebuah kajian, sebenarnya, belum terlalu lama, yaitu sejak tiga abad yang lalu dan berkembang di dunia barat. Sementara di dunia Islam kajian tentang ini sebagai sebuah ilmu tersendiri belum populer. Belakangan beberapa pemikir dan filusuf Islam menuliskan buku tentang epistemologi secara khusus seperti, Mutahhari dengan bukunya "Syinakht", Muhammad Baqir Shadr dengan"Falsafatuna"-nya, Jawad Amuli dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya dan Ja'far Subhani dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya. Sebelumnya, pembahasan tentang epistemologi di bahas di sela-sela buku-buku filsafat klasik dan mantiq. Mereka -barat- sangat menaruh perhatian yang besar terhadap kajian ini, karena situasi dan kondisi yang mereka hadapi. Dunia barat (baca: Eropa) mengalami ledakan kebebasan berekspresi dalam segala hal yang sangat besar dan hebat yang merubah cara berpikir mereka. Mereka telah bebas dari trauma intelektual. Adalah Renaissance yang paling berjasa bagi mereka dalam menutup abad kegelapan Eropa yang panjang dan membuka lembaran sejarah mereka yang baru. Supremasi dan dominasi gereja atas ilmu pengetahuan telah hancur. Sebagai akibat dari runtuhnya gereja yang memandang dunia dangan pandangan yang apriori atas nama Tuhan dan agama, mereka mencoba mencari alternatif lain dalam memandang dunia (baca: realita). Maka dari itu, bemunculan berbagai aliran pemikiran yang bergantian dan tidak sedikit yang kontradiktif. Namun secara garis besar aliran-aliran yang sempat muncul adalah ada dua, yakni aliran rasionalis dan empiris. Dan sebagian darinya telah lenyap. Dari kaum rasionalis muncul Descartes, Imanuel Kant, Hegel dan lain-lain. Dan dari kaum empiris adalah Auguste Comte dengan Positivismenya, Wiliam James dengan Pragmatismenya, Francis Bacon dengan Sensualismenya.

Berbeda dengan barat, di dunia Islam tidak terjadi ledakan seperti itu, karena dalam Islam agama dan ilmu pengetahuan berjalan seiring dan berdampingan, meskipun terdapat beberapa friksi antara agama dan ilmu, tetapi itu sangat sedikit dan terjadi karena interpretasi dari teks agama yang terlalu dini. Namun secara keseluruhan agama dan ilmu saling mendukung. Malah tidak sedikit dari ulama Islam, juga sebagai ilmuwan seperti : Ibnu Sina, al Farabi, Jabir bin al Hayyan, al Khawarizmi, Syekh al Thusi dan yang lainnya. Oleh karena itu, ledakan intelektual dalam Islam tidak terjadi. Perkembangan ilmu di dunia Islam relatif stabil dan tenang.

Filsafat

Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang telah di-Arabkan. Kata ini barasal dari dua kata "philos" dan "shopia" yang berarti pecinta pengetahuan. Konon yang pertama kali menggunakan kata "philoshop" adalah Socrates. (dan masih konon juga) Dia menggunakan kata ini karena dua alasan, Pertama, kerendah-hatian dia. Meskipun ia seorang yang pandai dan luas pengetahuannya, dia tidak mau menyebut dirinya sebagai orang yang pandai. Tetapi dia memilih untuk disebut pecinta pengetahuan.

Kedua, pada waktu itu, di Yunani terdapat beberapa orang yang menganggap diri mereka orang yang pandai (shopis). Mereka pandai bersilat lidah, sehingga apa yang mereka anggap benar adalah benar. Jadi kebenaran tergantung apa yang mereka katakan. Kebenaran yang riil tidak ada. Akhirnya manusia waktu itu terjangkit skeptis, artinya mereka ragu-ragu terhadap segala sesuatu, karena apa yang mereka anggap benar belum tentu benar dan kebenaran tergantung orang-orang shopis. Dalam keadaan seperti ini, Socrates merasa perlu membangun kepercayaan kepada manusia bahwa kebenaran itu ada dan tidak harus tergantung kepada kaum shopis. Dia berhasil dalam upayanya itu dan mengalahkan kaum shopis. Meski dia berhasil, ia tidak ingin dikatakan pandai, tetapi ia memilih kata philoshop sebagai sindiran kepada mereka yang sok pandai.

