Jumat, 01 Juni 2012

Pilihan Editor dan Musik Matinya Kritik


Pilihan Editor dan Musik Matinya Kritik Written by Adi Renaldi  |  Read 899 times

Rate this item
(5 votes)
  •  
Pilihan Editor dan Matinya Kritik MusikCredit Ilustration: 9gag
Jika Nietzsche masih hidup sampai detik ini, kira-kira apa yang akan dia tulis tentang musik dewasa ini?
Nietzsche, bagi saya, adalah orang pertama dalam sejarah yang menulis kritik paling tajam terhadap musik, moral, dan filsafat. Secara teknis ia memang bukan orang pertama yang memakai musik untuk berfilsafat. Sebelumnya ada Arthur Schopenhauer yang juga menjadi “dewa” bagi Nietzsche. Tapi yang dilakukan Nietzsche adalah meradikalkan pemikiran-pemikiran Schopenhauer dalam hal filsafat dan musik. Dan itulah yang membuat karya-karyanya sangat menarik, mendalam, dan cemerlang.
Karya awal Nietzsche, Die Geburt de Tragödie aus dem Geiste der Musik (The Birth of Tragedy out of the Spirit of Music), Der Fall Wagner. Ein Musiken-ten-Problem dan Ecce Homo, berisi risalah tentang seni tinggi Yunani, musik dan kaitannya dengan nilai-nilai moral. Dia memang bertolak dari seni untuk menyelidiki pandangan-pandangan terhadap nilai-nilai moral yang menggelayut di tubuh tua pemikiran Eropa. Tak hanya itu, karya-karya Nietzsche sebenarnya juga berisi kritik paling cerdas dalam sejarah musik menyangkut komponis/musikus Richard Wagner, yang menjadi sahabat sekaligus role model bagi Nietzsche saat beranjak dewasa.
Nietzsche percaya bahwa dalam hidup dan seni harus ada semangat Apollonian danDionysian. Apollonian adalah simbol seni agung yang harmonis dan indah. SedangkanDionysian melambangkan nafsu dan semangat memberontak dari norma dan bentuk. Maka menurut Nietzsche, kebudayaan tinggi haruslah berasal dari perpaduan dua semangat itu.
Dalam buku The Birth of Tragedy out of the Spirit of Music, ia mengutip beberapa paragraf penuh dari buku The World as Will and Representation karya “dewa”nya, Schopenhauer. Ia sependapat bahwa musik adalah bahasa universal dalam tataran paling tinggi. “Music differs from all the other arts,” kutipnya, “by the fact that it is not a copy of the phenomenon, or, more exactly, of the will's adequate objectivity, but is directly a copy of the will itself, and therefore expresses the metaphysical to everything physical in the world, the thing-in-itself to every phenomenon.”
Nietzsche setuju, bahwa musik adalah representasi kehendak (will) manusia – satu topik yang kemudian menjadi fokus Nietzsche dalam berfilsafat dan menjadi batu fondasi dalam filsafatnya: the will to power – dan sekaligus adalah bahasa kehendak (language of the will). Karena itulah musik dapat menjelaskan konsep metafisik atas semua benda, tentang ada-dalam-dirinya (das Ding an sich) benda-benda. Meski yang terakhir ini nantinya akan dia tolak mentah-mentah.
Dengan itu pula ia mengkritik Wagner secara total karena ia anggap “dekaden”. Wagner, bagi Nietzsche tak lagi bersikap afirmatif terhadap hidup dan tak mencerminkan semangat Apollonian dan Dionysian. Ia tak lagi memiliki kehendak dan hanya menuruti zaman. Ia menjadi konformis dan baginya Wagner tak lebih dari sekadar “Imam agung dekadensi”. Tak luput juga ia mengkritik para pengamat Wagner yang dinilai kurang kritis dan mengorbankan kontradiksi.
