Jumat, 11 November 2011

Memahami Nasionalisme di Asia tenggara

Rabu, 27 Juli 2011

Pembicara: Prof. Anthony Reid (Australian National University)

Nasionalisme sebagai bagian dari agenda ilmu sosial dan politik baru populer sejak tahun 1980an, ketika sejumlah buku yang ditulis oleh John Armstrong (1982), Ben Anderson (1983), Ernest Gellner (1983), dan Anthony Giddens (1985) muncul dan berpengaruh di banyak belahan dunia, tak terkecuali Asia Tenggara. Dalam berbagai literatur tersebut, nasionalisme dipahami sebagai fenomena yang tidak alami, dan merupakan produk dari sebuah kondisi (industrialisasi). Namun sayangnya, berbagai kesimpulan dan argumen yang dipaparkan dalam literatur-literatur tersebut dirumuskan dari pengalaman Eropa, sementara, pengalaman Asia Tenggara yang tentunya berbeda dari pengalaman Eropa belum mewarnai tulisan-tulisan yang juga dijadikan referensi studi di Asia Tenggara ini. Kegelisahan akan hal itulah yang mendorong lahirnya buku dengan judul “Imperial Alchemy: Nationalisme and Political Identity in Southeast Asia” (Anthony Reid, 2010, Cambridge University Press).

Dalam presentasi singkat selama lebih dari 1,5 jam ini, Prof. Anthony Reid menuturkan bahwa penelitian tentang sejarah nasionalisme di Asia Tenggara menjadi penting karena adanya perbedaan karakter dalam pembentukan nasionalisme di di kawasan ini. Berbeda dengan Eropa, nasionalisme di Asia Tenggara tidak ditandai dengan hancur dan berubahnya kerajaan menjadi negara-bangsa. Namun, kerajaan lah yang justru mendeklarasikan dirinya sebagai negara-bangsa, membuat batasan-batasan “istimewa” sebagai kerjaaan (sacred boundaries), dan membuat identitas baru. Berbekal sejumlah studi literatur dan berbagai studi kasus di beberapa etnis seperti Cina, Melayu, Aceh, Batak, dan Kadazan, Reid juga menyimpulkan adanya 4 tipologi pembentukan nasionalisme di Asia Tenggara: (1) ethnie nationalism; (2) state nationalism; (3) anti-imperial nationalism; dan (4) outrage at state humiliation/OSH.

Tipologi yang pertama (ethnie nationalism), biasanya dicirikan oleh penggunaan nama, mitologi, kultur (bahasa dan religi), dsb. Tipologi ini jarang ditemui di Indonesia, kecuali di Jawa, Batak, Minahassa dan beberapa suku lainnya. Tipologi yang kedua (state nationalism), merupakan ciri yang umum ditemui di semua negara, dimana nasionalisme digerakkan oleh negara modern dengan cara memobilisasi masyarakatnya melalui pendidikan, monumen, media, dsb. Tipologi ketiga (anti-imperial nationalism) ditandai dengan penolakan terhadap agenda pembaharuan terutama yang revolusioner, dan romantisme terhadap ingatan kejayaan masa lalu. Sedangkan tipologi keempat (outrage at state humiliation) muncul karena kesadaran terhadap sumber-sumber identitas historis seperti kasus protes terhadap klaim lagu daerah, batik, dll (Indonesia-Malaysia).

Dalam diskusi ini beragam pertanyaan dilontarkan dalam kaitannya dengan relevansi tipologi sejarah pembentukan nasinalisme dengan konteks Indonesia yang unik, yang dicirikan oleh tingginya variasi etnik, religi, dan bahkan pragmatisme politik. Berbagai petanyaan seputar kaitan nasionalisme dengan perpotongan antara etnis dan agama, pragmatisme politik dalam pemilu, serta isu perbatasan wilayah/negara yang dalam beberapa kasus tidak ditentukan oleh batas-batas etnis dan kesadaran etnis, juga turut mewarnai diskusi ini.

Di tengah berbagai kerumitan dalam mengaitkan antara nasionalisme dan politik Indonesia, Reid menyampaikan sejumlah optimisme bagi masa depan nasionalisme di Indonesia. Menurutnya, sebagai negara bangsa, Indonesia telah mencapai kesuksesan besar dalam menciptakan state nationalisme meskipun sejumlah kerugian ditanggung oleh etnik karena leburnya identitas etnis ke dalam identitas tunggal Indonesia. Namun, dengan perkembangan dunia yang semakin borderless dan interdependent, di masa depan, nasionalisme Indonesia tidak akan terganggu dengan persoalan-persoalan etnis dan perbatasan.**

On July 29th, 2011, posted in: Latest News by admin

0 komentar:

Posting Komentar

copyrigt; Juned Topan.. Diberdayakan oleh Blogger.