Kemudian perjuangannya dilanjutkan oleh Plato, yang dikembangkan lebih jauh oleh Aristoteles. Aristoteles menyusun kaidah-kaidah berpikir dan berdalil yang kemudian dikenal dengan logika (mantiq) Aristotelian.

Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat teoritis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan dan methafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2) urusa rumah tangga; (3) sosial dan politik. Filusuf adalah orang yang mengetahui semua cabang-cabang ilmu pengetahuan tadi.

Mungkinkah Manusia itu Mempunyai Pengetahuan ?

Masalah epistemologis yang sejak dahulu dan juga sekarang menjadi bahan kajian adalah, apakah berpengetahuan itu mungkin ? Apakah dunia (baca: realita) bisa diketahui ? Sekilas masalah ini konyol dan menggelikan. Tetapi terdapat beberapa orang yang mengingkari pengetahuan atau meragukan pengetahuan. Misalnya, bapak kaum sophis, Georgias, pernah dikutip darinya sebuah ungkapan berikut, "Segala sesuatu tidak ada. Jika adapun, maka tidak dapat diketahui, atau jika dapat diketahui, maka tidak bisa diinformasikan."

Mereka mempunyai beberapa alasan yang cukup kuat ketika berpendapat bahwa pengetahuan sesuatu yang tidak ada atau tidak dapat dipercaya. Pyrrho salah seorang dari mereka menyebutkan bahwa manusia ketika ingin mengetahui sesuatu menggunakan dua alat yakni, indra dan akal. Indra yang merupakan alat pengetahuan yang paling dasar mempunyai banyak kesalahan, baik indra penglihat, pendengar, peraba, pencium dan perasa. Mereka mengatakan satu indra saja mempunyai kesalahan ratusan. Jika demikian adanya, maka bagaimana pengetahuan lewat indra dapat dipercaya ? Demikian pula halnya dengan akal. Manusia seringkali salah dalam berpikir. Bukti yang paling jelas bahwa di antara para filusuf sendiri terdapat perbedaan yang jelas tidak mungkin semua benar pasti ada yang salah. Maka akalpun tidak dapat dipercaya. Oleh karena alat pengetahuan hanya dua saja dan keduanya mungkin bersalah, maka pengetahuan tidak dapat dipercaya.

Pyrrho ketika berdalil bahwa pengetahuan tidak mungkin karena kasalahan-kesalahan yang indra dan akal, sebenarnya, ia telah mengetahui (baca: meyakini) bahwa pengetahuan tidak mungkin. Dan itu merupakan pengetahuan. Itu pertama. Kedua, ketika ia mengatakan bahwa indra dan akal seringkali bersalah, atau katakan, selalu bersalah, berarti ia mengetahui bahwa indra dan akal itu salah. Dan itu adalah pengetahuan juga.

Alasan yang dikemukakan oleh Pyrrho tidak sampai pada kesimpulan bahwa pengetahuan sesuatu yang tidak mungkin. Alasan itu hanya dapat membuktikan bahwa ada kesalahan dalam akal dan indra tetapi tidak semua pengetahuan lewat keduanya salah. Oleh karen itu mesti ada cara agar akal dan indra tidak bersalah.

Menurut Ibnu Sina, ada cara lain yang lebih efektif untuk menghadapi mereka, yaitu pukullah mereka. Kalau dia merasakan kesakitan berarti mereka mengetahui adanya sakit (akhir dawa' kay).

" Cogito, ergosum "-nya Descartes.

