Kamis, 01 Maret 2012

CINTA

CINTA

Menurut bahasanya, cinta berarti cenderung atau suka. Cinta dimulai dari adanya keterikatan dan keterhubungan hati kepada sesuatu atau seseorang sehingga perasaan tersangkut padanya kemudian dituangkan dalam kerinduan dan ditumpahkan dalam kecemburuan yang diikuti gelisah, berdebar-debar, bingung, tergila-gila, linglung, dan akhirnya jatuh hati, terpesona dan tertawan (‘isyq).

“Cintamu kepada sesuatu membuat kamu buta dan tuli” (Hadits riwayat Ahmad, Abu Daud, Bukhari)

Aku cinta kepada Abu Marwan
Karena aku suka kurmanya
Tetapi kamu tidak tahu
Bahwa menolong tetangga
Adalah perbuatan paling bersahabat
Demi Allah
Kalau bukan karena buah kurmanya
Tak akan aku mencintainya
Bukan karena dia lebih dekat
Dari gurun sahara yang sunyi
Atau tempat terbitnya matahari


EKSES DAN EFFEK CINTA

Aspek negatif yang timbul dari cinta adalah terpikatnya hati, membuat pikiran kacau, mendebarkan dada karena menanggung rasa, membutakan mata karena cemburu, menulikan telinga karena bangga di saat hati tercelup dalam genangan damba dan tenggelam dimabuk asmara.

Aspek positif yang terpancar dari cinta adalah ketenteraman jiwa, kecerahan fikiran, kedalaman hati, dan kepuasan perasaan ketika kekasih yang dicintai selalu dekat, menyatakan cintanya, dan mengungkapkan janji-janji suci, atau mengajak berdekapan dalam kasih sayang yang abadi.

Tidak kukunjungi Laili
Untuk kujadikan kekasih
Dan tidak kutagih janjinya
Karena ia tak berhutang padaku
Nafsu tak hendak memisahkan engkau
Sebagai bagian darinya
Tetapi, wahai manusia paling cantik
Cintailah
Bila aku tidak datang, ucapkan :
Inilah kekasihnya
Tetapi engkau telah pergi
Maka orang selain aku
Janganlah engkau beri tempat di hatimu
Menjadi kekasih yang engkau sayangi










MOTIF CINTA

Pada umumnya cinta itu bermotifkan beberapa sebab, antara lain :
1. Cinta kepada diri sendiri (motif kepentingan)
2. Cinta kepada orang yang berbuat baik kepada diri kita (motif kesenangan)
3. Cinta kepada keindahan yang ada di sekitar kita (motif kepuasan)
4. Cinta kepada yang menciptakan segala. Inilah cinta hakiki, di atas segala cinta, karena sebab Dia kita berada, dan kepada-Nya kita akan kembali. Maka tidak ada cinta yang sejati kecuali cinta Ilahi, sebagai manifestasi dari iman dalam hati kita. (motif keimanan)

“Dan orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (Al-Baqarah : 165)
“Siapa yang cinta karena Allah dan benci karena Allah. Dan siapa yang memberi karena Allah dan menolak karena Allah maka sempurnalah imannya.” (Hadits riwayat Abu Dawud)
“Kuatkan tali imanmu dengan cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (Hadits riwayat Ahmad)


HAKIKAT CINTA

Cinta adalah pangkal seluruh aktifitas dan sumber efektifitasnya serta menjadi pokok maksud tujuannya, baik aktifitas yang bersifat ikhtiyariyah iradiyah (pilihan dan kemauan), atau thabi’iyah (pembawaan bakat), maupun qasariyah (keterpaksaan). Ketiga bentuk aktifitas kita tersebut berpangkal dan berujung dari dan kepada cinta kepada Sang Pencipta. Yang membedakan cinta kita masing-masing adalah kualitas iman dan prestasi amal kita.

Ikutilah jejak langkah orang
Yang membalut cintanya karena patuh
Kepada kata-kata ahli hikmah
Cinta bisa merusak akal yang sehat
Siapa yang mampu memadamkan api cintanya
Hidup aman dari segala derita
Kaunyatakan cintamu kepada Tuhan
Tetapi berani kau melepas kesetiaan
Setiap saat kau diajak mendekat
Tetapi teganya kau melupakan perjanjian
Setiap waktu kau ditaburi nikmat
Tetapi kau rela mengingkari permberian
Sangat mustahil bila diukur
Dengan kesucian

Kondisi iman dan prestasi amal inilah yang menentukan posisi kita di mata Sang Kekasih (Allah) dan yang menetapkan besar kecilnya cinta-Nya kepada kita. Cinta seorang hamba kepada penciptanya itulah cinta yang hakiki, dan inilah hakikat ibadah.

Ibadah sebagai realisasi cinta adalah modal hidup dan tujuan final hidup kita. Maka kehidupan di dunia ini harus kita jalani dengan cinta, dan kita akhiri dalam cinta.



RUMUS CINTA

Cinta itu adalah :
1. Kesukaan terus-menerus, dengan hati tetap terfokus
2. Minat mengasihi di atas segala yang menemani
3. Kesetiaan, baik di waktu berduaan maupun di kala sendirian
4. Tenggelam dalam kasihnya, larut dalam sayangnya
5. Kesepakatan hati dalam memadu janji
6. Saling menghormati dan saling mengabdi
7. Memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak
8. Rela berkorban untuk kesempurnaan
9. Seia sekata
10. Senantiasa ingat dan selalu bersemangat
11. Sepenuh jiwa raga hanya tercurah kepadanya
12. Memenuhi dada dengan sejuta damba hanya pada kekasihnya
13. Mengerahkan segala daya dan upaya untuk mencari dan membuat kekasihnya rela kepadanya
14. Rindu dan cemburu
15. Memupuk setia dengan serbuk suka sama suka
16. Menyingkirkan egoisme, menumbuhkan optimisme
17. Menjatuhkan buruk sangka, membina saling percaya
18. Menutup mata dari selain kekasihnya
19. Menyatukan kemauan dan memadukan perasaan
20. Mabuk kepayang ingin berjumpa malam dan siang

Lenyaplah impian-impiannya
Karena dibayang-bayangi kekhawatiran
Maka ia menangisi lukisan
Hidup yang menyenangkan
Yang terputus
Dan cawan yang berputar silih berganti
Memabukkan mereka
Tetapi mabukku terjadi setelah terlihat
Kekasihku



BUAH DAN KONSEKWENSI CINTA

Cinta adalah yang berdiri di depan, sedangkan kamu duduk. Yang bangun dari atas ranjang, sedangkan kamu tidur. Yang diam, sedangkan kamu berbicara. Dan yang meninggalkan kebiasaan dan keluar dari rumah, sementara kamu tinggal di tempat.

Selalu kulakukan
Kepada orang yang memberitahukan kepadaku
Agar dia melihat
Bahwa kau telah berakal
Dan akalku ada di sisimu
Siangku siangnya orang banyak
Maka ketika malamku telah tampak
Tempat tidurku membangunkan aku
Untuk menemui-Mu
Kuingat Kamu, dan di antara kita
Mengayunkan langkah
Orang arif yang bercakap di malam hari
Telah mulai minum dariku
Dan kusebut-sebut nama-Mu
Sedangkan kemiskinan bagaikan
Tali-tali sumur di dalam tali penarik bencana
Dia akan mengetahui pada hari pemeriksaan
Dan di atas timbangan nanti
Barang yang mana yang menguntungkan

Buah cinta adalah syauq (rindu), uns (mesra), dan liqa’ (berjumpa), dengan jalan ru’yat (melihat), nadhar (memandang), serta musyahadah (menyaksikan), yang sebelumnya diantarkan oleh sabar (tidak mengeluh), taubat (kembali ke jalan yang benar), syukur (berterima kasih), tawakkal (pasrah hati), dzikir (menyebut), ikhlas (tulus hati), suhud (sikap hati-hati), ridla (rela hati, puas hati), serta taqwa (menjaga diri dan takut). Dan sebagai konsekwensinya adalah, bahwa ia hendaknya senantiasa dan selalu menciptakan suatu bentuk hubungan komunikasi yang intim dan mesra, suci dan sakral, disertai sikap ta’dhim (penuh rasa hormat), tawadhu’ (penuh rasa kerendahan diri), tadarru’ (penuh rasa kerendahan hati), ikhlas (penuh rasa ketulusan jiwa), khusyu’ (penuh rasa takut yang mendalam), taslim (penuh rasa tunduk) dan tawakkal (penuh rasa berserah diri), semata-mata untuk mendapatkan ridha-Nya.



Marilah
Bila kamu memiliki cita-cita
Penggiring unta telah bersenandung lagu rindu
Maka lintasilah padang sahara
Katakan kepada orang yang mengajak cinta dan ridlanya
Ketika dia tidak meneriakkan dengan sempurna
Seribu kali labbaika

Janganlah kamu mengharap seteguk air susu selain dari Dia
Jika kamu mengharapkannya maka berbeloklah arah perjalananmu
Janganlah kamu menunggu kemurahan hati
Orang-orang yang duduk di sepanjang perjalananmu
Tinggalkanlah, karena kerinduan cukup membebani kami
Ambillah bekal dari Dia untuk Dia
Dan berjalanlah di atas jalan petunjuk dengan zuhud
tentu kamu akan wushul kepada-Nya
Di saat tungganganmu telah merasa letih
Karena dzikir bisa mengembalikan semangatmu
Apabila kelesuan sudah begitu menakutkan
Katakan kepadanya : di depanmu akhir malam telah menjelang
Maka carilah tempat minum dan buatlah obor
Dari cahaya-Nya, kemudian berjalanlah dengan penerangan
Cahaya Nur-Nya bukan dengan nyala api
Marilah
Turunlah ke lembah pohon Arok dan tidurlah sebentar
Dalam istirahat di sana barangkali kamu melihat Dia
Kalau tidak di sana, baiklah di Na’man saja
Di samping tempat berhentinya para kekasih
Carilah Dia dalam pintamu
Kalau tidak, di Muzdalifah pada malam hari
Jika kamu terlambat, lalu kapan lagi ?
Celaka orang yang lalai
Marilah
Ke surga Aden di dekat Dia
Itulah tempat utama yang harus kamu datangi
Tetapi musuh terselubung telah mencaci-maki kamu
Oleh karena itu berhentilah di atas tikar lusuh
Tangisilah tempat-tempat turunnya wahyu
Biarkan tempat itu sebagai jejak-jejak yang penuh pelajaran
Jangan beristirahat di sana karena bukan tempat tinggal
Di sana jejak-jejak yang telah terhapus
Banyak manusia binasa karenanya
Sudah berapa orang yang gugur
Dan berapa yang terbunuh untuk manusia

Ambillah berkah dari tempat itu
Menurut cara yang telah ditempuh orang-orang mulia
Yang senang memburu cinta
Dan katakan : tolonglah aku wahai jiwa
Sabarlah sebentar sampai aku berjumpa dengan-Nya
Cuma sesaat pertemuan dengan jerih payah itu
Kemudian Dia berlalu
Lalu kamu mati
Tetapi orang-orang yang berkabung riang gembira
Dengan tetesan darah cinta
Wushul dengan-Nya dijual
Dan siapa yang mau membeli dengan mata uang ?




KEDUDUKAN CINTA

Ada tiga kedudukan cinta, yaitu :

1. Cinta menghilangkan waswas

Kalau cinta mengharuskan memenuhi hati dengan mengingat kekasih, maka waswas menghendaki hilangnya ingatan tersebut dari dalam hati dan pikiran (bimbang dan ragu). Maka cinta dan waswas adalah lawan yang bertolak belakang. Artinya sangat kontras, bagaikan ingat lawan lupa. Keduanya tidak bisa berkumpul bersama dalam hati dan pikiran seorang kekasih.

2. Cinta melezatkan pengabdian

Karena cinta maka segala keletihan tidak terasa dalam pelayanan dan pengabdian seorang kekasih untuk kekasihnya.

3. Cinta melupakan derita

Segala derita yang dialami seorang kekasih dalam pengabdiannya kepada kekasihnya menjadi lenyap dan dilupakan, bahkan sebaliknya penderitaan itu memberi semangat baru.


CINTA ALLAH

Cinta kepada Allah adalah cinta orang-orang yang suka, senang dan ingin bertemu dengan-Nya. Cinta kepada apa yang ada di sisi Allah adalah cinta orang-orang yang beramal menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, karena mengharap pahala surga dan takut kepada siksa neraka. Cinta kepada bukan Allah adalah karena cinta kepada dunia dan mendustakan kehidupan akhirat.

Mahabbatullah (cinta kepada Allah) itu pun ada bermacam-macam. Macam-macam cinta Allah :

1. Mahabbatullah (cinta kepada Allah)
Cinta ini saja tidak cukup menjamin keselamatan kita dari siksa-Nya dan perolehan kita dengan pahala-Nya, sebab kaum Yahudi dan Nasrani atau kaum musyrikin lainnya, juga menyatakan cinta kepada Allah.

2. Mahabbatu Ma Yuhibbullah (cinta kepada apa yang dicintai Allah)
Cinta inilah yang memasukkan kita ke dalam Islam dan mengeluarkan kita dari kekafiran. Orang yang paling amat sangat cinta kepada apa yang dicintai Allah ini hanyalah mereka yang cinta kepada Allah itu.

3. Hubbun Lillah wa Fillah (cinta karena dan untuk Allah)
Cinta inilah yang merupakan keharusan cinta kepada apa yang dicintai Allah, karena tidak akan menjadi lurus cinta kecuali kepada apa yang dicintai oleh Allah dan karena dan untuk Allah semata.

4. Mahabbah Ma’allah (cinta bersama Allah)
Cinta kepada sesuatu yang tidak karena Allah dan bukan untuk Allah berarti cintanya bersama dengan cinta kepada Allah, yang berarti menjadikan sekutu di samping Allah. Demikianlah cinta kaum musyrikin.

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tnadingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencitai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah semata.” (Q.S. Al-Baqarah : 165)

“Katankanlah : Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudaramu, isteri-isteri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan dan rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya dan dari jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang fasik itu.” (Q.S. At-Taubah : 24)


“Katakanlah : Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah : Taatilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kamu berpaling maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir itu.” (Q.S. Ali Imron : 31-32)




CINTA KAUM SUFI

Bukan kaum sufi yang pertama kali mengungkapkan hubbul Ilah ini, karena jauh sebelum itu. Alquran dan Alhadits sudah menyinggung tentang cinta kepada Allah dan cinta seorang hamba kepada-Nya, seperti :

“Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” (Q.S. Al-Maidah : 54)

“Katakanlah, jika kamu benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kamu.” (Q.S. Ali Imron : 31)

“Maka apabila Aku telah mencintainya, niscaya Aku akan menjadi pendengaran yang dia pergunakan untuk mendengar dan akan menjadi matanya yang dia pergunakan untuk melihat.” (Hadits Qudsi)

“Ya Allah, jadikanlah cinta kepada-Mu sebagai sesuatu yang paling kucintai dari pada diriku sendiri, pendengaranku, penglihatanku, keluargaku, harta bendaku dan dari pada air yang dingin.” (Hadits riwayat Turmedzi)

Cinta yang dijelaskan dalam ayat dan hadits tersebut berarti ketaatan seorang hamba dalam mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya serta pengaruh hal itu atas segala sesuatu. Oleh sebab itu, Rasulullah menerangkan bahwa di antara tanda-tanda iman seseorang adalah : Apabila Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai dari pada selain mereka (Hadits riwayat Bukhari)

Cinta seperti ini termasuk cinta moral, bukan cinta sentimental. Seorang mukmin yang engharapkan pahala pada hari perhitungan nanti dan takut akan siksa-Nya, tidak boleh tidak harus mengarahkan akal pikirannya kepada taat dan patuh kepada Allah, karena ketaatan dan kepatuhan inilah jalan yang akan mengantarkannya ke tujuan itu, karena dia mengerti bahwa cinta Allah kepada hamba-Nya adalah apabila Allah ridla atas mereka danmemberi balasan yang lebih baik atas amal perbuatan mereka di dunia. Orang mukmin tidak boleh melakukan perbuatan yang mengundang kemurkaan dan azab-Nya supaya dia selalu diliputi oleh rahmat dan kasih sayang-Nya.

