Selasa, 12 Juli 2011

APOKALIPTISISME DAN TEOKRASI AMERIKA -- AKAR PERANG AS DI DUNIA KETIGA

APOKALIPTISISME

DAN TEOKRASI AMERIKA

Abdu Hadi W. M.

(Pengantar: Tulisan ini kami tampilkankembali di FB dalam kaitannya dengan pernyataan Obama bahwa perang yg dilakukan AS melawan terorisme tidak ada kaitannya dg perang melawan Islam. Banyak orang percaya bahwa di bawah Obama kebijakan luar negeri AS akan berubah, terutama terhadap Islam.Tetapi Amien Rais mengatakan agar kita tidak terkecoh dengan retorika Obama. Perang AS melawan terorisme sebenarnya hanyalah dalih politik luar negeri AS yang hegemonik, supremasif, dan imperialistik Istilah apokaliptisisme dan milleniarismedalam tulisan ini ada kaitannya dengan itu semua.

(AHWM).

Kutipan sajak Muhammad Iqbal, penyair Pakistan dalam “Paremen Setan”:

Tidakkah kaulihat pemerintahan demokrasi di Barat

Yang kelihatan cerah? Namun kalau dijenguk lebih mendalam

Jiwa mereka sebenarnya lebih kelam dari Jengis Khan

Selama lebih tiga dasawarsa terakhir sejak berkobarnya Perang Arab-Israel 1967, banyak sekali buku diterbitkan di Amerika Serikat berkaitan dengan latar belakang sejarah dan agama dari krisis Timur Tengah yang tidak pernah usai hingga kini. Dua di antaranya yang mengundang perdebatan ramai ialah karangan bersama J. F. Walvoord dan putranya J. E. Walvoord, Armageddon: Oil and Middle East Crisis (Grand Rapids MI: Zondervan, 1974) dan karangan Kevin Philips, American Theocracy: The Peril and Politics of Radical Religion, Oil, and Borrowed Money in the 21st Century (New York: Viking, 2006). Buku yang pertama, walaupun bukan mengenai eskatologi apokaliptik dalam arti sebenarnya, tetapi titik tolak pembahasannya mengacu pada ramalan Bibel tentang perang besar pada akhir zaman di Megido (Armageddon), yaitu di bumi Palestina yang diduduki Israel sekarang.

Pengarang buku itu mengatakan bahwa kekuatan yang dimiliki bangsa Arab disebabkan kekayaan minyaknya suatu ketika akan membuat kekuatan global beralih dari AS dan Rusia (dulu Uni Sovyet) ke Timur Tengah. Dengan senjata minyaknya itu Dunia Arab akan mampu menekan Israel untuk menanda tangani perjanjian damai yang sifatnya permanent. Tetapi hal itu hanya mungkin jika di kalangan bangsa Arab muncul pemimpin yang kuat dan kharismatik yang mampu menyatukan bangsa Arab dan solidaritas Islam. Apabila hal itu memang terjadi tentu tidak dikehendaki oleh Amerika dan Rusia. Oleh karena itu kedua negara digjaya itu akan mengerahkan seluruh kekuatan politik, ekonomi, militer, dan budaya untuk mencabik-cabik dunia Arab.

Buku kedua lebih penting, karena berkaitan dengan kebijakan Timur Tengah dari pemerintahan Bush, yang pada masa akhir jabatannya melahirkan Tragedi Gaza. Di Indonesia buku ini sesaat diperdebatkan dalam harian Republika. Namun sayang perdebatan itu tidak menyentuh masalah yang mendasar sebagaimana disarankan oleh judul buku tersebut. Karangan ini mencoba membahas hal mendasar dan substansial dari buku ini. Buku ini dapat dipercaya karena penulisnya pernah menjadi ahli strategi politik Partai Republik selama lebih dua dasawarsa. Diperkuat lagi dengan pengetahuannya yang luas mengenai sejarah agama di Amerika. Ini semua memungkinkan Kevin dapat menjelaskan banyak hal berkaitan dengan pemerintahan Bush. Khususnya pengaruh pandangan kaum fundamentalis Protestan terhadap politik luar negeri AS di Timur Tengah, yang di daamnya Bush merupakan tokohnya yang terkemuka.

Ada tiga hal saling terkait dibahas oleh Kevin Philips dalam bukunya itu. Pertama, peran AS sebagai pemimpin terdepan ‘imperialisme minyak’ ( petro imperialism) dan akibat-akibatnya terhadap perdamaian dan tatanan dunia beradab. Kini rakyat Amerika sendiri merasa gerah dengan peran negaranya sebagai imperialis minyak. Persoalannya AS harus menempat ribuan tentaranya di berbagai penjuru dunia yang dianggap strategis dalam rangka mengamankan suplai minyak. Untuk itu diperlukan biaya yang besar dan sukar diramalkan sampai kapan dapat dipertahankan. Runtuhnya supremasi Inggris setelah Perang Dunia I sebagai negara adidaya di dunia ketika itu, disebabkan oleh terlalu besarnya biaya yang harus dikeluarkan negara itu selaku polisi dunia.