Rene Descartes termasuk pemikir yang beraliran rasionalis. Ia cukup berjasa dalam membangkitkan kembali rasionalisme di barat. Muhammad Baqir Shadr memasukkannya ke dalam kaum rasionalis. Ia termasuk pemikir yang pernah mengalami skeptisme akan pengetahuan dan realita, namun ia selamat dan bangkit menjadi seorang yang meyakini realita. Bangunan rasionalnya beranjak dari keraguan atas realita dan pengetahuan. Ia mencari dasar keyakinannya terhadap Tuhan, alam, jiwa dan kota Paris. Dia mendapatkan bahwa yang menjadi dasar atau alat keyakinan dan pengetahuannya adalah indra dan akal. Ternyata keduanya masih perlu didiskusikan, artinya keduanya tidak memberika hal yang pasti dan meyakinkan. Lantas dia berpikir bahwa segala sesuatu bisa diragukan, tetapi ia tidak bisa meragukan akan pikirannya. Dengan kata lain ia meyakini dan mengetahui bahwa dirinya ragu-ragu dan berpikir. Ungkapannya yang populer dan sekaligus fondasi keyakinan dan pengetahuannya adalah " Saya berpikir (baca : ragu-ragu), maka saya ada ".

Argumentasinya akan realita menggunakan silogisme kategoris bentuk pertama, namun tanpa menyebutkan premis mayor. Saya berpikir, setiap yang berpikir ada, maka saya ada.

Keraguan al Ghazzali.

Dari dunia Islam adalah Imam al Ghazzali yang pernah skeptis terhadap realita, namun iapun selamat dan menjadi pemikir besar dalam filsafat dan tashawwuf. Perkataannya yang populer adalah " Keraguan adalah kendaraan yang mengantarkan seseorang ke keyakinan ".

Sumber Dana Alat Pengetahuan.

Setelah pengetahuan itu sesuatu yang mungkin dan realistis, masalah yang dibahas dalam lliteratur-literatur epistimologi Islam adalah masalah yang berkaitan dengan sumber dan alat pengetahuan. Sesuai dengan hukum kausaliltas bahwa setiap akibat pasti ada sebabnya, maka pengetahuan adalah sesuatu yang sifatnya aksidental -baik menurut teori recolection-nya Plato, teori Aristoteles yang rasionalis-paripatetik, teori iluminasi-nya Suhrawardi, dan filsafat-materialisnya kaum empiris- dan pasti mempunyai sebab atau sumber. Tentu yang dianggap sebagai sumber pengetahuan itu beragam dan berbeda sebagaimana beragam dan berbedanya aliran pemikiran manusia. Selain pengetahuan itu mempunyai sumber, juga seseorang ketika hendak mengadakan kontak dengan sumber-sumber itu, maka dia menggunakan alat.

Para filusuf Islam menyebutkan beberapa sumber dan sekaligus alat pengetahuan, yaitu :

  1. Alam tabi'at atau alam fisik
  2. Alam Akal
  3. Analogi ( Tamtsil)
  4. Hati dan Ilham

1. Alam tabi'at atau alam fisik

Manusia sebagai wujud yang materi, maka selama di alam materi ini ia tidak akan lepas dari hubungannya dengan materi secara interaktif, dan hubungannya dengan materi menuntutnya untuk menggunakan alat yang sifatnya materi pula, yakni indra (al hiss), karena sesuatu yang materi tidak bisa dirubah menjadi yang tidak materi (inmateri). Contoh yang paling konkrit dari hubungan dengan materi dengan cara yang sifatnya materi pula adalah aktivitas keseharian manusia di dunia ini, sepert makan, minum, hubungan suami istri dan lain sebagianya. Dengan demikian, alam tabi'at yang materi merupakan sumber pengetahuan yang "barangkali" paling awal dan indra merupakan alat untuk berpengetahuan yang sumbernya tabi'at.

