Jumat, 11 November 2011

KEKELIRUAN MEMAHAMI NASIONALISME

Ibnu
( Bab VI ) Menjawab Beberapa Kekeliruan PDF Cetak E-mail
Ditulis Oleh DR. Ahmad Zain An-Najah, M.A
Monday, 08 February 2010

Disana ada beberapa kekeliruan dan kesalahpahaman di dalam menyikapi pahama Nasionalisme. Oleh karenanya, dalam bab ini akan dijelaskan kekeliruan-kekeliruan tersebut beserta jawaban –jawabannya agar para pembaca menjadi jelas, dan tidak diselimuti kerancuan di dalam menyikapi paham Nasionalisme ini.



Kekeliruan Pertama :



Sebagian kaum muslimin berpendapat bahwa faham Nasionalisme termasuk salah satu dari ajaran Islam. Bahkan menurut mereka, paham ini pernah di contohkan oleh Rasulullah saw, pada waktu kedatangan beliau pertama kali ke Madinah, ketika beliau mengadakan perjanjian dengan kaum Yahudi yang tinggal di kota tersebut, yang kemudian perjanjian itu terkenal dengan “Konstitusi Madinah”. Ironisnya lagi, pemahaman-pemahaman yang sering mengaburkan ajaran Islam ini, sering diungkapkan oleh sarjana-sarjana muslim lulusan Barat, seperti Nur Chalis Majid, Dawam Raharjo dan kawan-kawannya.[1]



Sebenarnya Konstitusi Madinah yang ditanda tangani oleh Rasulullah saw tersebut, tidak bisa dijadikan dasar untuk melegalisasikan Nasionalisme. Perjanjian antara kaum muslimin dan bangsa Yahudi untuk bekerja sama dalam menjaga keamanan kota Madinah tersebut sangat berbeda dengan gerakan Nasionalisme yang dimotori oleh antek-antek penjajah



[1] Syafi’i Anwar, Pemikiran Dan Aksi Islam Di Indonesia, Paramadina, Desember 1995, hal.195

Perbedaan-perbedaan tersebut terlihat pada beberapa point dibawah ini :



Pertama : Orang-orang Yahudi waktu itu, walaupun menyimpan rasa benci pada kaum muslimin, akan tetapi mereka belum menampakkannya dalam bentuk konfrontasi fisik Oleh karenanya, ketika mereka mencoba untuk mengganggu ketentraman kaum muslimin yaitu pada waktu mereka sengaja mengganggu salah seorang wanita muslimah yang kebetulan berjalan di tengah-tengah pasar. Rasulullah saw sebagai pucuk pimpiman kaum muslimin waktu itu, tidak memberikan kesempatan pada mereka sedikitpun untuk tinggal di Madinah lagi.



Kedua : Kepemimpinan waktu itu dipegang oleh Rasulullah saw secara mutlak dan ditegakkannya Syariat Islam di dalam kehidupan sehari-hari dengan memberi kesempatan orang-rang Yahudi melaksanakan ajarannya agamanya.[1] Adapun rincian ajaran Islam terhadap masalah seperti ini, sudah banyak dijelaskan oleh para ulama di dalam “Ahkam Ahlu Dzimmah” atau di dalam kitab Al Jihad. Kedua poin tersebut ini, tidak didapati pada gerakan Nasionalisme yang dipimpin oleh antek-antek penjajah seperti Sa’ad Zaghlul, Saddam Husein dan lain-lain. Kemudian perlu diajukan beberapa pertanyaan kepada mereka yang mengaku dirinya muslim, namun masih terus bersih keras untuk memperjuangkan Nasionalisme :

1/ Apakah Syariat Islam akan ditegakkan di dalam Negara Nasionalis?

2/ Apakah kaum muslimin merasa tentram di dalamnya dan tidak pernah mendapatkan gangguan dari pihak-pihak luar (non muslim) yang tinggal satu negara dengan mereka ?