Berkabung Atas Matinya Kritik Musik
Saya belum juga menemukan kritik atas seni berbobot macam itu di majalah-majalah, koran-koran, atau portal-portal (mungkin saya tak mengalokasikan cukup waktu untuk berselancar di internet). Lester Bangs mungkin saja menjadi legenda yang muncul mewakili musik abad 20, dengan kritiknya terhadap rock n roll yang membuatnya dilirik berbagai media papan atas saat itu. Tapi di tahun 1973, ia dipecat Jann Wenner gara-gara resensi negatif Canned Heat. Kini ia sudah tiada, dan tradisi itu belum juga diteruskan.
Membaca karya Nietzsche tersebut membuat saya bertanya-tanya, apa yang terjadi dengan kritik musik?
Saya sering bertanya kenapa musik berbeda dengan bentuk seni yang lain dalam hal apresiasi. Apresiasinya sedikit berbeda dengan seni lukis dan sastra (kritik sastra seperti menjadi aliran tersendiri tapi tidak dengan kritik musik). “Karena musik sudah terlalu dianggap biasa”, batin saya. 8 dari 10 orang mungkin menghabiskan beberapa menit atau jam untuk sekadar mendengarkan lagu setiap harinya. Dan juga, mungkin, musik itu sudah sedemikian rupanya jadi sebuah industri, sehingga mau tak mau ia menjadi banal.
Rob Gordon di film High Fidelity pernah berujar, “what came first, the music or the misery?” pertanyaan itu sudah usang jika melihat fakta bahwa musik saat ini berdasar pada patah hati. Tapi bagi saya pertanyaan itu bisa diganti seperti ini: what came first, the music or the industry? Apakah musisi itu membuat musik karena memang ingin bermusik, atau bermusik karena kemauan industri? Jika musisi hanya menuruti industri, maka kita tahu hasilnya akan kemana. Dan jika industri melirik musisi yang dianggap groundbreaking, ia akan punya kecenderungan untuk menjadi banal pula.
Saat musik jadi cenderung biasa, tak memberi greget, maka begitupun dengan ulasan yang diberikan. Banalitas ini membuat apapun di sekilingnya jadi mandeg. Sehingga yang diperhatikan hanyalah tetek-bengek dan trivia-trivia tak penting macam seberapa catchyrefrain itu dapat dinyanyikan kembali, ingar-bingar riff-nya, kegilaan dibelakang panggung dan siapa orang yang dikencani oleh musisi A, yang kemudian direbut oleh musisi B, dan akhirnya menikah dengan musisi C, dan beranak-pinak dengan musisi D.
Begitu juga dengan resensi album dan ulasan band yang hampir mirip CV. Begitu bosannya saya dengan model resensi ala media cetak dan online kebanyakan hingga beberapa tahun ini saya tak membeli satu majalah hiburan/musik pun. Dengan jumlah birama yang ada dan not balok yang kita kenal sekarang, yang menghasilkan kira-kira 5000-an kombinasi atau kemungkinan-kemungkinan, dan perkembangan teknologi musik yang masih sama dengan beberapa dekade lalu, maka mungkin sekali terjadi pengulangan-pengulangan melodi atau ritme yang tidak kita sadari (“kayaknya gue udah pernah denger lagu ini, deh, tapi di mana ya?” itu pertanyaan yang sering kita dengar bukan?). Maka begitu pun dengan resensi atau ulasan. Hampir tak bisa dibedakan karena melulu membahas komposisi yang begitu-begitu saja dan seberapa sangar riff yang dihasilkan. Dan kita masih atau tetap saja membacanya.
Kita sudah di-spoonfeed alias disuapi oleh media-media, menurut saya. Dari kamus Oxford tua di rak buku saya, kata spoonfeed berarti “too give sb too much help or information, or to teach sb in a way that does not give them the opportunity to think for themselves,” Kata ini tak punya padanan katanya dalam Bahasa Indonesia, sehingga kata “disuapi” sebenarnya tak mewakili keseluruhan makna yang dikandung.
Industri dan media telah menjadikan musik sedemikian banalnya, hingga ia tak mendidik satu orang pun (kecuali mungkin tentang sejarah musisi/band/aliran yang sedikit mendidik tapi kerap condong ke hal-hal bombastis yang pernah dilakukan musisi/band). Musik nyaris tak lebih dari sekadar hiburan, seperti video game, yang dimainkan hanya dikala senggang atau menemani aktivitas-aktivitas ringan.