Tanpa indra manusia tidak dapat mengetahui alam tabi'at. Disebutkan bahwa, barang siapa tidak mempunyai satu indra maka ia tidak akan mengetahui sejumlah pengetahuan. Dalam filsafat Aristoteles klasik pengetahuan lewat indra termasuk dari enam pengetahuan yang aksioamatis (badihiyyat). Meski indra berperan sangat signifikan dalam berpengetahuan, namun indra hanya sebagai syarat yang lazimbukan syarat yang cukup. Peranan indra hanya memotret realita materi yang sifatnya parsial saja, dan untuk meng-generalisasi-kannya dibutuhkan akal. Malah dalam kajian filsafat Islam yang paling akhir, pengetahuan yang diperoleh melalui indra sebenarnya bukanlah lewat indra. Mereka mengatakan bahwa obyek pengetahuan (al ma'lum) ada dua macam, yaitu, (1) obyek pengetahuan yang substansial dan (2) obyek pengetahuan yang aksidental. Yang diketahui secara substansial oleh manusia adalah obyek yang ada dalam benak, sedang realita di luar diketahui olehnya hanya bersifat aksidental. Menurut pandangan ini, indra hanya merespon saja dari realita luar ke relita dalam.

Pandangan Sensualisme (al-hissiyyin).

Kaum sensualisme, khususnya John Locke, menganggap bahwa pengetahuan yang sah dan benar hanya lewat indra saja. Mereka mengatakan bahwa otak manusia ketika lahir dalam keadaan kosong dari segala bentuk pengetahuan, kemudian melalui indra realita-realita di luar tertanam dalam benak. Peranan akal hanya dua saja yaitu, menyusun dan memilah, dan meng-generalisasi. Jadi yang paling berperan adalah indra. Pengetahuan yang murni lewat akal tanpa indra tidak ada. Konskuensi dari pandangan ini adalah bahwa realita yang bukan materi atau yang tidak dapat bersentuhan dengan indra, maka tidak dapat diketahui, sehingga pada gilirannya mereka mengingkari hal-hal yang metafisik seperti Tuhan.

2. Alam Akal

Kaum Rasionalis, selain alam tabi'at atau alam fisika, meyakini bahwa akal merupakan sumber pengetahuan yang kedua dan sekaligus juga sebagai alat pengetahuan. Mereka menganggap akal-lah yang sebenarnya menjadi alat pengetahuan sedangkan indra hanya pembantu saja. Indra hanya merekam atau memotret realita yanng berkaitan dengannya, namun yang menyimpan dan mengolah adalah akal. Karena kata mereka, indra saja tanpa akal tidak ada artinya. Tetapi tanpa indra pangetahuan akal hanya tidak sempurna, bukan tidak ada.

Aktivitas-aktiviras Akal

  1. Menarik kesimpulan. Yang dimaksud dengan menarik kesimpulan adalah mengambil sebuah hukum atas sebuah kasus tertentu dari hukum yang general. Aktivitas ini dalam istilah logika disebut silogisme kategoris demonstratif.
  2. Mengetahui konsep-konsep yang general. Ada dua teori yang menjelaskan aktivitas akal ini, pertama, teori yang mengatakan bahwa akal terlebih dahulu menghilangkan ciri-ciri yang khas dari beberapa person dan membiarkan titik-titik kesamaan mereka. Teori ini disebut dengan teori tajrid dan intiza'. Kedua, teori yang mangatakan bahwa pengetahuan akal tentang konsep yang general melalui tiga tahapan, yaitu persentuhan indra dengan materi, perekaman benak, dan generalisasi.
  3. Pengelompokan Wujud. Akal mempunyai kemampuan mengelompokkan segala yang ada di alam realita ke beberapa kelompok, misalnya realita-realita yang dikelompokkan ke dalam substansi, dan ke dalam aksdensi (yang sembilan macam).
  4. Pemilahan dan Penguraian.
  5. Penggabungan dan Penyusunan.
  6. Kreativitas.