Kedua, Philiips menguraikan panjang lebar kuatnya pengaruh fundamentalis Kristen yang radikal dalam pemerintahan Bush. Motif serbuan AS menduduki Afghanistan dan Iraq, dukungan penuhnya kepada Israel, dan ancamannya terhadap Iran, serta kegalauannya atas kehadiran kelompok perlawanan seperti Hamas di Palestina dan Hizbullah di Libanon, tidak hanya disebabkan keinginan menguasai minyak dunia. Motif lain yang tersembunyi bersifat keagamaan, yaitu keinginan untuk mewujudkan “impian apokaliptik” yang melekat dalam dogma Kristen fundamentalis.

Ketiga, kebijakan neo-liberal dalam ekonomi yang diterapkan sejak masa pemerintahan Reagan telah menyebabkan krisis keuangan. Salah satu di antaranya ialah keleluasaan menggunakan kartu kredit walaupun penggunanya tidak memiliki uang. Contoh lain ialah macetnya kredit perumahan yang menyebabkan bank-bank besar kelabakan dan memicu krisis keuangan global.

Dari tiga hal itu, masalah yang berkaitan dengan ‘impian apokaliptik’ AS menguasai Timur Tengah dan Dunia Islam yang belum banyak dibahas di Indonesia. Terhadap masalah inilah karangan kecil ini akan dipusatkan.

Palestina dan Apokaliptisisme

Kata-kata ‘apokaliptik’ (apocalyptics), berasal dari kata Yunani apokaluptein yang berarti wahyu, penyingkapan, atau yang disingkapkan melalui pewahyuan. Apa yang disingkapkan itu ialah tanda-tanda datangnya akhir zaman berupa kejadian-kejadian dahsyat dan kerusakan besar disebabkan ulah Sang Perusak yang disebut Antichrist (orang Islam menyebutnya Dajjal). Untuk menyelamatkan umatnya yang beriman Isa Almasih akan turun dan memulihkan kembali kerajaan Tuhan di muka bumi dengan Yerusalem sebagai ibukotanya.

Bukit Zaitun di Palestina diyakini sebagai tempat pemunculan kembali Isa Almasih. Sebagai Messiah atau Juru Selamat, Almasih akan turun jika Antichrist muncul dan membuat kekacauan di seantero dunia. Aliran paling radikal yang disebut “post-milleniarisme” percaya bahwa kedatangan Antichrist, dan demikian juga Almasih, bisa diusahakan dengan membuat kekacauan di negeri yang menjadi tempat turunnya Isa Almasih. Menjelang akhir zaman, menurut keyakinan ini, Perang besar antara bala tentara Antichrist dan Isa Almasih diramalkan akan meletus di Megido atau Armagedon, Palestina. Antichrist akan dikalahkan dan orang-orang Yahudi yang insaf akan berbondong-bondong memeluk agama Kristen. Kita tahu Yerusalem pernah diduduki pasukan Perang Salib I pada akhir abad ke-11 M, namun dalam Perang Salib II awal abad ke-12, pasukan kaum Muslimin di bawah pimpinan Sultan Salatin dapat merebutnya kembali dan menguasainya hingga berakhirnya Perang Dunia II.

Berbeda dengan apokaliptisisme Yahudi. Rabi-rabi Yahudi yakin bahwa Yerusalem kelak menjadi ibukota Israel, kerajaan yang dijanjikan Tuhan untuk bangsa Yahudi sebagaimana dituturkan oleh nabi-nabi mereka. Impian itu telah tertanam dalam jiwa bangsa Irsael sejak abad ke-6 SM, namun belum kunjung terealisir sehingga mereka berusaha menduduki dan menguasai Yerusalem. Pada tahun 1967 pare arkeolog Israel menemukan batu besar di dekat Masjid al-Aqsa yang mereka yakini sebagai bekas fundamen Kuil Sulaiman I. Kini Israel menggali terowongan menuju Masjid al-Aqsa untuk mencari fundamen bekas fundamen Kuil Sulaiman II. Mereka yakin jika kuil Sulaiman dapat dibangun kembali, Mesiah mereka akan turun ke bumi untuk membantu bangsa Yahudi mendirikan kerajaan Israel di tanah yang telah dijanjikan.

Jika dikaitkan dengan kata-kata yang selalu diulang Bush dalam pernyataan-pernyataan politiknya, seperti crusade (perang salib), axis of evil (poros Iblis) dan Islamic fascist (fasis Islam), akan jelas bahwa semua itu berhubungan dengan kepercayaam apokaliptik atau apokaliptisisme yang hidup di kalangan kelompok-kelompok fundamentalis Kristen dan Yahudi. Kata-kata Perang Salib (crusade) adalah sebutan yang diberikan oleh pemimpin Eropa sendiri pada abad ke-11 M, karena motif merebut Yerusalem itu memang bersifat keagamaan yaitu merebut tanah suci Yerusalem dan Salib suci yang ada di kota itu. Yang diperangi oleh penduduk Muslim dan Yahudi. Sedangkan lawan perangnya, tentara Dinasti Saljuq, tidak pernah menyebut perang tersebut sebagai perang agama kecuali kemudian ketika motif keagamaan dari perang itu memang kelihatan dengan nyata. Sedangkan istilah fasis Islam digunakan untuk mendustai sejarah seakan-akan orang Islamlah yang berperan dalam holocaust dan diaspora bangsa Yahudi.