Jika kita perhatikan, majalah-majalah dan koran terkemuka yang sering mengulas politik yang memberat macam majalah berawalan huruf “T” dan “G” dan koran berawalan huruf “K” sangat jarang sekali menulis tentang musik. Sekalinya koran “K” menulis resensi musik, ia hanya kebagian satu pojok kecil di pinggiran halaman. Media-media besar itu cenderung tak berani, atau tak punya waktu, atau tak menganggap bahwa musik sejatinya adalah kesenian yang serius tergantung dari siapa yang menguasai. Sehingga mereka berpikir bahwa akan membuang-buang waktu untuk mengkritik jenis musik popular yang notabene pop/ rock/ metal, dll secara tegas dan professional. Maka menurut hemat saya, harus ada sinergi antara musisi, media, dan industri itu sendiri.
Dengan cara media memperlakukan musik hanya sebatas barang dagangan dan bukan seni, maka masyarakat dan musisi juga akan memberi apresiasi yang sama, sebagaimana media mengajarkan hal tersebut. Dan industri melihat ini sebagai umpan lezat yang siap dilempar balik kepada masyarakat.
Setiap band/ musisi yang masuk, seolah-olah diafirmasi dan diulas “ala-kadarnya”. Dan media-media itu pun dengan mudah juga dicekoki oleh para musisi/band. Ketika sebuah band merilis album, media-media itu hanya menerima dan meng-copy paste pernyataan dari band begitu saja, lewat konferensi pers, atau press release. Mereka tak lagi mengkritisi, menggugat, menganalisis dan mempertanyakan perihal karya sebuah band. Maka tak heran jika kritikus macam Lester Bangs akhirnya dipecat Rolling Stone gara-gara kritik pedasnya.
Maka ketika terbit sebuah buku berjudul “Pak Presiden Menyanyi: Esai tentang Karya Musik dan Puisi SBY” karya Yapi Tambayong, saya agak berbunga-bunga, campur skeptis. Apakah isinya benar berbobot atau hanya mengagung-agungkan Pak Presiden?
Yapi Tambayong alias Remy Silado, alias Alif Danya Munsyi (Dia memiliki nama alias tak kurang 8 buah, melebihi kriminal yang biasanya hanya memiliki 3 nama alias) kita tahu, dikenal sebagai kritikus musik dan sastra, penulis, dan sastrawan kugiran yang sering memenangi penghargaan dari pemerintah terkait kritik-kritiknya di media massa. Dia sudah menulis ensiklopedia musik berbahasa Indonesia pertama, dan kita tahu pengetahuan atas sejarah musiknya tak kalah dengan pengamat musik kelas infotainment ala Insert Investigasi, Bens Leo.
Tapi rasa berbunga-bunga dan skeptis ketika menjumpai buku ini serta-merta luruh begitu membaca beberapa halaman. Tambayong alias Silado alias Munsyi alias Manampiring hanya juara ketika memaparkan sejarah dan perbedaan antara lagu popular, musik populer, dan musik pop (saya tetap berterima kasih atas informasi berharga dari beliau ini). Dia tak menampilkan kritik, yang dalam bahasanya, “semadyanya”. Ia malah mengafirmasi “nilai kesenian” SBY begitu saja, sembari menawarkan metode membaca lirik SBY yang kadang kekanak-kanakan dan menye-menye. Padahal di awal-awal buku, ia sempat menyinggung tentang lagu Rahmat Kartolo, yang dia sebut CGSN, alias cengeng-gembeng sengsara-nelangsa.
“Dengan membahasakan kata ‘semadyanya’”, tulis Tambayong, “maka kita menerima kehadiran dan keberadaan SBY sebagai pencipta lagu tanpa mengaitkan dirinya sebagai presiden yang berkuasa. Jadi, apresiasi terhadap karya musiknya itu sebolehnya  dipandang penuh dari penilaian objektif…tapi juga tak boleh dilupakan kedudukannya sebagai presiden.”
