This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 14 Maret 2012

LINTASAN SEJARAH ISLAM (11)

ADAB DAN PENGARUH

AL-QUR’AN TERHADAP SASTRA

Abdul Hadi W. M.

DALAM sejarah Islam, sejak awal sastra dikaitkan dengan atau malahan disebut sebagai adab.Ini karena berturur dalam bahasa yang baik merupakan keharusan bagi orang berada. Sejak awal apa yang disebut adab dikaitkan dengan cara berbuat atau bertindak sesuai aturan sopan santun dan budi pekerti yang dianggap selaras dengan nilai-nilai Islam. Pada mulanya perkataan tersebut diartikan sebagai disiplin jiwa atau pikiran, sifat-sifat terpuji dan tanda seseorang yang menggunakan akal budi dalam setiap tindakannya. Dalam filologi lebih jauh ia diartikan sebagai karya sastra yang mengandung hikmah atau kebijakan falsafah. Dalam lingkup pengertian ini jelas perkataan adab terkait dengan jenjang pendidikan atau tingkat keterpelajaran seseorang.

Adab mulai dikaitkan dengan kreativitas penulisan sastra pada abad ke-8 M. Dalam abad ke-9 M ia dikaitkan dengan disiplin lain baik ilmu-ilmu agama maupun ilmu pengetahuan umum. Penyair Arab terkemuka Mutannabi (915-965 M) mengaitkannya dengan orang yang piawai menulis syair. Pada abad ke-11 M Abu al-`Ala al-Ma`arri (973-1057 M) dalam bukunya Risalat al-Gufran menghubungkan kata adab dengan kemampuan rasional dan intelektual seseorang, termasuk dalam melahirkan karya sastra atau puisi. Namun dalam perkembangan selanjutnya kata adab sering digunakan untuk menyebut karya-karya bercorak didaktis, termasuk karya yang membahas masalah sosial, politik, hukum dan pemerintahan atau ketatanegaraan.

Pada abad ke-10 dan 11 M, ketika dunia intelektual Islam didominasi pemikiran kaum rasionalis (mu`tazila) karya-karya yang digolongan sastra adab biasanya karya yang lebih bercorak intelektual dibanding imaginatif. Karena itu kitab-kitab yang membicarakan masalah psikologi dan etika sepertiKitab al-Bayan karangan al-Jahiz (w. ) dimasukkan ke dalam kelompok sastra adab terkemuka. Begitu pula Kitab al-Ma`arrif karangan Ibn Qutayba (w. 889 M) yang menguraikan persoalan sejarah. Kitab lain yang sejenis ini ialah Kitab al-Aghani karya Abu al-Farraj al-Isfahani (abad ke-10) yang menguraikan kehidupan para penyair, musikus dan penyanyi dengan lagu-lagu dan lirik ciptaan mereka, Kitab al-Buldan (903 M) karangan Ibn al-Faqih; Kitab Muraj al-Dhahad (943 M) karangan Mas`udi yang menguraikan geografi dan sejarah; Kitab I`jaz al-Qur`an karangan al-Baqillani (w. 1103 M); serta Kitab Tawf al-Hamamah karangan Ibn Hazm (w. 1064 M) yang menguraikan masalah cinta.

Kalau karya bercorak sejarah juga dimasukkan ke dalam sastra adab maka lebih banyak lagi jumlahnya. Pelopor penulisan karya bercorak sejarah ialah Muhammad Ibn `Ishaq (w. 767 M), penulis kitab masyhur Sirat al-Nabi`. Kitab ini menjadi sumber rujukan penting dalam penulisan sejarah dan hikayat berkenaan kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad S. A. W.

Dalam perkembangan lebih lanjut, khususnya dalam sastra Melayu, karya-karya yang digolongan sastra adab ialah yang mmbicarakan masalah etika, termasuk politik, hukum dan pemerintahan. Yang terkenal di antaranya ialah Siyasat-namah karangan Nizam al-Mulk, perdana menteri Bani Saljug di Persia pada akhir abad ke-11 M. Nizam al-Mulk adalah sahabat karib Umar al-Khayyami (1048-1131 M) dan hidup sezaman dengan Imam al-Ghazali (w. 1111 M). Pengaruh bukunya sangat besar dalam ilmu pemerintahan dan politik. Dalam khazanah sastra Turki karya adab terkenal ialah Nasa`ih al-Vuzara wa al-Umara` karangan Sari Mehmed Pasha pada abad ke-17 M. Sedangkan dalam khazanah sastra Melayu dapat disebut kitab Taj al-Salatin (1603 M) karangan Bukhari al-Jauhari dan Bustan al-Salatin (1641 M) karangan Nuruddin al-Raniri. Kedua buku itu ditulis pada zaman emas kesultanan Aceh Darussalam.

Walaupun karya itu ditulis beberapa abad yang silam, namun relevansi dan aktualitas masalah yang dikemukakan tidak diragukan lagi berlaku sampai kini. Masalah kepemimpinan wanita dalam pemerintahan yang kini hangat dibicarakan di negeri kita, sudah dibahas panjang lebar dalam Taj al-Salatin. Penulis kitab itu tidak menolak kepemimpinan wanita, lebih-lebih jika terpaksa. Namun ia mengingatkan bahwa fitnah akan lebih mudah merajalela apabila sebuah kerajaan dipimpin oleh seorang wanita. Kitab karangan Bukhari al-Jauhari bukan hanya dijadikan pegangan oleh raja-raja Melayu, tetapi juga oleh raja-raja Jawa.

Sampai abad ke-19 Taj al-Salatin masih diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Pangeran Diponegoro sangat menyukai kitab ini, begitu pula Mangkunegara IV dan menjadikannya rujukan bagi penulisan kitab Wedatama. Karena pengaruh buku inilah maka sejak abad ke-17 M tidak pernah ada raja wanita di kerajaan-kerajaan Jawa.

Karangan bercorak adab terkemuka paling awal yang muncul dalam sejarah kesusastraan Islam dan tetap populer sampai kini ialah Khalilah wa Dimnah gubahan Ibn al-Muqaffa’ (w. 737 M). Walaupun disadur dari kitab India Pancatantra karangan Bidpai, melalui salinan bahasa Persia Lama (Pahlewi), namun karya Ibn al-Muqaffa` dapat dikatakan orisinal, terutama pengolahan kembali cerita dan gaya penuturannya. Dalam buku ini dibentangkan antara lain bahaya yang ditimbulkan oleh fitnah dan tipu muslihat. Berkat karya Ibn al-Muqaffa` ini pulalah fabel-fabel India tersebar dan dikenal luas di Eropah dan dari situ ke seluruh dunia.

Kitab lain yang dapat digolongkan sebagai karya adab terkenal dan unggul ialah Bustan danGulistan karangan Sa`di (w. 1292 M). Buku ini bercorak sufistik dan ditulis berdasarkan pengalaman pribadi penulisnya yang senang mengembara ke berbagai negeri. Penulis-penulis besar seperti Schiller, Goethe dan Emerson sangat mengagumi karya Sa`di ini. Kitab Taj al-Salatin karangan Bukhari al-Jauhari dipengaruhi juga oleh karya Sa`di ini, di samping oleh karya Nizam al-Mulk dan lain-lain.

Tidak lengkap jika kita tidak mengemukakan genre sastra penting lain yang disebut maqamaatau maqamat. Di samping genre prosa lain seperti al-Qisas (kisah) dan al-Tawqi`at (tawqi`), maqamat sangat digemari. Genre inilah yang dipandang sebagai asal-usul cerita pendek Arab dan Persia karena memang boleh dikatakan bahwa maqamat sebagai jenis cerita pendek. Secara harafiah perkataan tersebut mempunyai arti penuturan atau cerita yang disampaikan sambil berdiri tegak di sebuah majelis. Dalam maqamat penulis menyampaikan gagasan, kritik, pemikiran dan sindiran, yang diramu dalam sebuah cerita. Sindiran biasanya diselipkan pada bagian akhir cerita dan ditulis dalam bentuk sajak ringkas.

Himpunan maqamat biasanya menampilkan seorang tokoh yang banyak mengembara dan memiliki segudang pengalaman dan hikmah. Tokoh inilah yang ditampilkan sebagai tukang kisah (al-Rawi) yang menyampaikan berbagai cerita menarik dan ganjil. Cerita-cerita yang disampaikan biasanya melukiskan kepincangan yang terdapat dalam masyarakat, diperkaya dengan kritik dan sindiran yang halus nampun tajam. Pengasas genre ini ialah Ibn Durayd (w. 321 H), namun yang mempopulerkan ialah pengarang terkenal asal Persia abad ke-11 M yang menulis dalam bahasa Arab, yaitu Badi`uzzaman al-Hamadhani. (968-1008 M ) Genre ini mencapai puncaknya pada abad ke-13 M di tangan penulis masyhur Abu Muhammad bin Ali ak-Hariri (1054-1122) Penulis maqamat yang lain ialah Umar bin Makhmud al-Balkhi (w. 597 H).

Tidak perlu diuraikan perkembangan puisi di dunia Islam sejak abad ke-9 sampai abad ke-19 M yang luar biasa kreatif. Yang perlu diketahui ialah kenyataan bahwa perkembangan itu sepenuhnya disulut oleh pengaruh kitab suci al-Qur`an, himpunan wahyu ilahi yang walaupun bukan karya sastra, namun memiliki nilai sastra yang tinggi. Puisi disebut sebagai pengucapan dengan bahasa terikat(manzum), sebagai kebalikan dari prosa yang disebut bahasa longgar (manthur). Lebih lanjut puisi yang berbobot dikiaskan sebagai untaian pertama yang membentuk kalung yang indah. Seorang penyair sering disebut sebagai ahli permata (al-jauhari), dan permatanya ialah kata-kata. Sedangkan dalam tradisi Persia Islam puisi sering diumpamakan sebagai taman atau kebun (bustan) yang penuh pohon rimbun dengan buah lebat dan tersedia pula minuman lezat. Kadang puisi disamakan dengan galeri lukisan (arzang).

