Selasa, 08 Mei 2012

SIKAP KEBUDAYAAN LESBUMI NU


SIKAP KEBUDAYAAN LESBUMI NU

Realitas kebudayaan kita akhir-akhir ini sedang berada pada posisi yang terus mengalami pengasingan—ditinjau dari keberadaanya yang kurang diperhitungkan oleh para pengambil kebijakan baik pada wilayah politik, ekonomi, sosial, maupun intelektual. Kebudayaan juga berada pada kondisi yang terus mengalami pemiskinan—ditinjau dari kemerosotan, pendangkalan, dan penyempitan baik definisi, bobot, maupun cakupannya dalam kehidupan secara umum. Krisis keindonesiaan yang sekarang ini mendera bangsa kita, basisnya adalah krisis kebudayaan ini.
Posisi dan kondisi kebudayaan tersebut tercipta sebagai akibat dari praktik dominasi yang dilakukan oleh tiga kekuatan utama:
  1. Kekuatan kapitalisme pasar yang menilai kebudayaan dari sudut pandang pragmatisme pasar dan melakukan komodifikasi terhadap kebudayaan (baik kebudayaan sebagai khazanah pengetahuan, sistem-nilai, praktik dan tindakan, maupun benda-benda hasil ekspresi budaya), sehingga manusia ditempatkan sebagai objek ekonomi dan bukan subjek daripadanya.
  2. Kekuatan negara yang menempatkan kebudayaan sebagai lebih sebagai alat pendukung kekuasaan (legitimasi politik), dan menempatkannya sebagai benda mati serta menjadikannya sebagai komoditas pariwisata untuk mengumpulkan devisa, yang artinya negara telah menempatkan dirinya sebagai sub-kapitalisme pasar dalam kaitannya dengan kebudayaan dan bukan menempatkan kebudayaan sesuai definisi dan perannya yaitu sebagai kumpulan pengetahuan, makna, nilai, norma, dan praktik serta berbagai materi yang dihasilkannya (atau singkatnya kebudayaan sebagi formula bagaimana suatu masyarakat melangsungkan kehidupannya).
  3. Kekuatan formalisme agama yang menempatkan kebudayaan bukan sebagai energi sosial yang menjadi penopang tumbuh-berkembangnya harkat manusia sebagai khalifah fil ardl, sehingga tidak diperhitungkan secara proporsional dalam pengambilan keputusan hukum oleh para pemegang otoritas keagamaan, dan dalam kadar tertentu mereka justru menempatkan kebudayaan sebagai praktik yang “menyimpang” dari ketentuan hukum yang mereka anut tersebut.
Atas  dasar itu, untuk mengembalikan harkat kebudayaan sebagai artikulasi pemuliaan manusia dan prosesnya untuk mencapai integritas kemanusiaannya, sebagai arena penegasan dan pengembangan jati diri kebangsaan Indonesia,  kami merasa perlu mengambil sikap kebudayaan sebagai berikut:
  1. Menolak praktik eksploitasi terhadap kebudayaan oleh kekuatan ekonomi pasar yang memandang para pelaku budaya beserta produknya berada di bawah kepentingan mereka.
  2. Mengembalikan kesenian ke dalam tanggungjawab dan fungsi sosialnya. Dalam hal ini seniman melakukan kerja artistiknya dengan cara melibatkan diri dengan masyarakat, untuk mengungkap, menyampaikan, dan mentransformasikan berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat melalui karya seni yang mereka ciptakan dengan melakukan eksplorasi estetika yang seluas dan sekomunikatif mungkin.
  3. Menolak kecenderungan karya seni yang memisahkan diri dari masyarakat dengan berbagai alasan yang dikemukakan, entah berupa keyakinan adanya otonomi yang mutlak dalam dunia seni yang artinya seni terpisah dari masyarakat, maupun universalitas dalam suatu karya seni yang artinya karya seni terbebas dari ikatan relativisme historis suatu masyarakat.
