Jumat, 21 Oktober 2011

Anton Agus SetyawanIslam, Sosialisme, dan Utopia Masyarakat Madani OPINI | 07 April 2010 | 10:36850 1 Nihil

Perkembangan pemikiran politik kontemporer di Indonesia telah menuju pada suatu era keterbukaan, dimana demokratisasi, kerakyatan dan paradigma civil society atau masyarakat madani akan diwujudkan. Berbicara masalah politik berarti juga berbicara tentang ideologi karena dalam berpolitik kita akan selalu menggunakan ideologi sebagai pegangan. Sejak masa kemerdekaan, partai politik di Indonesia didominasi oleh parpol-parpol yang berideologi nasionalisme, sosialisme dan keagamaan. Namun, pada masa Orde Baru parpol dengan azas sosialisme harus “tiarap” karena trauma PKI tahun 1965. Pada masa pasca Orba kemunculan kembali beberapa ideologi yang dulu “diharamkan” menjadi fenomena menarik karena mereka bertransformasi dengan “baju baru”. Sosialisme misalnya mencoba bertransformasi dengan menggabungkan dirinya atau memperkaya dirinya dengan Islam atau demokrat. Hal ini kemudian memunculkan term-term politik baru seperti sosialis demokrat atau sosialisme Islam.

Sosialisme Islam adalah sebuah makna lama tapi baru, karena istilah ini muncul sejak tahun 1950-an. Bermula dari beberapa anak-anak muda Muslim dari Arab dan Afrika yang mendapat didikan dari Moskow, setelah kembali ke negaranya mereka tidak puas terhadap pemerintahannya yang monarki namun cenderung liberalis. Anak-anak muda ini menjumpai banyak sekali kesengsaraan diantara rakyatnya sementara keluarga penguasa (kerajaan) berlimpah dengan harta. Ini yang kemudian memperkuat keyakinan mereka akan pertentangan kelas, sebuah dasar pengambilan kekuasaan a la Sosialis. Anak-anak muda yang kemudian berani mengambil alih kekuasaan tersebut diantaranya Kolonel Muammar Ghaddafi dari Libya dan Saddam Hussein dari Iraq. Keduanya adalah contoh konkret dari sebuah pemerintahan sosialisme Islam yang sampai saat ini masih eksis di dunia. Ghaddafi dengan latar belakang militernya adalah seorang perwira muda di jajaran AB Libya yang memiliki pemikiran cemerlang. Kemampuan mempertahankan kekuasaan selama puluhan tahun dengan tekanan dari AS adalah sebuah prestasi tersendiri dari “musuh utama” AS sebelum Usamah Bin Laden ini. Adapun Saddam Hussein memiliki latar belakang sipil dengan partai Baath sebuah partai sosialis di Iraq.

Pemikiran sosialis Islam sebenarnya hanya merupakan bentuk lain dari sosialisme dengan balutan Islam untuk menyesuaikan diri dengan negara dimana dia tumbuh. Sosialisme dengan landasan materialisme dan dialektika materialisme sesungguhnya berbeda jauh dengan konsep Islam yang lebih kepada pendekatan transedental. Yang kemudian harus kita bahas sudah layakkah mensejajarkan bahkan menggabungkan Islam sebagai sebuah kebenaran dengan ideologi sosialisme atau jangan-jangan ini hanya sebuah jargon baru dalam politik untuk mengistilahkan politikus atau pemikir Muslim yang berfaham sosialis. Kemudian pemikiran yang dianggap baru ini mampukah menjadi jembatan untuk menuju terwujudnya masyarakat madani ?

ISLAM DAN SOSIALISME : MINYAK DAN AIR

Kecenderungan yang terjadi saat ini adalah berkembangnya pemikiran-pemikiran baru yang berpola ekliktis dimana ideologi digabungkan agar tampak lebih kompleks, lengkap dan bersifat saling melengkapi. Namun, yang terjadi justru kerancuan pemahaman sehingga nilai-nilai yang akan dipahami dan ditanamkan akan mengalami kekaburan. Sosialisme Islam sebenarnya hanya bersandar pada keyakinan mewujudkan pemerataan (ekonomi, politik dan sosial), namun tanpa embel-embel Sosialisme sekalipun Islam adalah agama yang berkeinginan mewujudkan pemerataan. Zakat dan amal sodaqoh adalah salah satu diantara perwujudan konsep pemerataan dalam Islam (lihat surat At Taubah : 60 ). Sosialisme sendiri menganjurkan pertentangan kelas yang berarti selalu menghadapkan antara pemilik modal (pengusaha) sebagai kapitalis dengan kelas pekerja (buruh) sebagai proletar. Konsep pertentangan kelas ini tentunya tidak sejalan dengan Islam sebagai pembawa kedamaian.