Pengaruh al-Qur`an

Sebagai kitab suci yang mengandung nilai sastra tinggi tidak diragukan lagi al-Qur`an memiliki pengaruh yang besar bagi perkembangan kesusastraan. Lebih daripada itu kitab ini mampu membangkitkan perkembangan ilmu bahasa, teori sastra dan puitika yang menakjubkan, yang semua itu dinikmati bukan saja oleh sastra Arab tetapi sastra negeri Islam lain yang dipengaruhi oleh bahasa dan sastra Arab seperti sastra Persia, Urdu, Turki, Melayu dan lain-lain.

Di samping itu al-Qur`an juga mengandung rujukan yang melimpah untuk berbagai cabang ilmu dan di dalam al-Qur`an pula terdapat banyak kisah dengan cara penyajian yang khas dan menarik. Pola penceritaan yang terdapat dalam al-Qur`an itu pada gilirannya mempengaruhi corak naratif kesusastraan Islam.

Keindahan bahasa dan puitika al-Qur`an telah menarik banyak penulis Muslim untuk mempelajari rahasia keindahan seni sastra yang terdapat di dalam kitab itu. Kajian mengenai hal tersebut disebut Dala`il al-Ijaz. Banyak sarjana sastra Arab dan Persia menceburi bidang ini, di antaranya yang terkemuka ialah al-Jahiz, Abu Hasan al-Jurjani, al-Kumani, al-Khattibi, al-Baqillani, Abdul Qahir al-Jurjani dan lain-lain. Tokoh-tokoh sastra penting seperti Imam al-Ghazali, Ibn `Arabi, Jalaluddin Rumi, Hafiz si Penghafal Qur`an dan juga penulis modern Muhammad Iqbal, sangat menguasai ilmu Dala`il al-Ijaz ini. Karena itu tidak mengherankan kalau karya-karya mereka bukan saja merupakan tafsir atau takwil terhadap ayat-ayat al-Qur`an dengan melihat konteks falsafah dan sosilogisnya, tetapi pengucapan puitik mereka juga dipengaruhi oleh puitika al-Qur`an.

Para sarjana terkemuka seperti Ismail al-Faruqi (dalam buku The Cultural Atlas of Islam, 1992) sepakat berpendapat bahwa al-Qur`an memang mengandung unsur-unsur estetik yang kaya. Di antara unsur-unsur estetik itu ialah:

Pertama. Walaupun ayat-ayat al-Qur`an bukan puisi atau prosa berirama (saj`) murni menurut ukuran sastra Arab pada waktu kitab itu diturunkan, malahan dapat dikatakan sebagai prosa mutlak(al-nathir al-mutlaq), namun banyak ayat-ayatnya memiliki persamaan rima dan sajak yang menjadikan ayat-ayat itu sangat indah dengan unsur puitik yang sugestif.

Kedua. Kitab al-Qur`an digubah menggunakan kata-kata dan frasa yang maknanya dapat disesuaikan dengan berbagai konteks persoalan hidup. Apabila dirubah malah janggal. Penambahan dan pengurangan terhadap ayat-ayat itu akan merusak keindahan ungkapan dan makna.

Ketiga. Setiap ayat atau frasa mengimbangi susunan bahasa ayat-ayat yang telah

mendahuluinya. Itulah sebabnya susunan ayat dan bahasa al-Qur`an dipandang rapi (tawazun).

Keempat. Kias dan simpulan bahasa al-Qur`an mengandung konsep atau gagasan serta unsur pengajaran yang berpengaruh besar kepada pembacanya. Di samping itu memberi kesan mendalam terhadap imaginasi pembacanya.

Kelima. Susunan bahasa al-Qur`an yang sempurna itu menjelmakan ayat-ayat al-Qur`an sebagai karya seni yang tinggi, serta memberi ilham bagi lahirnya bentuk-bentuk seni puisi, musik dan seni suara yang unggul.

Keenam. Gaya bahasa al-Qur`an ringkas, tegas dan efektif, langsung menyentuh kesadaran pembacanya. Menurut Jirji Zaidan dalam Kitab al-Adab al-Lughah, banyak penulis Arab meniru keringkasan kata-kata dan ungkapan al-Qur`an beserta balaghahnya. Keringkasan itu juga tampak dalam Hadis Nabi. Nabi malah pernah mengatakan: “Aku dianugerahi kemampuan menggunakan kata-kata yang ringkas tetapi sangat dalam maknanya dan selalu kupilih kata-kata yang padat dan ringkas”. Baik al-Qur`an maupun Hadis telah menyadarkan bangsa Arab bahwa prosa juga dapat dikembangkan menjadi pengucapan estetik bermutu tinggi. Sebelumnya mereka hanya memandang syair atau puisi sebagai bentuk pengucapan yang bermutu sastra.

Ketujuh. Struktur teks al-Qur`an tidak seperti karya sastra biasa. Dalam struktusnya al-Qur`an mencampur aspek-aspek pembicaraan tentang peristiwa yang telah silam, sedang terjadi dan akan atau mungkin terjadi. Setiap ayat merupakan unit yang berdiri sendiri dan sekaligus saling berkaitan dengan unit yang lain.

Selain itu al-Qur`an mengandung banyak kisah atau cerita perumpamaan yang masing-masing disampaikan secara khusus dan menarik, dan ini mendorong timbulnya

genre-genre baru dalam kesusastraan Islam. Ada kisah yang disampaikan secara ringkas, ada yang disampaikan agak panjang dan ada yang sangat panjang. Kisah Nabi Yusuf AS misalnya disampaikan secara panjang lebar dan cukup lengkap dalam sebuah surah. Kisah Nabi Musa AS yang sangat luas konteks hikmah dan moralnya disebar dalam ayat dan surah yang berbeda-beda. Di antara yang konteks hikmah dan moralnya luas ialah kisah Nabi Musa AS dalam Surah al-Kahfi. Di situ Nabi Musa AS ditampilkan bersama guru kerohaniannya, seorang nabi yang kemudian dikenal sebagai Khaidir AS.

Dalam penceritaannya tentang tokoh-tokoh itu al-Qur`an menekankan watak dan kepribadian tokoh, ciri peristiwa yang melibatkan tokoh dan klasifikasi peristiwa yang memiliki makna dan konteks berbeda. Sering kisah disampaikan melalui dialog, seakan-akan al-Qur`an menggunakan seorang pencerita yang arif.

Dalam al-Qur`an terdapat cerita tentang bencana dahsyat yang menimpa sebuah kaum disebabkan kemungkarannya telah melampaui batas, begitu juga kezaliman dan keserakahannya. Misalnya kisah yang menimpa suku Thamud, umat Nabi Nuh AS dan Nabi Saleh AS, serta orang kaya yang kikir dan tamak yaitu Qarun. Mengenai tokoh-tokoh historis seperti Fir`aun, Namrud, Qarun dan lain-lain, dalam perkembangan sastra Islam kelak lantas ditransformasikan menjadi simbol-simbol sosiologis berkenaan kezaliman, egosentisme, kultus individu dan keserakahan.

Ada pula kisah yang menekankan kepribadian dan sifat tokoh yang terpuji, seperti Nabi Ayub AS, untuk menonjolkan kekuatan moral yang tangguh melawan segala bentuk penderitaan disebabkan ketakdilan dan lain-lain. Ada bagian dalam al-Qur`an yang hanya mengisahkan satu peristiwa atau seorang tokoh dengan mengambil bagian awal, tengah atau akhir, dan ada kalanya disampaikan peristiwa itu disampaikan secara keseluruhan. Semua itu dengan tujuan moral dan estetik tertentu. Melekatnya unsur-unsur estetikl dalam penyampaian ayat-ayat al-Qur`an, membuktikan bahwa risalah Islam mengakui betapa estetika, sebagaimana metafisika, logika, epistemologi dan etika, merupakan bagian dari kehidupan spiritual manusia dan kenyataan dari Yang Transenden.

BERSAMBUNG

Naskah kuna memuat karangan Imam al-Ghazali di perpustakaan Universitas Mac Grill, Canada.

LINTASAN SEJARAH ISLAM (10)

SASTRA ARAB PADA ZAMAN PERMULAAN ISLAM

Abdul Hadi W. M.

Telah kita ketahui bahwa sastra Arab telah berkembang sebelum datangnya agama Islam. Namun dengan datangnya Islam terjadi perubahan mendasar. Sebelum Islam sastra Arab berkembang mengikuti tradisi lisan dan sedangkan sesudahnya sastra tulis yang berkembang, kendati tidak dengan senirnya sastra lisan mati.. Pada zaman pra-Islam penyar menyampaikan syair yang mereka karang secara lisan, Hanya beberapa penyair tertentu yang karya-karyanya direkam dalam bentuk tulisan. Syair-syair itu biasanya ditulis atas kulit domba dan unta serta daun papirus yang sudah dikeringkan. Syair-syair yang dituliskan itu pada umumnya merupakan karya penyair besar dan diletakkan di dinding Ka’bah. Sebagian besar syair yang ditulis itu pula tidak lengkap melainkan hanya potongan yang terdiri dari beberapa baris atau bait. Syair-syair yang dituliskan ini disebut mu`allaqat, artinya sajak-sajak yang ditaruh pada dinding Ka’bah.