  4. Memperjuangkan kebudayaan (baik sebagai khazanah pengetahuan, nilai, makna, norma, kepercayaan, dan ideologi suatu masyarakat; maupun–terlebih–sebagai praktik dan tindakan mereka dalam mempertahankan dan mengembangkan harkat kemanusiaannya, lengkap dengan produk material yang  mereka hasilkan) sebagai faktor yang diperhitungkan oleh para pengambil kebijakan negara, sehingga kebudayaan dapat menjadi kekuatan yang menentukan dalam setiap kebijakan yang mereka putuskan.
  5. Membuka ruang kreativitas seluas mungkin bagi para seniman, baik tradisional, modern, maupun kontemporer, yang mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatan kesenian yang disebabkan oleh kebijakan politik dan birokrasi negara, dominasi pasar, maupun kekuatan formalisme agama.
  6. Merumuskan dan mengembangkan “fiqh kebudayaan” yang mampu menjaga, memelihara, menginspirasi dan memberi orientasi bagi pengembangan kreativitas masyarakat pada wilayah kebudayaan dalam rangka pemenuhan kodratnya sebagai khalifah fil ardl dan sekaligus warga masyarakat-bangsanya.
  7. Keindonesiaan adalah tanah air kebudayaan kami. Oleh karena itu, di dalam dinamika kesejarahannya, ia menjadi titik pijak kreatifitas kami, Realitasnya yang membentang di hadapan kami, menjadi perhatian dan cermin bagi ekspresi dan karya-karya. Kami ingin tanah air kebudayaan kami menjadi subur oleh tetes-tetes hujan keringat estetik bangsa ini.
Sikap Kebudayaan ini Diputuskan pada Muktamar Kebudayaan NU I di Pesantren Kaliopak, Piyungan, Yogyakarta, pada Senin,1 Februari 2010, pukul 22.39 wib. kemudian dibahas kembali  dalam Rapat Kerja Lesbumi di Jakarta Tanggal 26 Agustus 2010 untuk ditetapkan menjadi sikap kemudayaan  LESBUMI NU.

Ditetapkan di Jakarta
Tanggal 26 Agustus 2010

RAPAT KERJA PENGURUS PUSAT (PP) LESBUMI NU MASA KHIDMAT 2010-2015

SURAT KEPERCAYAAN
Dengan ini jelaslah bahwa dalam penilaian kita, kita akan memberikan tempat yang sentral pada permasalahan masyarakat dan kehidupan. Kita tidak berpegang pada semboyan “kata untuk kata, puisi untuk puisi”. Kita tidak mau melepaskan sajak dari fungsi sosial dan komunikatifnya. Adalah hal yang wajar jika seniman mencipta berdasarkan masalah-masalah konkret yang diakibatkan oleh ketegangan-ketegangan masyarakat di mana ia hidup. Kita tidak menolak “isme” apapun dalam kesenian – artinya “isme” dalam kesenian bagi kita tidak penting sama sekali. Yang penting adalah gaya pribadi seniman yang ia pergunakan untuk mengungkap sesuatu yang hendak ia sampaikan pada masyarakat.
Tidak usah dikatakan lagi bahwa kita adalah penentang yang keras pendirian “politik adalah panglima”. Pendirian ini telah menghambat kebebasan seniman dan telah menjadikan seluruh kehidupan kreatif menjadi korup. Pendirian ini telah mengingkari hak tanggung jawab dan kebebasan memilih pertanggungan jawab kaum seniman dan inteligensia (budayawan), dengan memaksa mereka menyerahkan pertanggungan jawab itu pada suatu ideologi, pada suatu sistem pemikiran yang bersifat memaksa.
Sesungguhnya kami percaya firman Tuhan yang terkandung dalam Al-Qur’an:
“Mereka bakal ditimpa kehinaan di mana saja ditemukan, kecuali kalau mereka berpegang pada tali Allah dan tali manusia”. (Ali Imran, 112)
Gelanggang, No. 1, Th. 1, Desember 1966, (Jakarta: YAKMI-LESBUMI ), Hal. 2-3.