Lho? Piye to iki. Kalimat itu agak di luar logika bagi saya. Objektif tapi juga melihat kedudukan sebagai presiden sekaligus tak mengaitkannya dengan kedudukannya sebagai presiden? Tentu saja ini adalah hil yang mustahal. Kita tak akan mungkin begitu saja melepaskan kedudukan presiden itu dan bersikap murni objektif. Menjadi objektif, seperti dalam teori jurnalisik memang bukan tujuan, tapi hanya cara mencapai tujuan, yaitu sebuah kebenaran. Dan kalimat itu justru memperlihatkan kesalahan buku ini yang menjadikan keobjektifan sebagai tujuan, meski akhirnya tetap saja gagal menjadi objektif. Sekilas ini juga tampak seperti “Esai pesanan” dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan.
Dan Tambayong tampaknya juga tak bisa melepaskan “emblem” presiden dari kesenian SBY dengan seringnya mengutip pidato-pidato SBY berkenaan dengan aktivitas musiknya. Tak hanya itu, ia melanjutkan bahwa “dalam sikap apresiasi yang semadyanya itu, kita menaruh nama SBY di antara nama-nama pencipta lagu pop pada peta sejarah musik pop Indonesia sejak terminologi ini eksis.”
Lantas bagaimana dengan banyak musisi yang juga pencipta lagu tapi tak pernah tercium khalayak ramai (contoh: pengamen)? Bukankah, jika menurut penilaian Tambayong, dengan menaruh nama SBY dalam deretan pencipta lagu itu juga tak lepas dari “kebesaran” sang SBY? Jika SBY bukan presiden, katakanlah hanya pejabat teras biasa yang mencipta lagu, apakah namanya juga layak disejajarkan dengan pencipta lagu pop di Indonesia?
Memang, harapan saya atas kritik murni dari buku itu tak akan terwujud. Siapa pula yang berani mengkritik SBY, meski itu hanya sekadar musiknya? Apalagi hingga diterbitkan oleh penerbit besar dan ditulis oleh orang yang menerima penghargaan dari pemerintah. Tampaknya buku ini terbit pun lantaran yang bermusik adalah presiden. Bagaimana jika judul buku ini diganti dengan “Pak Sukimcil Menyanyi: Esai tentang Karya Musik Pak Sukimcil”? Bisa saja bukan. Tapi jelas, Pak Sukimcil itu tak punya kekuasaan apa-apa meski mungkin saja ia jago menjalin-nada-merangkai-kata dengan gitar. Tapi satu hal yang saya percaya bahwa dengan kekuasaan, orang jadi mudah banting setir kiri kanan dan mengatasnamakan seni sebagai dalih. Dan sebaliknya seperti yang pernah diutarakan rekan saya, bahwa kritikus pun akhirnya rentan tunduk terhadap kekuasaan.
Gejala seperti ini tak cuma di Indonesia rupanya. Media besar seperti Spin juga tak luput dari gejala matinya kritik. Di majalah Spin edisi lawas Agustus 2007, Editor Musik Charles Aaron mengkritik dengan tajam para artis Hollywood yang banting setir jadi musisi dalam artikelnya, “They Came from Hollywood.” Tulisan Aaron begitu lantang, blak-blakan dan cenderung mencemooh. “The modern phenomenon of the 'celebrity musician' – typically an actor with marginal musical talent”, tulisnya, “has been alternately amusing, annoying, or plain baffling.”
  
Ia mengkritik para “musisi” macam Scarlett Johansson, Paris Hilton, David Hasselhoff, dkk. yang dianggapnya tak pernah menunjukkan kejujuran bermusik. “There was no creative process at all,” tulisnya, “it was a very packaged thing.”
Kritik yang terdengar sangat pedas dan keren bukan? Tapi ini belum selesai. Di akhir artikel ia menulis: “Of course, the media, as much as anybody, are implicated in all this, and Spin is no exception.” Ia sedang menyinggung tentang seorang pembaca yang begitu membenci Spin ketika memasang Jimmy Fallon dari Saturday Night Live sebagai kulit muka untuk edisi Maret 2002, dalam rangka promosi album barunya The Bathroom Wall.