Penyair-penyair mu`allaqat yang terkenal antara lain ialah Imr al-Qays, Zuhair bin Abu Sulma, Nabiqah al-Zuhyani, Tarafah bin al-`Abd, `Amr bin Kulam, Labid bin Rabi`ah dan Antarah. Beberapa di antara mereka memeluk agama Islam pada masa hidup Rasulullah. Misalnya, yang paling terkenal, ialah Labid bin Rabi`ah. Setelah memeluk Islam, Labid menjadi pembela Islam yang gigih melalui syair-syairnya.

Para penyair Arab sebelum Islam tidak hanya menulis mu`allaqat, tetapi juga bentuk pengucapan sastra lain seperti khotbah, peribahasa, legenda dan dongeng yang tidak kalah indahnya dari mu`alllaqat. Khaliah al-rasyidin pada umumnya menyampaikan pandangannya melalui khotbah atau peribahasa, serta aforisma yang indah. Di antara empat khalifah yang ucapannya sangat indah ialah Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar Siddiq.

Ciri-ciri karya sebelum Islam itu umumnya seragam. Selain syair-syair kepahlawanan suku, penyair-penyair Arab jahiliyah gemar sekali menulis syair-syair berisi ungkapan kebanggan terhadap kabilahnya dan garis keturunan mereka. Bentuk pengucapan sastra lain yang digemari ialah marasin (elegi),ghazal (sajak-sajak cinta, khususnya cinta berahi), sajak-sajak pemujaan terhadap anggur (khamriyah) dan ungkapan dendam kesumat kepada kabilah musuh.

Mu`allaqat adalah untaian syair panjang dan indah dengan sistem persajakan yang rumit. Yang paling terkenal sebagai penulis mu`allaqat sepanjang sejarah ialah Imr al-Qays. Sajak-sajaknya masih digemari orang Arab sampai saat ini dan dibawakan melalui nyanyian, sebuah tradisi yang tetap hidup sampai kini.

Bentuk syair lain yang digemari ialah qasidah, sajak-sajak pujian yang dinyanyikan. Yang disajikan dalam qasidah pada umumnya ialah pujian terhadap pahlawan suku dan orang yang dicintai seperti pemimpin dan gadis cantik. Jenis sajak cinta juga digemari, antara lain yang disebut nasib.Penulis-penulis Arab masih melanjutkan kegemarannya menulis sajak-sajak warisan lama ini setelah agama Islam datang. Hanya saja tema dan isinya sudah berubah serta diperluas. Pada abad ke-12 M bentuk puisi iini dikembangkan oleh penyair Mesir Syekh al-Busiri menjadi puji-pujian kepada Nabi Muhammad s.a.w (al-mada`ih al-nabawiya). Karya Syekh al-Busiri yang masyhur hingga kini dan dibacakan hampir dalam setiap perayaan maulid di berbagai pelosok Dunia Islam ialah Qasidah al-Burdah.

Puisi Masa Awal

Penerimaan terhadap agama Islam di kalangan bangsa Arab pada mulanya memang tidak banyak membawa perubahan terhadap perkembangan sastra Arab, juga tidak banyak memberi perubahan terhadap sifat-sifat, watak dan tabiat bangsa Arab. Lagi pula pada masa awal sejarah Islam, kesusastraan berkembang agak lambat. Hal ini terjadi karena banyaknya peperangan yang dihadapi kaum Muslimin yang begitu menguras tenaga kaum Muslimin sehingga tidak memberi peluang bagi kaum terpelajarnya, termasuk penyair, untuk memikirkan masalah-masalah kesenian dan kesusastraan. Pada awal abad ke-7 M, setelah Rasulullah wafat dan kepemimpinannya diganti oleh khalifah yang empat, satu-satunya bentuk kegiatan penulisan yang berkembang ialah penyusunan dan penulisan mushaf al-Qur’an.

Kendati demikian sebenarnya pada masa ini telah muncul beberapa penyair yang kreatif. Di antaranya ialah penyair-penyair yang disebut golongan mukhdramain, artinya penyair yang hidup dalam dua zaman, yaitu zaman Jahiliyah dan zaman Islam. Di antara mereka telah terdapat penyair yang menulis karya-karya yang dipengaruhi ajaran dan sejarah perkembangan Islam. Syair-syair yang mereka tulis kebanyakannya merupakan rekaman sejarah awal perkembangan agama Islam, khususnya perjuangan Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Walaupun sikap hidup penyairmukhdramain ini secara umum tidak berubah setelah memeluk agama Islam, namun karangan mereka cukup penting karena nilai sejarah yang dikandungnya.

Di antara penyair mukhdramain itu terdapat orang yang dekat dengan Rasulullah seperti Hasan bin Tsabit, Ka`aab bin Zubair, Ka`ab bin Malik dan Labid bin Rabi`ah. Hasan bin Tsabit misalnya sering mendampingi Nabi dan tampil dalam perdebatan dengan para penyair yang gemar merendahkan dan mengejek agama Islam. Bersama-sama Labid bin Rabi`ah, Hasan bin Tsabit dianggap sebagai perintis penulisan sajak-sajak pujian kepada Nabi Muhammad.

Perubahan besar dalam perkembangan sastra Arab terjadi setelah munculnya penulisan mushaf al-Qur’an, yaitu pada masa kepemimpinan khalifah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Kegiatan penulisan mushaf al-Qur’an ternyata memberi pengaruh besar dan bermakna bagi perkembangan sastra Arab. Pengaruh langsung dari kegiatan tersebut ialah berkembangnya kajian terhadap teks kitab suci, terutama dari segi bahasa dan sastra. Semenjak itu orang Arab juga mulai giat mengumpulkan puisi lama dan cerita lisan warisan nenekmoyang mereka. Gaya bahasa dan puitika al-Qur’an kemudian semakin menarik perhatian para penyair Arab yang pada gilirannya kelak mempengaruhi corak penulisan puisi dan karangan prosa mereka.

Dalam tradisi Arab, puisi disebut manzun, yaitu komposisi (nazm) yang bahasanya terikat pada pola rima dan sajak. Prosa disebut mantsur, yaitu gubahan yang bahasanya longgar, tidak terikat pada pola rima dan aturan persajakan tertentu. Dari segi tema, amanat dan coraknya sastra Arab baru ini pun berbeda dari sastra Arab lama. Pada masa ini para sastrawan mulai mengaitkan sastra dengan adab, bahkan menyebut sastra sebagai adab, yaitu sikap dan perbuatan yang didasarkan pada akhlaq dan sopan santun. Adab juga dihubungkan dengan tingginya tingkat pendidikan dan pengetahuan yang dicapai oleh seorang penulis, serta kedewasaan dan kematangan pandangan hidup mereka. Berdasar pandangan ini maka sastra tidak hanya berisi ungkapan perasaan dan pengalaman hidup biasa sebagaimana kerap diartikan orang, begitu pula sekarang ini. Sastra lebih dari itu. Ia juga merupakan karangan yang menyajikan kearifan dan gagasan-gagasan penting kehidupan termasuk moral, al-hikmah dan spiritualitas.

Perubahan itu juga tampak dalam bahasa yang digunakan. Kaya-karya baru yang dihasilkan oleh penulis Muslim ini lebih halus, sedangkan isinya lebih universal. Puisi karya penyair zaman pra-Islam biasanya kasar dan nadanya sombong. Isinya pun tidak mendalam, sering hanya berkaitan dengan masalah-masalah sensual. Bahkan terdapat syair-syair zaman pra-Islam yang ditulis untuk mengejek kabilah musuh. Biasanya sajak-sajak seperti itu bisa menyulut sengketa dan permusuhan antar kabilah. Beberapa syair sengaja ditulis untuk menghina kabilah musuh. Untuk keperluan itu maka setiap kabilah mesti memiliki penyair andalan, yang setiap diharapkan dapat menulis syair-syair berisi jawaban terhadap syair ejekan dari kabilah lain.

Ali bin Abi Thalib

Apabila pada masa sebelumnya prosa tidak berkembang, karena kecintaan pada puisi yang mendalam, maka setelah agama Islam datang, prosa mulai bertunas dan memainkan peranan yang tidak kecil dalam adab dibanding syair. Tokoh yang dipandang sebagai penulis prosa paling awal dalam sejarah sastra Arab ialah Ali bin Abi Thalib (600-601 M). Dalam sejarah Islam, tokoh Ali bin Abi Thalib merupakan pemuda Arab pertama yang memeluk agama Islam. Dia adalah menanti Nabi dan terkenal sebagai orang yang berani membela Islam dan sangat terpelajar pula. Ketika Rasulullah masih hidup, dia pernah diberi tugas menjadi pengumpul wahyu yang diterima Nabi. Ali bin Abi Thalib menguasai bahasa Arab dengan baiknya, khususnya dialek Hejaz yang dianggap sebagai dialek bahasa Arab yang terindah pada zaman itu. Karya Ali bin Abi Thalib yang masyhur sebagai karangan prosa pertama yang indah dalam sastra Arab ialah Nahj al-Balaghah (Jalan Terang). Kitab ini merupakan kumpulan khotbah, peribahasa, kata-kata mutiara dan surat-surat bernilai sastra. Dia menggantikan Usman bin Affan sebagai khalifah al-rasyidin keempat dan sekaligus khalifah terakhir. Sebuah syairnya dituliskan pada banyak batu nisan makam raja-raja Pasai dan Malaka pada abad ke-14 dan 15 M.

Pada zaman Ali bin Abi Thalib inilah muncul dua penyair wanita terkemuka, yaitu Tumadir bin Amr (lebih dikenal sebagai al-Khansa’) dan Layla al-Akhyaliyal. Keduanya penulis nasarin, yaitu elegi atau sajak-sajak sedih. Kesedihan yang sering mengilhami syairnya biasanya ialah kematian orang yang dekat dengan penyair. Nasarin memang merupakan bentuk syair yang digemari oleh para penyair Arab zaman permulaan. Banyaknya peperangan yang terjadi dalam sejarah awal perkembangan Islam, mendorong lahirnya banyak syair seperti ini.