LATAR BELAKANG
Berangkat dari dua peristiwa penting di dalam Nahdlatul Ulama (NU) yang mendorong Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) (di)hadir(kan) kembali. Pertama adalah Muktamar NU ke-30 di Lirboyo Jawa Timur (1999) diikuti dengan Muktamar NU ke-31 di Boyolali Jawa Tengah (2004). Kedua adalah Musyawarah Besar (Mubes) Warga NU di Ciwaringin Jawa Barat (2004).
Penegasan NU untuk menghadirkan kembali Lesbumi melalui Muktamar NU ke-30 (1999) dan ke-31 (2004) tidak dimaksudkan untuk ber-nostalgia dengan masa lalu. Butir penting keinginan itu adalah mengajak seluruh anggota NU agar mengembalikan ruh kebudayaan sebagai medium beragama dan bersosial. Apa yang dilakukan NU merupakan bagian dari semangat kembali ke Khittah 1926 yang menggelindingkan trilogi transformasi: sosio-politik, sosio-kultural dan sosio-ekonomi. Fakta historis ini membedakan kehadiran Lesbumi selama hampir satu dasawarsa terakhir dengan kelahiran awalnya pada dekade 1960-an.
Sejalan dengan penegasan itu keinginan menghadirkan kembali Lesbumi antara lain juga dilandasi oleh keprihatinan akan fenomena kering dan sepinya agama dari sentuhan kebudayaan sehingga yang nampak adalah penampilan agama yang sangar dan beku, tidak memiliki kelenturan-kelenturan. Agama tidak lagi merupakan sesuatu yang hidup dan bahkan tidak lagi memberi kenyamanan bagi pemeluknya.
Agama dewasa ini terjebak dalam ritualisme, simbolisme dan formalisme. Dimensi-dimensi kebudayaan dan kesenian sebagai pilar dari sikap kemanusiaan yang sebetulnya tak dapat dipisahkan dari agama itu hilang. Agama berjalan mengisi kemanusiaan tanpa ada sentuhan-sentuhan budaya sehingga terkesan kering, keras, dan kaku.
Atas keprihatinan inilah, maka Lesbumi akan membentuk dewan kebudayaan yang terdiri dari para budayawan, pemikir, intelektual yang memiliki perhatian terhadap masalah kebudayaan Indonesia dan juga seniman dalam segala bentuknya. Lesbumi ingin memberikan peran atau memfasilitasi kesenian yang sifatnya menumbuhkan kreatifitas masyarakat. Program utamanya melakukan dokumentasi terhadap kesenian masyarakat, bahkan yang langka dan hampir hilang. Pembentukan Lesbumi secara bertahap akan dilakukan di seluruh Nusantara.
Dalam kesempatan lain, Mubes Warga NU (2004) pun mencatat adanya proses alienasi kesenian rakyat dari komunitasnya. Hal ini disebabkan oleh fenomena komersialisasi dan komodifikasi kesenian yang diciptakan oleh pasar. Ditambahkan pula, tidak adanya lembaga yang serius menangani kesenian dan kebudayaan rakyat sehingga mereka selalu (di)kalah(kan) oleh kebudayaan dan kesenian kapitalis.
NU – dengan mempertimbangkan historisitas Lesbumi – sudah pasti memiliki basis massa pelaku yang terdiri dari seniman dan budayawan. Oleh sebab itu, NU seharusnya mempunyai perhatian khusus pada dunia seni dan budaya serta menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi oleh para seniman dan budayawan tersebut.
Penegasan ini berarti menempatkan warga NU untuk bergumul dengan keprihatinan-keprihatinan yang dihadapi oleh seniman dan budayawan sekaligus mencari jawab atasnya. Konsekuensinya adalah NU harus memperkaya bahtsul masail kebudayaan dan kesenian yang dapat memberikan jawaban atas persoalan-persoalan itu.