3/ Kemudian kalau mendapatkan gangguan dari luar, apakah pemimpin mereka mampu bertindak tegas sebagaimana yang dilakukan Rasulullah saw ketika berhadapan dengan pengkhianatan Yahudi?

4/ Kemudian yang terakhir, apakah ada contoh yang nyata didalam sejarah kehidupan manusia, yang bisa kita tiru dari sebuah masyarakat (Negara) yang menganut paham Nasionalisme dan mampu membawa kebahagiaan umat manusia?



Sebetulnya teori-teori yang mereka ungkapkan tidak jauh dari teori-teori Barat tentang kemanusiaan yang tidak pernah terwujud di dalam kenyataan. Oleh karenanya, sangatlah wajar kalau Muhammad Yaqzhan mengeluarkan pernyataan, bahwa gerakan pembaruan keagamaan yang dipimpin oleh Nur Kholis adalah gerakan yang hanya didasari oleh hasil rekaan dan lamunan, tidak berpijak pada kriteria dan kaidah-kaidah yang sudah baku dan telah teruji kebenarannya baik secara syari’ ataupun secara akal sehat.[2]



Kekeliruan kedua:



Seringkali kita dapati tokoh-tokoh Nasionalis menyetir sebuah hadist yang sekiranya bisa menguatkan gerakan mereka. Akibatnya, masyarakat awam pun ikut-ikutan untuk berdalil dengannya, bahkan sebagian dai’ muslim seringkali memakainya di dalam ceramah-ceramah mereka. Hadits tersebut berbunyi:

حب الوطن من الإيمان



“cinta tanah air merupakan bagian dari pada keimanan”



Paling tidak ada dua point yang perlu diketengahkan di sini, untuk menjelaskan permasalahan di atas:



Pertama : Hadist di atas adalah hadist maudhu’ yaitu hadits yang dikarang seseorang untuk tujuan tertentu, sebagaimana yang disebutkan oleh Syekh Nasiruddin al-Albani, pakar hadist abad ini.[3] Dr.Adnan Ali Ridho, penulis Palestina yang sangat produktif, pernah menyebutkan bahwa:



”…Fitnah yang pertama muncul kepermukaan adalah Nasionalisme, ia telah dikemas sedemikian rupa, sehingga keluar dengan hiasan syetan jin dan manusia, disebarkan kepermukaan, dimasukan ke dalam otak-otak manusia, ditulis di koran-koran dan majalah majalah, dijadikan kurikulum sekolah-sekolah. Oleh karenanya, anda jangan merasa heran kalau propaganda ini sampai puncaknya, dengan bermunculnya putra-putra Islam yang menamakan Nasionalisme dengan lebel Islam dan mengemasnya degan pernyataan bahwa ia adalah bagian dari keimanan, sehingga jiwa-jiwa lemah dan bodoh terpengaruh dengan provokasi tersebut ”.[4]



Alasan lain untuk mengatakan bahwa hadits tersebut bukan berasal dari Rasulullah saw adalah terletak pada susunan kata-katanya yang rancu. Hal itu, karena kecintaan seseorang pada tanah air, merupakan tabi’at manusia yang seorang pun tidak bisa memungkirinya, sebagaimana ia mencintai dirinnya sendiri atau mencintai harta, perempuan, perhiasan, dan lain sebagainya, yang semua orang sudah memakluminya. Sebagaimana yang disebutkan Allah dalam Al Qur’an, ( Qs. Ali Imran, ayat : 14 ).



Orang yang mengatakan bahwa cinta tanah air merupakan bagian dari keimanan, berarti ia harus juga mengatakan bahwa cinta harta merupakan sebagian dari keimanan. Jelas bahwa kedua pernyataan itu tidak benar, kecuali kalau kecintaan tersebut dikaitkan dengan masalah keimanan, sebagaimana dijelaskan pada point kedua.