Bahwa Bush seorang fundamentalis Kristen yang fanatik, sebenarnya masyarakat AS sudah lama tahu. Kevin Philips menggambarkan bahwa presiden AS yang sebentar lagi akan lengser itu adalah anggota jemaah Gereja Southern Baptist Convention, sebuah gereja yang semula tidak begitu menonjol di Amerika. Sampai tahun 1980an keberadaannya kalah menonjol misalnya dibanding Gereja Advent, Mormons, Pantekosta, dan Presbyterian. Semua gereja ini masing-masing telah pula melahirkan kelompok-kelompok fundamentalis yang militan dan radikal. Tetapi setelah Bush memegang tampuk pemerintahan, gereja yang berpusat di selatan itu tumbuh menjadi gereja Protestan terbesar di Amerika. Dari kalangan radikal gereja inilah lahir para penginjil (evangelist) yang radikal dan fundamentalis. Mereka sangat giat dalam kehidupan politik, khususnya dalam menghimpun dana dan dukungan bagi pencalonan Bush dalam kampanye pemilihan presiden AS 1998. Sejak itulah keberadaan gereja ini dikenal luas dan jumlah jemaahnya bertambah besar melebihi gereja Protestan lain.

Gereja ini juga giat mengirim para misionaris ke negeri-negeri kaum Muslimin setelah 1998, khususnya ke daerah-daerah yang bergolak seperti Iraq, Afghanistan, Indonesia, dan Sudan. Kelompok radikal dalam gereja menyebut aliran keagamaan mereka sebagai reconstructionism. Mereka berpendapat bahwa pemisahan negara dari gereja merupakan mitos dan salah besar dilihat dari sudut doktrin Kristiani. Mereka bercita-cita mendirikan negara teokrasi ala Taliban di Afghanistan dalam bentuk lain. Mereka inilah yang berhasil menjadikan Southern Baptist Convention menjadi gereja paling menonjol di AS dalam dasawarsa 90an, aktif menggalang dukungan untuk pemilihan Bush sebagai presiden. Kedekatan Bush dengan kelompok ini telah lama terjalin, yaitu sejak Bush menjadi gubernur Florida.

Sebelum Bush menjadi presiden, kelompok rekontruksionalis ini kurang dikenal oleh masyarakat AS, apalagi kesungguhan ikhtiarnya untuk mewarnai kehidupan politik. Tetapi melalui kegiatan yang digerakkan oleh para penggiatnya yang militan dan berduit, beserta jaringan organisasi dan medianya seperti Theocracy Watch, the Public Eye, the First Amandment Foundation, majalah Church & State, organisasi American United for Separation of Church and State, kiprah mereka lantas dikenal oleh khalayak luas. Dalam mempengaruhi pemerintahan Bush, kelompok ini tidak melakukannya secara langsung. Tetapi melalui perantaraan lembaga-lembaga gereja seperti Southern Baptist Convention sendiri, serta lembaga-lembaga Protestan lain seperti the Assemblies of God, Promise Keepers, the Christian Broadcasting Network, the Christian Coalition, Council for National Unity, dan lain sebagainya.

Kaum rekonstrukionis menentang aborsi dan perkawinan sejenis (pasangan lesbian atau homo). Mereka menghendaki pelajaran agama (Kristen Protestan) dihidupkan kembali di sekolah umum dengan tujuan menyadarkan masyarakat akan kelarasan (relevansi) hukum Tuhan yang diajarkan Bibel. Pada tahun 2004 mereka menguasai kepemiminan Southern Baptist Convention. Arah kebijakan luar negeri AS ternyata memang ikut dipengaruhi oleh pandangan kelompok rekonstruksionis ini. Bahkan dapat dikatakan bahwa Bush merupakan jurubicaranya yang paling lantang.

Bukti kuatnya pengaruh kepercayaan apokaliptik kepada Bush telah dikemukakan. Kosa kata ‘poros Iblis’ dan lain-lain berakar dalam pemikiran apokaliptik mereka. Tidak hanya itu, adalah berkat kegiatan kelompok ini maka kepercayaan apokaliptik kian berkembang dalam masyarakat Amerika. Kejadian-kejadian di dunia bakda Perang Dingin ikut memperkuat keyakinan ini di kalangan penduduk Amerika, tidak hanya di kalangan penganut Protestan. Mereka yakin bahwa Isa Almasih atau Yesus Kristus yang merupakan juru selamat akan hadir kembali pada awal millenium keetiga atau abad ke-21.

Sampai sekarang tidak sedikit orang Kristen meyakini hal itu. Menurut poll yang dibuat majalah Newsweek pada tahun 1999, tidak kurang dari 18 prosen penduduk AS yang dewasa (36 juta) meyakini ramalan tersebut. Karena itu tidak mengherankan apabila pada tahun 1999 ratusan orang Kristen dari berbagai penjuru dunia, terbesar dari AS, berkumpul di Bukit Zaitun menunggu kehadiran sang juru selamat.