Cinta moral yang disikapi oleh orang mukmin ini disebut juga cinta yang bermotif atau bertendens, karena seorang mukmin mengharapkan pahala surga dan takut akan siksa neraka. Itu berarti bahwa cinta antara Allah dengan hamba-hamba-Nya dalam prinsip Islam haruslah tetap ada dalam koridor agama (syariah) serta memperhatikan norma hukum yang berlaku (halal dan haram).

Maka orang-orang mukmin mencintai Allah, kalau mereka taat dan patuh kepada-Nya sehingga Dia meridlai amal perbuatan mereka dan akan memberi balasan dengan pahala. Sebaliknya, mereka yang tidak diridlai oleh-Nya adalah karena mereka bermaksiat kepada-Nya sehingga Dia tidak mencintai mereka dan tidak memberikan balasan seperti apa yang Dia berikan kepada orang-orang mukmin ini.

Demikianlah pengertian cinta Ilahi menurut syariat ini berlangsung hingga pertengahan abad kedua hijrah. Maka ketika watak kehidupan ruhani telah mengalami perkembangan, dari khauf (takut) yang merupakan karakter abad pertama menjadi tawakkal dan ridla (berserah diri dan puas hati) sebagai ciri hidup keruhanian abad kedua hijrah, istilah cinta (hubb) pun berubah maknanya menjadi sebagai ungkapan kepasrahan hati (taslim) dari seorang hamba terhadap Tuhannya, baik Dia akan memberi balasan pahala atas amal perbuatan mereka maupun tidak, semuanya mereka pasrahkan sepenuh jiwa kepada-Nya. Jadi tidak benar kalau Abdurrahman bin Zaid (177 H.) dikatakan sebagai orang yang menentang penggunaan istilah hubb (cinta) dan menggantinya dengan ‘isyq (asyik) dengan alasan karena istilah itu menjadi ungkapan yang populer di kalangan Yahudi dan Nasrani. Padahal istilah hubb (cinta) sudah terpatri di dalam Alquran dan Assunnah, sementara isyq tidak pernah kita jumpai di dalam kedua sumber itu. Selain itu, isyq berarti rasa cinta yang melampaui batas (berlebih-lebihan). Yang benar adalah, bahwa Allah tidak pernah menyifati diri-Nya dengan menyebutkan ber’asyik ma’syuq dengan hamba-Nya, tetapi mencintainya.

Dengan demikian, seandainya seluruh rasa cinta makhluk kepada seseorang dikumpulkan menjadi satu niscaya belum setara nilai cinta Allah terhadap hamba-Nya. Maka tidak perlu dikatakan, bahwa seorang hamba sangat berlebih-lebihan rasa cintanya kepada Allah (Asyiq) sehingga tidak sepantasnya pula kalau dikatakan bahwa Allah berasyik pula kepadanya. Jelaslah, bahwa seorang hamba tidak punya hak untuk berasyik ma’syuk dengan Allah, begitu pula Allah tidak punya sifat asyik ma’syuk terhadap hamba-Nya.

Hubb dalam pengertian taslim (kepasrahan hati) dan ridla (rela hati) baik diberi atau tidak diberi pahala oleh Allah, berlangsung hingga akhir abad kedua hijrah, di kala hidup keruhanian telah mengalami perkembangan yang pesat dan pendalaman lebih jauh dengan pembahasan mengenai rahasia-rahasia yang populer diungkapkan oleh kalangan sufi yang mulai tumbuh subur di abad itu. Ma’ruf Alkarhi (200 H.) misalnya, menghubungkan ungkapan hubb dengan makrifah dalam setiap pembicaraan tashawwufnya. Sejak saat itu, kata hubb mulai diterima oleh masyarakat luas sebagai istilah tashawwuf (Hubbul Ilahi) yang secara istilah diartikan sebagai : Kecintaan kepada Allah tanpa diikuti harapan akan pahala dari-Nya dan takut akan siksa-Nya, karena yang dituju semata-mata hanyalah kenikmatan dengan memandang wajah-Nya yang indah dan mulia.

Maka mulailah istilah kaum sufi itu mewarnai abad ketiga hijrah yang dikumandangkan oleh Harts Almuhasibi (243 H.) dengan menyusun semacam risalah yang memuat tentang esensi Hubbul Ilahi sebagai karunia Allah yang tidak direkayasa oleh akal, karena ia merupakan partikel-partikel yang dicelupkan Allah ke dalam hati kekasih-kekasih yang dincintai-Nya. Dalam tulisannya itu juga dijelaskan bagaimana hubbul Ilahi menjadi sempurna dengan ittihad (menyatu)nya sang kekasih dengan yang dicintai melalui kasyf (tersingkap)nya tabir rahasia-rahasia (sirr) wujud-Nya.

Datanglah Junaid bin Muhammad Abaghdadi (w. 298 H.) yang memberi batasan-batasan dalam pembicaraan mengenai hubb, disusul oleh Yahya bin Muadz Ar-Razi (2.248 H.) sebagai pelopor penulis puisi-puisi Habbul Ilahi. Setelah muncul Alhallaj (w.259 H.) maka pembicaraan tentang Hubb Ilahi dianggap sempurna dan selesai konsepnya yang merupakan satu bentuk perpaduan dari seluruh pendapat para sufi dan semua aliran (madzhab) tashawwuf sebelumnya. Dialah yang berani menyodorkan konsep Hubbul Ilahi secara tegas dan kuat ke dalam Ittihad (menyatu)nya sang kekasih dengan yang dicintai sehingga sifat-sifat kemanusiaannya dapat lebur menjadi sifat-sifat ketuhanan. Dialah yang pertama membicarakan soal Lahut (divinity) dan Nasut (humanity) dalam dunia tashawwuf, dan yang mengaitkan soal hubb dengan Nur Muhammad dengan alasan bahwa siapa yang cinta kepada Allah berarti ia cinta pula (harus mencintai) kekasih-Nya, Muhammad saw. Akhirnya, pembicaraan mengenai Hubb dia akhiri dengan pembicaraan tentang kesatuan agama. Itulah yang diwariskan Alhallaj pada dunia tashawwuf sebagai kekayaan monumental yang disajikan, baik lewat tulisan bebas (prosa) maupun dalam bentuk syair (puisi) yang rinciannya akan kita bicarakan dalam bab tersendiri, Insya Allah.

Sejak itulah dunia tashawwuf memfokuskan perhatiannya terhadap hubbul Ilahi hingga berabad-abad lamanya sebagai kelanjutan dari warisan abad ketiga yang kebenarannya diakui oleh para pemerhati tashawwuf dan para peneliti buku-buku sufi yang beraneka ragam itu.

Yang jelas, hubb telah menjadi ahwal (kondisi) hati para sufi, bahkan termasuk asas dari ahwal yang terkait dengan taubat untuk menuju maqam (posisi) tertentu : “Barangsiapa yang taubatnya berlangsung secara sempurna, maka seluruh maqam (zuhud, ridla, tawakkal, dan sebagainya) akan lahir dengan sendirinya. Dan barangsiapa hubbnya menyata dalam seluruh ahwal (fana’, baqa’, shahwu atau terjaga, mahwu atau lenyap dan sebagainya) maka dengan sendirinya sampailah ia ke derajat makrifat.” Abu Thalib Almakki berpendapat, “Mahabbah adalah paling tingginya maqam orang-orang arif.”

Ahwal dan maqam itu berbeda. Ahwal adalah suatu kondisi yang muncul dalam hati tanpa direkayasa, tidak direka-reka, dan tanpa diupayakan. Maqam adalah posisi yang dicapai oleh seorang hamba yang melakukan mujahadah dan riyadlah. Jadi, ahwal datangnya karena kemurahan, sedangkan maqam merupakan hasil perjuangan. Maka hubb yang datang dari maqam, berbeda dengan hubb yang muncul dalam ahwal, karena yang pertama datang setelah mengerahkan daya upaya, bukan berangkat dari makrifat kepada karunia dan nikmat Allah, tetapi berangkat dari tafakkur fis shifat, sedangkan yang kedua muncul dari sebab karunia dan nikmat Allah kepada hamba-Nya yang dikehendaki untuk makrifat Allah. Inilah ruh cinta yang dapat menampakkan wajah Tuhan Yang Maha Mulia serta dapat bersenang-senang menikmati keindahan-Nya yang azali.

Kalau kaum sufi telah menyucikan cintanya kepada Allah dari segala ketakutan (Khouf) dan harapan (Roja’)sehingga mereka tidak merasa takut kepada siksa-Nya dan tidak mengharapkan pahala-Nya, itu berarti cintanya sudah berhasil sampai (Wushul) kepada hakikat kenikmatan surgawi dan kekekalan cintanya dalam jiwanya dan ruhaninya sebagai pencampuran antara nikmat, pahala dan adzab, atau menyatunya pahit dan manis. Maka seorang kekasih yang cintanya membara sehingga dimabuk rindu yang berat kepada kekasihnya, tentu dia merasakan kenikmatan ruhaniyah di dalam kerinduannya itu, melebihi kenikmatan ahli surga yang disebut Ruhul Hubb (cinta ruhaniah) yang muncul dari hati yang bening dan penuh dengan cahaya makrifat.

Kaum sufi mencitai Allah karena mereka bermakrifat kepada-Nya. Hati sebagai instrumen cinta berbeda dengan seluruh indera. Apa yang dianggap oleh hati bukanlah suatu khayalan atau ilusi, tetapi suatu makna di balik makna, sehingga lezatnya di atas segala kelezatan, yang secara bertingkat-tingkat bisa dinikmati oleh kaum sufi, menurut derajat posisinya (Maqam) masing-masing.

Pencapaian terhadap keindahan Dzatillah merupakan puncak pencapaian, dan paling tingginya pendakian makrifat. Kaum sufi hidup di dalam surga kenikmatan ruhaniah sebagai perolehan dari Hubb Ilahi yang tidak mungkin dapat dilukiskan dengan kata-kata, kecuali hanya melalui pengalaman daya rasa (dzauq)

Kaum sufi yang telah mabuk cinta disebut sakr (trance), serupa dengan orang tidak sadar atau ibaratnya sedang bermimpi. Keadaan seperti itu merupakan pertanda cinta yang murni, cinta hakiki dari seorang kekasih terhadap kekasihnya yang paling diasyiki. Hakikatnya, mabuk itu adalah membesarkan segala sesuatu dan menyatukan. Maka tidak heran kalau kebanyakan dari lagu yang didendangkan para sufi atau puisi yang digubah mereka adalah tentang khamar (arak) sebagai media satu-satunya yang paling dekat untuk memberikan pengertian kepada orang lain, bahwa sifat khamar itu adalah membangkitkan kekuatan sufi di dalam watak kemanusiaannya yang akan melumpuhkan adat kebiasaan dengan hakikat-hakikat yang menyenangkan, dan kritik yang membangunkan pada saat terjaga (waktu sadar, siuman)

Shohwu (terjaga, siuman, sadar) adalah mengecilkan dan memilah-milah lalu berkata “Tidak”, sedangkan sakr (mabuk, tak sadar) adalah membesarkan dan menyatukan, lalu berkata “Ya”. Maka keadaan menyanyikan lagu mabuk ruhaniyah, dan menggunakan media khamar material untuk memberi penjelasan kepada orang lain adalah satu bagian yang bisa dibedah oleh para penentang tashawwuf dengan kesimpulan mereka, bahwa sikap sufi tersebut menunjukkan keburukan akhlaq dan sifat yang jelek serta nyeleneh dengan cara minum khamar. Begitu pula ungkapan mereka tentang hubb yang dipintae dalam bentuk puisi erotic (amatoris) dengan maksud agar orang lain memperhatikan makna yang tersirat di balik apa yang tersurat, sebenarnya hanyalah cinta libido seksualitas picisan yang dibungkus rapi. Sementara itu, pembaca puisi-puisi sufi tidak merasa kesulitan untuk menguasai penggalan-penggalan kata yang menunjukkan maksud yang jelas dari puisi tersebut, kemudian menyimpulkan bahwa mabuknya sufi itu adalah mabuk ruhani (spritual) di saat mereka sedang menikmati keindahan azali yang mutlak dengan keharuan hati mereka, karena cinta mereka adalah sulaman model baru yang tidak banyak dikenal oleh pelukis-pelukis cinta selain mereka, walaupun para pelukis itu sudah terbilang pakar asmara (dokter asmara). Bagi kaum sufi, cinta itu sumber mata air kehidupannya, laksana sinar matahari bagi tanaman. Maka ketika panas matahari itu memuncak di musim semi, ia tumbuh dari tanah dan merambat dengan daun-daunnya, batangnya, bunganya, dan buah-buahnya dengan sendirinya. Itulah kehidupannya yang punya makna khas bagi tanaman. Dan ketika panas menjadi menurun di musim rontok, terampaslah tanaman dari tanda-tanda kehidupannya dan menjadi layu.

Begitu pula halnya dengan cinta. Antara keduanya (cinta dan kehidupan) berjalin kelindan, karena cinta juga panas. Manusia benar-benar tidak tahu, bahwa cinta itu sendiri adalah kehidupannya. Yang dimaksud di sini bukan kehidupan jasmaniah semata-mata, dan bukan kehidupan alam pikirannya saja, melainkan kehidupan seluruh unsur dirinya secara utuh. Orang yang berakal akan menangkap apa yang dimaksud, jikak epadanya diajukan pertanyaan, “Jika rasa cinta di dalam dirimu lenyap darimu, apakah kamu bisa berpikir atau dapat melakukan suatu aktifitas ? Bukankah pikiran, pembicaraan, perbuatan, akan melemah dengan lepasnya rasa cinta itu ?” Orang yang berakal sehat mengetahui hal ini bukan dengan metodologi riset, tetapi berdasarkan pengalaman dari hasil pengamatannya, bahwa cinta itu kehidupan manusia yang terjadi secara naluriah. Kemudian, apa kaitannya antara cinta naluriah dengan cinta ruhaniah yang dialami oleh sebagian manusia ? Sebenarnya, kedua jenis cinta itu tidak ada bedanya, kecuali hanya berlainan objek yang dicintai secara lahiriyahnya. Cinta naluriah mencitai phenomena (khalq), sedangkan cinta ruhaniah mencintai realita (haqq). Yang banyak terjadi adalah cinta itu muncul melalui tahapan-tahapan yang dimulai dari mencintai alam yang indah (dengan indera), meningkat kepada mencintai keindahan sesama manusia (dengan rasa), lalu meningkat kepada mencintai penciptanya (dengan ruhani) yang disebut Hubbul Ilah. Itu di Elvire merindukan La Martin penyair Perancis dan sampai akhir hayatnya membawa cinta yang tulus, padahal Hubbul Ilahi merupakan kelanjutan dari cinta sensasi (Hubb Insani).

Bersenang-senang dengan keindahan inderawi yang nampak adalah melatih kehalusan daya rasa untuk mengarah kepada tahapan yang lebih tinggi, yaitu keindahan ruhani. Ini barangkali yang selalu dialami oleh kaum sufi, setelah mereka tergila-gila dengan keindahan Sang Pencipta, kemudian mereka terpaut dengannya. Maka mereka terpaku dalam lagu dan musik serta menyusun pemandangan alam, perjalanan, dan pengalaman perkenalan mereka dalam baris-baris puisi. Semua menunjukkan kecintaan mereka kepada keindahan inderawi yang menggiring daya rasa mereka kepada mencintai keindahan yang absolut. Untuk itu Aljami berkata, “Jangan palingkan wajahmu dari cinta alami sekiranya cinta alami ini bisa mengangkat dirimu kepada Alhaqq.”