3. Analogi (Tamtsil)

Termasuk alat pengetahuan manusia adalah analogi yang dalam terminologi fiqih disebut qiyas. Analogi ialah menetapkan hukum (baca; predikat) atas sesuatu dengan hukum yang telah ada pada sesuatu yang lain karena adanya kesamaan antara dua sesuatu itu.

Analogi tersusun dari beberapa unsur; (1) asal, yaitu kasus parsial yang telah diketahui hukumnya. (2) cabang, yaitu kasus parsial yang hendak diketahui hukumnya, (3) titik kesamaan antara asal dan cabang dan (4) hukum yang sudah ditetapkan atas asal.

Analogi dibagi dua;

  1. Analogi interpretatif : Ketika sebuah kasus yang sudah jelas hukumnya, namun tidak diketahui illatnya atau sebab penetapannya.
  2. Analogi Yang Dijelaskan illatnya : Kasus yang sudah jelas hukum dan illatnya.

4. Hati dan Ilham

Kaum empiris yang memandang bahwa ada sama dengan materi sehingga sesuatu yang inmateri adalah tidak ada, maka pengetahuan tentang in materi tidak mungkin ada. Sebaliknya kaum Ilahi ( theosopi) yang meyakini bahwa ada lebih luas dari sekedar materi, mereka mayakini keberadaan hal-hal yang inmateri. Pengetahuan tentangnya tidak mungkin lewat indra tetapi lewat akal atau hati.

Tentu yang dimaksud dengan pengetahuan lewat hati disini adalah penngetahuan tentang realita inmateri eksternal, kalau yang internal seperti rasa sakit, sedih, senang, lapar, haus dan hal-hal yang iintuitif lainnya diyakini keberadaannya oleh semua orang tanpa kecuali.

Bagaimana mengetahui lewat hati ?

Filusuf Ilahi Mulla Shadra ra. berkata, "Sesungguhnya ruh manusia jika lepas dari badan dan berhijrah menuju Tuhannya untuk menyaksikan tanda-tanda-Nya yang sangat besar, dan juga ruh itu bersih dari kamaksiatan-kemaksiatan, syahwat dan ketarkaitan, maka akan tampak padanya cahaya makrifat dan keimanan kepada Allah dan malakut-Nya yang sangat tinggi. Cahaya itu jika menguat dan mensubstansi, maka ia menjadi substansi yang qudsi, yang dalam istilah hikmah teoritis oleh para ahli hikmat disebut dengan akal efektif dan dalam istilah syariat kenabian disebut ruh yang suci. Dengan cahaya akal yang kuat, maka terpancar di dalamnya -yakni ruh manusia yang suci- rahasia-rahasia yang ada di bumi dan di langit dan akan tampak darinya hakikat-hakikat segala sesuatu sebagimana tampak dengan cahaya sensual mata (alhissi) gambaran-gambaran konsepsi dalam kekuatan mata jika tidak terhalang tabir. Tabir di sini -dalam pembahasan ini- adalah pengaruh-pengaruh alam tabiat dan kesibukan-kesibukan dunia, karena hati dan ruh -sesuai dengan bentuk ciptaannya- mempunyai kelayakan untuk menerima cahaya hikmah dan iman jika tidak dihinggapi kegelapan yang merusaknya seperti kekufuran, atau tabir yang menghalanginya seperti kemaksiatan dan yang berkaitan dengannya "

Kemudian beliau melanjutkan, "Jika jiwa berpaling dari ajakan-ajakan tabiat dan kegelapan-kegelapan hawa nafsu, dan menghadapkan dirinya kepada Alhaq dan alam malakut, maka jiwa itu akan berhubungan dengan kebahagiaan yang sangat tinggi dan akan tampak padanya rahasia alam malakut dan terpantul padanya kesucian (qudsi) Lahut ." (al-Asfar al-Arba'ah jilid 7 halaman 24-25).

