Rabu, 11 Januari 2012

Islam Dalam Pandangan Kaum Rejeksioni


Oleh Sumanto Al Qurtuby*

“Kritik saya kepada kelompok “rejeksionis” ini selain alasan “standar ganda” tadi juga karena watak mereka yang suka menggeneralisir wawasan keislaman. Pandangan “Aristotelian” yang membelah dunia menjadi dua kategori: baik dan buruk, benar dan salah, dst sudah sangat kedaluwarsa terutama sejak ditemukan teori “fuzzy logic” (“logika kabur”) oleh fisikawan Iran, Luthfi Zadeh. Dalam kerangka teori “fuzzy logic” ini segala sesuatu harus dilihat secara jernih, teliti, komprehensif, dan akurat dengan pertimbangan yang matang dan mendalam. Sebuah objek tidak bisa dilihat hanya dari satu sisi, satu perspektif, dan satu sudut pandang melainkan harus dari berbagai dimensi sehingga menghasilkan kesimpulan yang akurat tidak bias, komprehensif tidak parsial. Pandangan kelompok “rejeksionis” yang berbau Aristotelian ini seperti ungkapan tradisional kita tentang “orang buta yang menilai gajah”. Penilaian mereka juga tidak akurat karena mereka “dibutakan” oleh “spirit kebencian” yang melandasi pemikiran mereka.”

Islam, agama yang agung ini, selalu dilihat dan diinterpretasikan secara berlainan oleh berbagai aliran pemikiran dan kelompok keagamaan. Pandangan keislaman kaum liberal tentu berbeda dengan kelompok konsevatif-fundamentalis. Kaum radikal agama memiliki tafsir keislaman sendiri yang tentu saja akan berbeda dengan wacana keagamaan yang dikembangkan kelompok moderat-progresif misalnya, demikian seterusnya.
Dalam tulisan ini, saya ingin mengemukakan pandangan keislaman yang dilontarkan oleh orang atau kelompok apa yang saya sebut sebagai “kaum rejeksionis.” Sebagian dari kelompok ini telah membentuk sebuah wadah, organisasi atau jaringan global maya (misalnya, “faith freedom,” freeman, dlsb) tetapi sebagian yang lain bergerak secara individu dan independen sebagai “pemikir bebas” (free thinkers). Yang dimaksud “kaum rejeksionis” disini mengacu pada kelompok yang menolak total dimensi positif Islam. Mereka berpandangan Islam tidak lebih dari “agama penjajah dan biadab” yang menebarkan kebencian dan mengajarkan perilaku barbarism, terrorism, intolerance, dll.

Nabi Muhammad SAW, dalam pandangan kelompok ini digambarkan sebagai pemimpin bengal dan penakluk ambisius yang mengaku-aku sebagai nabi yang mendapat mandat Tuhan untuk memperdayai suku-suku Arab supaya takluk di bawah otoritas politik Suku Quraisy. Nabi Muhammad, lagi menurut mereka, adalah penjahat kemanusiaan yang membunuh ratusan Yahudi Bani Quraizha di Madinah, menghabisi orang-orang Kristen dan pengikut agama dan tradisi lain; sementara Al-Qur’an bukanlah wahyu Tuhan yang selama ini diyakini umat Islam melainkan mereka anggap sebagai “dokumen sekuler” yang merangkum ajaran-ajaran Bible, Injil, dan tradisi Arab lain, dan perangkum dan arsiteknya tidak lain dan tidak bukan adalah Muhammad sendiri.


***

Ada banyak kelompok yang saya sebut sebagai “kaum rejeksionis” ini, baik non-Muslim maupun mantan Muslim. Akan tetapi karena keterbatasan ruang, saya hanya mengemukakan pemikiran sejumlah nama saja. Misalnya Anwar Shaikh, seorang bekas Muslim kelahiran Gujarat (1928) yang sejak 1956 tinggal di Britain karena diancam hukuman bunuh di negeri asalnya, Pakistan. Dengan meminjam ide Nietzsche tentang “Will to Power”, Anwar Shaikh yang dibesarkan dalam keluarga terdidik dan agamis ini menganggap Islam adalah produk kejeniusan Muhammad yang dengan lihai memanipulasi dan mengeksploitasi gagasan kuno kenabian Timur Tengah demi mengejar ambisi politiknya dan sukunya (baca, Quraisy) (lihat selanjutnya di http://freeman.org).