Ali bin Abi Thalib sendiri menulis sejumlah syair religius yang indah. Salah satu di antaranya ialah yang dipahatkan pada batu nisan makam raja Samudra Paasai di Aceh abad ke-13 M:

Dunia ini fana, tiada kekal

Bagaikan sarang laba-laba

O kau yang menuntut terlalu banyak

Cukupkanlah yang kauperoleh selama ini

Ada orang yang berumur pendek

Namun namanya dikenang selamanya

Ada yang berusia panjang

Namun dilupa sesudah matinya

Dunia ini hanya bayang-bayang

Yang cepat berlalu

Seorang tamu di malam hari

Mimpi seorang yang tidur nyenyak

Dan sekilat cahaya yang bersinar

Di cakrawla harapan

Jenis syair lain yang berkembang pada masa ini ialah syair-syair zuhudyah, yang kaitannya dengan ajaran Islam lebih jelas dibanding banyak jenis syair Arab yang lain. Syar-syair zuhudiyah ditulis oleh penyair yang menyukai tafakkur, ibadah dan amalan yang menjunjung tinggi akhla serta adab. Penyair-penyair zuhudiyah lebih suka memilih hidup dalam kesalehan dan tafakur sebagai bentuk kekecewaan meeka terhadap meluasnya gejala hidup serba mewah di lingkungan masyarakat Muslim. Di antara penyair zuhudiyah yang awal ialah Abul Aswab al-Du`ali (w. 681 M). Dia adalah seorang ulama besar, pakar Hadis dan hukum Islam. Al-Du`ali juga dikenal sebagai orang terpelajar pertama yang menciptakan tanda-tanda baca dan titik dalam al-Qur’an untukk membedakan harakatnya dan memudahkan pembacaannya. Syair-syair al-Du`ali kebanyakan bertemakan ketawakkalan dan kesalehan. Dia sering menyeru pembacanya agar supaya ingat mati dan hari akhirat. Syair-syair jenis lain yang ditulis olehnya terutama ialah hija’ (satire) dan madah, yaitu syair-syair berirama indah yang dibuat untuk dinyanyikan.

Pada akhir abad ke-7 M muncul pula penyair Arab terkemuka yang membawa pembaruan cukup berarti, yaitu Umar bin Abi Rabi`ah (643-712). Dia hidup pada zaman gemilang pemerintahan Daulah Umayyah di Damaskus. Umar bin Abi Rabi`ah berasal dari kabilah Quraysh ban Makhzun. Ayahnya pernah diberi tugas oleh Nabi untuk menyebarkan agama Islam di Yaman. Menjelang akhir hayatnya dia banyak menulis syair-syair zuhudiyah. Gaya bahasanya sangat halus dan ekspresif.

Pada awal abad ke-8 M, sebuah tradisi baru dalam penulisan syair muncul, yaitu penulisan syair-syair untuk dinyanyikan, tetapi berbeda dari madah. Jenis syair baru ini disebut al-sy`r al-ghina(syair pelipur lara). Di antara tema-tema yang digemari oleh para penulis syair al-ghina’ ialah tema-tema erotis dan sensual, serta mujun, yaitu tema-tema yang menyimpang dari ajaran agama dan moral. Pada masa ini pulalah mulai muncul penyair-penyair yang gemar mengembara untuk berdakwah dengan cara membacakan dan menyanyikan syair-syair mereka. Syair yang didakwahkan itu dinyanyikan sehingga menarik perhatian bagi pendengarnya.

Jenis syair lain yang juga digemari dan muncul pada zaman ini ialah al-ghazal al`uzri, yaitu sajak-sajak percintaan muni. Penyair terkenal yang melahirkan banyak jenis syair ini ialah Qays alias Majnun bin Amir. Kisah cintanya yang mendalam kepada seorang gadis bernama Layla, menarik perhatian masyarakat Arab dan diabadikan dalam kisah yang sangat terkenal Layla wa Majnun. Temaghazal a-uzri ialah cinta murni yang didasarkan atas ajaran Islam. Cinta sepertiitu menuntut ketulusan, pengurbanan dan kesucian.

Bentuk syair yang disebut hija’ (sindiran) juga digemari. Melalui hija’ mereka melontarkan kritik atau kecaman terhadap ketimpangan yang berlaku dalam masyarakat seperti ketidakadilan penguasa, penyelewenganyang dilakukan pejabat, pemimpin agama dan politisi.

Biasanya hija’ ditulis untuk mengecam orang-orang yang perilakunya menyimpang dari ajaran agama. Di antara penulis hija’ yang terkenal ialah Farazdaq (w. 728 M). Contohnya ialah syair yang dikarang penyair Khawarij untuk mengejek pengikut Mu’awiyah:

Kau membanggakan dua ribu orang beriman

Berada di belakangmu bukan?

Tak malu, sedangkan mereka itu tewas tersungkur

Di tangan empat puluh perajurit kami di Asak

Kau bohong, mereka pengecut

Tak seperti yang kaubanggakan

Sastra Arab mulai memperlihatkan perkembangan pesat pada zaman Daulah Umayyah.

Madina, kota awal pusat peradaban Islam

LINTASAN SEJARAH ISLAM (9)

IKHTISAR TARIKH

KHALIFAH AL-RASYIDIN (632-661 M)

Nabi Muhammad s.a. w. wafat pada tahun 10 H atau 632 M dalam usia 63 tahun. Karena tidak meninggalkan wasiat segera kaum Anshar dan Muhajiriin berkumpul di balai kota Bani Saidah, Madinah, untuk bermusyawarah. Melalui perdebatan yang sengit, khususnya antara pemimpin kaum Anshar dan Muhajirin. pada akhirnya Abu Bakar terpilih sebagai khalifah atau pengganti Nabi dalam kepemimpinan politik dan pemerintahan. Sayang, hanya dua tahun beliau memegang tampuk pimpinan dan selama masa yang pendek itu beliau harus menyesaikan banyak persoalan setelah wafatnya Nabi Muhammad s.a.w.

Di antara persoalan itu ialah anggapan beberapa kabilah yang memandang bahwa setelah Nabi wafat, sudah tidak ada lagi pemerintahan Madinah. Di samping itu terdapat sejumlah orang yang mengaku diri sebagai nabi. Persoalan-persoalan tersebut menimbulkan banyak perselisihan yang harus diselesaikan dengan bijak. Kabilah-kabilah yang menganggap pemerintahan Madinah tamat setelah wafatnya Nabi, menolak untuk tunduk pada pemerintahan Madinah. Perang tidak terhindarkan dalam upaya meredam pembrontakan dan pembangkangan. Yang terbesar di antaranya ialah Perang Ridlah, perang menentang kemurtadan.

Pada masa khalifah Abu Bakar sistem pemerintahan bersifat sentralistik. Khalifah juga berperan sebagai pelaksana hukum dan undang-undang.

Setelah menyelesaikan masalah dalam negeri selama beberapa bulan, khalifah Abu Bakar mulai bertindak untuk memecahkan masalah luar negeri. Dia memerintahkan pasukan tentaranya menuju Iraq dan mengambil kembali wilayah kerajaan Hirah, sebuah kerajaan Arab yang diduduki kerajaan Ghazzan yang beribukota di Damaskus. Kerajaan Ghazzan merupakan bagian dari kemaharajaan Byzantium yang memiliki otonomi. Sayang Abu Bakar wafat ketika tentaranya sedang berperang di Iraq dan Palestina.

Hirah. Mengapa kerajaan Hira diserang? Kerajaan ini terletak di bagian utara Jazirah Arab, di lembah sungai Eufrat yang subur. Sejak lama wilayah ini merupakan tempat tinggal orang Arab. Menjelang lahirnya agama Islam, yaitu pada tahun 528 M, penguasa Bani Gahzzan yang memerintah wilayah Palestina dan Yordania dan merupakan tangan kanan kemaharajaan Byzantium, menyerbu kerajaan Hira, tetapi gagal. Pada tahun 590 M (dua puluh tahun setelah lahirnya Muhammad) kerajaan Hira berhasil direbut oleh Bani Ghazzan dan ribuan penduduknya mengungsi ke sebelah selatan, antara lain ke Madinah. Namun tidak lama kemudian wilayah ini diduduki oleh tentara Persia. Byzantium kembali menyerang wilayah ini bebetapa tahun kemudian dan mendudukinya.

Pada tahun 614 H raja Hira berhasil membebaskan diri darI kekuasaan Byzantium. Dalam perang 18 tahun antara Persia dan Byzantium (610-618 M) kerajaan ini berpihak kepada Persia. Karena tentara Persia mengalami kekalahan, maka kembali Hira diduduki oleh Byzantium. Bani Ghazzan menempatkan seorang raja dari kaumnya di wilayah ini. Menjelang Nabi Muhammad wafat, yaitu pada tahun 631 M, beliau mengirim missi dagang dan dakwah ke wilayah ini, namun rombongan missi dari Madinah ini dibunuh oleh raja dari Bani Ghazzan. Ketika Abu Bakar dipilih menjadi khalifah, persoalan ini segera menjadi prioritas dari kebijakan luar negerinya.. Pada tahun 632 M tentara Madinah menyerbu Hira dan berhasil merebutnya. Direbutnya Hira membuat murka kaisar Byzantium. Mereka mengumpulkan pasukan untuk memerangi tentara kaum Muslimin. Peperangan pecah di Yarmuk pada tahun 634 M. Tentara Byzantium berhasil dipukul mundur. Setelah kemenangan di Yarmuk ini tentara Madinah menyerbu Damaskus, ibukota kerajaan Bani Ghazzan dan terus melakukan penaklukan ke atas Palestina. Sayang, ketika tentara Madinah berperang di Syria, khalifah Abu Bakar wafat dan digantikan oleh Umar bin Khattab. Selain itu ada sebab lain. Karena kuatir Islam menjadi kekuatan baru yang menonjol, Byzantium mendukung gerakan pembangkangan dan makar yang dilakukan beberapa suku Arab setelah Nabi wafat.