Kita juga ingat betapa jutaan orang pada akhir tahun 1999, terutama di AS, dengan penuh kecemasan menunggu saat tibanya tahun 2000. Mereka mengkuatirkan datangnya Y 2 K Bug yaitu kekacauan disebabkan rusaknya jaringan dan sistem komputer yang akan berdampak luas dan menimbulkan chaos untuk beberapa waktu lamanya, terutama organisasi keuangan dan sistem keamanan di dunia. Pada saat itu pula jutaan orang Kristen dan Yahudi menunggu munculnya tanda-tanda kedatangan Dajjal sekaligus messiah. Tragedi 11 September 2001 atau runtuhnya gedung WTC di New York akibat ditabrak dua pesawat yang dibajak teroris, tambah meyakinkan bahwa Antichrist telah datang. Melalui pertanda ini mereka yakin pula bahwa tidak lama lagi Isa Almasih akan turun untuk kedua kalinya di bumi.

Apokaliptisisme dan Milleniarisme

Berdasarkan makna etimologisnya seperti yang telah dikemukakan dalam awal tulisan ini, perkataan apokaliptisik bisa diberi arti sebagai “penyingkapan tanda-tanda tersembunyi berkenaan dengan datangnya akhir zaman melalui pewahyuan.” Berbeda dengan pengakuan profetik (nubuwa) terhadap eskatologi yang menggunakan ta’wil atau penafsiran simbolik, pengakuan apokaliptik didasarkan atas penafsiran harfiah terhadap teks-teks suci dalam Perjanjian Lama dan Baru. Karena itu pandangan apokaliptik meyakini bahwa pada akhir zaman peristiwa-peristiwa besar yang tersembunyi, yang akan menimbulkan bencana dan kerusakan total, akan disingkap oleh Tuhan kepada umat manusia.

Teks-teks apokaliptik ini merangkum uraian tentang peristiwa masa depan, dan pada umumnya lahir pada masa-masa terjadinya krisis besar dalam kehidupan politik. Menurut Smithals (2004) tujuannya ialah untuk meneguhkan keyakinan penganut Kristen dengan menyingkap kerusakan yang dilakukan penguasa atau kaum yang dipandang durjana secara religius. Di dalamnya juga terdapat janji kemenangan bagi orang yang beriman (orang Yahudi kepada Messiah yang merupakan keturunan Daud, orang Kristen kepada Isa Almasih).

Kepercayaan semacam ini terdapat dalam semua agama, termasuk Islam, Hindu dan Buddha. Dalam tradisi agama Semit, mula-mula orang Yahudilah yang mengembangkannya dengan mencampurkannya dengan prinsip-prinsip eskatologi Zoroaster dan Gnostisisme Yunani. Titik awal perkembangannya dapat dilacak pada peristiwa dihancurkannya kerajaan Israel oleh Nebukadnesar dari Babylonia pada abad ke-6 SM yang menyebabkan ribuan orang Yahudi dibuang ke Babylon. Pada abad ke-2 SM ketika terjadi Perang Yunani yang menyebabkan mereka gagal mendirikan kerajaan di tanah yang dijanjikan, dan terutama pada pertengahan abad ke-1 SM ketika pasukan Romawi menduduki Palestina (Syria, Yordania, Libanon dan Palestina sekarang), apokaliptisisme Yahudi mencapai kematangan dan menemukan bentuknya yang muktamad (definitif).

Kepercayaan seperti itu tumbuh pula pada masa-masa berikutnya di kalangan orang Kristen dan Islam, karena banyaknya orang Yahudi memeluk agama ini dan memasukkan kepercayaan mereka di kalangan Kristen dan Muslim yang awal. Dalam perkembangannya, apokaliptisisme tidak hanya mengambil corak religius, tetapi tidak jarang bercorak sekular. Terutama setelah zaman Pencerahan pada abad ke-18 di Eropa yang melahirkan paham-paham seperti rasionalisme, humanisme, idealisme, materialisme, evolusionisme, dan lain-lain. Ia juga bisa merupakan pandangan pribadi dan kelompok. Aspek negatif dan positif, serta kekaburan pandangan, kerap berbaur dan lebur dalam kepercayaan ini. Pesimisme dan optimisme bisa pula muncul darinya, tergantung bagaimana orang menyikapi dan menindaklanjuti gagasan-gagasan yang terdapat dalam kepercayaan ini.

Tema tentang apokaliptisisme banyak dijumpai dalam karya sastra dan lukisan, dan pada abad ke-20 dalam film, lagu, tayangan televisi, novel-novel popular dan serius. Di antara film-film apokaliptik termasuk The Day After Tomorrow, Armageddon, The End of Evangelion, The Road Warrior, dan lain-lain. Lagu popular bernada apokaliptik ialah Last Day on Earth (Duran Duran), Progenies of the Great Apocalypse (Dimnu Borgir) dan King of the World (Steely Dan). Novel atau fiksi termasuk serial Left Behind (Tim LaHaye dan Jerry B. Jenkins), Its Only Temporary (Eric Shapiro) dan Survivors (Zion Ben-Jonah).