Pembaca itu berkata “What the fuck was that all about?”
Well, the record’s not that bad, and he’s pretty funny, I guess, and girls think he’s cute,” jawab Aaron.
Sure. Whatever. But I thought you guys were supposed to be a music magazine,” timpal si pembaca.
Sebagai kalimat penutup artikel itu, Charles Aaron kemudian menulis, “Consider this a long-overdue apology.” Dan kita tahu, untuk siapa permintaan maaf itu ditujukan.
Ya memang, 5 tahun memang bukan waktu yang sebentar. Tapi Spin masih menunjukkan sikap kritisnya terhadap para musisi/band, meski butuh waktu agak lama. Saya jadi ingat Ronaldisko, kemana gerangan dia, setelah sempat dibahas majalah musik berlisensi itu?
Buat Apa Pilihan Editor?
Apakah media-media besar itu begitu konformis sehingga mengorbankan kritik, esensi dan edukasi dari seni musik? Jawabnya hanya orang dalam yang tahu. Itu juga menunjukkan bahwa kehidupan berwawasan kita masih dihalang-halangi oleh kekuasaan atau kepentingan. Jika itu yang terjadi, kenapa pula kita masih menggantungkan kehidupan berwawasan kita terhadap media-media yang justru kerap menampilkan kebodohan dan konformitas total?
Resensi, (entah itu buku/album musik) pada awalnya berguna untuk membantu pembaca mendapat insight dari produk yang diresensi, yang kadang berisi sinopsis, kelebihan dan kekurangannya produk, atau sekadar informasi sampingan, sehingga pembaca dapat dengan bijak memilih dan akhirnya membeli. Tapi dengan meluasnya jaringan teknologi global saat ini, masih bergunakah resensi/ulasan untuk musik? Tampaknya kini resensi hanya sekadar kewajiban atau tradisi usang guna mengisi kekosongan halaman majalah/koran.
Di situlah terletak masa depan kritik atas musik dan bagaimana kita memperlakukan musik agar tak sebatas barang dagangan. Maka seperti kata Hua Hsu dari The Atlantic, bahwa “art also issues demands on our intellect.”
Kritik memang bukan sebatas cemoohan atau upaya mencari baik atau buruk dari hasil karya seniman. Tapi ia juga bisa berarti sebuah reaksi atau dialektika dari proses berkesenian itu sendiri. Dengan kritik pula, seni menjadi tidak membeku atau menggenang seperti air got. Karena seni, senantiasa harus mengalir.
Saya percaya bahwa setiap penggemar musik memiliki intuisi dan analisis tajam terhadap setiap band dari aliran yang digemari. Para pecinta musik juga jadi lebih cerdas dengan mudahnya akses internet. Internet – terlepas dari efek positif/negatif – telah membantu mencerdaskan khalayak dan memberi kebebasan penuh untuk terus menggali dan memilah beragam seni dan budaya.
Mereka bisa memilah-milah sendiri dan memberi penilaian sendiri, jadi kenapa pula harus didikte dengan Pilihan Editor? Siapa pula para editor itu, hingga mereka merasa tahu semua tentang apa yang layak bagi kita, ketika mereka hanya mengafirmasi apa yang sedang hype saat ini? Lagipula apa tolok ukur layak itu? Dan apa arti hype bagi kita? Sukses penjualan tiket? Rating yang meledak? Jumlah album yang sampai ke tangan konsumen? Atau apa?
Bentuk afirmasi dalam Pilihan Editor ini beragam, tapi umumnya mereka hanya menampilkan sisi sukses dan meledaknya suatu “produk” dari budaya atau seni. Dan bagi para editor itu, apa yang meledak dan besar tentu baik bagi konsumsi khalayak. Mungkin sudah saatnya kita bite the hand that feeds dan menjadi kritis terhadap hal kecil sekalipun.
Jadi, Jika Nietzsche masih hidup sampai detik ini, kira-kira apa yang akan dia tulis tentang musik dewasa ini?

0 komentar:

Posting Komentar

copyrigt; Juned Topan.. Diberdayakan oleh Blogger.