Kerajaan Ghazan di Syria dan Palesta adalah kerajaan Arab tua yang ditaklukkan oleh Byzantium pada tahun 63 SM. Pada tahun 67 – 75 M orang-orang Yahudi mengorganisir sejumlah pemerontakan terhadap penguasa Rumawi. Ketika itu penguasa Rumawi belum memeluk agama Kristen. Pembrontakan orang Yahudi ini ditumpas oleh jenderal Titus pada tahun 70 M. Yerusalem direbut dan kuil Nabi Sulaiman di dataran tinggi Zion dihancurkan. Ribuan orang Yahudi dibunuh secara kejam, sehingga terjadilah diaspora besar-besaran. Sejak peristiwa itulah wewenang Bani Ghazzam meliputi wilayah Palestina, Syria dan Yordania. Ini juga dipaparkan dalam Perjanjian Baru (Korintus XI:32)

Umar bin Khattab

Pada tahun 634 M Umar bin Khattab dipilih sebagai pengganti Abu Bakar dalam sebuah musyawarah. Pemilihan itu berlangsung ketika Abu Bakar sedang sakit keras. Beberapa peristiwa penting yang terjadi pada masa pemerintahannya selain penaklukan Syria, Yordania dan Palestina ialah penaklukkan Mesir pada tahun 637 M. Pada tahun yang sama seluruh wilayah Iraq juga mengakui pemerintahan Umar bin Khattab di Madinah. Setelah Mesir, giliran Persia ditaklukkan. Pada tahun 637 M juga Madain, ibukota Persia,berhasil direbut oleh tentara Madnah dan pada tahun 641 Mosul direbut pula. Dengan demikian di bawah kepemimpinan Umar bin Khattab, wilayah kekuasaan kaum Muslimin sudah meliputi Jazirah Arab, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Mesir dan Persia.

Karena perluasan wilayah terjadi dalam waktu yang cepat, maka Umar segera mengatur administrasi negara dengan memakai model Persia. Wilayah kekhalifatan di bagi ke dalam delapan propinsi: Mekah, Madinah, Syria, Aljazirah, Basra, Kufa, Palestina dan Mesir. Beberapa departemen dibentuk, sistem pembayaran gaji dan pajak tanah disusun pula. Pengadilan didirikan. Umar bin Khattab memisahkan kekuasaan eksekutif dan judikatif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk.

Yang paling menonjol ialah dibentuknya Baitul Mal, sebagai lembaga ekonomi dan perbendaharaan negara. Mata uang emas (dinar) ditempa dan tahun Hijriah diresmikan.

Umar wafat pada tahun 644 M setelah dibunuh oleh seorang fedayen dari Persia yang menyamar sebagai seorang hamba sahaya. Sebelum wafat beliau menunjuk enam orang sahabat sebagai presidium yang tugasnya memilih seorang di antara mereka menjadi khalifah. Keenam sahabat itu ialah Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair, Saad bin Abi Waqqas dan Abdul Rahman bin Auf. Dalam musyawarah yang berlangsung alot, pada akhirnya Usman bin Affan dipilih menjadi khalifah ke-3 mengalahkan saingan beratnya Ali bin Abi Thalib.

Usman bin Affan

Usman bin Affan menjabat sebagai khalifah selama hampir 12 tahun antara 644 – 655 M. Peristiwa-peristiwa yang menonjol semasa pemerintahan Usman bin Affan di antaranya ialah: Pertama,kitab suci al-Qur`an dikodifikasikan setelah ayat-ayat yang ditulis secara bertebaran dihimpun. Kedua,Armenia, Tunisia, Siprus, Rhodes dan sisa-sisa wilayah kemaharajaan Persia, Transoxiana dan Tabaristan berhasil direbut oleh kaum Muslimin. Perluasan wilayah pada zaman Usman dihentikan sampai di sini. Ketiga, semasa kepemimpinannya banyak orang tidak puas dan kecewa. Sekawanan pembangkang pada akhirnya membunuh Usman pada tahun 35 H atau 655 M.

Sebab-sebab kekecewaan terhadap Usman bin Affan: Pertama, jabatan-jabatan tinggi diberikan kepada sanak keluarga dan kerabat dekatnya. Yang menonjol ialah pengangkatan Marwan ibn Hakam sebagai penasehatnya. Dalam kenyataan yang menjalankan pemerintahan adalah Marwan, sedangkan Usman dipandang hanya bonekanya belaka. Kedua, Usman sangat lemah dalam menghadapi sanak keluarganya yang menyeleweng dan tidak tegas terhadap bawahan. Harta kekayaan negara dibagi-bagi oleh kerabatnnya tanpa pengawasan ketat.

Tetapi Usman sangat berjasa dalam mengkodifikasi al-Qur’an. Selain itu dia juga

Membangun bendungan-bendungan, jalan-jalan raya dan masjid-masjid. Masjid Nabi di Madinah diperluas. Setelah wafatnya, rakyat beramai-ramai membaiat Ali bin Abi Thalib.

Ali bin Abi Thalib

Ali bin Abi Thalib menjabat kkhalifah selama lebih 4 tahun (656-661 M) dan memindahkan pusat pemerintahan ke Kufa di Iraq. Pada masa pemerintahan Ali banyak sekali pergolakan politik terjadi. Benih-benih perpecahan mulai pula nampak dan berakibat munculnya berbagai madzab keagamaaan. Dalam upaya meredam pergolakan-pergolakan politik, Ali melakukan berbagai tindakan: Pertama, tidak lama setelah mnduduki jabatan khalifah, Ali bin Abi Thalib memecat beberapa gubernur yang diangkat oleh Usman karena dianggap ceroboh menjalankan pemerintahan daerah dan menyebabkan timbulnya banyak pergolakan. Kedua, tanah-tanah yang dihadiahkan Usman kepada penduduk yang menyerahkan sebagian dari hasil pendapatannya kepada negara, ditarik kembali. Ketiga, kebijakan Umar bin Khattab, yang dihapus pada masa Usman bin Affan, diberlakukan kembali. Misalnya pelaksanaan sistem distribusi pajak tahunan.

Pemberontakan pertama yang sengit dilakukan oleh Thalhah, Zubair dan Aisyah.

Mereka menuntut bela atas kematian Usman, sebab ketika Usman dibunuh, Ali dan pendukungnya beerada di Madinah. Pemberontakan ini dikenal dengan nama Perang Jamil atau Perang Unta, karena Aisyah mengendarai Unta. Tetapi pemberontakan ini berhasil dipadamkan. Zubair dan Thaljah terbunuh.

Pemberontakan yang paling sengit dan merubah jalannya sejarah Islam ialah perlawan Mu’awiyah, gubernur Damaskus, yang tidak lain adalah keponakan Usman bin Affan. Perang meletus di Shiffin, karena dikenal dengan nama Perang Shiffin.

Perang Shiffin dan Tahkim. Setelah memadamkan pemberontakan Zubair cs, Ali dipaksakan mengerahkan pasukan tentaranya dari Kufa ke Damaskus untuk memadamkan pemberontakan yang dilancarkan gubernur Damaskus, Mua’awiya. Mu’awya adalah keponakan Usman bin Affan yang menobatkan diri sebagai khalifah . Perang bekobar di Shiffin. Pada mulanya pasukan Ali memperoleh kemenangan. Tetapi tiba-tiba Mu’awiya meminta agar diadakan tahkim (arbitrase). Ali menerima ajakan itu, tanpa mendengar nasehat panglimanya bahwa itu hanya dipu muslihat Mu’awiya. Setelah setuju diadakan tahkim, maka beberapa tokoh ditunjuk menjadi hakim. Tugas para hakim ini ialah memilih siapa yang berhak yang menjadi khalifah. Tahkim memutuskan Mu’awiya berhak menjadi khalifah.

Sebagian pengikut Ali tidak puas dan kecewa. Mereka lantas memisahkan diri dari Ali membentuk organisasi sendiri serta melancarkan pemberontakan. Golongan baru ini menyebut dirinya sebagai Khawarij, artinya orang yang memisahkan diri atau keluar dari Partai Ali (syiah `Aliyun). Akibatnya pemerintahan kaum Muslimin terkatung-katung. Sememntara Mua’awiya menjalankan pemerintahan di Damaskus, Ali dan para pendukungnya meneruskan kegiatan politiknya di Kufa. Pada tahun 660 M golongan Khawarij merancang pembunuhan terhadap Ali dan Mua’awiyah. Ali berhasil dibunuh pada tanggal 20 Ramadhan 40 H, namun Mu’awiya selamat karena tidak ada di tempat.

Demikian kita lihat pada masa akhir pemerintahan Ali, umat Islam itu terpecah menjadi tiga golongan:

1. Partai Mu’awiyah atau Umayyah.

2. Partai Ali atau Syiah `Ali, selanjutnya disebut Syiah.

3. Partai Khawarij.

Dengan keluarnya Kkhawarij dari barisan pengikut Ali, maka Partai Ali semakin lemah, sedangkan Partai Umayyah semakin kuat. Kedudukan Ali diganti oleh putranya Hasan. Dia adalah pemuda yang lemah. Tidak lama setelah mengganti ayahnya, dia mengadakan perjanjian damai dengan Muawiya. Dalam perjanjian damai itu disebutkan bahwa demi persatuan umat Islam, kepemimpinan diserahkan kepada Mu’awiya ibn Abi Sufyan. Peristiwa itu terjadi pada tahun 661 M dan dengan demikian bermula pulalah pemerintahan Bani Umayyah di Damaskus.