Ia juga mempengaruhi kehidupan politik, misalnya melalui gerakan Zionisme Kristen yang menggagaskan berdirinya negara Israel pada abad ke-20. Gerakan-gerakan lain yang muncul dari buaian apokaliptisisme di antaranya ialah milleniarisme, pietisme, salvasionisme, messianisme, mahdisme, transhumanisme, dan lain sebagainya. Gerakan-gerakan keagamaan terkenal yang berpegang teguh pada apokaliptisisme selain Zionisme Kristen ialah The Qumran Essenes, The Millerites, The Jehovah’s Witness (Kesaksian Yehova), The Seventh Day Adventist.

Gerakan-gerakan ini pada umumnya melahirkan pandangan hitam putih yang ekstrim. Terlebih apabila menjelma sebagai gerakan politik. Kawan dan lawan, rekan dan musuh dibedakan secara tegas. Musuh selalu dipandang sebagai kelompok yang berada dalam poros kejahatan. Tidak jarang ia melahirkan paham konspirasisme. Dalam pandangan ini lawan boleh dituduh sebagai agen kekuatan jahat yang berkonspirasi dengan agen jahat lain untuk menghancurkan keberadaan kelompok mereka yang berpihak kepada kebaikan seperti demokrasi, pluralisme, kebebasan, dan lain-lain.

Demikian kita lihat betapa kepercayaan eskatologi yang bercorak apokaliptik berakar kuat terutama dalam Protestanisme. Ini tidak mengherankan karena sejak awal Gereja Katholik mengambil sikap kritis terhadap apokaliptisme. Mereka memandang bahwa eskatologi yang terdapat dalam kitab suci dimaksudkan sebagai ajaran untuk mendorong penganut Kristen menyongsong masa depan melalui sakramen. Keselamatan hanya bisa diperoleh setelah manusia mati melalui penyucian diri (purgatory) dan penebusan dosa sewaktu seseorang masih hidup. Sebaliknya panganut apokaliptisisme berpegang pada pendirian bahwa eskatologi kitab suci mengandung makna yang mengharuskan manusia berperan aktif untuk mencapai tujuan yang dimaksud melalui gerakan-gerakan yang mampu merubah keadaan.

Kemenangan gereja Katholik atas kekaisaran Romawi pada abad ke-5 M membuat lunturnya kepercayaan ini di kalangan penganut Kristen di Eropa hingga abad ke-13 M. Tetapi dengan munculnya gerakan reformasi pada abad ke-15 M, dan terutama dengan munculnya Protestanisme pada abad ke-16 M, apokaliptisisme bangkit kembali dan tumbuh subur di kalangan penganut agama Kristen. Kebangkitan itu ditandai antara lain dengan tampilnya sekelompok teolog yang tidak puas terhadap kehidupan agama yang dikuasai Gereja Katholik. Mereka merasakan penguasa gereja berlaku tidak adil dan bertindak sewenang-wenang terhadap tokoh-tokoh gerakan reformasi. Paus yang akan datang malah mereka gambarkan sebagai Antichrist.

Pada masa Reformasi, Martin Luther – pendiri Protetanisme – pernah memaklumkan bahwa akhir zaman sudah dekat. Karena itu dia menyerukan agar kaum pembaru (reformis) segera mengambil langkah tegas untuk menyelamatkan dunia seraya menyongsong datangnya Isa Almasih. Walaupun pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 M pengaruh apokaliptisisme ini agak memudar berkat pengaruh humanisme dan rasionalisme, tetapi kelompok-kelompok Kristen fanatik masih berpegang pada dogma tersebut. Misalnya seperti tampak dalam gerakan Anabaptis. Gerakan ini berusaha mendirikan kerajaan Tuhan melalui jalan kekerasan. Dampak buruk dari kepercayaan ini di Jerman telah mendorong lahirnya Article XVII Konfesi Augsburg yang menyatakan bahwa kepercayaan apokaliptik sebenarnya merupakan doktrin agama Yahudi. Karena itu untuk beberapa waktu lamanya kepercayaan apokaliptik menjadi luntur.

Tetapi pada akhir abad ke-18 bersamaan dengan bangkitnya kesadaran akan sejarah, apokaliptisisme tampil kembali dalam pentas keagamaan di Eropa. Ketika itulah lahir apa yang disebut sebagai Teologi Penyelamatan atau Salvasionis. Ajaran kelompok ini didasarkan antara lain pada dua buah buku karangan Hess berjudul Life of Jesus (3 jilid) dan Of the Kingdom of God: An Essay on the Plan of God’s Prarsions and Revelations.

Apokaliptisisme di Amerika

Di Amerika apokaliptisisme mendapat penerimaan luas lagi di kalangan orang Protestan yang pada umumnya berasal dari negara-negara Anglo Saxon. Pada abad ke-19 M kepercayaan ini melahirkan banyak aliran-aliran keagamaan. Dan berdasarkan kepercayaan apokaliptik ini pulalah salasilah fundamentalism berpucuk dan kepada pendukungnya pula sebutan fundamentalis dinisbahkan.

