Rabu, 18 Mei 2011

Impuls

Senin, 04 April 2011

”…kemerdekaan adalah hak semua bangsa.”


Di tengah gentingnya pemberontakan di Libya kini, di celah-celah perlawanan di Mesir, Tunisia, Yaman, dan Suriah, mungkin tak ada seorang pun yang mengetahui bahwa ada kalimat seperti itu. Para perumus Konstitusi Indonesia di tahun 1945 memang mencantumkannya dalam Mukadimah dalam suasana dan kondisi yang sangat berbeda: ”kemerdekaan” dalam pengertian mereka lebih berarti ”kemerdekaan” sebuah negeri, atau ”bangsa”, dari penjajahan negeri lain. Kita ingat tahun 1945 adalah tahun awal dekolonisasi di Asia dan Afrika, ketika koloni-koloni melepaskan diri, atau dibebaskan, dari kekuasaan Eropa yang menindasnya.

Tapi agaknya ada yang mempertalikan mereka yang di Indonesia 66 tahun yang lalu dengan mereka yang ingin melepaskan diri dari kungkungan Qadhafi dan para diktator lain hari-hari ini. Sama halnya ada impuls yang sama yang menggerakkan perlawanan di Palestina terhadap pendudukan Israel.

Memang ada yang bisa dikatakan ”universal” dalam dorongan itu. Di depan mahkamah kolonial yang kemudian menghukumnya, di Bandung, tahun 1930, Bung Karno telah menunjukkannya dengan fasih dan menggugah:

…. Diberi hak-hak atau tidak diberi hak-hak; diberi pegangan atau tidak diberi pegangan; diberi penguat atau tidak diberi penguat—tiap-tiap makhluk, tiap-tiap ummat, tiap-tiap bangsa tidak boleh tidak, pasti akhirnja berbangkit, pasti akhirnja bangun, pasti akhirnja menggerakkan tenaganja, kalau ia sudah terlalu sekali merasakan tjelakanja diri teraniaja oleh suatu daya angkara murka!

Yang umumnya terlupakan dari pidato pembelaan itu adalah tesis dasar Bung Karno: dorongan universal ke arah pembangkangan untuk emansipasi itu sesungguhnya sesuatu yang imanen. Ia lahir dari pengalaman manusia dalam sejarah, dengan jiwa dan raganya, dan bukan sebuah ide dengan ”I” kapital. Ia tak lahir dari luar ruang dan waktu. Saya di atas menyebut kata ”impuls”. Bung Karno bahkan menunjuk gerak perlawanan itu pada cacing sekalipun. Dan itu berarti, ”hak” yang disadari sebagai ”hak”, atau, dalam kata-kata Hannah Arendt, ”hak untuk memperoleh hak”, bukanlah awal. Pada awalnya: jasad yang sakit, hidup fisik dan psikis yang nyata tapi terluka.

Hidup yang seperti itu, pengalaman dengan jiwa dan raga itu, lazimnya akan terbatas, dibatasi ruang dan waktu tertentu. Ia tak akan membuahkan sesuatu yang universal. Tapi yang menakjubkan (atau mungkin tak menakjubkan?) ialah bahwa impuls ke arah kemerdekaan itu dapat menampilkan diri sebagai dorongan mencapai apa yang benar-benar ”baik”—artinya ”baik” bagi siapa saja, di mana saja.

Saya kira revolusi dan perjuangan emansipasi punya dinamika itu: dengan keyakinan bahwa apa yang diperjuangkannya akan jadi sesuatu yang kekal dan diakui semua orang, seorang pejuang menemukan militansinya. Ia merasa mampu dan harus mengatasi kepentingan dirinya sendiri, latar belakang sosial dan budayanya, ikatan-ikatan primordialnya yang lain, termasuk pertalian famili. Tokoh Samaan dalam Keluarga Gerilya Pramoedya Ananta Toer bersedia meniadakan ayahnya sendiri yang berpihak kepada musuh kemerdekaan.

Ada yang mengerikan di dalam militansi itu. Tapi antara kekerasan yang satu dan kekerasan yang lain bisa ada perkara besar yang membedakan. Ada kekerasan terhadap orang lain yang sepenuhnya menegasikan ”yang-lain”—seperti yang dilakukan kaum Nazi dan kaum Taliban. Tapi Robespierre tak seperti itu. Tokoh Revolusi Prancis yang membinasakan banyak musuhnya dan akhirnya ia sendiri dipenggal ini mengucapkan satu pidato yang menyentuh menjelang kejatuhannya. Ia yakin bahwa dalam revolusi yang penuh darah itu ada ”jiwa yang perasa dan murni”.

”Ada gelora hati yang lembut, perkasa, dan tak dapat ditolak, ada siksaan dan keasyikan dari jiwa yang besar: rasa ngeri terhadap tirani, semangat berapi-api yang berbelas hati kepada yang tertindas, cinta yang suci kepada tanah air, dan kasih yang luhur kepada umat manusia….”

Tanpa itu semua, kata Robespierre, ”Sebuah revolusi besar akan hanya sebuah perbuatan kriminal yang gaduh yang menghancurkan perbuatan kriminal lain.”

Robespierre kini mungkin dilupakan sebagai inspirasi. Tapi ia telah memberi makna kepada sebuah impuls yang lahir dari ruang yang terbatas dan tubuh yang tak kekal. Dengan kata lain, manusia melahirkan sesuatu yang transendental dari kemungkinan-kemungkinannya yang muncul sewaktu-waktu.

Maka perjuangan untuk emansipasi di Libya atau Suriah atau Palestina bisa saja kalah, atau terpukul mundur. Tapi, dalam laku para pejuang itu, manusia telah mengangkat manusia lain—juga musuh-musuhnya—ke derajat yang lebih dari sekadar tubuh yang kesakitan dan kemarahan yang sepihak. Aku harus merdeka, dan pada saat yang sama aku yakin manusia lain harus merdeka.

Goenawan Mohamad

0 komentar:

Posting Komentar

copyrigt; Juned Topan.. Diberdayakan oleh Blogger.