Sebagai catatan penutup sehubungan dengan perkembangan Islam pada zaman Khalifah al-Rasyidin, dapat dikemukakan di sini pendapat umum para ahli sejarah: Luasna wilayah yang direbut umat Islam tidak lama setelah wafatnya Nabi Muhammad s.a.w. memang cukup menakjubkan. Padahal bangsa Arab tidak memiliki pengalaman politik dan perluasan wilayah ytang memadai. Para sejarawan memperkirakan ada banyak faktor yang melatari keberhasilan bangsa Arab menyebarkan agama Islam dan merebut wilayah yang luas dalam waktu yang relatif cepat sbb:

1. Karena tantangan kaum Quraysh dan kabilah-kabilah Arab pada masa-masa

awal perkembangannya, Islam muncul bukan semata-mata sebagai agama yang mengutamakan amal ibadah, tetapi juga didesak oleh keharusan membentuk masyarakat (millat, jamaah, ummah) yang kokoh. Dengan demikian ia bisa mempertahankan diri dari serangan kelompok-kelompok yang senang menggunakan kekerasan. Dengan demikian pula orang Islam dapat menegakkan keberadaannya secara mandiri tanpa tergantung pada pertolongan kekuatan politik golongan lain. Berkali-kali dakwah Islam dilakukan secara halus, tetapi ternyata keadaan memaksa orang Islam mengangkat senjata untuk mempertahankan diri.

2. Nabi Muhammad s.a.w. berhasil menempa semangat para sahabat, tabiin dan

pengikutnya bahwa kewajiban menyebar agama adalah penting dan mesti dilaksanakan dalam keadaan apa pun. Tetapi dakwah tidak boleh dilakukan dengan pemaksaan. Semangat berdakwah dan pengalaman dalam peperangan itulah ang membentuk kesatuan yang padu dalam diri umat Islam.

3. Persia dan Byzantium, dua kemaharajaan besar, mengalami kemunduran disebabkan keduanya terlibat dalam perang merebut hegemoni tanpa kesudahan sejak beberapa abad. Pada akhirnya ketika Islam muncul keduanya terperangkap dalam persoalan dalam negeri masing-masing. Byzantium pada awal abad ke-7 M dilanda berbagai kerusuhan, perpecahan sekte keagamaan dan meluasnya wabah penyakit kolera yang membinasakan sepertiga penduduknya. Terlalu besarnya biaya peperangan yang harus dikeluarkan membuat kekayaan negara menipis dan sebagai kompensasinya pemerintahan Byzantium memungut pajak yang tinggi dan menyengsarakan rakyatnya. Persia mengalami krisis kepemimpinan dan dihadapkan pada masalah internal yang parah.

4. Orang-orang Semit di Syria, Palestina dan Iraq, serta orang-orang Hamit di Mesir memandang orang Arab lebih dekat kepada mereka dibanding orang-orang Byzantium yang berbangsa Rumawi dan Yunani. Sejak lama mereka ingin membebaskan diri dari penjajahan bangsa Rumawi.

5. Mesir, Syria, Iraq dan Persia adalah negeri-negeri yang kaya pada masa itu. Kekayaan yang didapat dari negeri-negeri ini membantu penguasa Islam dapat membiayai penyebaran agama ke wilayah yang jauh. Pada masa pemerintahan Umayyah wilayah kekuasaan Islam membentang sampai Spanyol di ujung barat, sebagian India di ujung timur dan perbatasan negeri China (gunung Tian San) di ujung utara. Dengan demikian seluruh Asia Tengah telah ditaklukkan hingga batas negeri Rusia sekarang.

Perluasan wilayah terhenti pada zaman Abbasiyah (750-1258 M). Tetapi penyebaran agama Islam terus berjalan melalui kegiatan tabligh, dibantu mobilitas para pedagang Muslim yang berniaga hingga ke luar batas negeri Islam khususnya ke Afrika, India dan Asia Tenggara. Perluasan wilayah melalui peperangan baru bermula lagi pada abad ke-12 M yang dilakukan oleh Bani Ghaznawi, keturunan orang-orang Turk dari Afghanistan yang memerintah di Persia Timur dan India (Delhi) dan pada abad ke-14 di bawah pimpinan Bani Usmaniyah, keturunan orang-orang Turk yang bernanii, yang memerintah di Turki.

(BERSAMBUNG)

Peta perluasan Islam pada zaman Khalifah al-Rasyidin.

LINTASAN SEJARAH ISLAM (8)

PENYAIR, ILMU DAN KUTTAB

Abdul Hadi W. M.

Tidak dapat dipungkiri bahwa khazanah puisi Arab begitu luar biasa melimpahnya dan setiap babakan dari sejarah mereka selalu melahirkan penyair-penyair unggulan. Sayangnya mereka tidak mengembangkan budaya tulis dengan baik, sehingga karya-karya lama mereka banyak yang hilang dari ingatan sejarah. Namun untungnya puisi-puisi itu dihafal oleh banyak orang dari ke generasi, hingga datang masanya untuk dihimpun kembali. Himpunan puisi-puisi lama Arab telah mulai diusahakan pada zaman awal pemerintahan Daulah Abbasiyah (750-1256 M) di Baghdad. Di antara himpunan atau antologi karya-karya Arab lama yang penting ialah:

1. Muallaqat. Himpunan ini diselenggarakan oleh Hammid al-Rawiya, seorang ahli tatabahasa keturunan Persia yang lahir pada zaman akhir pemerintahan Daulah Umayyah (664-749 M) dan wafat pada pertengahan abad ke-9 M. Di dalamnya terdapat syair-syair karya penyair Arab terkemuka seperti Amr al-Qays, Tarafa, Zuhayr, Labid, `Antara, `Amr bin Kulthum dan Harits bin Hilliza. Juga terdapat dua qasida karangan Nabigha dan A`sha.

2. Mufaddaliyat. Antologi ini dikumpulkan oleh Mufaddal al-Dabbi (w.

786 M) atas tajaan Khalifah al-Mahdi. Dalam buku ini dimuat 128 qasida.

3. Hamadsa. Diselenggarakan oleh Abu Tammam Habib bin Aws (w. 850), seorang penyair terkemuka yang hidup pada zaman pemerintahan khalifah al-Ma`mun dan Mu`tasim. Buku ini disusun ke dalam 10 bab berdarkan jenis puisi yang berhasil dihimpun. Jenis-jenis puisi yang terdapat di dalamnuya meliputi hamasa, maratsi (elegi), adab, nasib, hija`, al-adyaf wa al-madih (puisi menyambut tamu dan pujian), sifat (puisi gambaran), alsayr wa al-nu`as (Perjalanan) , al-mulah danmudhammali al-nisa’.

4. Hamasa. Yang diselenggarakan oleh penyair Buhtri (w. 897 M).

5. Jamharat Asha`ari al-`Arab, himpunan 49 qasida, diselenggarakan oleh Abu Zayd Muhammad al-Qurashi sekitar tahun 1000 M.

Selain terdapat dalam kitab-kitab seperti telah disebutkan, syair-syair Arab lama itu bisa dijumpai dalam Kitab al-Aghani karangan Abu al-Faraj al-Isfahani (w. 967 M), Kitab al-Amali karangan Abu `Ali al-Qali (w. 967 M), dan Khizanat al-Adab karangan Abd al-Qadir al-Baghdadi (w. 1682 M) (Nicholson 1962:129-31).

Penyair-penyair Terkemuka

Dari sekian banyak penyair Arab lama yang karya-karyanya dihimpun dalam kitab-kitab yang telah disebutkan, terdapat sepuluh orang yang dianggap penyair penting dan besar. Mereka ialah Amr al-Qays, Tarafa, Zuhayr bin Abu Sulma, A`sya bin Qais, Labid bin Rabi`a dan Antara bin Syadad al-Abshi. Contoh berikut adalah sajak al-Asyah yang gagal menemui Nabi:

Aku tak bisa tidur malam hari bukan disebabkan sakit atau sedang jatuh

cinta

Malam itu banyak orang melihat api menyala di atas bukit itu

Itulah api yang dinyalakan untuk memanasi dua tubuh orang yang

Kedinginan

Di situlah Muhalliq dan kedermawanannya menginap

Di malam yang begitu gelap keduanya mufakat untuk tidak berpisah

Kaulihat di wajahnya betapa kedermawanan bagaikan padang yang

berkilauan

Kedua tangannya selalu benar, yang satu untuk membinasakan

Dan yang lain untuk berderma jika orang lain enggan berderma

(Yunus Ali al-Muhdar 1983:40)

Demikian uraian ringkas perkembangan puisi Arab sebelum datangnya agama Islam. Setelah datangnya agama Islam memang timbul perubahan dalam watak puisi Arab. Namun pada awalnya perubahan itu hanya menyankut bentuk persajakan, sedangkan isi dan semangat masih berakar pada yang lama sebelum datangnya Islaam. Baru pada zaman Abbasiyah (750-1258 M) sastra Arab berkembang pesat dan mengalami perubahan besar. Satu hal yang mesti diingat ialah gaya bahasa, puitika, dan corak pengucapan yang ada dalam al-Qur’an ternyata tidak kecil pengaruhnya bagi perkembangan sastra kaum Muslimin. Bukan saja bagi sastra rab, tetapi sastra Persia, Turki Usmani, Melayu, Urdu di Pakistan, dan lain sebagainya.