Menurut Smithals Dictionary of the Hitory of Ideas (2004), berkembangnya apokaliptisisme di Amerika bermula dengan munculnya kelompok Adventis dan gerakan kesaksian Yehova atau Yahwe. Di antara pokok ajaran kelompok ini ialah bahwa seorang yang beriman harus meyakini kehadiran Roh Kudus dalam diri manusia dan kedatangan Isa Almasih untuk kedua kalinya di dunia ini, Kecuali itu ia harus meyakini bahwa isi Bibel itu sepenuhnya benar, karena ia merupakan satu-satunya kitab yang diwahyukan.

Berdasarkan kepercayaan itu William Miller, pendeta yang merintis lahirnya kelompok Adventis pada abad ke-19, meramalkan bahwa Isa Almasih akan turun kembali ke dunia antara tahun 1843-4. Teolog lain Charles T. Russel mengemukakan bahwa Isa Almasih muncul secara rahasia pada tahun 1874 dan akan mulai mewujudkan misinya pada tahun 1914. Berdasarkan pengakuan Russel inilah Gerakan Kesaksian Yehova lahir.

Tetapi bangkitnya kepercayaan ini dalam arti sebenarnya bermula pada awal abad ke-20. Yaitu ketika Dwight L. Moody, seorang evangelis atau penginjil terkemuka, menerbitkan serial buku kecil yang diberi judul The Fundamentals pada tahun 1910. Tulisan-tulisannya merupakan tanggapan dan kritik keras terhadap berkembangnya teologi liberal dan sekularisme di AS. Berdasarkan judul serial buku Moody ini sebutan fundamentalisme terhadap gerakan keagamaan radikal diambil.

Pada tahun 1919 sebuah kelompok garis keras dalam Protestanisme muncul pula mendirikan sebuah organisasi diberi nama World’s Christian Fundamentals Association. Setahun kemudian sempalan dari gerakan ini mengumumkan sikap anti modernisme. Curtis Lee Lavis, editor majalah Watchman Examiner (terbitan Gereja Baptis) menyebut kelompok ini sebagai kaum fundamentalis. Dasar-dasar ajaran Moody, yaitu keyakinan terhadap hadinya Roh Kudus dalam diri manusia dan kedatangan kembali Isa Almasih untuk kedua kalinya kelak, lantas dijadikan asas teologi Gereja Baptis.

Namun di antara buku abad ke-20 yang paling berpengaruh ialah Evangelische Kommentare (1968) karangan Moltman. Di situ teolog terkemuka itu menggagaskan sebuah Teologi Harapan, Dalam bukunya itu dia mengajarkan bahwa semua kekuatan Kristen Protestan harus ditumpukan untuk mencapai tujuan apokaliptik sejarah, oleh karena kebangkitan Isa Almasih merupakan tanda berakhirnya dunia dari cengkraman penderitaan, ketakadilan dan kefanaan. Menurut Moltman, “Revolusi sosial disebabkan keadaan tidak adil adalah hasil dari pengamatan yang seksama atas harapan melalui kebangkitan kembali Isa Almasih”.

Tetapi menurut Joel Carpenter, gagasan kaum fundamentalis itu berkembang bukan semata-mata disebabkan penentangannya terhadap modernisme, liberalisme dan sekularisme. Juga bukan semata-mata disebabkan persoalan politik. Terlalu sederhana jika suatu gerakan keagamaan yang besar dan dominan muncul disebabkan paham-paham duniawi yang tidak terlalu sukar ditransformasikan dan diberi sifat keagamaan. Fundamentalisme keagamaan, menurut Carpenter, berakar dalam ide-ide keagamaan yang telah berkembang di Amerika pada abad ke-19. Ia memberi contoh Pantekosta, sebuah aliran keagamaan yang populis dan menonjol pada abad ke-20.

Pantekosta memperoleh banyak pengikut justru karena menekankan pada kepercayaan bahwa Roh Kudus bisa dipanggil hadir ke dalam jiwa seseorang melalui doa-doa dan nyanyian. Aliran ini juga yakin bahwa apabila seseorang telah kerasukan Roh Kudus, maka dapat menjadi sarana untuk menyampaikan apa yang ingin dikemukakan oleh Roh Kudus. Seperti Gereja Baptis, Pantekosta berkembang menjadi gerakan keagamaan besar karena keberhasilan mengumpulkan uang dri setiap jemaahnya, misalnya sepersepuluh dari hasil yang diperoleh dalam bisnis atau pekerjaan lain.