Anwar Shaikh ini adalah penulis buku-buku miring tentang Islam, antara lain, Faith and Deception (1996); Islam: The Arab Imperialism (1998); dan Islam, Sex, and Violence (1999). Semua karya-karya Shaikh yang masa kecilnya bernama Muhammad Anwar ini sangat keras mengkritik Nabi Muhammad, Al-Qur’an, Hadis, dan doktrin-doktrin Islam secara umum. Buku Faith and Deception misalnya berisi tentang kritik Shaikh terhadap Al-Qur’an yang ia anggap penuh dengan inkonsistensi gagasan. Karena ketidakkonsistenan antara satu ayat dengan lainnya ini, Shaikh mengklaim bahwa Al-Qur’an bukanlah “produk ilahi” (baca, wahyu Tuhan) melainkan “akal-akalan Nabi Muhammad.”

Sementara itu buku Islam: The Arab Imperialism mengulas tentang sejarah politik-kekuasaan Nabi Muhammad, dan dengan demikian sejarah politik keislaman. Dalam buku ini Shaikh mengklaim bahwa Nabi Muhammad telah menjadikan Islam sebagai kendaraan politiknya untuk menguasai kawasan Arab dan dunia. Nabi Muhammad digambarkan sebagai sosok yang cerdas tapi rakus dan haus kekuasaan. Untuk dapat menguasai dunia, kata Shaikh, Nabi Muhammad telah melakukan sejumlah langkah-langkah politik dan budaya yang bertumpu pada “prinsip pecah-belah dan jajahlah” (the principle of divide and rule) laiknya kaum kolonial.

Langkah politik pertama yang ditempuh Muhammad adalah menguasai Arab yang menurutnya hanyalah “sasaran antara” atau jembatan untuk menguasai dunia, baik secara politik maupun kebudayaan. Untuk bisa mengusasi kawasan Arab, maka Nabi Muhammad membuat sejumlah “aturan wajib” antara lain Islam itu bertumpu pada Al-Qur’an sementara kitab ini menggunakan bahasa Arab yang tidak dimengerti oleh suku-bangsa lain, Allah diklaim berbahasa Arab (dengan demikian Allah adalah sosok yang “pro-Arab”), para pemimpin Islam dan rezim Muslim harus dari Suku Quraisy, yaitu sukunya Nabi Muhammad, begitu seterusnya. Untuk meyakinkan bahwa masyarakat non-Arab mengakui bangsa Arab sebagai “guru intelektual dan spiritual” mereka, maka ia membuat Mekah sebagai pusat kesucian Islam. Di Mekah inilah dibangun ka’bah yang tidak hanya simbol kesakralan umat Islam tetapi juga sebagai kiblat kaum Muslim di seluruh penjuru dunia. Semua itu oleh Shaikh dianggap sebagai salah satu bentuk kerakusan dan kesombongan Nabi Muhammad karena ia telah berusaha menyamakan statusnya dengan Allah. “I have no doubt the Prophet (Muhammad) wanted to raise himself to the same status as Allah,” tuding Shaikh.

Nama lain yang tidak kalah garangnya dalam mengkritik Islam, Nabi Muhammad, dan Al-Qur’an adalah Ibnu Waraq. Lahir di Rajkot, India, pada tahun 1946 kemudian hijrah ke Pakistan, Ibnu Waraq adalah nama samaran yang secara tradisional diadopsi dari para dissident authors (“para penulis pembangkang”) dalam sejarah Islam. Dia belajar di University of Edinburgh di bawah otoritas intelektual Montgomery Watt. Ibnu Warraq telah menulis dan mengedit sejumlah buku—yang semuanya “menghabisi” Islam, Muhammad dan Al-Qur’an, antara lain, Why I am not a Muslim (1995), Quest for the Historical Muhammad (2000), Origins of the Koran: Classic Essays on Islam’s Holy Book (1998), dan Leaving Islam: Apostates Speak Out (2003). Dalam salah satu tulisannya Ibnu Warraq mendefinisikan Islam sebagai “a totalitarian ideology that aims to control the religious, social, and political life of mankind in all aspects” (Spencer 2005: 13).


***

Ibnu Warraq dan Anwar Shaikh hanyalah contoh kecil saja dari “kaum rejeksionis” ini. Selain mereka, ada banyak pendukung pandangan-pandangan miring tentang Nabi Muhammad, Al-Qur’an, dan Islam, baik dari kalangan orientalis maupun bekas Muslim. Di antara mereka terdapat sejumlah nama populer seperti Robert Spencer, Daniel Pipes, Ali Sina, Abul Kasem, Faisal Muhammad, Husain Ahmed, Syed K. Mirza, Taner Edis, Muhammad Bin Abdulla, Samia Labidi, Irfan Khawaja, Denis Giron, William Muir, Ignaz Goldziher, Arthur Jeffery, John Wansbrough, Margoliouth, Bat Ye’or, dan masih banyak lagi.