Pendidikan Ilmu Pengetahuan

Sebelum datangnya agama Islam bangsa Arab pada umumnya memperoleh pendidikan melalui tradisi lisan, khususnya yang disampaikan dalam bentuk syair, peribahasa, petatah-petitih dan khotbah. Ini terutama disebabkan karena pola kehidupan mereka yang berpindah-pindah. Bahkan walaupun telah terdapat komunitas-komunitas Arab yang hidup menetap di kota-kota seperti Aden, Shan’a, Najraan, Thaif, Mekkah, Yatsrib (Madinah sekarang), dan Khaybar; namun pada umumnya mereka memperoleh pendidikan melalui tradisi lisan.

Sekalipun demikian, seperti telah dikemukakan, tidak berarti sebelum datangnya Islam orang Arab tidak mengenal sama sekali tradisi baca tulis. Ini terbukti dengan adanya rekaman tertulis dari puisi para penyair terkemuka sebelum Islam, yang biasanya digantung di dinding Ka’bah dan disebutmuallaqat. Mualllaqat terkenal ialah karya Imrul Qays, yang sampai sekarang diingat adalah masyarakat sastra Arab.

Tradisi baca-tulis yang dimiliki bangsa Arab sebelum Islam diperoleh melalui lembaga-lembaga pendidikan Yahudi dan Kristen yang disebut kuttab, dari perkataan kataba, artinya menulis. Selama lebih dua abad sebelum datangnya agama Islam, orang-orang Kristen dan Yahudi telah aktif menyebarkan agama mereka di kalangan bangsa Arab. Mereka mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang mengajarkan baca tulis kepada sekelompok orang Arab yang berada. Yang diajarkan di sekolah-sekolah Kristen dan Yahudi itu ialah kitab suci mereka masing-masing (Taurat dan Injil), filsafat, ilmu debat dan pokok bahasan lain berkenaan ajaran agama.

Sebutan kuttab diberikan oleh orang-orang Arab sendiri, sebagaimana dikatakan oleh Jawad `Ali dalam bukunya al-Mufashshal fi tarikh al-`Arab qabl al-Islam (Baghdad: Dar al-Nadhdhlah, 1978; VIII, 295). Kuttab didirikan berdampingan dengan rumah ibadah Kristen dan Yahudi, yaitu gereja dan sinagog. Dari lembaga inilah secara bertahap sastra dan ilmu pengetahuan berkembang di tanah Arab, apalagi setelah datangnya agama Islam, ketika tuntutan membaca dan menulis semakin meningkat, khususnya berkaitan dengan penulisan kitab suci al-Qur`an dan pemahamannya.

Di samping itu, sebelum agama Islam datang, telah tumbuh dan berkembang beberapa pusat kegiatan intelektual berdekatan dengan negeri Arab. Pengaruh pusat-pusat kegiatan intelektual ini sangat besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan falsafah Islam disebabkan di antara wilayah-wilayah tersebut kemudian direbut oleh orang Islam. Di antaranya lagi karea ditutupnya pusat-pusat kegiatan tersebut oleh kaisar Rumawi Timur yang mengusai wilayah-wilayah tersebut. Para ilmuwan tersebut lantas pindah dan mengembangkan kegiatan intelektual di wilayah-wilayah yang kemudian direbut oleh orang Islam.

Penggandengan lembaga pendidikan dengan rumah ibadah yang telah berkembang sebelum Islam itu dilanjutkan pada saat agama Islam berkembang. Bahkan pada zaman Islam mencapai kemajuan yang jauh melebihi sebelumnya. Begitu pula hasil yang dicapai kuttab jauh lebih berlipat ganda, terlihat dari meningkatnya jumlah lembaga ini sejak Nabi hijrah ke Madinah, begitu pula jumlah murid yang belajar hingga ke jenjang yang tinggi.

Ketika agama Islam baru lahir, menurut Ahmad Syalabi dalam bukunya History of MuslimEducation (Beyrut: Dar al-Kasysyaf, 1954: 16-17) tercatat hanya 17 orang Arab Quraisy yang mengenal baca-tulis. Namun karena orang Quraisy memusuhi Islam, tidak mungkin orang Islam belajar baca-tulis dari mereka. Baru setelah Nabi dan pengikutnya hijrah ke Madinah (622 M) orang Islam memperoleh kesempatan belajar baca-tulis. Nabi sangat memperhatikan masalah pendidikan. Beberapa pengikutnya yang mengenal baca-tulis diperintahkan mengajar kepada kaum muslimin yang lain. Sahabat pertama yang diperintahkan membuka kuttab ialah al-Hakam bin Sa’id. Pada mulanya pengajarnya bukan orang Islam, tetapi lama kelamaan setelah banyak orang Islam pandai membaca dan menulis, tugas pengajaran kemudian ditangani sepenuhnya oleh orang-orang Islam.

Sebagai lembaga pendidikan, kuttab cepat berkembang. Begitu pula materi pengajarannya semakin bertambah banyak. Mula-mula hanya mengajarkan baca-tulis dengan materi syair-syair dan pepatah Arab. Tetapi setelah ayat-ayat al-Qur`an dikodifikasi pada masa Usman bin Affan, materi pelajaran juga berkembang, mencakup pengajaran kitab suci al-Qur`an. Dalam perkembangannya kemudian tumbuh dua jenis kuttab (Lihat: Philips K. Hitti, History of the Arabs from the Earliest Time to the Present. London: Macmillan, 1937; II, 50).

Jenis kuttab pertama ialah lembaga pendidikan yang hanya mengajarkan tulis baca dengan materi teks puisi Arab. Jenis kuttab kedua ialah yang mengajarkan kitab suci al-Qur`an dan dasar-dasar agama Islam. Pendidikan dan ilmu pengetahuan mulai menunjukkan perkembangan pesat pada zaman kekhalifatan Umayyah (664-749 M) yang pusat pemerintahannya berada di Damskus, Syria sekarang,. Dan mencapai kemajuan lebih pesat lagi pada zaman kekhalifatan Abbasiyah (750-1256 M) yang pusat pemerintahannya berada di Baghdad, Iraq sekarang.

Menggarap tanah. Relief Sumeria tahun 1700 SM

LINTASAN SEJARAH ISLAM (7)

SASTRA ARAB SEBELUM ISLAM

Abdul Hadi W. M.

Sekalipun sampai datangnya agama Islam kebudayaan mereka mengalami kemunduran, tidak berarti bangsa ini benar-benar kehilangan akar budaya mereka yang utama Khususnya dalam membentuk dan mengembangkan jati dirinya. Bahasa dan kesusastraan yang merupakan fundamen utama dari kebudayaan dan bahkan peradaban, malah tumbuh dan berkembang subur dalam kehidupan mereka. Berkembangnya kesusastraan, khususnya puisi, disebabkan oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain ialah kecintaan bangsa Arab terhadap bahasa mereka yang indah. Kita tahu bahasa merupakan sarana komunikasi paling penting dalam pergaulan umat manusia, tetapi bangsa Arab lebih lagi melihat bahasa mereka terutama sebagai sarana utama dalam membentuk jati diri. Bagi bangsa Arab yang tidak memiliki sarana lain untuk mengekrpesikan diri, kecuali melalui bahasa, maka seni bertutur dan bersyair merupakan pilihan utama untuk membangun kebudayaan dan peradaban.

Melalui syair yang indah dan memikat mereka menggambarkan dan menceritakan kehidupan mereka, serta menuturkan pengetahuan kepada anak cucu. Melalui sastra pula mereka dapat merekam peristiwa-peristiwa sejarah yang pernah dialami, sehingga puisi tumbuh subur. Penyair menduduki tempat yang istimewa dalam dalam sosial bangsa gurun ini.

Seorang ahli sejarah Arab terkemuka Ibn Rasyiq menuturkan dalam kitabnya `Umdah, sebagai berikut: “Biasanya setiap kabilah Arab yang mendapatkan seorang pemuda yang mampu menciptakan syair yang bagus, maka anggota kabilahnya akan berdatangan untuk memberi ucapan selamat dan mereka menyediakan pula berbagai jenis makanan (untuk merayakannya). Kaum wanita pun ikut berdatangan dengan bermain bunga seperti halnya pada pesta perkawinan. Anak-anak kecil juga ikut datang bersama orang tua mereka untuk ikut bergembira menyambut munculnya seorang penyair. Mereka berbuat demikian karena beranggapan bahwa seorang penyair adalah pembela kabilah dari serangan dan ejekan penyair dari kabilah lain dan penyair itu pasti akan menjaga nama harum kabilah itu sendiri.” ( Yunus Ali al-Muhdar 1983:38). Sambutan hangat yang diberikan kepada munculnya seorang penyair itu menunjukkan betapa puisi memainkan peranan penting dalam kehidupan masyarakat Arab. Sambutan hangat serupa diberikan kepada bayi yang baru lahir dan kuda kesayangan yang tangkas.

Orang Arab menyebut penulis puisi sebagai sha`ir (kata jamaknya shu`ara) yang mengandung arti bahwa orang yang menyandang sebutan tersebut memiliki pengetahuan supra alami, seperti halnya kahin atau tukang sihir yang sanggup berhubungan dengan jin dan kekuatan supra alami yang lain. Kabilah-kabilah Arab itu sangat tergantung kepada mereka dalam memperoleh kekuatan magis. Seorang penyair memiliki kekuatan supra alami yang sangat diperlukan oleh masyarakat luas. Tidak mengherankan jika syair-syair Arab awal, sebagaimana dikecam dalam Surat al-Shu`ara (al-Qur’an), adalah syair-syair yang berkaitan dengan ilmu nujum. Sedangkan penyair, dianggap sebagai tokoh yang dapat memberikan petunjuk kepada masyarakatnya mengenai berbagai hal, termasuk siasat dan strateg perang yang sedang terjadi.

