Penulis: Aris Panji
Legenda klasik Dewi Sri, dibabarkan dalam pagelaran wayang kulit di sebuah acara “merti bumi” di desa Indrosari selama empat jam lebih. Dalangnya seorang pemuda, Bayu Anggoro, berusia 18 tahun. Putra dalang Ki Soenarko dari Pekunden ini begitu piawai memainkan tokoh wayang dengan cerita babad Dewi Sri, yang sesungguhnya sarat dengan idiom filosofis. Tanggapan wayang ini digelar dalam acara “merti-bumi” di halaman rumah Kades Indrosari, Kecamatan Buluspesantren, Kebumen
Lakon “Dewi Sri Suwita” menceritakan kontradiksi di sebuah padukuhan bernama Tegal Kandhangan, dimana tokoh Dewi Sri, yang sejatinya penjelmaan dari pemikiran dan kemudian diidentivikasikan sebagai simbol kemakmuran ini, menjadi poros kearifan dukuh. Ia hidup bersama adiknya bernama Lembu Andini dan Mahesa Kurdha. Dewi Sri yang jelmaan seorang Bethari yang awalnya hidup di Kahyangan, dimanifestasikan sebagai manusia yang mengusung kewajiban untuk mengabdi kepada kaum tani di tanah bumi Jawa. Makanya di kalangan masyarakat petani cerita Dewi Sri ini begitu lekat ingatan kolektif dan bahkan cenderung disakralkan di masa lalu.
Membumikan Pemikiran
Apa sesungguhnya relevansi cerita Dewi Sri ini dalam jagad spiritual masyarakat tani dan dalam realitas sehari-hari?
Menonton cerita wayang kulit itu dapat membantu menemukan relasi pemikiran tentang bagaimana mewujudkan kemakmuran dalam membudi-dayakan lahan pertanian, tetapi tetap dengan spirit menjaga keberlangsungan dan daya dukung bumi itu sendiri. Jadi kira-kira konsep ekologi tradisional pertanian kita, begitulah.
Menonton cerita wayang kulit itu dapat membantu menemukan relasi pemikiran tentang bagaimana mewujudkan kemakmuran dalam membudi-dayakan lahan pertanian, tetapi tetap dengan spirit menjaga keberlangsungan dan daya dukung bumi itu sendiri.
Kontradiksi pedukuhan Tegal Kandhangan dalam cerita babad Dewi Sri dimulai dari pendapat bahwa tradisi “sedekah-bumi” telah dianggap sebagai pemborosan yang tidak signifikan memberikan nilai tambah atau manfaat sosial. Kegelisahan sosial ini mengantar keputusan Dewi Sri untuk mengabdi atau suwita kepada kaum tani di bumi Jawa; adalah keputusan berdasarkan wahyu para dewa. Artinya, pemikiran atau konsep tentang kemakmuran tak boleh cuma menghuni jagad spritual (kahyangan) manusia. Tetapi harus menjelma atau manifest dalam perilaku. Keputusan Dewi Sri untuk mengabdi adalah keputusan pemikiran yang paling realistis.
Muncullah tokoh raksasa yang sejak awal tak menghendaki pemikiran atau konsep kemakmuran itu menemukan manifestonya. Raksasa itu adalah Kolo Gumarang; yang lebih mengutamakan kepentingannya sendiri di atas kepentingan yang mengarah pada kemakmuran sosial. Ia menghendaki berkawin dengan Dewi Sri dan memboyong simbol kemakmuran ini ke singgasananya di Lubang Sengoro. Ia menentang keputusan Dewi Sri dan lebih memaksakan kehendak cinta-asmara personalnya.
Dalam perspektif realistis, raksasa ini lalu diidentivikasi keselanjutannya sebagai “raja segala hama dan pengganggu” tanaman kaum tani.
Dewi Sri menolak keras dan penolakan ini didukung oleh adiknya. Pembelaan Lembu Andini, adik Dewi Sri, berujung pada konflik. Dan dalam peperangan itu sang adik terkena pusaka Limpung Suropati milik Kolo Gumarang; maka tewasnya Lembu Andini yang manifest dalam bentuk hewan lembu.
Esensi penting dari “merti-bumi”, adalah kesedaran tentang keberlanjutan hidup atau hidup keberlanjutan.
Dan dalam realitas tradisi pertanian hewan ini ikut dimobilisasi untuk membantu pekerjaan kaum tani terutama dalam frase pengolahan lahan.
Satu hal, dalam pilihan mobilitas ini ada syarat-syarat keberlangsungannya juga. Bagaimana hewan ini dipekerjakan pun tak lepas dari kaidah dan disiplin ekologi. Mobilisasi hewan dalam pekerjaan pengolahan lahan tak boleh melebihi kemampuannya. Pada tatanan ekosistem lanjut, kepermanaan terhadap fenomena alam menjadi syarat penting dalam menghindarkan hewan rajakaya ini dari hama penyakit. Dan untuk itu ada ritual sesaji yang mesti dilakukan.
Esensi penting dari “merti-bumi”, adalah kesedaran tentang keberlanjutan hidup atau hidup keberlanjutan.
Catatan tulisan: Tulisan ini dibuat 7 November 2009. DIpublikasikan di blog yang kini sudah tidak diupdate lagi.

Komentar via Facebook

Silahkan Berkomentar!

Anda bisa gunakan akun facebook, twitter, google, yahoo atau wordpress anda untuk login di situs ini
Your email address will not be published. Required fields are marked *
*