SEKILAS PERSIAPAN RAKER PP LESBUMI NU
Pada hari Senin, 2 Agustus 2010, di Sekretariat PP LESBUMI NU, Pengurus Pusat membentuk Panitia Rapat Kerja (Raker) yang mengemban amanah untuk penyelenggaraan Rapat Kerja. Berdasarkan arahan dari Ketua PP LESBUMI NU, Al-Zastrouw, Tim Panitia yang dibentuk tersebut bertanggung jawab atas perencanaan, pengorganisasian, dan pelaksanaan Raker yang akan dilaksanakan pada tanggal 25-26 Agustus 2010 di Wisma Museum Listrik TMII, Jakarta.
Kemudian pada hari Kamis, 5 Agustus 2010, Panitia Raker berkumpul di Cendol Huis, Ciputat untuk membahas dan menetapkan tema Raker yang berjudul “Optimalisasi Peran LESBUMI di Tengah Krisis Identitas Kebudayaan Nasional”. Tema Raker tersebut muncul dari kegelisahan tentang realitas sosial budaya Bangsa Indonesia yang saat ini semakin tergerus oleh kepentingan industri dan globalisasi kapitalistik, sehingga  Negeri ini perlahan-lahan kehilangan jati dirinya dalam konteks kesenian dan budaya Nasional.
Atas dasar kegelisahan itulah maka dipandang perlu kiranya bagi LESBUMI –melalui Raker Pengurus Pusat, melakukan optimalisasi diri dengan akselerasi maksimum untuk merevitalisasi: visi misi organisasi, aktualisasi peran LESBUMI, program kegiatan untuk publik, dan intensitas publikasi wacana serta karya-karyanya.
Panitia Raker berusaha mendapatkan gambaran umum tentang persoalan dan wacana yang berkembang mengenai strategi kebudayaan NU. Akhirnya, Panitia Raker mendapatkan gambaran umumnya dari hasil Muktamar ke-32 NU di Makasar, 22-28 Maret 2010, dengan mengutip 9 (Sembilan) poin penting yang diwacanakan melalui Naskah Rancangan Komisi Program dan Komisi Rekomendasi. Adapun poin-poin penting tersebut adalah:
  1. Memperjuangkan kebudayaan (baik khazanah pengetahuan, nilai, makna, norma, kepercayaan, dan ideologi suatu masyarakat; maupun –terlebih- sebagai praktik dan tindakan mereka dalam mempertahankan dan mengembangkan harkat kemanusiaannya, lengkap dengan produk material yang mereka hasilkan) sebagai faktor yang diperhitungkan oleh para pengambil kebijakan Negara, sehingga kebudayaan dapat menjadi kekuatan yang menentukan dalam setiap kebijakan pemerintah.
  2. Membuka ruang kreatifitas seluas mungkin bagi para seniman, baik tradisional, modern, maupun kontemporer, yang mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatan kesenian yang disebabkan oleh kebijakan politik dan birokrasi Negara, dominasi pasar, maupun kekuatan formalisme agama.
  3. Merumuskan dan mengembangkan strategi kebudayaan yang mampu menjaga, memelihara, menginspirasi, dan memberi orientasi bagi pengembangan kreatifitas masyarakat pada wilayah kebudayaan dalam rangka pemenuhan kodratnya sebagai khalifah fil ardl dan sekaligus warga masyarakatnya.
  4. Menjadikan pesantren sebagai pusat pengembangan seni dan budaya melalui penyelenggaraan berbagai pelatihan, festival, dan event kesenian di pesantren.
  5. Memfasilitasi dan memberi perlindungan HKI (Hak Kekayaan Intelektual) atas berbagai karya seni para seniman NU.
  6. Memberikan Legitimasi Syariah terhadap kesenian tradisional dan berbagai praktek tradisi yang dianggap bertentangan dengan Islam.
  7. Mendokumentasikan karya-karya seni para intelektual, ulama, dan seniman NU.
  8. Mengembangkan dan mempromosikan kesenian religi baik gagasan, karya, dan pelaksanaannya.
  9. Membuat database yang memuat nama-nama seniman NU, Karya-karya, sejarah, dan prestasinya.
Berangkat dari 9 (sembilan) poin tersebut, maka menurut pertimbangan Panitia perlu penguraian lebih lanjut tentang strategi LESBUMI melalui Raker ini untuk menjawab tantangan di atas tadi dengan membuat perencanaan strategis-taktis melalui Divisi-divisi yang ada.