Sepanjang tahun 1920 – 1960 gerakan fundamentalisme mengalami perkembangan yang cukup menakjubkan. Tetapi lebih menakjubkan lagi perkembangannya dalam dasawarsa 1990an, terutama sejak Bush terpilih menjadi presiden AS pada tahun 1998. Daya tarik utamanya adalah apokaliptisisme dan milleniarisme yang diajarkannya. Tetapi Bratcher dalam artikelnya “Doomsday Prophets” (The Voice, 14 Agustus 2006) menyatakan bahwa oleh karena penganut kepercayaan apokaliptik ini beranggapan bahwa kejahatan itu datang dari luar golongan mereka, maka gerakan mereka tidak jarang muncul sebagai gerakan yang egosentris dan arogan, serta merasa bahwa hanya kelompok mereka saja yang benar. Umat atau golongan agama lain dipandangnya sebagai serba jahat dan merupakan sumber utama kerusakan di muka bumi.

Untuk kepuasan diri sendiri, kata Bratcher lagi, Tuhan diminta segera campur tangan melalui doa, sedangkan mereka wajib melakukan persiapan-persiapan yang memadai untuk menyongsong datangnya akhir zaman. Padahal eskatologi yang sebenarnya, kata Bratcher lagi, justru mengajarkan agar kita ini berbuat adil dan benar untuk mencapai keselamatan, serta saling mencintai, tawadduk dan benar-benar tunduk kepada kemauan Tuhan. Kejahatan adalah masalah internal manusia, dan bisa muncul di lingkungan penganut agama atau ideologi apa saja tidak terkecuali Kristen, Yahudi dan Islam.

Apokaliptisisme Yahudi dan Islam

Dalam sejarah agama Yahudi, sebagaimana telah dikemukakan wacana apokaliptisisme tumbuh subur sejak abad ke-6 SM ketika kerajaan Yahudi di Palestina diserbu Babylonia (Iraq sekarang) dan mereka hidup penuh penderitaan dan keputusasaan dalam pembuangannya di kerajaan Nebukadnesar itu. Harapan dan janji kemenangan yang berulang kali disampaikan oleh nabi-nabi mereka, walaupun tidak kunjung terpenuhi akibat hambatan-hambatan politik dan keagamaan, dari waktu ke waktu memperkuat keyakinan mereka bahwa tanah yang dijanjikan dan kedatangan messiah atau juru selamat di Palestina pasti akan terpenuhi juga.

Yang dianggap sebagai peletak dasar epokaliptisisme Yahudi ialah Ezekiel, Jeremiah dan Zefaniah. Ezekiel mengatakan bahwa Tuhan identik dengan wahyu dalam kitab suci. Dengan demikian turunnya wahyu adalah juga merupakan kehadiran Tuhan di tengah umat manusia. Karena pandangan apokaliptik tertulis dalam kitab suci, maka sebenarnya Tuhan sendirilah yang menyingkap tanda-tanda datangnya akhir zaman berikut ketentuan waktunya. Zefaniah mengatakan bahwa Tuhan menjanjikan bagi Bani Israel tanah atau negeri yang di atasnya Messiah akan mendirikan kerajaan yang megah dan membebaskan bangsa Yahudi dari penderitaan.

Meskipun ramalan itu tidak kunjung memperlihatkan kenyataan selama berabad-abad, dan setiap kali direvisi, namun kepercayaan apokaliptik tentang tanah yang dijanjikan itu semakin tertanam jauh dalam lubuk jiwa penganut agama Yahudi. Seperti orang Kristen mereka yakin bahwa messiah akan turun di Palestina dan mendirikan kerajaan Israel di tanah yang dijanjikan itu dengan Yerusalem sebagai ibukotanya. Adapun messiah itu bukan Isa Almasih seperti diyakini penganut agama Kristen, tetapi salah seorang dari keturunan Nabi Daud yang perkasa dan dianugerahi mukjizat oleh Yahwe. Isa Almasih dalam keyakinan orang Yahudi justru adalah Dajjal sang Perusak Agung.

Di bawah pengaruh eskatologi Persia atau Zoroaster, sejarah dipandang bergerak dalam putaran waktu menuju eskatologi apokaliptik, yaitu keadaan penuh kekacauan pada akhir zaman. Ketika itulah Tuhan akan memberi pertolongan kepada bangsa Yahudi dengan dihadirkannya Messiah. Dengan demikian dalam apokaliptisisme Yahudi, sejarah dipandang sebagai sesuatu yang berjalan dan berkembangnya waktu secara linear dengan tujuan tertentu, yaitu membawa bangsa terpilih menuju kemenangan.

Inti apokaliptisisme Yahudi dapat diringkas sebagai berikut: (1) Tuhan mempersiapkan tanah yang dijanjikan; (2) Sebelum janji itu terpenuhi mereka akan mengalami masa-masa sulit disebabkan diaspora dan pengasingan, sebelum akhirnya mereka mengalami zaman baru yang akan menyelamatkan dan membebaskan mereka dari diaspora dan pengasingan; (3) Tuhan akan mengirimkan raja dan pemimpin kuat sebagai juru selamat yang adalah keturunan Nabi Daud; (4) Isa Almasih adalah Antichrist atau Dajjal.