M. Sholahuddin (2001) mengemukakan empat kritik utama terhadap sosialisme yang menyebabkan faham ini tidak sesuai dengan ajaran Islam. Pertama, konsep materialisme. Konsep ini berarti landasan berfikir manusia adalah materi atau wujud kebendaan. Hal ini berarti keberadaan Allah SWT dipisahkan secara mutlak dari kehidupan manusia. Jadi manusia hidup tanpa aspek kerohanian. Kedua, kritik terhadap ide kesetaraan (equality). Kesetaraan barang dan jasa adalah konsep yang hendak diwujudkan oleh para pemikir sosialis. Hal ini tidak sesuai dengan fitrah manusi yang berbeda kemampuan fisik maupun intelektualitasnya. Justru merupakan suatu hal yang tidak adil ketika manusia yang lebih kompeten dan kapabel namun dianggap sama dengan manusia lain yang tidak berkemampuan. Ketiga, penghapusan kepemilikan individu. Islam merupakan agama yang menghargai kepemilikan individu. Sebagai contoh konsep dosa dan pahala dalam ajaran Islam adalah tanggung jawab individu dan bukan tanggung jawab kolektif. Penghapusan kepemilikan individu akan sulit untuk dilaksanakan karena berlawanan dengan fitrah manusia itu sendiri. Keempat, pengaturan produksi dan distribusi secara kolektif. Pengaturan produksi dan distribusi untuk mewujudkan pemerataan tidak menjadi masalah selama prosesnya melalui perdamaian, namun sosialisme menawarkan pengambilalihan sumber daya dari pemilik modal kepada buruh sebagai bagian dari pertentangan kelas.

Sosialisme Islam di Indonesia didominasi oleh pemikir-pemikir dengan latar belakang ideologi sosialis. Banyak pihak yang mengatakan bahwa Mohammad Hatta dan Sri Tua Arief adalah para pemikir Sosialisme Islam. Dalam sebuah karangannya yang berjudul “Persoalan Ekonomi Sosial Indonesia” , Hatta mengemukakan tentang pertemuan antara sosialisme dengan Islam adalah melalui tuntutan sosial dan humanisme dari sosialisme yang ditangkap oleh jiwa Islam (Hatta, 1961). Namun, konsep dari Hatta tersebut lebih banyak mengadopsi sosialisme barat. Dalam tulisan tersebut beliau mengemukakan :

“……Pemimpin-pemimpin Indonesia menerima Marxisme dari barat dan mencari sumber-sumber sosialisme dari dalam masyarakat Indonesia. Bagi mereka sosialisme adalah tuntutan jiwa, kemauan hendak mendirikan suatu masyarakat yang adil dan makmur bebas dari penindasan. Pokok-pokok teori Marx mengenai historis-materialisme diakui sebagai dasar ilmiah untuk mempelajari perkembangan masyarakat……..Sosialisme dipandang sebagai tuntutan instutional, yang bersumber dari lubuk hati, berdasarkan perikemanusiaan dan perikeadilan. Agama menambah penerangannya……”

Dari kutipan diatas ada kontradiksi bahwa logika menilai perkembangan masyarakat untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pemikiran sosialis sedangkan Islam adalah penerangnya.Yang dimaksud disini adalah logika dan praktek kemasyarakatan sosialis namun dengan nilai-nilai Islam sebagai pegangannya. Jika ini yang dipahami sebagai sosialisme Islam maka terlalu dangkal maknanya. Islam adalah sebuah agama wahyu yang merupakan inti dari semua pemikiran-pemikiran buatan manusia terlalu sederhana bila kemudian ideologi yang sebenarnya tidak islami justru digunakan untuk memperkaya Islam.

UTOPIA ITU BERNAMA MASYARAKAT MADANI

Era keterbukaan pasca Orba membawa kita ke dalam pemahaman tentang demokratisasi. Salah satu cita-cita demokrasi itu diwujudkan dalam masyarakat madani. Perkembangan masyarakat madani adalah isu sentral dalam pembahasan mengenai demokrasi, keterbukaan dan pembebasan. Namun yang perlu dimengerti adalah konsep masyarakat madani yang hendak kita wujudkan itu tidak jelas parameter-parameternya. Karena dalam kenyataannya perwujudan masyarakat madani merupakan hal yang sulit. Di dalam tataran wacana masyarakat madani adalah suatu tatanan masyarakat yang menghargai perbedaan, terus bergerak mencari kebenaran, demokratis, mampu memberdayakan dirinya dan anti kekerasan. Ukuran-ukuran yang sangat normatif ini kemudian berhadapan dengan masa transisi di Indonesia yang penuh dengan KKN, ketidakadilan, ketidakjelasan arah perubahan dan terutama kekerasan.