Alhaqq sebagaimana digambarkan oleh para penyair sufi adalah keindahan azali yang mutlak yang menjadi tempat terlambatnya hati kepada hakikat dari seluruh keindahan, yang kadang-kadang menampakkan diri (Tajalli) pada segala yang indah agar dicintai, sesuai dengan tabiat keazaliannya dan memang berhak untuk dicintai. Bahkan yang disebut cinta naluriah hakikatnya adalah cinta Ilahiah dan bersekat kepadanya. Puncaknya cinta adalah bersatu. Menyatunya dua hati (Ittihad), karena ia dapat melampaui batas pandangan pikiran. Sedangkan pikiran membutuhkan dichotomi, karena mengharuskan adanya subjek yang berpikir dan objek yang dipikir. Telah terjadi saling mendekat antara keindahan inderawi dengan keindahan mutlak melewati beberapa abad hingga berakhir ke dalam ittihad (menyatu) maka keduanya lalu menjadi satu, atau dua wajah yang menghakikat satu setelah ramai pembicaraan mengenai wihdatul wujud (menyatunya wujud).

Menurut pendapat Plato, kaum sufi terpengaruh oleh keterikatan antara keindahan inderawi dengan keindahan mutlak sedemikian rupa, katanya, “Siapa yang mencintai keindahan hakiki, sejak kecintaannya tertuang kepadanya, seharusnyalah berusaha dengan tekun, bagaimana bisa sampai seluruh macam keindahan atau segala yang indah-indah, kemudian ia memilih satu yang paling dicintai dan dipertemukan dengan keharuan hatinya. Setelah itu, hendaknya ia percaya bahwa keindahan itu di mana ia menampak, adalah sekandung dengan yang menampak kepada apa saja. Maka siapa yang melatih dirinya dengan cinta seperti itu, tentu ia memandang segala sesuatu yang indah pelan-pelan menuju kepada alam wujud ini sesuai dengan martabat dan kualitasnya masing-masing sehingga akhirnya menyata dan menyatu dalam cinta. Di sana, secara tiba-tiba, terdapat satu macam dari keindahan yang dari asalnya memang mengagumkan, tidak bermula dan tidak pernah berakhir, tidak tercipta dan tidak akan binasa tidak perlu ditambah apalagi dkurangi, tidak mungkin bisa dilukiskan sebagamana lukisan pemandangan, potret wajah dan gambar sebagian anggota tubuh yang indah, tidak terdapat di langit, atau di bumi, atau di mana saja, tetapi ia senantiasa ada dalam satu bentuk wajah yang tetap, tidak pernah berubah-rubah atau menghilang. Dia bersejenis dengan dzat-Nya dan terbalut serasi dengan shifat-Nya.

Keterhubungan antara keindahan inderawi dengan keindahan mutlak itu merupakan salah satu sebab yang mengundang keserupaan yang besar antara dua bentuk cinta, yakni cita manusiawi dengan hubbul Ilahi sehingga keserupaan ini kadang sulit dibedakan. Ketika pintunya terbuka lebar untuk dimasuki kaum sufi dengan ungkapan-ungkapan puisi, mereka memasukkan makna ruhaniah ke dalam cinta manusiawi supaya menjadi cinta Ilahi.

Sejak abad ketiga, mulailah para sufi membicarakan Hubbul Ilahi dan menaruh perhatian untuk membahas apanya, dan menjelaskan seluk-beluk cinta naluri yang sudah dikenal, dicoba dan dialami oleh manusia, kemudian mereka mengarahkan penjelasan rasionalnya dengan pencapaian melalui jalur alami untuk mendekatkan istilah-istilah cinta dengan logika. Maka kebanyakan sufi menggunakan istilah Qurb (dekat) dan Bu’d (jauh), Wahsyah (murung), dan Uns (akrab), Inbisath (gembira), dan Haibah (takut), Ghaibah (lepas, raib), Hudlur (hadir), Shohwu (terjaga, sadar, siuman), Sakr (trance, mabuk), dan beberapa istilah lainnya yang sebagian berlaku menurut pengertian terminologis dan sebagian kadang berlaku menurut pengertian simbolis. Maka dengan sendirinya hal-hal tersebut terkait erat dengan pembicaraan mengenai hubb (cinta), karena terjadinya cinta bermula dari keadaan-keadaan tersebut. Tetapi setelah Hubb Ilahi muncul pada permulaan abad ke-III maka istilah-istilah tersebut di atas menjadi tenggelam dan tidak seorang pun yang memakainya dalam pembicaraan selama beberapa tahun, kecuali seorang guru penduduk Baghdad yang bernama Abu Hamzah (w. 299 H) yang masih menggunakan istilah-istilah seperti itu dalam madzhab ketashawwufannya dan ternyata bisa diterima oleh masyarakat sampai akhir hayatnya.

Kalangan tashawwuf tidak punya pilihan lain, kecuali harus memakai istilah-istilah tersebut ketika mereka sedang mengalami suatu kondisi spiritual yang sangat pribadi dan ruhani yang begitu sulit diungkapkan dengan kata-kata karena bahasa tidak kuasa memberikan pemahaman tentang apa yang dapat ditangkap dengan daya rasa (dzauq)nya itu. Maka dengan terpaksa mereka menggunakan ungkapan-ungkapan dan simbol-simbol yang biasa dipakai dalam pembicaraan, tetapi secara spesifik mereka tuangkan dalam bentuk metafora seperti yang sedang dialami oleh para pemabuk cinta dan khamar sesungguhnya. Maka tidaklah mengherankan apabila kaum sufi itu sering mengungkapkan rasa cinta spiritualnya dengan istilah-istilah percintaan yang biasa dialami para remaja yang sedang dimabuk asmara (cinta manusiawi atau naluri). Mereka menyatakan rindu (syauq), merasakan nikmatnya pertemuan dengan kekasih (liqa’) tergila-gila oleh paras wajahnya yang cantik molek (sakr) hingga perasaan mereka dibuai dalam kemesraan (uns) sehingga dirinya seakan-akan terbang melayang dari dunia (fana, ghaib) tenggelam (gharib) di lautan cinta penuh dengan kesyahduan (mas’syuq) hanya berduaan dengan kekasih dan menyatu (ittihad) di alam ruhani, tidak melihat siapa-siapa di sekitar meereka, karena yang nampak di depan mata mereka (musyahadah) hanyalah sang kekasih seorang. Bahkan, sekali pun mereka dibakar atau ditebas dengan pedang, mereka tetap tidak merasakan panas dan pedihnya, karena mereka sedang dalam situasi tidak sadar (tharb), sedang terpikat dan tertawan (jadzab) seperti kondisi orang gila (junun).

Dalam keadaan sedemikian rupa itulah kaum sufi mengalami hidup di alam lain, alam keindahan, kelesatan, dan kenikmatan Alhaqq (kepastian yang benar dan kebenaran yang pasti). Tetapi, suasana seperti itu tidak mereka alami dalam satu posisi (maqam) yang sama, baik dalam kapasitas maupun kualitasnya. Maka tidak aneh jika di antara mereka ada yang berkata, “Subhani, ma a’dhamu sya’ni” (mengagumkan sekali, betapa agung kedudukanku).

Mengagumkan, karena sulit difahami atau diketahui secara rasional, baik oleh kalangan pemikir maupun intelektual, kecuali kalau mereka terlebih dahulu mengalami fana’ (melenyapkan keakuannya dan seluruh kediriannya) sehingga yang tersisa hanyalah hakikat al-haqq yang haqiqi (Alhaqqu bilhaqqi ma’alhaqqi), yakni kedudukan itu hakikatnya dari Allah, dengan Allah, dan kepada Allah semata. Hal itu memberi pengertian bahwa lenyapnya kemanusiaan setelah mencapai kesempurnaan di puncak keindahan segala keagungan sehingga menjadi satu keadaan yang tak berbatasan dengan keadaan.

Ada perbedaan antara fana’ dalam tashawwuf dan ilham dalam pengetahuan, tetapi dalam beberapa segi terdapat kesamaan dan keterpaduan yang dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Perasaan sadar akan lenyap, yakni keadaan sadar biasanya akan hilang setelah hilangnya kesadaran terhadap diri kita sendiri.
2. Sementara dan tidak berlangsung lama atau selamanya.
3. Di saat fana’ dalam tashawwuf dan ilham (dalam ilmu) itu, maka muncullah semacam pencapaian dari perenungan dalam bentuk sambaran kilat yang menyibak tirai hijab (kasyf)
4. Kadang-kadang dua perasaan menjadi satu, perasaan akal budi (pikir) dan perasaan hati (dzikir).

Jadi ada persamaan yang kuat antara unsur tashawwuf dan unsur ilmu pengetahuan. Kalau hubb ilahi merupakan dasar dari kondisi ruhani yang dapat menerobos masuk ke situasi fana’, maka kaum sufi menganggap ilham sebagai asas untuk menghasilkan karya estetik (baik puisi maupun prosa) sebagai alat otomatis dalam mengungkapkan situasi dan kondisi ruhaninya itu.

Itu nampak jelas dalam karya tulis kalangan tashawwuf yang hampir seluruhnya menuturkan keadaan fana’nya, sama dengan cara yang ditempuh para seniman dalam mengungkapkan pemikiran dan menuangkan ide-ide merekaa di atas kanvas, kertas, kayu, batu dan sebagainya. Dengan demikian, tidak ada bedanya aantara ungkapan estetis kaum sufi dengan pengungkapan artistik kaum seniman, kecuali hanya berbeda sumber ilhamnya masing-masing, yakni : yang pertama bersumber dari perasaan ruhaniyahnya, dan yang kedua bersumber dari perasaan aqliahnya, walaupun hasilnya sama-sama mengarah kepada hubb (cinta). Cinta kaum sufi mengarah kepada hubb Ilahi langsung, sedangkan kaum kaum seniman masih terpaku pada hubb insaniyahnya. Atau, katakanlah, cinta kaum sufi merupakan manifestasi dari kedekatan kondisi ruhaninya terhadap Sang Pencipta, sedangkan cinta kaum seniman merupakan refleksi dari kepekaan perasaannya terhadap alam hasil ciptaan-Nya. Tetapi objek kedua-duanya adalah sama-sama keindahan (Aljamal). Maka kamum sufi menggunakan seni sebagai media hubb, sementara kaum seniman mencintai metode yang digunakan kaum sufi.

Di saat kaum sufi menggunakan istilah-istilah seperti yang biasa digunakan kaum seniman untuk mengungkapkan perasaan cintanya, walau demikian, pembaca karya tulis (prosa dan puisi) kaum sufi masih mengalami kesulitan untuk memahami makna dan pengertian dari term-term atau idiom-idiom yang melukiskan kekentalan daya rasa mereka yang tertuang dalam susunan kata yang sarat dengan makna di balik makna itu sehingga sebagian besar dari pembaca tersebut menuduh dan menganggap mereka tergelincir ke dalam zindiq dan murtad. Tetapi, kalangan pemerhati riwayat kaum sufi menolak tuduhan dan hujatan kalangan penentang yang tidak berpijak di atas dasar pemikiran (argumentasi) yang kuat itu, sekali pun mereka memaklumi bahwa di antara kaum sufi memang ada penyimpangan dalam beberapa hal, namun prinsip mereka adalah, “bahwa dalam setiap kawanan burung tentu ada yang berbulu hitam” atau “tak ada gading yang tak retak.”

Kritik terhadap ungkapan-ungkapan kaum sufi mengenai cinta yang istilahnya mirip dengan ungkapan cinta naluriah insani itu pun tidak persis sama antara yang satu dengan lainnya dalam pengertian maupun dalam penggunaan kata-katanya. Sebagaian pengeritik memandang rasa cinta kaum sufi muncul dari nafsu birahinya yang dikemas dalam kalimat-kalimat sufistik dan estetik, padahal sesungguhnya hanyalah ungkapan-ungkapan erotis yang dibungkus imajinasi-imajinasi metafisik yang bersumber dari otak mereka sendiri, kemudian mereka berkata, “Tidak mungkin orang lain memahami metafor-metafor yang sangat metafisik itu kecuali kalau dia mengalami sendiri kondisi sufistik seperti apa yang mereka alami melalui dsauq (daya rasa nuraniah)nya.”

Sejak dahulu, kaum sufi menyadari, bahwa adanya kemiripan istilah dan keserupaan ungkapan ini akan membuka peluang fitnah yang lebar yang diarahkan kepada mereka. Tetapi mengapa mereka selalu menggunakan istilah-istilah tersebut. Alasan mereka, karena memang tidak ada ungkapan lain yang lebih pas dalam melukiskan perasaan hati mereka yang sangat dalam, dan supaya memudahkan orang-orang awam yang kurang banyak pengertian dan pemahamannya mengenai tashawwuf, serta kurang begitu ahli dalam menangkap makna-makna yang tersirat di balik kata-kata yang tersurat. Selain itu, alasan mereka adalah, agar kelompok phenomenalism tidak melontarkan tuduhan kafir dan murtad terhadap mereka sehingga memberi fatwa bahwa darah mereka halal dan mereka wajib diperangi. Ternyata alasan mereka ini masih belum juga dimengerti oleh sebagian kaum tashawwuf sendiri, apalagi oleh orang-orang di luar mereka. Seharusnya alasan yang paling rasional dan sangat masuk akal yang dikemukakan oleh mereka, bahwa penggunaan istilah-istilah tersebut semata-mata karena memang tidak ada kata-kata lain yang lebih mirip untuk diungkapkan, bisa diterima semua pihak, karena “Pengetahuan tentang rahasia alam abstrak yang tersembunyi, yang tersingkap dengan cara pengamatan orang jadzab (terpikat dan tertawan) jarang sekali yang butuh kepada berpura-pura, bahwa dia tidak sanggup menerangkannya tanpa berlindung kepada ilustrasi-ilustrasi dan pengakuan yang muncul dari alam rasa.” Karena perbendaharaan kata-kata yang digunakan untuk mengungkapkan hal itu kurang lengkap dan bahasa bumi tidak kuasa menceritakannya. Maka tidak ada cara lain yang bisa ditempuh sebagai upaya mendekati kenyataan kecuali dengan menggunakan simbol-simbol dan lambang-lambang pengertian. Bahasa isyarat (simbolik) inilah yang sering digunakan oleh kaum sufi dalam puisi-puisi mereka untuk mengungkapkan apa yang sedang mereka rasakan. Taman bunga seorang kekasih yang sedang mekar diumpamakan sebagai dzat Allah yang memancarkan sifat-sifat kesempurnaan, sedangkan kolam airnya yang mengalir di malam hari diibaratkan sebagai ketunggalannya yang terhijab oleh kebanyakannya. Jika seorang sufi berkata, “Tuangkan arak kemabukan untuk melepaskan dahagamu,” maksudnya adalah : Lepaskan aku manusiawiahmu dalam trance (keadaan tak sadar) untuk merenungkan Tuhan. Sedangkan malamku (laili), nasib baikku (su’da) dan awan putihku (rohab) adalah judul-judul puisi yang melambangkan sang kekasih.