Berdirinya negara Israel adalah wujud nyata dari harapan itu dan sekaligus merupakan persiapan menyambut datangnya Messiah. Jelas sekali, kepercayaan apokaliptik Yahudi bercorak etno-religius. Ibn al-Qayyim, ahli hadis abad ke-11 M, mengatakan bahwa memang sudah sejak lama orang-Yahudi meyakini hal ini. Mereka juga yakin bahwa apabila Messiah mengucapkan doa-doa dan jampi-jampi maka seluruh umat manusia akan tunduk pada bangsa Yahudi, sedangkan yang menentang akan binasa. Dalam kenyataan, menurut Ibn al-Qayyim lagi, orang Nasrani justru meyakini bahwa yang dimaksud Messiah oleh orang Yahudi itu tidak lain adalah Antichrist atau Dajjal.

Dalam Islam, baik Sunni maupun Syiah, kepercayaan akan akhir zaman dan tanda-tandanya juga terdapat. Di kalangan Syiah apokaliptisisme disebut mahdaviyat atau kepercayaan terhadap turunnnya Imam Mahdi. Tetapi sekalipun demikian tidak ada yang cenderung berlebihan seperti dalam keyakinan apokaliptik Kristen. Mereka meyakini bahwa begitu Dajjal –raja diraja keangkaraan dan kedurjanaan – datang, maka dunia akan menyaksikan malapetaka dan kerusakan besar disebabkan perbuatannya. Untuk mencegah marajalelanya Dajjal, Imam Mahdi turun. Peperangan terjadi antara Dajjal dan Imam Mahdi. Ketika peperangan dahsyat terjadi dan pasukan Imam Mahdi kewalahan, Nabi Isa a.s. akan turun untuk menyelamatkan dan membebaskan kaum mukmin. Berbeda dengan eskatologi Kristen yang meramalkan Isa Almasih turun di Bukit Zaitun, eskatologi Islam mengemukakan bahwa Nabi Isa a.s. akan muncul di sebelah timur Damaskus, Syria sekarang.

Sedangkan Dajjal akan muncul di sebelah barat Isfahan (Iran) antara Iraq dan Mesir. Pengikut Dajjal adalah kebanyakan orang Yahudi. Uraian tentang eskatologi dalam Islam secara rinci lebih banyak dikemukakan dalam hadis. Berdasarkan sumber-sumber hadis, penulis Muslim menyusun kitab eskatologi atau karya sastra yang memaparkan tentang eskatologi. Salah satu di antaranya ialah Masa’ilu `abdi’l-Lahi `bai Salam `ila’l-Nabi.Kitab ini disadur ke dalam bahasa Melayu pada abad ke-17 di negeri Aceh Darussalam, dengan judul Kitab Seribu Masalah.

Secara simbolik dan imaginatif Dajjal digambarkan sebagai berikut: “Dajal itu turun di negeri Ajam, Ia mengendarai keledai besar. Jika berjalan di tengah laut, kakinya tidak basah. Segala orang kafir , orang yang menyembah berhala, Yahudi, Nasrani, dan segala orang yang durhaka bersujud menyembah Dajal itu. Ia berjalan membawa dua buah bukit, sebuah di sebelah kanannya berisi segala macam kenikmatan dan segala macam perhiasan, makanan, minuman, pakaian, gadis-gadis cantik; sebuah lagi di sebelah kirinya berisi segala macam siksa neraka, ular, kalajengking, dan api yang berkobar-kobar. Siapa yang percaya dan bertuhan kepadanya dimasukkannya ke dalam surganya itu, dan siapa yang tiada mau bertuhan kepadanya dimasukkannya ke dalam nerakanya itu.” (h. 127-133).

Rasail atau wacana apokaliptisisme seperti tampak dalam teks Kitab Seribu Masalah Melayu itu sangat dikenal secara luas oleh kaum Muslimin di seluruh dunia sejak lama, baik di kalangan Muslim Sunni maupun Muslim Syiah.

Dewasa ini perbincangan tentangnya dihubungkan dengan dua hal, yaitu gagasan mahdaviyat dan globalisasi. Yang pertama, adalah bentuk apokaliptisisme sebagaimana dipercaya kalangan Syiah di Iran, yaitu keyakinan bahwa sebelum Nabi Isa Almasih turun kembali ke dunia terlebih dahulu ditandai kemunculan Imam Mahdi yang dititahkan memerangi Dajjal. Media internasional, khususnya yang terbit di AS, mengaitkan kepercayaan itu dengan tampilnya Iran di bawah kepemimpinan Ahmadinejad. Perseteruan Iran dengan AS, khususnya dalam era kepemimpinan Bush, ikut menyebar luaskan kepercayaan terhadap keyakinan kaum milleniaris. Lantas jika perang antar agama benar-benar terjadi kelak, siapa yang harus disalahkan? Bush, kaum fundamentalis Kristen, dan Zionis, tentu akan menjawab: Semua itu dianggap sebagai kesalahan orang Islam, bangsa Palestina, Arab, Iran, Hamas, Hizbullah dan gerakan-gerakan pembebasan lain karena tidak mau berhenti melakukan perlawanan terhadap imperialisme AS dan Zionis.


0 komentar:

Posting Komentar

copyrigt; Juned Topan.. Diberdayakan oleh Blogger.