Masyarakat madani bisa terwujud selama basic needs dari masyarakat sudah terpenuhi. Artinya rakyat tidak lagi dibingungkan dengan kenaikan harga barang, ketidakstabilan kondisi politik, rendahnya upah dan lapangan pekerjaan. Masyarakat madani yang kita cita-citakan sebenarnya mengadopsi konsep Barat di negara-negara mapan. Negara-negara maju seperti AS dan Eropa mempunyai masyarakat yang terbuka dan demokratis karena kemapanan politik, ekonomi dan sosial mereka. Negara-negara welfare state seperti Swedia, Denmark dan negara-negara Eropa barat lain juga mempunyai masyarakat yang telah mapan. Namun, bila itu yang dijadikan acuan terwujudnya masyarakat madani terlalu naif dan jauh dari harapan kita sebagai Muslim. Karena apa yang disebut masyarakat madani a la AS dan Eropa adalah masyarakat yang justru telah meninggalkan nilai moral dan agama. Negara-negara maju tidak mengalami masalah ekonomi namun justru mengalami masalah moralitas meskipun mereka tidak menganggapnya sebagai gejala dekadensi moralitas, seperti izin aborsi, seks bebas, single parent, perkawinan gay/lesbi dsb. Konsep ini tentu menyesatkan dan berbahaya.

Makna masyarakat madani harus diredefinisi karena ternyata nilai-nilai yang dijadikan ukuran tidak jelas. Oleh karena itu perwujudan masyarakat madani seharusnya sesuai dengan ajaran Islam sebagai pegangan utama. Masyarakat Muslim di Madinah pada masa setelah Rasulullah SAW hijrah bisa dijadikan parameter dalam perwujudan masyarakat madani. Namun, dengan segala masalah dan pluralitas yang ada di negeri ini, mampukah kita mewujudkannya ?

PENUTUP

Islam adalah agama yang adaptif karena nilai-nilai Islam telah mengakar ke dalam setiap aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu Islam sangat terbuka dalam menerima pemikiran-pemikiran baru. Namun, yang perlu diingat adalah keterbukaan dalam Islam adalah keterbukaan yang kritis artinya suatu sikap yang tidak menolak dunia luar, namun juga tidak berserah diri secara buta kapadanya (Meuleman, 1998). Sosialisme Islam sebagai sebuah pemikiran patut kita hargai namun juga harus kita kritisi karena pemikiran ini bersifat eklikitis yang pemahamannya kabur. Masyarakat madani yang kita cita-citakan juga tidak akan terwujud selama tidak ada acuan jelas untuk mengukur parameter-parameternya.

Dalam sebuah tulisannya, Sindhunata (2002) mengemukakan sebuah fenomena yang dinamakan masyarakat tanpa pusat. Artinya saat ini tidak ada nilai-nilai politik dan sosial yang kita percayai. Struktur baru yang kita harapkan akan menggantikan Orde Baru tidak akan pernah ada, karena pada masyarakat tanpa pusat, kebenaran (versi manusia) adalah suatu proses diskusi dan perdebatan yang tanpa henti. Perdebatan tersebut akan berhenti setelah ada kesepakatan. Namun, setelah kesepakatan diperoleh, dimulai lagi suatu konstelasi baru yang akan mencari bentuk kesepakatan baru, demikian seterusnya. Oleh karena itu generasi sekarang harus bersiap menghadapi fenomena kekaburan ini karena kita harus berusahan mencari kebenaran dengan terus melakukan kontemplasi dan pemikiran serta berdiskusi.

Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta

Universitas Muhammadiyah Surakarta

DAFTAR PUSTAKA

Meuleman, Johan (1998). “Sikap Islam Terhadap Perkembangan Kontemporer” dalam Mukti Ali dkk Agama Dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer, Tiara Wacana Yogya.

Sholahuddin, Mohammad (2001) ” Kritik Terhadap Sistem Ekonomi Sosialis Dan Kapitalis”. Jurnal Ekonomi Pembangunan Kajian Masalah Ekonomi Dan Pembangunan FE-UMS, 2 (2).

Hatta, Mohammad (1997). “Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia” dalam Sri Edi Swasono & FauzieRidjal (ed). Mohammad Hatta : Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan. UI-Press, Jakarta.

Sindhunata (2002). Masyarakat Tanpa Pusat dalam Majalah Basis No. 01-02, Januari-Februari.


0 komentar:

Posting Komentar

copyrigt; Juned Topan.. Diberdayakan oleh Blogger.