Dalam darah biruku kadang kunamakan engkau Lubna
Pada waktunya Su’da dan sekarang Laila
Menghindari tuduhan tukang fitnah terhadap kita
Kalau tidak
Siapa langit Lubna pengganti dirimu
Dan siapa Laila

Berbicara tentang simbol dalam puisi-puisi cinta kaum sufi dapatlah kami bagi menjadi dua bagian. Pertama adalah simbol-simbol yang dipakai dalam puisi-puisi erotik kemudian dipergunakan dalam puisi-puisi sufistik, karena memiliki kesamaan dalam ungkapan dan pengertiannya. Dan yang kedua adalah simbol-simbol yang diungkapkan kaum sufi dalam puisi-puisi sufistiknya. Tetapi, terdapat perbedaan dalam nilai simbolik antara kedua bentuk puisi itu. Bagi para penyair erotik, simbol tidak menjadi tujuan, karena ungkapan gaya bahasanya sangat jelas. Mata sang kekasih diungkapkan dengan kata-kata mata juga. Metafor-metafor yang digunakan hanyalah untuk memperindah nilai estetiknya, bukan untuk menyembunyikan maksudnya. Rambut sang kekasih, hidung, pipi, bibir, atau wajahnya diungkapkan sebagaimana adanya. Kalau kemudian puisi-puisi erotik itu digunakan sebagai ungkapan-ungkapan dunia sufistik oleh kaum sufi itu berarti simbol-simbolnya sudah berubah makna dan pengertian-pengertian di luar alam realitas ini. Misalnya, apa yang diungkapkan oleh Asysyibli terhadap Abdus Shamad bin Mu’dzal dalam puisinya.
Wahai pengagum gaya dan kegenitan
Engkau punya pengaruh atas kecantikan

Rumah tempat engkau berdiam
Tak perlu menggantung dian
Wajahmu yang jadi dambaan
Akan kami jadikan alasan di hadapan Tuhan
Pada hari perhitungan
Allah tidak menyediakan keringanan untukku
Di suatu hari ketika aku memohon keringanan
Kepadamu

Ibni Abi Hajlah berkata, ketika seorang sufi berkata “Wajahmu yang jadi dambaan akan kami jadikan alasan” adalah mengandung pengertian yang mereka pindahkan dari apa yang bukan sesungguhnya, seolah-olah simbol wajah di sini bukan ungkapan penyair erotik, tetapi benar-benar istilah penyair sufistik sendiri yang biasa dinyanyikan kalangan tashawwuf.

Sebaliknya, simbol-simbol yang memang digunakan kaum sufi dalam puisi-puisi sufistiknya benar-benar merupakan ungkapan perasaan kesufiannya. Maka, istilah-istilah yang melambangkan pengertian erotis, mengandung makna yang kental dengan nilai-nilai ruhaniah, meskipun dia tidak suka menggunakan makna lahirlah kata yang dia ungkapkan itu. Artinya, kebanyakan dari puisi-puisi cinta kaum sufi, baik karangan maupun salinan dari puisi-puisi erotik, semuanya nampak menggunakan istilah-istilah, lambang, simbol dan kata-kata sebagaimana istilah, lambang, simbol dan kata-kata- yang biasa digunakan oleh kalangan sastrawan dan ahli bahasa sejak zaman jahiliyah sebelumnya, yang sudah difahami dan dikenal orang-orang awam sekali pun. Kemudian kaum sufi memasukkan pengertan-pengertian yang lebih bernuansa tashawwuf sehingga bahasa tidak kuasa lagi mengungkapkan istilah lain dari muatan nilai ruhaniah yang sarat dan kental itu, kecuali hanya bentuk-bentuk simboliknya saja.



PUISI-PUISI SUFI

Beberapa kelompok sufi di abad ke III menaruh minat sangat kuat untuk menjelaskan Hubb Ilahi itu. Minat mereka itu dibuktikan dengan banyaknya penyair sufi yang berlomba menanamkan andilnya dalam penulisan puisi-puisi cinta, tanpa melemahkan pemikiran filsafat atau megesampingkannya, sebagai semangat mereka dilatarbelakangi oleh gerakan tashawwuf yang dipadukan dengan perkembangan pemikiran logika yang pesat dalam kurun-kurun ketika pengaruh filsafat masih besar dan kuat.

Maka bermunculanlah tokoh-tokoh sufi yang penyair, dan pengarang yang pemikir sehingga masing-masing tokoh memiliki kemampuan dan keistimewaan yang berbeda-beda. Ada tokoh pujangga yang mampu menulis puisi-puisi kerinduan terhadap Tuhan, tetapi ada juga sufi yang hanya memiliki kemampuan melagukan nyanyian-nyanyian cinta naluriah yang digubah menjadi lagu-lagu cinta ruhaniah sehingga gubahan lagu cinta kasih menjadi cinta ilahi bukan sesuatu yang mudah, karena kata-kata yang dipilih untuk mengungkapkan rasa cinta kasih itu sangat gamblang, sedang ungkapan-ungkapan cinta dan rindu kepada Ilahi cukup menyulitkan untuk menemukan kata-kata yang sesuai, maka mereka terpaksa menggunakan simbol-simbol tertentu, sebab yang mencintai adalah manusia, dan kekasih yang dicintai adalah Tuhan. Kemampuan menggubah lirik-lirik lagu atau menulis bait-bait puisi dari insani menjadi ilahi sangat tergantung kepada siapa tokohnya, bukan pada tokoh apa dia. Ditinjau dari simbolik dan eksplisitnya puisi-puisi Hubb Ilahi, maka dapat dimungkinkan dibagi menjadi tiga bentuk :

1. Pernyataan sufistik yang asli adalah eksplisit dalam pengungkapannya, artinya tidak perlu membikin simbol dalam gaya bahasanya.
2. Pernyataan-pernyataan itu sesuai dipergunakan untuk puisi-puisi cinta insani maupun ilahi, tanpa harus mengurangi gaya bahasa simboliknya apabila terjadi pertukaran dari yang insani kepada yang ilahi.
3. Pernyataan-pernyataan gaya bahasa simbolik, yaitu ada kalanya ungkapan sufistik dan telah dibentuk sebagai permulaan di dalam gaya bahasa simbolik, atau ada kalanya ungkapan insaniah yang diusahakan bersifat gaya bahasa simbolik dari cakrawala tashawwuf.

Kadangkala ketiga macam ini terjalin semuanya untuk dibentangkan melalui keterangan mengenai pengertian Hubb Ilahi dan memberi gambaran tentang arahnya kepada para penyair sufi yang beraneka ragam itu. Tidak perlu dijelaskan lagi bahwa yang pertama dari ketiga macam itu adalah prestasi murni dari kaum sufi, sedangkan kedua macam lainnya merupakan perpaduan antara penyair tashawwuf dan penyair cinta yang kerinduan insaniahnya meluap-luap. Syair cinta sufistik yang eksplisit dari bagian pertama ketiga macam tersebut adalah dipelopori oleh Yahya bin Mu’adz Arrazi (w. 258 H.) dia tokoh abad ketiga yang telah memulai penulisan-penulisan Cinta Ilahi dalam gaya bahasa yang jelas, seperti yang diungkapkan :

Nyanyian cinta terhadap kekasih
Berlangsung lama bila disertai rindu
Terpesona kepada siapa yang kukira
Dia mengecam percintaan
Aku tak tahan menanggung rindu
Saat aku melayang-layang di sekitar hubb ilahi
Selama hidupku kuingin duduk dan berdiri
Bersama dia

Hubb Ilahi dan Fana’ jelas sekali dalam bari-baris yang diungkapkan dengan metre (bahr) pendek-pendek, cocok dengan kondisi sakr (trance) dan tharb (situasi tidak sadar) cinta yang berlangsung lama dialami.

Kalau pernyataan hubb Ilahi yang eksplisit merupakan ciri khas dari penggalan-penggalan puisi tersebut, maka pertalian lain yang bukan pernyataan atas hubb Ilahi menentukan penggalan-penggalan yang lain, seperti :

Aku rela bila Tuanku jadi pengganti
Segala sesuatu yang tidak disukai
Dan bermesraan denganku
Betapa rinduku kepada Raja
Yang senantiasa melirik keadaanku
Sedangkan aku tidak pernah melihatnya

Pertaliannya adalah pada baris kedua, yakni tambahan sebutan bagi sang Kekasih dengan Malik (Raja) yang termasuk Asmaul Husna, di mana sang Kekasih dalam segala hal melihat si kekasih, sedangkan si kekasih sendiri tidak pernah melihat Sang Kekasih.

Puisi Yahya bin Mu’adz memiliki penggalan-penggalan panjang dan dikomentari sebagai ungkapan hakikat Hubb Ilahi. Penggalan yang mulai dengan pernyataannya :

Seluruh kekasih selain Allah
Adalah kekeliruan
Kesedihan
Kecemasan
Dan kepedihan
Setiap kekasih, di antaranya
Ada yang berubah rasa
Berbeda dengan Arrahman
Dia tak pernah menyalahi janji

Ini, ada lima belas baris yang dikomentari dalam buku berjudul Mushara’ah Al-‘Usysyaq (pergulatan cinta). Di akhir komentarnya ia menulis :

Hakikat cinta itu adalah kefanaan
Si kekasih dalam Sang Kekasih
Bukan karena rumah yang memiliki kobaran api
Dan sumber nyawa
Tidak,
Tidak karena surga firdaus ia bersikap ramah kepadanya
Tidak juga karena bidadari yang menunggu di atas loteng



Cinta kepada Allah bukan karena mengharapkan balasan surga, atau takut kepada neraka, tetapi cinta kepada Allah karena Dia yang berhak untuk dicinta dengan harapan dapat melihat wajah-Nya yang penuh keagungan. Penyair sufi sebelum Yahya adalah Dzunnun Almishri (w. 24 H.) yang secara eksplisit menyatakan Hubb Ilahi dalam puisi-puisinya, antara lain :

Cintamu menghilangkan kantukku
Dan menambah penyakit dalam hatiku
Kusembunyikan di hati dan kuselimuti
Hingga benar-benar tersembunyi
Janganlah kau koyak tabir kemuliaan
Yang dipakaikan kepadaku
Kuabaikan diriku, wahai kekasih
Kembalikanlah dalam kepuasan

Dia berkata pada lain ungkapannya :

Carilah untuk jiwamu
Seperti apa yang telah kutemukan
Kudapatkan satu tempat untukku
Di dalam cintanya tidak ada kesulitan
Bila kujauhi dia
Dia justru mendekati aku
Bila kudekati dia
Malah semakin dekat

Ini puisi yang bagus dan memiliki keistimewaan dalam keindahaan tata bahasanya yang diungkapkan dengan dua potongan di dalam dua bait pendek. Ini jelas menunjukkan pengaruh kejiwaan seorang sufi dan kedalam daya rasanya yang sedang mabuk spiritual, kemudian dia ungkapkan ke dalam puisi dengan bhar-bahr yang pendek agar bebannya lebih ringan tidak seperti bahr-bahr yang panjang yang memerlukan cukup persiapan untuk menciptakannya. Dan hal ini dilakukan (terungkap) secara spontanitas dalam kondisi tertentu yang tidak terlalu sering.

Perbedaan puisi Dzunnun Almishri dengan Yahya bin Mu’adz, yang nampak puisi-puisi cinta karya Yahya lebih jelas dan lebih konkrit dalam konteks maupun teksnya. Barangkali karena itulah maka para ahli sejarah tashawwuf memasukkan Yahya sebagai sufi paling terdahulu dalam karya puisi Cinta Ilahi. Dua baris dari puisi Dzunnun di atas menunjukkan ketidakjelasan kalimat-kalimatnya, bahwa itu mengandung makna cinta Ilahi. Tetapi, ada puisi Dzunnun yang paling jelas yang diungkapkan oleh Fath bin Syahraf ketika ia menjenguk Dzunnun yang sedang sakit parah di rumahnya. Fath berkata kepadanya, “Bagaimana keadaanmu ?” Maka Dzunnun menjawab dengan puisi, lebih dari tujuh belas baris.

Wahai tumpuan akhir permohonan seluruh kekasih
Perkenankan aku menuju tempat keakraban
Bersama orang-orang yang berkunjung kepadaku
Tak pedulikan sakit demi sakit
Asalkan Engkau selalu menemani aku di dunia dan di akhirat
Wahai Yang kuesakan

Inilah ungkapan yang paling jelas yang diucapkan Dzunnun pada saat menjelang kematiannya. Kejadian itu tercatat oleh ahli sejarah sesudah penghujung abad ketiga pada waktu Yahya sudah mendahuluinya sejak permulaan abad ketiga. Para pengamat memang menaruh perhatian terhadap kejelasan kalimat-kalimat dalam puisi cinta para sufi yang tidak seperti puisi-puisi lain yang sudah banyak memenuhi lembaran abad ketiga itu, setelah menjelang akhir abad yang sebelumnya tidak banyak dipersoalkan apakah jelas atau simbolik. Karena faktor penyebabnya bukan pada kurun itu sendiri, melainkan karena adanya korelasi antara penyair sufi dengan yang bukan sufi, atau karya sufi mengenai puisi cinta Ilahi dengan karyanya yang bukan mengenai cinta Ilahi. Ini adalah karya Asy-Syibli tentang kejelasan kata-kata cinta Ilahi pada masa remajanya.

Tidak akan tahan menjauhi Engkau
Siapa yang punya kebiasaan taqarrub
Dan tidak kuasa membiarkan Engkau pergi
Bagi orang yang diperbudak cinta
Biar mata kepala tidak mampu melihat Engkau
Tetapi Engkau terlihat oleh mata hati

Terbunuhnya Alhallaj, karena dia telah mengakhiri kejelasan itu, dan sedik banyaknya membawa pengaruh kepada tata bahasa, ketika dia menyampulkan simbol-simbol dalam puisi cinta sehingga menjadi puisi cinta birahi, seperti :

Apabila engkau tidak pernah mengunjungi aku
Maka untuk siapa aku akan berkunjung
Cintamu mengalir dalam hatiku
Laksana air mengalir di dalam sebatang kayu

Kejelasan itu baru muncul lagi pada masa Aljunaid pemimpin sekte (w. 298 H.) pada akhir abad ketiga. Dia dikenal sebagai pencerah tashawwuf dan penjabar detail-detail tashawwuf, baik melalui puisi maupun prosa, dengan ungkapan-ungkapan tanpa simbol, seperti :

Wahai yang kuasa menyulut api di dalam hatiku
Jika Engkau berkehendak padamkan apiMu di hatiku
Oleh tanganMu sendiri
Tidak tercela seandainya aku mati dalam kekhawatiran
Dan dalam ketakutan atas perbuatanMu terhadap diriku
Sungguh tidak tercela
Tidak

Dan seperti yang dibacakan Jakfar Khuldi :

Kenapa aku mesti dijauhi
Padahal aku tidak menjauh
Gejala-gejala berjauhan pun tidak nampak
Kulihat Engkau memberi minum air bercampur arak
Padahal telah kubuat janji denganMu
Bahwa minumanku tanpa campuran

Dan Junaid berbicara tentang “berkumpul dan berpisah” dalam syairnya :

Kupastikan secara nyata Engkau
Di dalam misteri maka kubisiki Engkau
Kemudian kami berkumpul dalam makna
Dan berpisah dalam makna
Apabila pengagungan dapat menyembunyikan Engkau
Dari kedipan mataku
Maka cinta telah dapat menjadikan Engkau
Dekat dengan orang bawah

Sejak inilah, puisi yang jelas ungkapannya tentang Cinta Ilahi semakin berkembang pesat dan merupakan kebanggaan abad ketiga dari kalangan sufi yang menurut mereka, cinta ilahi itu merupakan anugerah dari Allah yang dicurahkan ke dalam hati di antara hambaNya yang dikehendaki. Hal ini adalah ketentuan takdirNya sejak azali. Artinya, bahwa Allah telah memilih kekasih-kekasih di antara hambaNya, jauh sebelum mereka mencintaiNya.

Ada kekhususan yang dibebankan untuk mencintai
Yang Dia pilih sejak zaman azali
Orang-orang khusus itu dipilih sebelum mereka tercipta
Sebagai titipan
Mengandung manfaat
Dan merupakan pernyataan





Abu Yazid Albusthami menjelaskan, “Sejak semula saya melakukan kesalahan dalam empat perkara. Saya mengira, bahwa saya mengingat Dia, mengenal Dia, mencintai Dia, dan mencari Dia. Setelah saya selesai, maka saya menyadari bahwa Dia sebenarnya telah dahulu mengingat saya, mengenal saya, mencintai saya, dan mencari saya.”