Ada banyak alasan, motivasi, dan tendensi mengapa mereka menyerang Islam demikian keras: dari alasan-alasan yang bersifat akademik-ilmiah (scholarly) sampai “black-campaign” untuk menghancurkan citra umat Islam di mata publik internasional. Ada yang menulis karena dilatari spirit kesarjanaan dan intelektualitas untuk menyelidiki lebih jauh tentang Islam. Tetapi ada pula yang menulis karena didasari pada “spirit kebencian” terhadap Islam yang muncul baik karena faktor “sentimen keagamaan” maupun hasil dari pengalaman traumatik penulis setelah menyaksikan perilaku “barbarian” para tentara Islam di sejumlah negara. Apa yang dilakukan oleh Robert Spencer atau Daniel Pipes atau kaum agitator dan propagandis semisal Jerry Falwell, Billy Graham, Pat Robertson, dll, adalah potret dari kelompok rejeksionis yang menolak Islam karena lebih banyak didasari pada faktor “sentimen keagamaan” sebagaimana “diamanatkan” kitab suci mereka. Alasan maraknya pengeboman dan terorisme modern yang “dibiangkeroki” Osama Ben Laden hanyalah “embel-embel,” komplemen, dan pembenar belaka dari diktum kitab suci mereka. Hal ini berbeda dengan Ibnu Warraq, Ali Sina, atau Anwar Shaikh yang menolak Islam karena pengalaman horror mereka menyaksikan perilaku bengis kelompok Muslim radikal. Pengalaman traumatik mereka itu kemudian ditumpahkan dalam berbagai tulisan dan buku, antara lain, Leaving Islam: Apostates Speak Out yang diedit Ibnu Warraq.


***

Dalam beberapa hal kritik kelompok rejeksionis benar adanya. Banyak orang-orang Islam yang masuk “perangkap” elit-elit Muslim (baik elit agama maupun elit politik) dan selanjutnya seperti kerbau yang dicocok hidungnya, mereka mau mengorbankan diri sebagai “martir” dengan menjadi pengebom bunuh diri dan bersedia membunuh siapa saja yang dianggap sebagai “musuh-musuh Islam” demi membela apa yang mereka klaim sebagai “kedaulatan Islam”. Karena itu saya bisa “memahami” sikap kelompok “rejeksionis” tadi kenapa begitu emosional terhadap Islam. Sekali lagi kata “Islam” disini tidak mengacu pada pengertian spesifik, misalnya, “Islam yang tampil dalam wajah kaum militan-fundamentalis,” melainkan Islam dalam pengertian semuanya: pengikutnya, ajarannya, kitab sucinya, peradabannya, dlsb.

Tetapi justru lantaran watak mereka yang “hantam kromo” inilah yang membuat saya tidak menyetujui sepenuhnya dengan pandangan-pandangan kaum rejeksionis ini. Benar bahwa ada sejarah hitam yang tampil dalam sejarah umat Islam sejak era Nabi Muhammad hingga dewasa ini tetapi juga harap diingat ada banyak peristiwa positif dalam panggung sejarah peradaban Islam. Dengan kata lain, selain sejarah kebiadaban juga ada sejarah keberadaban dalam panggung keislaman baik klasik, medieval, maupun kontemporer. Memang benar ada teks-teks keislaman baik dalam Al-Qur’an, Hadis, dan sumber-sumber keislaman lain yang memuat wawasan intoleran, kekerasan, ketidakadilan, bias gender, dll akan tetapi juga harap dicatat ada banyak teks-teks keislaman yang berisi spirit dan etos kebebasan, demokrasi, pluralism, feminisme, dan dimensi kemanusiaan lain yang sangat berguna untuk merekonstruksi masa depan peradaban dunia yang lebih manusiawi.