Tentang kebenaran realita alam ruh dan hati ini, Ibnu Sina berkata, "Sesungguhnya para 'arifin mempunyai makam-makam dan derajat-derajat yang khusus untuk mereka. Mereka dalam kehidupan dunia di bawah yang lain. Seakan-akan mereka itu, padahal mereka berada dengan badan mereka, telah melepaskan dan meninggalkannya untuk alam qudsi. Mereka dapat menyaksikan hal-hal yang halus yang tidak dapat dibayangkan dan diterangkan dengan lisan. Kesenangan mereka dengan sesuatu yang tidak dapat dilihat mata dan didengar telinga. Orang yang tidak menyukainya akan mengingkarinya dan orang yang memahaminya akan membesarkannya." (al-Isyarat jilid 3 bagian kesembilan tentang makam-makam para 'arif halaman 363-364)

Kemudia beliau melanjutkan, "Jika sampai kepadamu berita bahwa seorang 'arif berbicara -lebih dulu- tentang hal yang gaib (atau yang akan terjadi), dengan berita yang menyenangkan atau peringatan, maka percayailah. Dan sekali-sekali anda keberatan untuk mempercayainya, karena apa yang dia beritakan mempunyai sebab-sebab yang jelas dalam pandangan-pandangan (aliran-aliran) tabi'at."

Pengetahuan tentang alam gaib yang dicapai manusia lewat hati jika berkenaan dengan pribadi seseorang saja disebut ilham atau isyraq,dan jika berkaitan dengan bimbingan umat manusia dan penyempurnaan jiwa mereka dengan syariat disebut wahyu.

Islam dan Sumber-sumber Pengetahuan

Dalam teks-teks Islam -Qur'an dan Sunnah- dijelaskan tentang sumber dan alat pengetahuan:

  1. Indra dan akal
  2. Allah swt. berfirman, "Dan Allah yang telah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian, sementara kalian tidak mengetahui sesuatu pun, dan (lalu) Ia meciptakan untuk kalian pendengaran, penglihatan dan hati ( atau akal) agar kalian bersyukur ". (QS. al-Nahl: 78).

    Islam tidak hanya menyebutkan pemberian Allah kepada manusia berupa indra, tetapi juga menganjurkan kita agar menggunakannya, misalnya dalam al-Qur'an Allah swt. berfirman, "Katakanlah, lihatlah segala yang ada di langit-langit dan di bumi." (QS. Yunus: 101 ). Dan ayat-ayat yang lainnya yang banyak sekali tentang anjuran untuk bertafakkur. Qur'an juga dalam membuktikan keberadaan Allah dengan pendekatan alam materi dan pendakatan akal yang murni seperti, "Seandainya di langit dan di bumi ada banyak tuhan selain Allah, niscaya keduanya akan hancur." (QS. al-Anbiya': 22). Ayat ini menggunakan pendekatan rasional yang biasa disebut dalam logika Aristotelian dengan silogisme hipotesis.

    Atau ayat lain yang berbunyi, "Allah memberi perumpamaan, seorang yang yang diperebutkan oleh banyak tuan dengan seorang yang menyerahkan dirinya kepada seorang saja, apakah keduanya sama ?" (QS. al-Zumar: 29)

  3. Hati

Allah swt berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, niscaya Ia akan memberikan kepada kalian furqon." (QS. al-Anfal: 29) Maksud ayat ini adalah bahwa Allah swt. akan memberikan cahaya yang dengannya mereka dapat membedakan antara yang haq dengan yang batil.

Atau ayat yang berbunyi, "Dan bertakwalah kepada Allah maka Ia akan mengajari kalian. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. al-Baqarah: 282). Dan ayat-ayat yang lainnya.

Syarat dan Penghalang Pengetahuan.

Meskipun berpengetahuan tidak bisa dipisahkan dari manusia, namun seringkali ada hal-hal yang mestinya diketahui oleh manusia, ternyata tidak diketahui olehnya.

Oleh karena itu ada beberapa pra-syarat untuk memiliki pengetahuan, yaitu :

  1. Konsentrasi
  2. Orang yang tidak mengkonsentasikan (memfokuskan) indra dan akal pikirannya pada benda-benda di luar, maka dia tidak akan mengetahui apa yang ada di sekitarnya.