Para sufi memandang ruh sebagai makhluk yang dicitakan Allah sebelum segala alam semesta ini diciptakan dan dipilih untuk turun ke alam nyata, setelah tercipta alam semesta ini, agar manjadi kekuatan penghubung antara dirinya dengan penciptanya melalui ikatan cinta. Maka di saat ruh ini sudah menjasad dalam kehidupan, ia terasing dan merasa rindu kepada tempat asalnya, tetapi ia menyatakan kerinduannya dalam Cinta Ilahi.

Berkaitan dengan kejelasan ungkapan puisi-puisi Cinta Ilahi ini adalah puisi-puisi Insane (Junun), seperti yang pernah marak pada abad kedua. Dijelaskan, bahwa Hubb Ilahi adalah suatu penyakit yang menimpa seseorang karena bingung, ragu, terpesona sehingga orang mengira itu gila, padahal bukan kegilaan. Salah satu puisi insane diungkapkan oleh Sirri Assaqthi :

Wahai manusia, aku bukan orang gila
Tetapi aku sedang mabuk
Hatiku merana
Kalian membelenggu tanganku
Padahal aku tak berbuat dosa
Aku cuma tercemar dan ternoda
Oleh cintanya
Aku terpedaya oleh cinta seorang kekasih
Padahal tidak kucari dengan sembunyi-sembunyi
Dari pintunya
Maka kesembuhanku ketika kalian melihatku
Membusuk dan kebusukanku bila kalian
Melihat aku sembuh

Dzunnun menceritakan pertemuannya dengan seorang gila di Baital Maqdis.

Kutinggalkan dunia untuk bercinta
Dengannya yang suka memberi kenikmatan
Kujauhkan kantuk untuk bermesraan
Dengannya tanpa tidur sekejap pun
Kusembunyikan diriku di balik sebutan gila

Biar dapat kusembunyikan cintanya
Tapi tak kuasa kusembunyikan
Apabila rindu dan cinta telah menidurkan aku
Maka kusingkap topengku lalu kukatakan :
Ya... ya...

Kisah-kisah penyair majnun banyak tersebar dalam beberapa kitab tashawwuf. Tetapi, sedikit sekali tulisan yang secara khusus membahas ungkapan-ungkapan kegilaan dan maksud tujuannya secara jelas dalam konteks tashawwuf. Mungkin karena dianggap lancang atau kuatir mendapat serangan dari kalangan fuqaha’. Atau karena barangkali puisi-puisi gila itu dianggap tidak relevan untuk dibedah oleh para tokoh fiqih, karena dunianya memang berbeda. Memang untuk dapat memahami ungkapan-ungkapan penyair gila itu muncul dari kalangan yang memiliki wawasan kegilaan, itu setidaknya pernah mengalami bagaimana alam pemikiran orang-orang yang sedang bingung, ragu, kacau dan galau (crazy). Karena pergolakan batin seseorang sangat mempengaruhi pola berpikir dan bersikapnya yang menampak, baik lewat tulisan maupun ucapan-ucapannya.

Fath bin Syahraf bercerita, “Sa’dun terkenal sebagai orang yang Hubbul Ilahi. Dia berpuasa selama 60 tahun sehingga tubuhnya menjadi kurus kering, dan orang menyebutnya gila, karena yang keluar dari mulutnya hanya kata cinta. Lalu dia menghilang dalam beberapa waktu lamanya. Ketika aku berdiri di suatu majelis pengajian Dzunnun Almishri, kulihat jubah bulu domba yang bertuliskan, “tidak untuk dijualbelikan”. Mendengar pembicaraan Dzunnun, Sa’dun berteriak sambil berkata, “Tidak baik memaparkan sesuatu kepada yang tidak mengadu. Dan tidak seharusnya menghibur hati jika bukan penyabar,” Kata Dzunnun, “Kulihat Sa’dun minta hujan dalam doanya, “Ya Tuhanku, demi yang tadi malam maka hujanilah kami,” Aku bertanya, “Hei, ada apa gerangan antara engkau dengan Allah tadi malam? Jawabnya, “Jangan ikut campur antara aku dengan kekasihku.” Aku berkata mendesaknya, “Harus kamu beritahukan kepadaku,” Maka dia lalu bersyair :

Aku berakrab denganNya
maka aku tidak ingin yang lain, karena
Dia takut kalau aku menyimpang dariNya
maka aku tidak melihatNya lagi

Dzunnun Almishri paling banyak berkisah tentang penyair-penyair gila itu, karena dia merupakan salah seorang yang dianggap seperti mereka, dan karena dia sering memperkenalkan mereka kepada masyarakat. Pada suatu hari dia menemui salah seorang dari ahli makrifat di gunung tempat pertarungan tinju. Orang-orang berkata, bahwa ia gila. Lalu Dzunnun mendatanginya. Ternya ia sedang membelalakkan matanya sambil berkata,

Engkau butakan mataku dari dunia dan keindahannya
Padahal Engkau dan ruh adalah satu yang tidak terpisahkan
Bila aku ingat kepada Engkau
Biji mataku penuh tak dapat tidur
Dari menjelang malam hingga terbitnya fajar
Kelopak mata tak pernah terkatup oleh kantuk
Karena Engkau kulihat ada di antara pelupuk dan biji mataku

Selain tokoh-tokoh majnun tidak pernah dikenal nama-namanya secara jelas. Beberapa tulisan yang membahas puisi mereka seperti Shifatus Shafwat oleh Ibnul Jauzi pun tidak pernah menjelaskan tentang hal itu, siapa saja mereka itu dan seberapa banyak jumlahnya. Di antara kisahnya diriwayatkan oleh Yusuf bin Husain, katanya, “Saya duduk di hadapan Dzunnun yang sedang dikerumuni orang banyak yang mendengarkan wejangan darinya. Saya melihat mereka pada menangis, hanya seorang pemuda saja yang saya lihat tertawa. Maka Dzunnun menanyakan hal itu kepadanya, lalu si pemuda menjawab melalui puisi :

Seluruhnya menyembah (beribadah) karena takut api neraka
Mereka merasa sangat beruntung bila terhindar darinya
Aku sendiri tidak punya komentar tentang surga dan neraka
Karena ku tak ingin kekasihku diganti dengan yang lain

Lalu kutanyakan kepadanya, “Kalau anda terusir oleh kekasih anda maka apa yang harus anda lakukan ?” Dia menjawab :

Sekiranya tidak kudapatkan karunia dari kekasihku
Kuterjuni neraka sebagai tempat tinggal dan tempat istirahat
Kemudian setiap pagi dan petang aku menangis
Di dalam bara yang membakar sehingga penghuninya kebingungan
Wahai orang-orang musyrik, merataplah
Aku ini hamba yang sangat cinta kepada tuannya
Apakah pengakuanku ini tidak sungguh-sungguh
Maka aku harus menerima siksa yang berkepanjangan

Teks-teks tanpa judul ini menunjukkan ungkapan seorang tokoh sufi dalam dua dimensi, Cinta Ilahi, dimensi dzikir dan dimensi fikir. Satunya melukiskan ungkapan cinta yang dinaungi daya rasa yang pekat, sedangkan satunya lagi dibayangi logika yang ketat meskipun kedua-duanya berbingkai Cinta Ilahi.

Bila di antara orang-orang bingung mencinta Laila dan Salma
Dengan cara mencuri hati dan merampas akalnya
Maka kira-kira apa yang akan dilakukan olehnya
Apabila hatinya merayap di malam hari
Membawa rindu menuju Almalaul A’la ?





Walau kaum sufi telah mampu membuat corak tersendiri mengenali Cinta Ilahi dengan gaya bahasa yang begitu eksplisit, tetapi mereka masih belum mampu menghasilkan karyanya dalam corak yang kedua dan ketiga, yaitu ungkapan-ungkapan melalui gaya bahasa yang sesuai digunakan dalam puisi untuk menyatakan dua bentuk cinta sekaligus (Insani dan Ilahi) tanpa mengurangi simbol-simbol antara keduanya, baik yang simbolik sufistik maupun yang sufistik simbolik sekaligus.

Tetapi yang terjadi tidak kita dapati seorang sufi secara khusus menekuni karyanya dalam satu bentuk saja. Kebanyakan dari mereka memang mengkhususkan salah satu bentuk, tetapi juga memiliki kemampuan untuk menciptakan bentuk puisi yang lain dari ketiga macam tersebut. Maka, sebuah karya puisi dari seorang sufi kadang eksplisit, kadang simbolik, kadang perpaduan antara keduanya menjadi satu bentuk puisi sufistik. Salah satu bentuk kedua yang dihasilkan oleh kaum sufi adalah karya Samnun Ibn Hamzah (w. 296 H.) yang dikenal dengan gelar Cinta Samnun, karena dalam setiap pembicaraannya, dia selalu mengungkapkan kata Cinta, dengan ciri khasnya, yaitu Cinta yang lahir dari kejujuran dan ketulusan. Pada suatu hari dia berkata :

Engkau menginginkan agar aku memilih jalanku sendiri
Padahal Engkau telah mengetahui apa yang kuinginkan
Dan selain Engkau aku sendiri tidak punya kesenangan
Jika Engkau berkehendak silakan aku diuji

Kemudian dia diuji dengan tidak bisa menahan kencing, tetapi dia tidak mampu menerima ujian itu dan tidak sabar. Lalu dia memanggil keponakan perempuannya dan berkata kepadanya, “Panggil pamanmu ini sebagai pembohong !”

Wahai siapa yang hatiku tertahan kepadanya
Dan seluruh harapanku tertuju kepadanya
Alangkah sedihnya hati
Kesedihan yang kubawa mati
Bila Engkau tidak dapat kukenali

Dan lagi katanya :

Aku rela
Walau
Engkau telah lama berpaling dariku
Karena memang demikianlah kesukaanMu
Ujilah kesabaranku dengan memalingkan cinta
Tapi biarkan aku bergelantung pada kehendakMu

Dan sebagian dari pilihan karya-karyanya adalah :

Sebelum cintaMu, hatiku selalu hampa
Bermain-main dan bersuka ria dalam cinta manusia
Setelah hatiku menyambut ajakan cintaMu
Maka masih kulihat ia tidak bergeser dari serambiMu
Aku memilih berpisah denganMu bila Engkau berbohong
Dan apabila Engkau berada di dunia aku akan berbahagia
Bersama dengan selain Engkau
Dan kalau terdapat sesuatu yang ada di seluruh negeri
Jika Engkau jauh dari pandangan mataku, sesuatu itu
Menjadi indah dalam pandanganku
Kalau Engkau mau datangilah aku
Atau tak usah datang kepadaku bila Engkau mau
Tetapi kulihat hatiku hanya akan bahagia bersamaMu
Bukan selain Engkau

Kejujuran cinta dan ketulusan hati dalam ungkapan ini tidak pernah bergeser atau digeser oleh situasi dan kondisi bagaimana pun.

Penyair secara jelas mengungkapkan sejujurnya dan setulus hatinya bahwa dirinya telah benar-benar siap menerima ujian dan cobaan cintanya yang murni, sekali pun harus dipisahkan atau ditolak. Ungkapan itu dinyatakan oleh Sammun dalam bentuk kalimat-kalimat khabariyah (rumor) maupun insyaiyyah (editoria). Dari baris-baris (penggalan-penggalan) puisi itu tidak nampak adanya perbedaan yang tegas antara pertukaran cinta ilahi dan cinta insani, karena seluruhnya merupakan persesuaian dua topik yang sama dalam satu gaya bahasa. Boleh jadi sebagian ungkapan cinta itu biasa diungkapkan oleh penyair cinta naluriah, karena Sammun hanya menyusun (ansyaa) puisinya sendiri atau hanya membacakan (ansyada) puisi susunan orang lain. Jadi tidak harus puisi susunan sendiri. Dan kalau prinsip ini ditolak, maka upaya keras untuk menjiplak teks-teks seperti itu semakin pesat.

Tentang cinta, menurut versi Sirri Assaqthi (w. 257 H.) adalah seperti apa yang diceritakan oleh keponakannya sendiri, Junaid bin Muhammad Albaghdadi, katanya, “Sirri Assaqthi bertanya kepadaku tentang cinta. Aku menjawab, “Menurut orang, cinta itu adalah kesepakatan. Ada yang mengatakan pengaruh perasaan. Ada juga yang mengatakan ini dan itu.” Kemudian Sirri mengambil kulit lengannya lalu ditarik, tetapi tidak terkelupas, kemudian ia berkata, “Demi Allah jika kamu berkata bahwa kulit ini menempel pada tulang ini maka kamu berkata benar,” Kemudian dia menutup lengannya.”
Sirri berpendapat bahwa cinta itu merupakan bencana melekatkan kulit pada tulang. Tanpa begitu, tidak ada cinta yang sejati. Kenyataan ini telah dialami oleh pelaku cinta.

Siapa yang tidak kawin sedangkan cinta
Menelusuri perasaannya
Tak kan pernah tahu dia
Bagaimana hati remuk berkeping-keping

Sirri jatuh sakit. Aku (Junaid) datang menjenguknya lalu kutanyakan keadaannya, maka dia menjawab :

Bagaimana kau akan mengadukan keadaan ini
Kepada dokterku sedangkan yang menimpakan
penyakit ini kepadaku adalah dokterku

Kemudian aku mengambil kipas dan kukipaskan kepadanya. Maka dia berkata kepadaku, “Bagaimana angin akan diperoleh dari lubang kipas yang membakar dari dalam ? Siapa yang mengungkapkan ini :

Hati terbakar, air mata bercucuran
Bencana beruntun, sabar berserakan
Bagaimana akan tenang, orang yang tidak punya ketenangan
Karena cinta, rindu, gelisah yang tak tertahankan
Tuhan
Kalau di dalam sesuatu dapat membuat aku senang
Karuniakanlah kepadaku selagi aku masih menyimpan
nafas yang penghabisan

Kalau Sammun memandang inti cinta adalah ketulusan yang menampak dalam kejujuran di saat menerima ujian, maka Sirri menganggap ketulusan hati sebagai inti cinta itu harus menampakkan dan menyingkir dari desakan cinta.

Lain halnya dengan Junaid bin Muhammad Albaghdadi (w. 297 H.) keponakan Sirri Assaqthi yang mendapat gelar Pemimpin Sekte itu menitik beratkan perhatiannya kepada keadaan orang yang bercinta ketika dijauhi cintanya. Oleh karena itu, dia banyak menelan kepedihan masa lalunya dan selalu mendapat kesedihan dalam cintanya. Ada orang bertanya kepadanya, “Apa yang membikin sedih orang yang sedang bercinta ?” Dia menjawab, “Saat-saat menyenangkan yang mendatangkan kemurungan, atau saat-saat kemesraan yang membawa kesepian.”

Telah kumiliki minuman yang jernih
Dengan pemikiran-pemikiranmu
Kemudian dikotori oleh tangan-tangan waktu
Di saat ia telah bening

Kalau engkau sebagai makanan jiwa
Kemudian engkau tinggalkan ia
Maka ia tak akan tinggal
Bila engkau makanannya
Jelas di sini, ada kedalaman makna sufistik dalam kondisi percintaan Junaid, dan pembicaraannya yang panjang lebar mengenal apa di balik cinta itu sendiri, atau ketulusan hati dalam bercinta, atau pengaruhnya.

Junaid bin Muhammad Albaghdadi, Sammun bin Hamzah, dan Sirri Assaqthi adalah tiga penyair sufi abad ketiga inilah yang dikenal memakai gaya bahasa memadukan cinta naluriah dengan cinta Ilahiah tanpa harus menakwil melalui simbol-simbol apabila terjadi pertukaran dari insani ke ilahi. Dari penggalan-penggalan tersebut jelas adanya kecenderungan pribadi penyairnya dalam puisi-puisi sufistik. Jadi, walalupun Hubb Ilahi merupakan satu kenyataan bahwa kecenderungan pribadi penyairnya ikut memberi warna gaya bahasanya itu, tidak bisa dipungkiri, karena setiap penyair sufi itu mempunyai prinsip dan arah masing-masing mengenai cinta. Maka kecenderungan pribadi mereka terdesak dalam kesufiannya. Ketiga orang penyair itulah contoh yang jelas yang membedakan gaya bahasa yang pertama dengan yang kedua.