Saya juga bisa “mengerti” kritik tajam yang dilontarkan kaum orientalis-rejeksionis dan saya berterima kasih atas segala kritik mereka tetapi pandangan mereka yang “standar ganda” membuat saya kurang simpatik terhadap mereka. Dalam Inside Islam: A Guide for Catholics, Robert Spencer misalnya menganggap Islam sebagai “backward and savage religion” tidak layak untuk kaum Katolik yang berbasis ajaran cinta-kasih. Dia lupa abad pertengahan, rezim Katolik di Eropa membunuh jutaan orang-orang Protestan yang mereka anggap sebagai pembangkang, inkarnasi setan, murtad, anti-Kristus, dlsb—sebuah peristiwa historis yang menyebabkan jutaan orang-orang Protestan hengkang dari Eropa untuk mencari suaka baru yang aman untuk mempraktekkan ajaran baru mereka. Amerika Serikat menjadi salah satu tempat asylum yang favorit, maka tidak heran jika Protestan menjadi agama mayoritas di AS. Contoh lain adalah Francesco Gabrieli dalam masterwork-nya Muhammad and the Conquests of Islam. Mengomentari peristiwa eksekusi Muhammad atas kaum Yahudi Bani Quraizha, dia mengatakan bahwa peristiwa itu bertentangan dengan wawasan dan spirit kekristenan yang menjunjung perdamaian global. Dia lupa bahwa Kristen juga pernah mengalami sejarah gelap terutama sejak Augustine memproklamirkan Kristen sebagai agama resmi Romawi. Sejak itu atas nama penegakan “Salib Kristus” mereka menaklukkan negara demi negara dengan korban jutaan jiwa.

Jadi kritik saya kepada kelompok “rejeksionis” ini selain alasan “standar ganda” tadi juga karena watak mereka yang suka menggeneralisir wawasan keislaman. Pandangan “Aristotelian” yang membelah dunia menjadi dua kategori: baik dan buruk, benar dan salah, dst sudah sangat kedaluwarsa terutama sejak ditemukan teori “fuzzy logic” (“logika kabur”) oleh fisikawan Iran, Luthfi Zadeh. Dalam kerangka teori “fuzzy logic” ini segala sesuatu harus dilihat secara jernih, teliti, komprehensif, dan akurat dengan pertimbangan yang matang dan mendalam. Sebuah objek tidak bisa dilihat hanya dari satu sisi, satu perspektif, dan satu sudut pandang melainkan harus dari berbagai dimensi sehingga menghasilkan kesimpulan yang akurat tidak bias, komprehensif tidak parsial. Pandangan kelompok “rejeksionis” yang berbau Aristotelian ini seperti ungkapan tradisional kita tentang “orang buta yang menilai gajah”. Penilaian mereka juga tidak akurat karena mereka “dibutakan” oleh “spirit kebencian” yang melandasi pemikiran mereka.

Hal lain yang membuat saya kurang apresiatif terhadap kelompok “rejeksionis” terutama dari grup bekas Muslim di atas adalah watak serta tindakan provokasi dan agitasi mereka terhadap Islam dan mengajak kaum Muslim agar meninggalkan ajarannya. Ini bisa dilihat dari tulisan-tulisan mereka yang tersebar di berbagai website (misalnya http://freeman.org, http://www.secularislam.org), atau aktivitas lembaga yang mereka dirikan seperti Faith Freedom Foundation yang didirikan Ali Sina atau Institute for the Secularization of Islamic Society yang diprakarsai Ibnu Warraq (presiden lembaga ini HA Muhammad, seorang aktivis HAM berdarah Amerika-Pakistan, sementara vice presiden dipegang bekas Muslim keturunan Kanada-Bangladesh, Hasan Mahmud). Usaha mereka meng-“getuk-tular”-kan pengalaman sejarah traumatik mereka adalah sah-sah saja akan tetapi jika upaya itu kemudian diiringi tindakan “pengomporan” maka itu tidak bisa dibenarkan.

Harap diingat tidak semua umat Islam memiliki pengalaman sejarah teologis-keislaman yang sama dengan mereka maka jangan paksakan pengalaman keagamaan pribadi kita kepada orang lain yang sama sekali berbeda. Dengan rumusan lain, setiap individu memiliki pengalaman “proses teologi” yang berlainan. Ide “process theology” ini dikembangkan oleh teolog-filsuf Charles Hartshorne, John B. Cobb dan David Ray Griffin yang merupakan bentuk pengembangan lebih lanjut dari “process philosophy” yang digagas seorang ahli matematika kelahiran Inggris Alfred North Whitehead (d. 1947).

Disinilah mengapa saya selalu menentang setiap upaya paksa misionarisme atau proselytizing baik dalam bentuk “islamisasi,” “kristenisasi,” “hinduisasi” dlsb. Pengalaman teologis yang kita alami adalah menjadi urusan pribadi kita kepada Tuhan penguasa jagat ini, bukan kaum pendeta, pastor, atau ulama. []


*PhD Candidate Departemen Antropologi, Boston University, Amerika Serikat

0 komentar:

Posting Komentar

copyrigt; Juned Topan.. Diberdayakan oleh Blogger.