Sebagai acuan utama dalam menggerakkan LESBUMI NU melalui strategi kebudayaan dan gerakan masyarakatnya, maka segenap jajaran kepengurusan di semua tingkatan Pengurus NU harus berpedoman pada:
  1. Hasil Muktamar NU
  2. Keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
  3. Peraturan Dasar dan Rumah Tangga LESBUMI NU
GAMBARAN UMUM KEPENGURUSAN PP LESBUMI NU
Berdasarkan Peraturan Rumah Tangga LESBUMI NU Tahun 2007, kepengurusan LESBUMI NU memiliki empat elemen pengurus utama yang saling terkait dan memiliki tugas, wewenang, serta hak-hak tertentu, yaitu:
  1.  Dewan Penasehat :
    • Memberikan arahan, petunjuk, dan bimbingan kepada pengurus harian dan divisi-divisi dalam menjalankan tugas-tugas lembaga.
    • Memiliki wewenang dalam memberikan usulan dan tanggapan atas kebijakan Lembaga yang dibuat oleh Pengurus Lembaga.
  2.  Majelis Kebudayaan:
    • Bertugas merumuskan konsep dan pemikiran mengenai seni dan budaya yang akan dijadikan acuan bagi pengurus harian dan divisi dalam menjalankan tugas Lembaga.
    • Memiliki wewenang menyampaikan gagasan, konsep, dan pemikirannya kepada pihak lain atas nama lembaga.
  3. Pengurus Harian:
    • Memutuskan masalah/prinsip penting yang menyangkut keseluruhan pertanggung-jawaban Pimpinan Pusat LESBUMI NU ke luar dan ke dalam.
    • Apabila dalam keadaan mendesak untuk memutuskan keadaan darurat, maka Ketua-ketua (Divisi) dapat mengambil kebijakan dengan bertanggung jawab terhadap Pengurus Harian.
    • Melaksanakan pekerjaan sehari-hari (rutin) tentang program kerja dan keputusan-keputusan pimpinan lengkap.
    • Memutuskan hal-hal yang bersifat darurat dan mendadak.
    • Memiliki wewenang mengangkat pengurus divisi.
    • Mengangkat anggota Majelis Kebudayaan.
    • Merancang dan melaksanakan kerjasama dengan pihak lain.
    • Memberikan teguran kepada Pengurus Divisi.
    • Menggunakan fasilitas organisasi untuk mendukung tugas-tugasnya.
  4. Pengurus Divisi-divisi:
    • Mengkoordinir terlaksananya program-program di bidangnya masing-masing, meliputi: perencanaan, monitoring, dan evaluasi.
    • Mewakili Pengurus Harian mengambil keputusan atas persetujuan Pengurus Harian.
    • Melakukan koordinasi dan konsolidasi dengan divisi/ bidang di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya.
    • Memberikan laporan kegiatan yang berkaitan dengan bidangnya di lingkungan internal LESBUMI NU.
    • Melakukan pra-verifikasi laporan pada bidang yang menjadi tanggung jawabnya.
    • Bersama dengan Pengurus Harian memberikan laporan pertanggung jawaban kepada Pengurus NU pada masing-masing tingkatan.
    • Menghadiri undangan sesuai dengan bidang tugasnya.