  3. Akal yang sehat
  4. Orang yang akalnya tidak sehat tidak dapat berpikir dengan baik. Akal yang tidak sehat ini mungkin karena penyakit, cacat bawaan atau pendidikan yang tidak benar.

  5. Indra yang sehat

Orang yang salah satu atau semua indranya cacat maka tidak mengetahui alam materi yang ada di sekitarnya.

Jika syarat-syarat ini terpenuhi maka seseorang akan mendapatkan pengetahuan lewat indra dan akal. Kemudian pengetahuan daat dimiliki lewat hati. Pengetahuan ini akan diraih dengan syarat-syarat seperti, membersihkan hati dari kemaksiatan, memfokuskan hati kepada alam yang lebih tinggi, mengosongkan hati dari fanatisme dan mengikuti aturan-aturan sayr dan suluk. Seorang yang hatinya seperti itu akan terpantul di dalamnya cahaya Ilahi dan kesempurnaanNya.

Ketika syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka pengetahuan akan terhalang dari manusia. Secara spesifik ada beberapa sifat yang menjadi penghalang pengetahuan, seperti sombong, fanatisme, taqlid buta (tanpa dasar yang kuat), kepongahan karena ilmu, jiwa yang lemah (jiwa yang mudah dipengaruhi pribadi-pribadi besar) dan mencintai materi secara berlebihan.

Wal hamdulillah awwalan wa akhiran.

(Makalah Ust. Husein Al-Kaff dalam Kuliah Filsafat Islam di Yayasan Pendidikan Islam Al-Jawad)

jarah psikologi plato dan aristoteles

Psikologi (psyche : jiwa) (logos : ilmu)

Definisi psikologi (ilmu yang mempelajari tingkah laku – manusia terhadap lingkungan)
Morgan, king, robinson : ilmu yg mempelajari tingkah laku manusia dan hewan.
Atkinson : studi ilmiah mengenai proses prilaku dan proses mental.
Woodworth : ilmu tentang kegiatan-kegiatan individu dalam hubungannya dengan lingkungan.
Wilhelm wundt : bertugas menyelidiki apa yang disebutpengalaman bagian dalam.

Laboratorium pertama didirikan oleh wilhelm wundt pada tahun 0897 di leipzig.

Syarat syarat suatu ilmu
Empiris : ilmu harus diuji kebenarannya melalui penelitian, bukan intuisi, pendapat, atau keyakinan.
Sistematis : mempunyai hukum hukum, prinsip prinsip yang diperolehnya secara teratur.
Mampu melakukan pengukuran : alat ukurnya (angket, observasi, wawancara, dll)
Mempunyai batasan batasan (definisi) terhadap istilah istilah yang digunakan.

Objek material psikologi : binatang.
Objek formal psikologi : perilaku manusia.

Overt behaviour : tingkah laku yang tampak dari luar (berjalan, menyanyi, menangis, memukul)
covert behaviour : tingkah laku yang tidak tampak dari luar (melamun, berfikir, mengingat)

aspek yang lebih berperan dalam tingkah laku.
Kognitif : perilaku yang menekankan kemampuan berfikir (kuliah, ujian)
Afektif : perilaku yang lebih banyak melibatkan unsur emosi (menangis, tertawa)
Konotatif : prilaku yang lebih banyak menggunakan unsur gerakan motorik / badan (lari, menjahit,)

Tiga sifat manusia :
Manusia sebagai mahluk individual
manusia sebagai mahluk sosial.
Manusia sebagai mahluk yang bertuhan.

Bidang bidang psikologi
psikologi biologikal : mempelajari hubungan proses biologi dan prilaku
Psikologi eksperimen : mempelajari reaksi hewan dan manusia terhadap suatu stimulus
psikologi klinis : penerapan prinsip” psikologi dalam diagnosis dan terapi gangguan emosi, mental
psikologi konseling
psikologi perkembangan
psikologi sosial.
Psikologi perkembangan.
psikologi sekolah : mempelajari masing masing anak untuk menilaimasalah belajar dan emosi
psikologi pendidikan : membimbing guru metode pengajaran
psikologi industri
psikologi organisasi
psikologi rekayasa : mencari hubungan antara orang dengan mesin, mereka membantu merancang mesin dan meminimalkan kesalahan manusia.