Dari latar belakang inilah lahir syair-syair tentang wadi (sumber air di padang pasir), syair peperangan dan pemujaan terhadap berhala. Apalagi setiap kabilah memiliki berhala pujaan tersendiri yang diletakkan di dinding Ka’bah. Setelah itu muncul puisi cinta (ghazal). Namun kekuatan puisi dalam masyarakat yang dilingkari persaingan antar kabilah terletak pada kemampuannya mengejek dan mengecam kabilah lain. Dari berkembanglah dengan suburnya hija`, puisi yang mengandung, cemooh, sindiran, ejekan dan olok-olok yang ditujukan kabilah lain yang merupakan saingan dan musuh.

Namun betapa pun juga perkembangan puisi Arab sebelum Islam tidak begitu jelas jejaknya. Sumber-sumber tertulis sangat sedikit dan kebanyakan syair-syair itu disampaikan turun temurun secara lisan. Puisi yang ditulis hanya syair-syair yang memenangkan sayembara di Pasar `Ukaz, tidak jauh dari Ka`bah, yang diadakan setahun sekali pada musim ziarah. Puisi yang ditulis itu digantung di dinding Ka`bah agar dibaca khalayak luas dan disebut mu`allaqat.

Walaupun jejak sejarah puisi Arab sebelum Islam samar-samar, namun ahli sejarah sepakat berpendapatbahwa puncak perkembangan puisi terjadi pada abad ke-6 M, seabad sebelum datangnya Islam. Ketika berlangsung Perang Basus yang dahsyat dan menyebabkan terbakarnya banyak kampung. Semua benda pusaka mereka lenyap ditelan api, termasuk naskah-naskah yang merekam puisi-puisi sebelum abad ke-6 M. Untungnya sebagian dari puisi-puisi itu masih dihafal banyak orang dan terus dipertuturkan secara lisan. Sejak itulah tradisi mu`allaqat berkembang.

Babakan penting dalam sejarah sastra Arab juga bermula pada masa ini. Untuk pertama kalinya jenis puisi yang disebut qasida muncul. Qasida adalah ragam syair puji-pujian yang digemari penulis Arab hingga sekarang. Penyair Arab pertama yang dipandang sebagai penulis qasida ialah Muhalhil bin Rabi`a dari kabilah Taghlibi. Dia menulis qasida sebagai upaya mengenang kematian saudaranya Kulayb, seorang tokoh suku Taghlib yang merupakan orang pertama yang menyulut pecahnya peperangan dahsyat antara kabilah Bakr dan Taghlib. Karya Muhalhil menarik perhatian penyair Arab yang lain hingga berusaha menirunya.

Pada umumnya qasida merupakan untaian sajak (bayt) yang jumlah barisnya beraneka ragam, tetapi tidak kurang dari 25 baris dan tidak lebih dari 100 baris. Rima pada baris pertama biasanya diulang pada baris-baris berikutnya. Rima-rima tersebut biasanya berperan sebagai hiasan untuk memperindah penuturan dan jarang sekali berkaitan langsung dengan isi syair. Jenis-jenis rima lazim diberi nama perempuan seperti shakina, tulina, mukina, mukhlidi, uwwadi, ryamuh’, silamuha, haramuha, dan lain-lain. Syair yang panjang disebut mu`allaqat dan digantung di dinding Ka`bah.

Pada awal perkembangannya syair Arab merupakan penuturan menggunakan bahasa berirama yang tidak menggunakan saj’ (sajak) atau pola bunyi akhir, mirip prosa berirama (taromba) dalam sastra Melayu atau matsnawi dalam sastra Persia. Tetapi kemudian sajak digunakan untuk memperindah penuturan. Sebagai gantinya digunakan rajaz, yaitu aturan irama dalam penuturan yang biasanya terdiri dari empat atau enam suku kata pada setiap baris, tetapi orang Arab menyebutnya dua atau tiga suku kata saja. Nama rajaz ialah: kamil (sempurna), wafir (luas, banyak), tawil(panjang), basit (luas), khafif (terang) dan seterusnya. Nama-nama ini dibicarakan secara panjang lebar oleh ahli tatabahasa Arab terkenal Khalil bin Ahmad (w. 791 M) dan juga oleh Ibn Qutayba dalamKitab al-Shi`r wa al-Shu`ara (hal. 36).

Adapun jenis-jenis puisi Arab yang berkembang pada abad ke-6 itu antara lain ialah: Ghazalyang juga disebut tasybib, hamasah atau fakhir, madah, rawtsa’, hija`, i`tizar dan wasfun. Ghazal ialah puisi-puisi cinta yang isinya antara lain membicarakan kecantikan seorang wanita, cinta dan berahi penyair kepada wanita bersangkutan. Tempat tinnggal kekasih dan hal-hal yang bersangkutan dengan cinta dibicarakan juga dalam ghazal. Fakhir atau hamasah dapat disebut sebagai puisi banggaan, sebab isinya mengenai kebanggaan penyair terhadap kelebihan, keunggulan dan keistimewaan yang ada pada ssuatu kaum, suku atau kabilah dari mana penyair berasal.

Madah merupakan puisi puji-pujian terhadap seseorang berkenaan sifat, kebesaran, kedermawanan dan keberanian yang dimilikinya. Atau pada keluhuran budi pekerti dan ketinggilan ilmu yang ada padanya. Rawtsa’ merupakan puisi yang ditulis untuk mengenang jasa seseorang yang telah meninggal dunia. Hija` adalah puisi yang mengandung cemooh, kecaman, sindiran dan ejekan, dengan mendedahkan keburukan-keburukan seseorang yang dikecam atau disindir. I`tizar adalah puisi yang mengandung permintaan maaf atas kesalahan yanhg dibuat dengan mengemukakan erbagai alasan. Wasfun merupakan jenis puisi yang digunakan untuk mengggambarkan suatu peristiwa atau kejadian yang menarik, seperti jalannya peperangan, keindahan alam yang dilihat dan lain sebagainya.

Pentingnya kedudukan penyair seperti dikemukakan Ibn Rasyiq dapat

dilihat pada kisah Al-`Asyah, seorang penyair yang hidup pada zaman Nabi Muhammad s.a.w., sebagaimana dijumpai dalam arikh al-Adab Lughah I (h.99). Ketika penyair ini mendengar tentang ketinggian akhlaq dan kedermawanan Nabi Muhmmad, maka dia datang ke kota Mekkah untuk menemui Nabi. Tetapi rencana kedatangannya itu dketahui oleh Abu Sufyan, seorang tokoh Mekkah yang menentang Nabi. Kuatir pertemuannya dengan Nabi dapat mempengaruhi penduduk Jazirah Arab, Abu Sufyan mendatangi para pemuka suku Quraysh. Mereka lantas menumpulkan seratus ekor unta untuk dihadiahkan kepada al-`Asyah dan dengan demikian dia mau pulang ke kampung halamannya tanpa perlu menemui Nabi Muhammad s.a.w.

Rancangan ternyata berhasil. Muhallik, seorang anggota suku Kilab, mempunyai tiga anak gadis yang belum dilamar orang. Atas anjuran istrinya, dia mengundang al-Asyah bermalam di rumahnya. Undangan itu diterima dan al-`Asyah dijamu dengan menyembelih seekor unta. Penyair itu sangat terkesan oleh sambutan keluarga Muhallik. Lebih terkesan lagi karena ia tahu bahwa keluarga itu bukan keluarga kaya. Keesokannya al-Asyah langsung menuju ke Pasar Ukaz, tempat orang Arab berkumpul pada musim ziarah dan di situ para penyair berlomba membacakan sajak-sajak gubahannya yang terbaru. Al-Asyah segera menggubah puisi dan membacakannya kepada khalayak, memuji kedermawanan Muhallik dan keluarganya. Tidak lama kemudian tiga putri Muhallik dilamar orang dan namanya dikenal penduduk Arab. Sedangkan al-Asyah menerima hadiah 100 ekor unta dan pulang ke kampung halamannya tanpa lagi berpikir ingin berjumpa dengan Nabi Muhammad. Begitulah ia tidak sempat memeluk agama Islam seperti beberapa penyair Jahiliyah lain yang sezaman dengannya.

Puisi al-Asyah menunjukkan ciri puisi Arab pada masa itu, khususnya jenis madah yang sangat populer hingga kini. Bukti tentang pentignya kedudukan puisi dalam masyarakat Arab juga terlihat dalam rekaman Perang Basus yang bermula pada akhir abad ke-5 M, sebagaimana diabadikan dalamAyyam al-`Arab (Hari-hari Peperangan Bangsa Arab). Di situ tampak bagaimana puisi dijadikan sebagai sarana saling mengumpat antara pihak yang bertikai, di samping sebagai sarana untuk mengobarkan semangat perjuangan. Rekaman lain ialah syair yang menurut Ibn `Ishaq dalam kitabnya Sira Muhmmad, dituturkan oleh Abu al-Salt bin Abdl Rabi`a dari kabilah Thaqif kepada anaknya Umayya, ketika pasukan Abrahah gagal menghancurkan Ka`bah pada tahun 570 M. Abu Salt adalah penyair terkenal dan seorang hanif, yang syairnya dihafal oleh banyak orang Arab. Syairnya berikut ini, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Nicholson (1962), menunjukkan di kalangan bangsa Arab yang memuja berhala itu terdapat orang yang berpegang pada faham Tauhid:

Lo, the signs of our Lord are everlasting

None disputes them exept the unbeliever

He created Day dan Night: unto all men

Is theoir Reckoning ordained, clear and certain

Gracious Lord! He illumines the daytime

With a sun widely scattering radiance.

He the Elephant stayed at Mughammas

Selain mencerminkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Syair tersebut mencerminkan semangat kepahlawanan orang-orang Arab Hejaz pada saat tentara Abrahah menyerbu Mekkah.

Camel Caravan in the Sahara Desert Camel caravan going along the lake the Sahara Desert, Morocco.

copyrigt; Juned Topan.. Diberdayakan oleh Blogger.