GAGASAN STRUKTURISASI KEPENGURUSAN PP LESBUMI NU
Gagasan perihal strukturisasi Kepengurusan LESBUMI NU Masa Khidmat 2010-2015 adalah sebagai berikut:
  1. DEWAN PENASEHAT
  2. MAJELIS KEBUDAYAAN
  3. PENGURUS HARIAN
    1. Ketua dan Wakil Ketua
    2. Sekretaris dan Wakil Sekretaris
    3. Bendahara dan Wakil Bendahara
  4.  PENGURUS DIVISI-DIVISI
    1. Divisi Riset dan Publikasi
      •  Sub Divisi Riset
      •  Sub Divisi Publikasi
    2.  Divisi Humas dan Pengembangan Jaringan
      • Sub Divisi Hubungan Masyarakat
      • Sub Divisi Jaringan Nusantara
      • Sub Divisi Jaringan Internasional
    3. Divisi Kajian dan Advokasi
      • Sub Divisi Kajian Seni dan Budaya
      •  Sub Divisi Advokasi Seni dan Budaya
    4. Divisi Kesenian
      • Sub Divisi Seni Religi
      • Sub Divisi Sinematografi
      • Sub Divisi Seni Sastra
      • Sub Divisi Seni Rupa
      • Sub Divisi Seni Pertunjukan dan Tradisi
    URAIAN UMUM: PROGRAM KERJA DAN KEGIATAN DIVISI-DIVISI
    Sebagai bentuk perwujudan tugas, wewenang, dan fungsi Divisi, maka  perlu pembagian wilayah kerja yang saling menunjang antar Divisi yang ada. Pemosisian (positioning) dan Kekhasan (differentiation) masing-masing Divisi dapat ditinjau dari program kerja maupun kegiatan (Jangka Panjang dan Jangka Pendek) yang spesifik dan terencana dengan baik. Berikut ini gambaran umum tentang program kerja dan kegiatan Divisi-divisi.
    1. Divisi Riset dan Publikasi – Divisi Riset dan Publikasi secara umum bertanggung jawab terhadap kerja-kerja maupun program penelitian di bidang kesenian dan kebudayaan, serta mempublikasikannya melalui media informasi milik Lembaga dan atau bekerjasama dengan media massa yang ada.
    2. Divisi Humas dan Pengembangan Jaringan – Divisi Humas dan Pengembangan Jaringan bertanggung jawab terhadap layanan informasi publik, pengumpulan data lembaga kesenian-kebudayaan yang ada di luar LESBUMI NU, sosialisasi program kegiatan, serta membangun sekaligus merawat hubungan/ jaringan kerjasama antara LESBUMI NU dengan lembaga sejenis di luar NU baik di tingkatan nasional maupun internasional.
    3. Divisi Kajian dan Advokasi – Divisi Kajian dan Advokasi secara umum bertanggung jawab mengadakan kegiatan-kegiatan ilmiah di bidang kesenian maupun kebudayaan nasional. Selain itu, juga melakukan pendampingan masyarakat serta memediasi berbagai persoalan publik maupun polemik yang berkenaan dengan kesenian (seni: tradisional, modern, dan kontemporer) maupun aspek-aspek kebudayaan lainnya.
    4. Divisi Kesenian – Divisi Kesenian bertanggung jawab atas penyelenggaraan kegiatan, pengembangan masyarakat, dan pemberdayaan potensi kreatifitas di bidang kesenian maupun kebudayaan yang diaplikasikan melalui medium karya seni tertentu. Tentunya bidang kesenian maupun kebudayaan yang dimaksud adalah yang bernuansa religius, spritual, Islami, dan khususnya yang dekat dengan kehidupan masyarakat Nahdliyin di seluruh Indonesia.
    Adapun aspek penting lainnya, khususnya di bidang keorganisasian dan manajemen organisasi yang patut diperbaiki dan dikembangkan oleh PP LESBUMI NU, antara lain:
    1. Aspek kesekretariatan dan Administrasi Perkantoran, mencakup: kebutuhan peralatan serta perlengkapan kesekretariatan dan juga perkantoran, pengadaan barang sebagai simbol-simbol lembaga berikut aturan penggunaannya, dan lain sejenisnya.
    2. Standar dan Sistem Pelaporan Kegiatan serta Keuangan Lembaga yang akuntabel.
    3. Standar Operasional dan Prosedur dalam hal pengelolaan aset, inventaris, fasilitas, anggaran dana,  serta mekanisme pelaksanaan sistem keorganisasian LESBUMI NU.

0 komentar:

Posting Komentar

copyrigt; Juned Topan.. Diberdayakan oleh Blogger.