Kedua : Kalau seandainya hadits itu kita anggap shahih, maka artinya bukan seperti yang difahami oleh orang-orang nasionalis, tapi arti hadits itu harus disesuaikan dengan ajaran Islam, karena di dalam Islam tidak terjadi pertentangan antara hadits yang shahih dengan hadits shahih yang lainnya, begitu juga antara al-Qur’an dan Hadist.(kaidah-kaidah seperti ini telah dijelaskan oleh ulama hadits dan fiqh). Maka untuk membenarkan hadits tersebut perlu ditambahkan keterangan sebagai berikut:



Cinta pada tanah air ( yang ditegakan di dalam syari’at Islam ) adalah sebagian dari iman. Dengan tambahan seperti itu makna hadits maudhu’ itu menjadi benar. Hal itu, karena cintanya pada tanah air tersebut didasari atas cintanya pada Allah. Karena Allah mencintai tanah air yang ditegakan di dalamna Syariat Islam . Sebaliknya, Allah membenci tanah air yang menginjak-injak hukum-Nya. Tanah air seperti ini tidak boleh dibela dan dicintai kecuali dalam rangka menegakkan hukum Allah.



Barangkali arti seperti inilah yang di maksud oleh pemimpin-pemimpin Islam dalam pidato-pidato dan tulisan mereka antara tahun 1920 s/d 1950, seperti pidato Omar Said Tjokroaminoto di depan konggres Syarekat Islam pada tahun 1916 dan tulisan Muhammad Natsir tahun 1955. Begitu juga yang ditulis tokoh-tokoh JIB ( Jong Islamieten Bond), seperti Samadikoen, Soedewo dan Kasman Singodimedjo.[5]



Sa’id Hawa di dalam satu tulisannya menyatakan bahwa:



“ Tanah air yang tidak melindungi agama Islam dan tidak ditegakkan di dalamnya Syari’at Islam dinamakan Darul Harby, yang seorang muslim harus memeranginya, walaupun itu adalah tanah airnya sendiri dan di dalamnya ada anak dan saudara dan hartanya.”[6]



Beliau menguatkan pendapatnya tersebut dengan pristiwa “Fathul Mekkah”, ketika itu, Rasulullah SAW bahkan memimpin sendiri pasukan Islam yang jumlahnya mencapai 10.000 personil untuk menaklukan kota Mekkah, kota di mana beliau dilahirkan, di dalamnya ada kerabat-kerabat dekatnya, harta-harta para sahabatnya. Kota Mekkah pada waktu itu belum bisa disebut Darul Islam, kecuali setelah tunduk dengan hukum Islam dan ditegakkannya syariat Allah.[7]



Di samping dua point dan pendapat Sa’id Hawa di atas, penulis perlu menyebutkan pendapat Ahmad Hasan yang dikenal sebagai salah satu tokoh pembaharu Islam di Indonesia, di dalam satu perdebatannya dengan Ir.Sukarno beliau menulis:



“ Hendaklah Tuan Soekarno mengerti, bahwa mengajak orang mencintai tanah air lain dengan menganjurkan Ashobiyah. Satu dari Ashobiyah itu ialah menganjurkan supaya sebuah negeri diurus secara kehendak bangsa, tidak secara wet Allah.” [8]



Beliau juga mengatakan bahwa:

“ Cinta pada tanah air tidak dilarang oleh agama. Cinta tanah air bagi seorang muslim adalah memajukan pelajaran, perekonomian, pertukangan dan sebagainya yang memajukan kaum muslimin dan memakmurkan negri-negrinya. Hal ini, supaya kaum muslimin dan negeri-negerinya, sekurang – kurangnya tidak berada dibawah derajat negeri lainnya. Juga supaya negeri-negeri Islam diurus oleh orang-orang Islam sendiri dengan hokum dan peraturan yang terdapat didalam al-Qur’an dan sunnah rasulullah.”