Sedangkan model ketiga (yang terakhir) dari gaya bahasa puisi-puisi sufi, yaitu gaya bahasa simbolik. Model ini paling banyak mengisi perbendaharaan abad ketiga dan paling populer di kalangan penyair-penyair sufi maupun di luar mereka, baik melalui penulisan maupun penyampaian.

Artinya, orang-orang yang menceritakan puisi-puisi mereka dengan gaya bahasa seperti ini tidak melepaskan kepenyairan mereka atau dalam kaitannya dengan ungkapan-ungkapan mereka, kecuali kalau hal itu diperkuat dengan pertalian dengan lainnya. Umpamanya puisi Cinta Ilahi mereka yang diungkapkan dengan gaya bahasa eksplisit, atau ungkapan-ungkapan puisi cinta yang dikaitkan kepada mereka berdasarkan dari puisi yang mereka tulis. Maka bagian penyampaian gaya bahasa lebih banyak dibandingkan bagian penulisan.

Gaya bahasa simbolik termasuk gaya bahasa pengungkapan yang berkembang pesat hampir menyeluruh di dalam buku-buku sufi, baik dalam puisi maupun dalam prosanya, karena gaya bahasa ini merupakan sandaran mereka dalam penyampaian maksud. Misalnya mereka hendak membicarakan tentang Musyahadah yang tidak bisa diungkapkan melalui bahasa yang cocok atau yang sesuai dengan apa yang mereka rasakan maka mereka pergunakan simbol-simbol yang sesuai untuk menggambarkan pengalaman ruhani mereka itu. Dan metode gaya bahasa simbolik ini sangat beraneka ragam yang dipilih oleh para sufi agar cocok dengan ungkapan mereka serta memperkuat pengertian dan maksudnya. Pilihan terhadap suatu simbol itu dilakukan mereka, sesuai dengan pengalaman pribadi penyair sendiri maupun moral dan pengetahuannya. Media yang paling sering digunakan oleh penyair Cinta Ilahi untuk mengungkapkan simbol dalam puisi mereka adalah media yang biasa dipakai penyair cinta insani, termasuk arak (khamar) dan mabuknya, karena kedua medan ini mereka anggap paling mewakili. Di samping itu, simbol-simbol ini sudah tidak asing lagi dalam kehidupan manusia secara naluriah, tetapi tidak banyak digunakan di luar tashawwuf. Oleh sebab itu, penggunaan simbol-simbol dalam gaya bahasa puisi cinta kaum sufi bukan semata-mata keterkaitan estetik, tetapi keterkaitan religi (devotis). Keyakinan agama yang menyangkut Asma’, Shifat Allah tertentu yang sudah positif (qath’i) dan definitif (tauqifi) memang terlarang untuk diserupakan dengan yang lain yang tidak didapatkan dalam teks Alquran maupun Alhadits. Tetapi pemikiran yang ditetapkan Islam tentang Dzat Ilahiah itulah yang merupakan satu-satunya media untuk diperjelas melalui ungkapan secara puitis atau simbolik.

Sebagaimana telah dijelaskan di muka, bahwa seorang penyair sufi tidak mesti harus menekuni satu macam dan beberapa gaya bahasa ini, sekiranya ada ungkapan-ungkapan yang lebih sesuai untuk menggunakan gaya bahasa eksplisit atau lebih cocok dengan gaya bahasa netral (terpadu) ketika sebagian ungkapannya memang perlu memakai kata-kata simbolik. Jadi, tidak ada larangan bagi seorang penyair sufi apabila kita menyaksikan dua atau tiga macam model gaya bahasa dalam sebuah puisinya yang mengungkapkan cinta Ilahi. Di antara penyair sufi yang menggunakan gaya bahasa simbolik adalah Sirri Assaqthi, yang kata Junaid sendiri dia sering menyampaikan puisi ini :

Ketika kunyatakan cintaku kepadanya
Ia berkata, Kamu berbohong kepadaku
Tak pernah kulihat anggota tubuhmu sebagai bukti
Tak ada cinta hingga kulit melekat pada rusuk
Dan menjadi kurus kering sampai tak dapat
Menyahut panggilan orang

Dan ceking kerempeng hingga tak ada sisa hasrat
Kecuali tangis kepatuhan dan munajat
Kata Junaid, “Saya pernah masuk ke kamarnya, sedangkan dia sedang menyapu rumah dengan sobekan kain, lalu ia berkata :

Aku tak ingin masuk menuju kepadanya
Sampai engkau singgah di tempat hamba yang hina ini
Dan kupejamkan kelopak mata dari kotoran
Dan kulindungi diriku dari kebohongan

Pada baris kedua dalam puisi pertama, Sirri melambangkan Dzat Ilahiah dengan kata Ia (perempuan) dalam mana bahasa Arab biasanya selalu memakai dengan Dia (laki-laki) untuk menyatakan Dzat Ilahiah ini. Sedangkan dalam puisi kedua, Sirri melambangkan kata “masuk” di sini sebagai munajat di hadapan Allah.

Sammun bin Hamzah dalam sindirannya berkata :

Lipatgandakanlah bencana kepadaku dengan sungguh-sungguh
Dan timpakan dengan sekuat tenagamu puncak malapetaka
Upayakan dan kerahkan untuk memutuskan hubungan denganku
Atau berbisik-bisik
Apabila upayamu terhadapku sudah sampai klimaksnya
Maka tinggallah dirimu puncak tujuan dan akhir harapanku
Lihatlah, apakah halku telah berubah
Dari apa yang kaucintai dengan hal lainnya

Seorang laki-laki berkata kepada Abu Muhammad Aljariri, “Aku sedang dalam kemesraan. Kemudian terkuak jalan untukku menuju kebahagiaan. Lalu aku melakukan suatu kesalahan, maka terhalanglah maqam (posisi)ku. Bagaimana cara menuju ke sana. tolong tunjukkan kepadaku supaya aku sampai (wushul) ke maqamku kembali.”

Berdirilah di beberapa kuburan
Maka inilah kesan-kesan dari mereka
Kautangisi kekasih-kekasih dengan pilu penuh rindu

Sudah berapa lama aku tinggal di sana
Mencari penghuninya yang cukup berpengalaman
Atau seorang teman dan penolong yang baik hati
Seorang yang menngaku kekasihnya menjawab
Dari dalam kuburnya, “Ku tinggalkan orang
Yang kaucintai maka menjadi sulitlah tempat pertemuan.”

Ini bentuk simbolik dari pernyataannya tentang kekasih yang pindah tempat, dan jawaban orang yang mengaku cinta merasa sulit menemukan tempat ia kini berada setelah perpisahannya itu, karena tidak ada petunjuk jalan untuk kembali kepadanya.
Hal serupa diungkapkan oleh Abu Harraz :

Aku sering bertanya kepadamu tentang ia
Adakah orang yang punya cukup pengertian
Maka tidak ada kenikmatan lagi bagiku
Sejak ia berteriak keras-keras
Rumahnya adalah ilmu
Kalau saja aku mengetahui di mana penghuninya berkemah
Dan di bumi Allah yang manakah
Tiba-tiba mereka sengaja pergi
Jika demikian kususul ia bersama angin lalu
Apabila Engkau menjadi kenikmatan
Dan di bawah ia adalah bintang

Itu bentuk simbolik dari pencarian kenikmatan dan perjalanan penuh ketergantungan kepada Allah untuk memperolehnya, dan tidak adanya sesuatu yang lain, baik kemewahan harta dunia maupun kesenangan kampung kahirat, dibandingkan dengan cintanya.

Kadang bentuk simbolik itu merupakan pemindahan dari puisi cinta manusiawi dengan mengubah makna dari bentuknya yang asli, sebelum dipindahkan. Misalnya :

Dua pasang mata
Kata Allah : Jadilah
Maka keduanya terjadi
Dua perbuatan

Dengan sepenuh hati
Yang dilakukan khamar

Menggambarkan mata-mata kekasih dan pekerjaannya di dalam hati orang-orang yang bercinta.

Pada suatu hari Asysyibli dimintai persaksian tentang hal itu maka menurut dia adalah : Mata hati yang dianugerahkan Allah kepada hamba yang Dia kehendaki. Maka semakin kuatlah musyadahnya sehingga hati mereka raib di dalam keharuan kehadirannya. Syibli berkata, “Yang kumaksud bukan mata yang lebar serta indah, tetapi mata hati yang tersimpan di dada. Beruntunglah siapa yang hatinya punya mata dan pendengaran yang bersuara. dan kata-kata yang diridlai.”

Ini adalah nukilan yang menyerupai bentuk sanjungan. Ada seorang laki-laki datang menemui Syibli dan berkata, “Doakanlah aku !” Maka Syibli berkata :

Zaman telah berlalu
Orang banyak minta pertolongan kepadaku
Apakah besok pagi ada yang menolongku
Menemui Laila

Kebanyakan kaum sufi menjelaskan makna simbol-simbol yang digunakan adakalanya dengan mengomentari ungkapan-ungkapan, seperti apa yang disampaikan Syibli itu (Maksudku bukan mata lebar yang indah), atau kadang dengan mengemukakan pendapat sebagai penjelasan dan simbol yang dipakai dengan mendatangkan ungkapan yang seluruhnya seakan-akan merupakan pengakuan. Seperti apa yang dinyatakan oleh Syibli dalam majelis pengajiannya, “Alhaqq lenyap di dalam sesuatu yang dengannya dia kekal, dan kekal di dalam sesuatu yang dengannya dia lenyap. Apabila dia melenyapkan seorang hamba dari padanya, maka dia yang menyampaikannya kepada dia dan membimbingnya memperoleh sirr (rahasia-rahasia) dia.”

Lalu Syibli menangis dan menulis puisi :

Dalam lirikan matanya adalah tatapan sihir
Yang dapat mematikan dan menghidupkan orang yang dituju
Memikat seisi alam dengan dua bola matanya
Seakan-akan semua orang menantangnya
Apakah lirikanku kepadanya maka ia mengetahui isi hatiku
Atau lirikannya kepadaku maka ia mengetahui yang kumau

Seseorang bertanya kepadanya, “Apakah seorang arif bisa memastikan apa yang nampak kepadanya ?” Syibli menjawab, “Bagaimana ia bisa memastikan apa yang tidak terbukti, dan bagaimana ia bisa tenang terhadap apa yang tidak jelas, dan bagaimana ia akan menyukai apa yang tidak tersembunyi. Dia itu lahir batin, batin lahir.” Kemudian Syibli menulis puisi :

Siapa yang berada di sepanjang cinta
Dia merasakan kesenangan hati
Sedangkan aku orang yang tidak merasa punya Laila
Sesuatu paling besar yang kuperoleh dari pemberiannya
Adalah angan-angan yang tidak nyata
Laksana selayang pandang

Tatapan sihir dalam penggalan pertama adalah apa yang dianugerahkan Allah s.w.t. terhadap kekasihNya berupa kondisi (Ahwal) yang berbeda-beda. Disukai dan disenangi dapat menghidupkan, sedangkan dijauhi dan dibenci adalah mematikan. Demikianlah hal ihwal percintaan. Allah s.w.t. menghidupkan dan mematikan ahwal percintaanNya kepada orang yang Dia kehendaki.
Seluruh penggalan puisi tersebut di atas berkisar pada pembicaraan mengenai simbol-simbol makna puisi cinta. Kalangan sufi dalam membicarakan soal cinta mengagumi simbol khamar yang menurut mereka mengandung makna sebagai minuman Tuhan yang menyebabkan mabuk spiritual sehingga kemanusiaan (aku)nya terlepas. Tetapi mereka tidak sama dalam menghitung jumlah cawan arak yang mereka sentuh.

Yahya bin Mu’adz menulis surat kepada Abu Yazid, “Aku mabuk karena kebanyakan minum dari gelas kekasih.” Abu Yazid membalas suratnya, “Selain engkau, minum lautan langit dan bumi tetapi tidak pernah kenyang. Lidahnya terjulur ke luar, dan dadanya sambil berteriak “haus, haus.” Lalu dia menyampaikan puisinya.

Aku heran kepada orang yang berkata
“Aku ingat kepada Tuhanku”
Apakah aku sedang lupa maka aku mesti
Mengingat apa yang kulupakan ?
Aku minum cinta, secawan demi secawan
Tetapi minuman tak pernah habis
Aku pun tak pernah kenyang

Abu Hafash Annaisaburi menjelaskan tentang gelas cinta, katanya, “Siapa yang meneguk gelas kerinduan, akan selalu kehausan (haus tiada terkira), kecuali di saat musyahadah (menyaksikan) dan liqa’ (perjumpaan).

Dzunnun Almishri berkata, “Tidak pernah kulihat orang paling bodoh seperti seorang dokter yang mengobati orang mabuk pada saat mabuknya.”

Banyaknya pemakaian kata mabuk oleh kaum sufi yang dikeluarkan untuk menjadi simbol diseputar terminologi dunia tashawwuf, dengan penjelasan hakikat makna yang dikandung istilah tersebut dan keterangan bahwa antara mabuk dengan trance (tak sadar) itu tidak sama. Mereka berkata, “Perbedaan antara sakr (mabuk) dan ghaibah (trance), Ghaibah terjadinya dengan perantaraan ingat kepada siksa dan bencana yang muncul dan karena sangat takut (khauf) dan kuatnya harapan (raja’). Sedangkan sakr tidak akan terjadi kecuali oleh yang memiliki rasa cinta. Apabila seorang hamba dibukakan hijab tentang sifat-sifat keindahan (Aljamal), mabuklah ia, dan rindulah ruhaninya, serta hatinya jatuh cinta. Jadi, trance adalah kondisi (Ahwal) orang-orang yang memikirkan akhirat, maka mereka beribadah dengan tekun kepada Allah, karena mereka mengharapkan rahmatNya serta takut akan siksaNya. Tetapi, mabuk adalahsuatu kondisi khusus bagi pemilik cinta (kekasih) yang jiwanya dan ruhaninya tergantung kepada Alhaqq s.w.t. Dengan musyahadah keindahan dzatNya merupakan surga mereka, sedangkan terhijabnya keindahan dzatNya menjadi neraka mereka.

Bahwa ungkapan-ungkapan simbolik kaum shufi dalam puisi-puisi cinta itu mereka lakukan apabila mereka sedang membicarakan kekasih, tetapi penggunaan kata khamar mereka lakukan apabila mereka sedang membicarakan soal cinta itu sendiri. Demikian itu mereka lakukan, karena mereka mengakui kekurangan bahasa dan kata-kata untuk melukiskan perasaan Hubb Ilahi yang tak terhitung banyaknya. Salah seorang sufi berkata, “Allah itu minuman yang pada waktu malam Dia memberi minum kepada hati kekasih-kekasihNya. Jika mereka telah meminum, maka terbanglah hati mereka ke alam malaul a’la, karena sangat cinta dan rindu bertemu denganNya.”

Engkau siramkan siraman cinta ke dalam hatiku
Maka aku tidak ingat lagi pada hari kiamat
Engkau lukai hatiku dengan perjumpaan
Makarinduku semakin bertambah dan lahirlah rasa cinta
Sirami aku dengan minuman yang menghidupkan hatiku
Dengan gelas cinta dari lautan kasih sayang
Andaikan Allah tidak menjaga orang-orang arif
Niscaya mereka kehausan di setiap lembah

Simbol di dalam penggalan-penggalan ini jelas sekali, berdekatan artinya, karena pertalian yang dikomentari mereka pada sebagian besar baris-barisnya. Dan di antara bait-bait itu kebanyakan menyerupai simbol-simbol yang diungkapkan oleh Abu Bakar Assyibli.