Pendekatan pendekatan psikologi. :
Perspektif perilaku (behavioristik) perilaku dikendalikan oleh lingkungan.
Perspektif kognitif : manusia bukan penerima respon yang pasig, tetapi mampu mengolah informasi yang diterimanya (mengkritik behavioristik).
Perspektif psikoanalitik : tingkah laku manusia dipengatuhi oleh insting (naluri)
Perspektif fenomenalogis (humanistik) : pengalaman subjektif manusia. Manusia bebas memilih tujuan hidupannya.
Perspektif biologis dan pendekatan interdisipliner : peristiwa psikologis berkaitan dengan aktivitas otak dan sistem syaraf.

PLATO
Pada dasarnya bukan hanya pada manusia saja, tatapi pada tumbuhan dan binatang.
3 tingkatan tingkahlaku.
1. anima begatetiva : perilaku yang ada pada tumbuhan, tujuannya hanya sekedar mempertahankan hidup.
2. Anima sensitiva : perilaku binatang, kemampuan indera yang dimilikinya memungkinkan untuk melakukan seleksi terhadap rangsang yang diterimanya, sudah ada kesadaran perilaku.
3. Anima intelektiva : manusia mempunya kemampuan untuk berfikir, yang membedakan manusia dengan tumbuhan dan hewan.
Ajaran plato yang terkenal adalah “idea”
menurut plato jiwa mempunya 2 alam :
alam idea : alam pikir yang diperoleh melalui rasio.
Alam sensoris (pengindraan)
Jiwa menurutnya terdiri dari 3 baguan atau yang terkenal dengan “trichatomi”
berfikir
berkehendak
bekeinginan.
Dia juga menggolongkan manusia menjadi 3 golongan.
1. Pemimpin (mempunyai kemampuan berfikir kuat)
2. ABRI (mempunya kemauan kuat dan keberanian)
3. Karyawan (berkeinginan kuat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sehari hari.
Menurutnya juga manusia akan menjadi apa seseorang kelak, sudah ditentukan sejak lahir. Oleh karena itu plato dikatakan sebagai penganut faham nativisme.

ARISTOTELES (murid plato)
menututnya objek psikologi adalah gejala gejala hidup pada umumnya (tumbuhan, hewan, dan manusia) dengan bukunya “de anima”
dia bertentangan dengan gurunya (plato), menurutnya dunia ide adalah dunia realitas, sehingga berwujud atau berada dalam wujud tertentu, karena pada dasarnya wujud adalah ekspresi dari jiwa.
Pokok ajarannya adalah bahwa semua benda yang ada didunia ini mempunyai dorongan untuk tumbuh dan berkembang dan mempunyai tujuan tertentu. Oleh karena itu dia dikatakan sebagai penganut “telologis”. Selain itu dia juga disebut sebagai tokoh awal dari pendekatan.
Aristoteles membedakan 2 hal
1. hule (noes phateticos) : yaitu bahan yang harus dibentuk.
2. Morphe (noes poesticos) : yang membentuk.
Benda dialam ini tidak tumbuh begitu saja, tetapi dikembangkan menjadi sesuatu kearah yang sempurna.
Tumbuhan, hewan, manusia mempunya jiwa (anima, vegetativa, sensitiva, dan intelektiva), dalam hal ini pandangannya sama dengan gurunya (plato).
Menurut aristoteles jiwa mempunyai fungsi :
1. kemampuan untuk mengenal.
2. Kemampuan untuk berkehendak.
Ajarannya dikenal sebagai dickotomi

copyrigt; Juned Topan.. Diberdayakan oleh Blogger.