Dari tulisan di atas terlihat jelas perbedaan antara mencintai tanah air sebagai tabi’at dasar manusia dan ashobiyyah yang identik dengan nasionalisme sebagai pandangan hidup. Ashobiyyah adalah bila seseorang menolong suatu kaum, tanpa melihat ia dalam keadaan benar atau salah. Ashobiyah ini sering juga disebut oleh beberapa kalangan dengan Solidaritas Sosial.[9]



Kekeliruan ketiga:

Sebagian orang sering mengatakan bahwa Islam tidak melarang seseorang untuk menyatakan: “ Saya adalah seorang Arab yang muslim atau seorang Pakistan yang Muslim”. Memang benar bahwa Islam tidak melarang seseorang untuk menisbatkan diri kepada sesuatu, seperti: nama sekolah, nama kabilah, suku, ataupun negara, karena itu memang merupakan fitrah manusia . Tetapi perlu dicatat disini, bahwa Islam mengharamkan seorang muslim menjadikan nama-nama tersebut sebagai dasar pijakan di dalam memberikan loyalitasnya, artinya ia tidak boleh mencintai orang-orang di kelompoknya walau dalam kebatilan dan memusuhi seluruh yang di luar kelompoknya walau mereka dalam kebenaran.

Akan tetapi sifat inilah yang justru lebih berdominan dan mewarnai kehidupan seorang muslim yang nasionalis. Ibnu Tamiyyah telah menjelaskan hal ini di dalam Majmu’ Fatawa:

“Apabila mereka orang-orang yang berkelompok berkumpul dalam rangka melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya tanpa menambah dan menguranginya, maka mereka masuk katagori orang-orang beriman mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana orang beriman lainnya. Akan tetapi kalau mereka mengadakan hal-hal yang baru yang tidak diperintahkan Allah dan Rasul-Nya seperti fanatik kepada setiap orang yang masuk kelompoknya walau dalam kebatilan, serta berpaling dan membenci kepada semua orang di luar kelompoknya walau dalam pihak yang benar. Maka hal ini merupakan perpecahan yang dicela oleh Allah dan Rasul-Nya, karena Allah dan Rasul-Nya menyuruh untuk berjama’ah dan bersatu, melarang perpecahan dan perselisihan, menyuruh untuk saling membantu di dalam kebajikan dan ketakwaan serta melarang kerjasama di dalam berbuat dosa dan permusuhan”.[10]

Hal senada dengan tulisan Said Hawa dalam bukunya ”al Islam “, ia menyatakan bahwa memploklamasikan slogan “kebangsaan” dan persatuan nasional, berjuang demi kemajuan bangsa sama sekali tidak boleh dilakukan seorang muslim, selama ia menjadikan kebangsaan itu titik tolaknya, karena hal itu merupakan salah satu bentuk kesyirikan. Akan tetapi jika perjuangan berangkat dari keimanan kepada Allah dan berniat untuk melakukan perintah-perintah-Nya dalam memperbaiki bangsa maka amalan tersebut termasuk dalam katagori ibadah.[11]

Berbicara masalah ini, Dr. Muhammad Imaroh lebih cenderung mengidentikkan loyalitas seorang muslim bak anak tangga yang mempunyai tingkat dan jenjang masing-masing secara berurutan, mulai dari anak tangga yang paling rendah, kemudian menginjak pada anak tangga kedua kemudian berikutnya, sehingga sampai anak tangga yang paling atas.[12] Anak tangga yang paling bawah barangkali adalah loyalitas seseorang kepada keluarga, kemudian anak tangga kedua adalah loyalitas kepada kabilah atau etnis, anak tangga ketiga adalah loyalitas kepada sebuah bangsa atau Negara dan seterusnya sehingga sampai anak tangga terakhir yang merupakan akhir dari tujuan seorang muslim yaitu loyalitas terbesar dan tertinggi yang diberikan kepada ajaran Islam yang merupakan proyeksi dari petuah dan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.

Dari situ sudah jelas, bahwa seorang muslim tidak diperbolehkan untuk mengorbankan ajaran Islam untuk kepentingan keluarga, atau etnis atau kepentingan sebuah negara. Yang terakhir ini lebih sering disebut seebagai faham Nasionalisme.





0 komentar:

Posting Komentar

copyrigt; Juned Topan.. Diberdayakan oleh Blogger.