Ghaib (trance) itu menyenangkan
Wahai orang-orang yang lupa sarapan pagi
katanya
Selamat datang, kataku
Selama ruh dikandung badan

Sarapan pagi di sini adalah simbol dari Cinta Ilahi. Dan di antara letak-letak yang diisi gaya bahasa simbolik ini adalah sama’ (pendengaran) yang merupakan peran yang paling penting dalam kehidupan kaum sufi untuk menghadirkan ahwal (kondisi) cinta, jadzab (tertawan, terpikat) serta melukiskan berbagai cerita kesufian, bagaimana salah seorang di antara mereka mengalami saat jadzab ketika mendengar beberapa bait puisi yang sengaja diperdengarkan, atau sengaja mendengarkan majelis ta’lim yang ia datangi. Asysyibli pernah mendengar seorang laki-laki melagukan,

Yang aku inginkan darimu minuman murni
Apabila kamu sudah memberi campuran
Maka jauhkan dan enyahkanlah
Tak perlu kupertimbangkan lagi

Maka Syibli jatuh pingsan. Biasanya puisi yang disampaikan untuk didengarkan adalah puisi cinta insani. Telah dijelaskan, bahwa simbolisasi terhadap jenis puisi ini bukanlah maksud dari penyairnya, melainkan penafsiran kaum sufi terhadap makna sufistik dan simbol tersebut. Contoh penafsiran itu seperti apa yang didengar oleh Ahmad bin Marzuq, “Aku pergi bersama Junaid menghadiri suatu pertemuan di Baghdad. Tiba-tiba seorang biduan melagukan sebuah syair :

Rumah-rumah yang sangat kucintai dan kusukai
Di saat engkau memenangkan hari-hari

Kemudian Junaid menangis keras-keras dan berkata kepadaku, “Hai Abul Abbas, alangkah indahnya rumah-rumah menyenangkan dan memenangkan itu, dan alangkah jijiknya tempat tinggal yang saling berlawanan. Aku selalu merindukan keinginanku menjadi kenyataan, menajamkan perangaiku, dan kendaraanku untuk wushul (sampai), adalah bencana. Inilah aku di hari-hari senggang, aku menyesali masa lalu.”

Nampak jelas dalam penggalan-penggalan yang menjadi pilihan kaum sufi untuk mendengar (sima’) sejauh mana kecakapan, kemahiran, dan kemampuan daya rasa dalam pilihan, adalah penggalan-penggalan yang penuh perasaan sentimentil yang menampakkan kehalusan jiwa. Hal itu akan memberi bekas yang dalam, dan pengaruh yang berkesan untuk membakar api cinta. Bahkan, dalam sebagian kisah, penggalan-penggalan yang diungkapkan kaum sufi melalui perlambang yang unik itu memberi kesan yang sangat membekas secara kuat dalam jiwa yang mendengarkan (sima’) sehingga ada kalanya mengantarkan dirinya kee ambang maut. Dalam Tarikh Baghdad diceritakan, bahwa penyebab kematian Abu Hussain Annuri adalah karena mendengar bait-bait puisi ini :

Aku senantiasa menetap di dalam rumah
Cintamu dengan hati kebingungan
Saat memasukinya

Maka Annuri sangat berduka cita sehingga dia menjadi linglung dan lari ke padang sahara, kemudian terdampar di hutan bambu yang sudah terpotong batangnya sehingga tinggal seperti pedang yang tajam. Dia berjalan di atas bambu-bambu runcing itu kembali pulang ke rumahnya keesokan harinya, sedangkan kedua kakinya berlumuran darah, lalu dia terjatuh pingsan dalam keadaan kedua kaki membengkak, akhirnya dia meninggal.

Banyak diceritakan keadaan cinta yang timbul dari mendengarkan (sima’) puisi-puisi cinta yang menimpa beberapa tokoh terkenal abad ketiga. Assalami berkata, “Beberapa penyanyi melantunkan lirik-lirik yang mengandung berkah ini di depan Alharits :






Aku sedang menangis di dalam pengasingan
Tangisan mata orang yang aneh
Padahal sejak perpisahanku dengan kampung halamanku
Tak pernah bencana menimpaku
Heran, mengapa kutinggalkan negeriku
Padahal di sana ada kekasihku

Lalu Alharits berdiri, pergi sendirian sambil menangis sehingga seluruh yang hadir menaruh kasihan kepadanya.

Setelah Dzunnun Almishri menetap di Baghdad, kemudian kaum sufi datang berkumpul di rumahnya, salah seorang dari mereka berkata, “Minta izin lebih dahulu kepada dia untuk menyampaikan sesuatu.” Maka Dzunnun memberi izin kepadanya, lalu penyanyi memulai melagukan :

Sekecil apapun cintamu, menyiksaku
Bagaimana kalau cinta itu sampai mengakar di hatiku
Engkau kumpulkan cinta dari hatiku
Yang sudah membatu
Tidakkah engkau ratapi yang bersedih hati
Apabila orang yang tidak punya kekasih tertawa
Ia menangis

Kemudian Dzunnun berdiri, lalu jatuh terjerembab sehingga darah mengalir dari wajahnya, tetapi tidak setetes pun yang jatuh di tanah.

Apabila memandang kekasih dan berjumpa dengannya merupakan tujuan cinta bagi para pelaku Cinta Naluriah sehingga bisa bersenang-senang dengan menikmati kecantikannya dan bermesraan berdua, maka demikian pula kaum sufi yang mencintai Allah s.w.t. menginginkan dalam cinta mereka itu dapat melihat (ru’yat) dan musyahadah (menyaksikan) kemulian dan keagungan wajahNya sambil bersenang-senang dengan keindahanNya yang azali. Sedangkan kondisi (ahwal) yang paling menguntungkan bagi kaum sufi dalam percintaan mereka itu adalah kenikmatan wushul (sampai), dan kebahagiaan qurb (dekat), dan fana’ (terbang melayang) dalam sakr (trance). Fana’ di sini ada dua sisi, yaitu Khuluqi (moral), dan Dzauqi (daya rasa). Aljurjani menjelaskan, bahwa fana adalah lenyapnya sifat-sifat tercela, kebalikan baqa’, yaitu adanya sifat-sifat terpuji. Fana’ khuluqi dengan cara memperbanyak riyadlah (olah ruhani), sedangkan fana’ dzauqi yaitu tidak adanya sentuhan dengan alam malaikat dan alam malakut karena Ghariq (tenggelam) di dalam keagungan musyahadah Alhaqq. Maka Fana’ di luar Cinta Ilahi merupakan satu bentuk imitasi. Dalam hal ini Arraudzabari berkata,

Barang siapa tidak menjadi fana’ dalam bercinta denganmu
Atau dalam bermesra dan jatuh hati dengan kekasihnya
Atau diperbudak rindu yang meluap-luap yang menyatu padanya
Tidak dapat membedakan sebab-sebabnya
Maka ia seolah-olah berhenti di antara beberapa bukit
Untuk mendapatkan nasib baik atau tempat kembali yang baik

Artinya, orang yang tidak sampai fana’ dalam kerinduannya dan dalam cintanya, ia adalah sama dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang yang I’tikaf dengan beribadah kepada Allah karena mengharapkan pahala surga dan tempat kembali yang baik. Maka mereka tidak pantas disebut sebagai orang-orang yang bercinta. Kaum sufi meminta pertolongan untuk menghadirkan fana’ ini melalui dzikir dan sima’, Dzikir menurut mereka adalah sayap-sayap untuk melingkarkan ruh mereka di alam ‘Illiyyin (surga tertinggi) bukan sekedar untuk memperoleh ketinggian derajat di akhirat. Ini yang tidak terlintas dalam pikiran orang-orang yang bercinta, karena kaum sufi dzikir mengitari qurb (dekat) dan bersenang-senang dengan kenikmatan musyahadah sehingga ghariq (tenggelam) dalam fana’.








Cinta tak suka bersembunyi
Sudah berapa lama kusimpan
Bahkan ia menderum dan meraung-raung dalam diriku
Apabila aku telah rindu berat, atau ingin selalu dekat,
Maka Dia menampak, lalu aku dalam fana’
Kemudian kubangunkan malamku dengan dzikir
Maka ia membahagiakan aku dalam kenikmatan
Dan aku pun tharb (tidak sadar) kegirangan

Dzikir (Ingat) sebagai media musyahadah karena menghasilkan kegembiraan (Wajdu), lalu menjadikan lepas (Ghaibah), dan memperoleh (Musyahadah). Kegembiraan (Wajdu) tidak direkayasa karena kondisi ini biasanya diikuti getaran jiwa (ecstasy), karena dzikir. Sedangkan lepas (ghaibah) artinya, terlepasnya hati dari penampakannya kepada selain Allah tanpa perubahan situasi lahiriahnya, karena kehadiran (Hudlur) Alhaqq dalam jiwanya. Pengertian ini hampir menyerupai arti fana’. Yakni, kaum sufi, apabila mereka sudah keluar dari kondisi kemanusiaannya menjadi fana dan syuhud (menampak, menyaksikan) meningkat naik dari dzikir ke gembira (Wajdu), lalu lepas (ghaibah) kemudian tenggelam (Ghariq).

Aku dzikir kepadaMu bukan karena
Kulupakan Engkau walau sekejap mata
Dzikir dengan lisan paling mudah kulakukan
Tanpa kegembiraan aku hampir saja mati karena cinta
Dan hampir hilang akalku saat hati berdebar-debar
Tetapi ketika Engkau hadir dalam kegembiraanku
Kusaksikan Engkau nampak di setiap pandangan
Maka kuajak berbicara segala yang ada tanpa kata-kata
Dan kuperhatikan seluruh yang nampak tanpa saksi mata

Tetapi tidak seluruh sufi dapat menempuh semua cara ini. Sebagian dari mereka hanya mampu menempuh sampai di tahap dzikir saja, sebagian lagi ada yang mampu melanjutkan ke tahap wajdu, ada pula yang berhasil menduduki kondisi ghaibah dengan karunia Allah sehingga merasakan nikmatnya musyahadah. Di tangan kekuasaan dan kehendak Allah jualah perjalanan mereka dari tahap ke tahap lainnya ditentukan.

Siapa dikaruniai wajdu berkuranglah untuk mengerjakan dengan baik terhadap apa yang menghasilkan fana’ karena karunia dan anugerahNya.

Junaid termasuk orang yang pernah mencapai tidak sadar (Tharb) dalam gembira (Wajdu) dan dia menyangka sudah sampai ke puncak perjalanan ruhaninya. Setetlah dia diperkenankan mencapai musyahadah, maka dia mengerti, bahwa dirinya masih terhijab, lalu Allah menyingkapkan tabir hijab (Mukasyafah) itu kepadanya. Maka dia berkata :

Cinta telah membuatku pingsan
Sehingga menghalangi pandanganku
Kepada kekasih yang ada dalam hatiku
Kekasih, menggetarkan hati yang marak dengan cinta
Dan di saat syuhud kepada Alhaqq
Cinta itu membuat tidak sadar

Artinya, cinta itu merupakan suatu posisi (Maqam) yang menggembirakan hati siapa yang gigih berpupaya untuk mencapai tujuan puncaknya. Apabila tujuan itu sudah memuncak, ia menjadi fana’ dalam syuhud kepada kekasihnya dan pandangannya terhalang dari melihat kepada selain dia. Cinta yang belum mencapai tujuan puncak (syuhud) berarti cintanya belum klimaks.

Menurutku cinta itu dusta kalau belum mencapai syuhud
Syuhud kepada Alhaqq itu bagiku menjadi penghalang
Pandanganku kepada selain Dia

Kaum sufi menyatakan istilah Kasyf sebagai keadaan di saat musyahadah atau ru’yat (menyaksikan atau melihat Alhaqq). Misalnya yang diungkapkan oleh Annouri :

Seandainya tidak karena aku takut
Engkau tak melihatku
Tentu kubiarkan saja mataku mengantuk
Takut itulah yang membikin aku berantakan
Sebagaimana engkau lihat tempat tinggalku
Aku melarikan diri dari kekasih yang kucintai
Karena cintanya membuatku gila
Dan menjadikan aku tertahan sebagaimana engkau lihat
Gubuk kumuh yang kudiami
Dia membikin aku berlari-lari
Seolah-olah aku tidak ada di sini
Aku bersepakat denganNya tetapi Dia mengingkari janji
Kalau aku menjauhkan diri Dia yang menampak
Tetapi saat Dia menampakkan diri Dia menjauhi aku
Dia berkata, jangan melihat apa yang nampak
Tetapi syuhudlah kepadaKu

Abu Hamzah sendiri menyatakan ru’yat (melihat) sebagai saat mukasyafah. Diceritakan, bahwa dia sedang bertamasya. Kemudian dia jatuh ke dalam sebuah sumur di persimpangan jalan. Ada rombongan lewat di sumur itu. Lalu mereka menutup sumur itu, takut kalau ada orang yang terjatuh, tetapi mereka tidak mengetahui, bahwa di dalamnya ada Abu Hamzah. Sedangkan Abu Hamzah sendiri tidak menegur mereka agar tidak mengganggu tawakkalnya. Mereka pun berlalu, tetapi dia dapat dikeluarkan oleh seekor keledai liar. Maka Abu Hamzah berkata, “Keledai itu berkata kepada, ‘Wahai, Abu Hamzah, bagaimana pendapatmu, kuselamatkan engkau dari kerusakan dengan kerusakan,” Kemudian dia pergi dan kukatakan :

Hidupku dariMu telah menghalangi aku
Untuk memperlihatkan cinta
Dan menyingkirkan terbukanya tabir
Untuk berdekatan denganMu
Engkau tampakkan alam ghaib padaku
Hingga aku merasa digembirakan dalam ghaibku
Karena Engkau seolah-olah menjulurkan telapak tangan
Engkau memperlihatkan kepadaku keledai liar
Dari karena rasa takutku kepadaMu
Lalu Engkau jinakkan ia dengan perasaan iba dariMu
Untuk belas kasihan kepadaku

Jadi, musyahadah dan ru’yat tidak ada bedanya menurut pendapat Aljurjani. Perbedaan ungkapannya bukan karena berbeda hakikatnya, tetapi karena perbedaan kecenderungan orang yang mengungkapkan kedua istilah itu. Mereka cenderung menggunakan ungkapan musyahadah adalah berpijak kepada cara tashawwuf yang asli, yakni menjadikan perasaan sebagai pegangan pertama dan utama. Sedangkan mereka yang cenderung memakai ungkapan ru’yat adalah menganggap musyahadah itu sebagai bagaian dari hasil pemikiran rasional yang bermunculan dari luar daerah tashawwuf, yakni tafakkur (perenungan) yang biasa dipakai dalam Ilmu Kalam.

Dalam kaitannya dengan fana’ (lenyap), istilah ini diungkapkan secara terpadu antara tashawwuf dan filsafat dalam pembicaraan mereka mengenai Makrifat. Makrifat menurut filsafat bersumber dari kearifan akal, sedangkan menurut kaum sufi merupakan hasil kepekaan daya rasa (dzauq) dan melalui jalur tertariknya hati lewat saluran aktifitas ruhani. Jadi, tidak ada sama sekali unsur logika, sekalipun keduanya bisa dipadukan.

Di kalangan kaum sufi sendiri terjadi silang pendapat antara Hubb dan Makrifat dalam hal yang manakah lebih dahulu muncul atau mana yang kemudian. Sufi yang lebih dahulu berbicara tentang makrifat pada abad ketiga adalah Dzunnun Almishri, seorang yang memiliki pengetahuan luas dan yang mengeritik filsafat Yunani, terutama aliran New Platonisme yang sedang meriah dipelajari oleh bangsa-bangsa di Asia Barat dan Mesir. Selain itu, Dzunnun juga menguasai kebudayaan Mesir kuno. Menurut Ibnu Khalkan, dia seorang hakim yang fasih dan mendatangi museum di Mesir untuk meneliti rumus-rumusnya. Di samping itu, dia juga menguasai dan memiliki keistimewaan dalam memahami rahasia-rahasia ketuhanan.


Hati orang-orang makrifat mengembara
Di seputar Raudlah
Langit-langit di bawahnya
Adalah tabir-tabir ketuhanan

Penggalan puisi tersebut tidak begitu mantap. Jelas pertalian objeknya lebih bersifat perenungan rasional yang mengesankan, bahwa dalam hal makrifat pendapat Dzunnun kurang memiliki nilai estetik.

Pada pertengahan abad ketiga, makrifat tidak banyak dibicarakan, karena pada kurun ini masih diwarnai dengan cara pencapaian dzauq (daya rasa) yang murni sehingga tidak dipisahkan antara Makrifat dan Hubb. Maka dalam pembicaraan mereka terdapat pertalian yang erat dan terjalin dengan mesra, saling melengkapi. Selain itu, dalam kurun ini kaum sufi juga masih belum berani menonjolkan pendapat dan pandangannya secara khusus tentang Makrifat, sebab kondisi masyarakat masih belum siap menerima konsep mereka, Abu Abdillah Aljalla’ (w. 306 H.) ditanya orang tentang cinta (Hubb), maka dia menjawab,

Bukan seseorang yang mengerti bagaimananya
Maka bagaimanakah bagaimana Aljabbar dalam Qidam
Dialah yang menciptakan segala sesuatu, baru
Bagaimana Dia bisa difahami oleh pembuat
Perubahan yang baru

Fana’ memerlukan Baqa’. kaum sufi fana’ dalam dirinya untuk baqa’ dalam Tuhannya. Baqa’ adalah satu kondisi kaum sufi dalam ittihad (menyatu) dengan Tuhannya. Ittihad merupakan puncak tujuan akhir perjalanan ruhani kaum sufi, karena semua menginginkan menjadi Rabbaniyyin (Orang-orang yang telah mencapai derajat makrifat).

Alhallaj (w. 309 H.) dipandang sebagai sufi muslim yang mendahuluinya dalam membicarakan ittihad, baik dalam puisi-puisinya maupun prosa-prosanya secara radikal, karena sebelumnya hal itu dikenal sebagai suatu rekaan-rekaan kebohongan (sensasi). Abu Yazid Albusthami mengistilahkan sebagai ungkapan yang ekstrim yang banyak mengandung tipu muslihat dan penyimpangan. Sementara Attastawi dan Junaid termasuk paling keras menentang ittihad. Kaum sufi terdahulu membicarakan masalah Alhallaj dengan konsep ittihadnya yang menampakkan penolakan mereka terhadap kedudukan Alhallaj dan keadaannya. Pembicaraan mereka lebih banyak difokuskan kepada Tafarruq (perpisahan), Jam’u (berkumpul), dan Jam’ul Jami’ (menyatu).

Tafarruq (perpisahan) merupakan kondisi sufi yang biasa dialami sebelum memasuki kondisi Jadzab (tertarik/terpikat). Dalam keadaan seperti itu, seorang sufi adalah manusia biasa. Dia melihat segala sesuatu, perbuatan, sifat, dan percintaan, sebagaimana kebanyakan orang, sehingga keadaan itu menurut anggapan mereka adalah Indikasi pada Naluri Tanpa Bukti atau Musyahadah Ubudiyah (Pengakuan Pengabdian), atau bisa dikatakan sebagai “Apa yang dinisbatkan kepadamu”, atau yang biasa diistilahkan dengan Shohwu (terjaga). Tetapi keadaan tersebut tidak ada kaitannya dengan ittihad, karena bisa dialami oleh kaum sufi maupun lainnya.

Ittihad dimulai dengan masuknya perasaan ke dalam kondisi Jam’u (berkumpul) atau mabuk berat (Sakr Jam’u) atau yang biasa disebut Mahwu (lenyap) yang serupa dengan istilah fana’ (melenyapkan keakuannya dan melepaskan kediriannya), karena Baqa’ (kekal) di dalam keagungan dan keindahan Allah. Di sini, orang yang bercinta menyingkirkan aku dan dirinya dengan cara merenung seolah-olah sama seperti ramalan, tetapi bukan juru ramal. Dan dia mendengar serta mengerti, seolah-olah sama dengan pendengaran dan pengertian, tetapi bukan pendengar dan penghafal. Dan dia berbicara seolah-olah sama dengan pembicaraan, tetapi bukan pembicara. Itu semuanya agar orang yang bercinta (yang tidak mungkin mencapai mata, telinga, hati dan lisan kekasihnya) itu, bisa mencapai posisi jam’u (berkumpul). Keadaan seperti itu biasa dikenal oleh kaum sufi sebagai Indikasi Nyata Tanpa Rekayasa atau “Mengumpulkan apa yang terampas dari kamu” (Aljam’u wa suliba ‘anka).

Keadaan jam’u (berkumpul) ini merupakan bagian dari ungkapan kaum sufi yang disebut Syathu (mengembara). Pengembaraan, menurut Aljurjani, adalah : Kalimat yang mengandung aroma yang menyengat dan pengakuan. Syathu termasuk kesalahan para peneliti yang diakui sebagai kebenaran, yang diutarakan oleh orang arif tanpa seizin Tuhan melalui cara yang ditempelkan (menempel pada ) selebriti. Misalnya kata Subhani dari Abu Yazid Albusthami, dan Analhaqq dari Alhallaj.


Ada seorang mengatakan kepada Junaid, bahwa Abu Yazid Albusthami melampaui batas dalam pembicaraannya. Junaid bertanya, “Pembicaraan apa yang sampai kepadamu yang kamu anggap melampaui batas itu ?” Dia menjawab, “Kami mendengar dia berkata Subhani, Subhani, Ana Rabbiyal A’la.” Junaid berkata, “Seseorang menjadi binasa di saat menampak (syuhud) keagungan Tuhan, lalu dia mengungkapkan kekalutan pikirannya itu dengan kata-kata di saat dia hanya menyaksikan Allah Ta’ala dan menyifatiNya dengan ungkapan itu.”

Ini berarti, keadaan jam’u (berkumpul) memberi kesan tersendiri bagi kaum sufi dalam penyimpulan estetik (penguasaan phillologi) sebagai prinsip dasar dalam penciptaan karya sastera seperti ungkapan apa yang disebut Syathu (pengembaraan) ruhani. Misalnya :

Nuraniku memberitahukan Engkau
Sehingga aku fana’ dalam akuku
Sedangkan Engkau tetap baqa’
Engkau hapus namaku dan bentuk tubuhku
Kutanyakan siapa aku,
Engkau menjawab, engkau
Engkau kemudian menghibur imajinasiku
Maka di manapun aku berputar
Yang ada hanya Engkau

Ini adalah pandangan terhadap segala ssuatu dengan mata Alwihdah (keesaan) setelah masuk ke dalam Mahwu (lenyap) atau Jam’u (berkumpul). tidak perlu dijelaskan lagi, bahwa wihdah di sini adalah Dzauqiyah (daya rasa) yang bersumber dari sentuhan perasaan, bukan berdasarkan ungkapan pandangan mata sebagaimana pijakan teori filsuf.

Misalnya lagi ungkapan Abu Yazid Albusthami :

JauhMu dariku adalah kedekatanMu
Engkau pindahkan aku darimu dengan maknaMu
Tidak kami pisahkan Sifat-sifat yang ada di antara kita
Bila orang berkata kepadaku, “Maka jadilah aku engkau”

Beginilah perasaan ittihad antara seorang kekasih dan Kekasihnya yang terjadi dalam pribadi Albusthami saat pengembaraan (Syathu)nya, yang hanya terjadi antara kekasih dan kekasihnya saja. Tetapi, kadang terjadi juga di luar percintaan itu, seperti pada penggalan-penggalan pertama.

Mendahului Albusthami adalah Asysyibli dalam pengembaraan ruhaninya. Dalam hidupnya, Syibli mengalami pengembaraan dalam dua bagian. Pertama, sebelum kematian Alhallaj ketika dia sebagai pelopor penciptaan prosa maupun puisi-puisi syath (pengembaraan), seperti contoh-contoh yang dikemukakan sebelum ini. Kedua, setelah kematian Alhallaj, ketika dia telah mengurangi kelancangannya dalam periode itu, dan mencoba menjelaskan ungkapan-ungkapannya melalui edisi tahunan yang tidak lagi bertentangan dengan ajaran syariat yang konkrit (lahiriah). Diceritakan, bahwa Syibli datang ke tempat Alhallaj disalib sambil berkata, “Bukankah telah kularang engkau orang banyak ?” Maksudnya, mencegah Alhallaj dari membuka rahasia-rahasia ketuhanan yang dicaci maki oleh orang-orang arif dan agar dia menjaga diri dan menghindarinya.

Tokoh-tokoh sufi memandang tahapan jam’u (berkumpul) adalah tahapan paling rendah, sebab orang-orang yang bercinta harus sampai Jam’ul Jami’ (menyatu) atau Sharwul Jami’ (berkumpul secara sadar) atau Alfarqatuts Tsani (pemisahan kedua) yakni tahapan yang mengiringi tahapan jam’u sebelumnya. Kaum sufi mengumpulkan kedua tahapan itu bersama-sama, yaitu jam’u dan farqu karena setiap hamba tidak boleh tidak mencapai kedua-duanya. “Barangsiapa tidak megalami tafarruq tidak ada ubudiyahnya, dan barangsiapa tida mengalami jam’u maka tidak ada ma’rifat baginya.” Maka keadaan jam’ul jami’ (menyatu) adalah keadaan sadar biasa, terjaga dan pencapaian, berbeda dengan Alfarqul Awwal (pemisahan pertama), karena keadaan ini adalah ahwal yang dirasakan oleh seorang sufi dalam ittihadnya persis seperti keadaan berkumpul (jam’u). Bedanya, ittihad yang dialami dalam farqu awwal adalah menyata dalam masa-masa sakr dan fana’ saja (jam’u), sedangkan ittihad dalam farquts tsani (jami’ul jami’) dialami tanpa didahului oleh sakr atau ghaibah, karena keadaan ini secara konstan menyata dalam seluruh situasi dan sepenuh kesadaran dalam kehidupannya sehari-hari selama dia menangkap wihda jika dia memandang seluruh yang ada, atau menangkap seluruh yang ada jika dia memandang wihdah.

Para sufi abad ketiga telah banyak membicarakan Aljm’u wat Tafarruq (berkumpul dan berpisah) ini, di antaranya :

Apabila Dia tidak nampak kepadaku
Aku sombongi Dia
Maka kududukkan di dalam tempat orang
Yang tidak datang
Kukumpulkan dan kupisahkan Dia dariku
Maka satu penggabungan berangkat dua

Penyair di sini telah sampai ke jam’ul jami’ setelah menyata dalam jam’u, dan setelah sampai ke jam’ul jami’ itu, dia berkumpul dalam perhitungan dan berpisah dalam perhitungan. Satu penggabungan (jam’u) berangkat dua (tafarruq).

Termasuk pemerhati jam’ul jami’ di kalangan sufi abad ketiga adalah Junaid Albaghdadi, sebagaimana ungkapannya :

Kupastikan secara nyata Engkau
Di dalam misteri maka kubisiki Engkau
Kemudian kami berkumpul dalam makna
Dan berpisah dalam makna
Apabila pengagungan dapat menyembunyikan Engkau
Dari kedipan mataku
Maka cinta telah dapat menjadikan Engkau
Dekat dengan orang bawah

0 KOMENTAR:

POSKAN KOMENTAR

nafsu

“Kalau bukan karena indahnya tutupnya Allah swt, maka tak satu pun amal diterima.”Kenapa demikian? Sebab nafsu manusia senantiasa kontra dengan kebajikan, oleh sebab itu jika mempekerjakan nafsu, haruslah dikekang dari sifat atau karakter aslinya.
Dalam firmanNya: “Siapa yang yang menjaga nafsunya, maka mereka itulah orang-orang yang menang dan bahagia.”(Al-Hasyr 9)

Nafsu, ketika masuk dalam kinerja amaliah, sedangkan nafsu itu dasarnya adalah cacat, maka yang terproduksi nafsu dalam beramal senantiasa cacat pula. Kalau toh dinilai sempurna, nafsu masih terus meminta imbal balik, dan menginginkan tujuan tertentu, sedangkan amal itu inginnya malah ikhlas. Jadi seandainya sebuah amal diterima semata-mata bukan karena amal ansikh, tetapi karena karunia Allah Ta’ala pada hambaNya, bukan karena amalnya.

Abu Abdullah al-Qurasyi ra mengatakan, “Seandainya Allah menuntu ikhlas, maka semua amal mereka sirna. Bila amal mereka sirna, rasa butuhnya kepada Allah Ta’ala semakin bertambah, lalu mereka pun melakukan pembebasan dari segala hal selain Allah swt, apakah berupa kepentingan mereka atau sesuatu yang diinginkan mereka.”

Oleh sebab itu Ibnu Athaillah melanjutkan:
“Anda lebih butuh belas kasihan Allah swt, ketika anda sedang melakukian taat, dibanding rasa butuh belas kasihNya ketika anda melakukan maksiat.” Kebanyakan manusia memohon belas kasihan kepada Allah Ta’ala justru ketika ia menghadapi maksiat, dan merasa aman ketika bisa melakukan taat ubudiyah. Padahal justru yang lebih dibutuhkan manusia adalah Belas Kasih Allah ketika sedang taat. Karena ketika sedang taat, para hamba sangat rawan “taat nafsu”, akhirnya seseorang terjebak dalam ghurur, atau tipudaya dibalik amaliyahnya sendiri.

Rasulullah saw, bersabda:
“Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada salah seorang Nabi dari para NabiNya: “Katakanlah kepada hamba-hambaKu yang tergolong shiddiqun, jangan sampai mereka tertimpa tipudaya. Sebab Aku, bila menegakkan keadilanKu dan kepastian hukumKu kepada mereka, Aku akan menyiksa mereka, tanpa sedikit pun aku menzalimi mereka. Dan katakanlah kepada hambaKu yang ahli dosa, janganlah mereka berputus asa, sebab tak ada dosa besar bagiKu manakala Aku mengampuninya.”

Bahkan Abu Yazid al-bisthami ra mengatakan: “Taubat dari maksiat bisa sekali selesai, tetapi taubat karena taat bisa seribu kali pertaubatan.”
Mengapa kita harus lebih waspada munculnya dosa dibalik taat? Karena nafsu dibalik maksiat itu jelas arahnya, namun nafsu dibalik taat sangat lembut dan tersembunyi.
Diantara nafsu dibalik taat yang menimbulkan dosa dan hijab antara lain:
1. Mengandalkan amal ibadahnya, lupa kepada Sang Pencipta amal.
2. Bangga atas prestasi amalnya, lupa bahwa yang menggerakkan amal itu bukan dirinya, tetapi Allah swt.
3. Selalu mengungkit ganti rugi, dan banyak tuntutan dibalik amalnya.
4. Mencari keistemewaan amal, hikmah dibalik amal, lupa pada tujuan amalnya.
5. Merasa lebih baik dan lebih hebat dibanding orang yang belum melakukan amaliyah seperti dirinya.
6. Seseorang akan kehilangan kehambaannya, karena merasa paling banyak amalnya.
7. Iblis La’natullah terjebak dalam tipudayanya sendiri, karena merasa paling hebat amal ibadahnya.
8. Menjadi sombong, karena ia berbeda dengan umunya orang.
9. Yang diinginkan adalah karomah-karomah amal.
10. Ketika amalnya diotolak ia merasa amalnya diterima.[ibnu athoillah]

0 komentar:

Posting Komentar

copyrigt; Juned Topan.. Diberdayakan oleh Blogger.