Kamis, 28 Juli 2011

Pandangan Ulama Tentang Kloning

Prof Dr M Quraish Shihab

Pakar Tafsir Alquran Dan Mantan Menteri Agama RI

cloning2Banyak persoalan menyangkut kloning. Pertama, apakah kloning dapat dinilai menandingi atau upaya mengintervensi Kuasa Tuhan? Kedua, apakah kloning merupakan ciptaan baru atau tidak? Ketiga, jika kloning manusia berhasil, maka siapakah manusia hasil kloning itu? Anak siapa dia? Siapa bertanggung jawab memeliharanya? Lalu bagaimana hukum kloning, halal atau haram?

Semua pertanyaan itu masih diperselisihkan jawabannya. Kalaupun ada jawaban yang hampir pasti, ia belum memuaskan semua pihak. Salah satu yang hampir disepakati adalah, keberhasilan mengklon, apapun bentuknya termasuk reproduksi manusia, sama sekali tidak dapat dinilai mengurangi kuasa Allah atau mengintervensi Tuhan, apalagi menandingi-Nya. Manusia yang berhasil direproduksi itu tetap saja menggunakan ‘bahan-bahan mentah’ yang telah diciptakan Tuhan sebelumnya.
Penemuan cara mengklon itu hanyalah keberhasilan manusia mengetahui hukum-hukum Tuhan dalam reproduksi, yang kemudian dimanfaatkan dengan menggunakan cara yang berbeda dengan cara yang selama ini dikenal. Dengan demikian ia tidak menjadikan manusia tersebut sebagai Pencipta yang menandingi atau mengintervensi Tuhan.

Di sisi lain, manusia yang melakukannya adalah atas izin Tuhan — walau belum tentu atas restu-Nya –, karena Tuhanlah yang menganugerahkan kepada manusia akal dan kemampuan mengembangkan ilmu sehingga mampu berhasil dalam upayanya itu.

Dari sini bercabang diskusi para ulama: apakah akal dan pengembangan kemampuan ilmiah memiliki batas-batas yang tidak boleh dilampaui ataukah ada batas-batasnya? Kalau ada, apakah batas-batas tersebut?

Hakim Agung Mahkamah Tinggi al-Ja’fariyah Lebanon, Sayyid Muhammad Hasan Al-Amin, menyatakan (1999): ”Kalau kita berandai kloning diterapkan pada manusia, maka menurut hemat saya ia merupakan suatu keberhasilan yang besar dan agung untuk kemaslahatan manusia. Pandangan agama secara umum dalam hal ini sejalan dengan pandangan agama terhadap semua keberhasilan ilmiah yang besar dan yang dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Kita harus membedakan sisi moral, sosial, dan kemanusiaan dengan pandangan agama menyangkut teori ilmiah tentang kloning.”

”Agama tidak mungkin mengharamkan atau melarang ditemukannya satu teori ilmiah baru yang dapat mengantar kepada pengungkapan rahasia dari sekian banyak rahasia kehidupan, manusia, dan alam raya. Sebaliknya pun demikian. Karena, agama mengundang manusia untuk berpikir, mengamati, menganalisis, dan mengambil kesimpulan.”
Ulama lain memberi pembatasan. Dalam buku Al-Islam wal-’Aql, mantan pemimpin tertinggi Al-Azhar Mesir, Sheikh Abdul Halim Mahmud, mengatakan: ”Benar, Islam mendukung penelitian dan pengembangan ilmu, tetapi pengembangan yang memiliki tujuan yang jelas berkaitan dengan kemaslahatan manusia. Dalam Islam tidak ada istilah ‘ilmu untuk ilmu’ atau ’seni untuk seni’, tetapi Iqra bismi Rabbika yang bermakna ilmu haruslah demi karena Allah, yakni demi kemaslahatan makhluk.”

Selanjutnya, ia juga menyitir doa Nabi Muhammad SAW: ”Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat.”
Sejumlah ulama bahkan masih mempertanyakan kegunaan sebagian penemuan ilmiah yang digunakan untuk tujuan kedokteran. ”Berapa banyak manusia yang memiliki kemampuan ekonomi untuk menarik manfaat dari hasil penemuan itu. Katakanlah ratusan atau ribuan sedang kemanusiaan seluruhnya membayar harga kemajuan itu dengan kehormatannya, rezekinya, lingkungan dan kehidupannya,” tulis Pemimpin Majelis Tinggi Syiah di Lebanon, Muhammad Mahdi Syamsuddin, dalam buku Al-Istinsakh Baina al-Islam wa Al-Masihiyah.

Ia kemudian menyimpulkan, kloning adalah haram untuk diterapkan pada binatang dan penerapannya pada manusia adalah haram qat’an wa yaqinan, keharaman yang pasti dan sangat meyakinkan.

Pemimpin tertinggi Al-Azhar Sheikh Muhammad Thanthawi dan ulama Syiah pendiri Pusat Studi dan Riset Al-’Itrah Beirut Sheikh Muhammad Jamil Hammud Al-’Amily menegaskan, dalam upaya mereproduksi manusia terdapat pelecehan terhadap kehormatan manusia yang mestinya dijunjung tinggi — hidup atau mati –, bahkan walaupun tulang-tulangnya yang telah berserakan. Upaya itu mengarah kepada goncangnya sistem kekeluargaan serta penghinaan dan pembatasan peranan perempuan. Ia bukan saja memutuskan silaturahim tetapi juga mengikis habis cinta. Ia adalah mengubah ciptaan Allah dan bertentangan dengan Sunatullah. Itu adalah pengaruh setan bahkan upayanya menguasai dunia dan manusia.

Sheikh Muhammad Ali al-Juzu (Mufti Lebanon yang beraliran Sunni) menyatakan, kalaupun kloning telah berhasil diterapkan pada binatang, tetapi ”tidak ada keharusan menerapkannya pada manusia karena bahayanya sangat banyak. Yang terpenting adalah akan banyak orang-orang yang lemah akidahnya yang berlutut, jatuh menyerah di hadapan eksperimen-eksperimen ini dan bahwa kehidupan bukan lagi rahasia yang hanya diketahui Allah Sang Pencipta.”

”Keberhasilan kloning manusia akan mengakibatkan sendi kehidupan keluarga menjadi terancam hilang atau hancur, karena manusia yang lahir melalui proses kloning tidak dikenal siapa ibu dan bapaknya, atau dia adalah percampuran antara dua wanita atau lebih sehingga tidak diketahui siapa ibunya dan dalam saat yang keberadaan bapak sangat dibutuhkan. Selanjutnya kalau itu berulang dan berulang, maka bagaimana kita dapat membedakan seseorang dari yang lain yang juga mengambil bentuk dan rupa yang sama?”
Mantan Mufti Mesir Sheikh Farid Washil, walaupun dapat membenarkan kloning untuk tujuan penyediaan organ tubuh bagi yang membutuhkannya, tetapi menegaskan kloning dengan tujuan pengobatan kemandulan tidaklah dibenarkan. Ia juga menolak kloning reproduksi manusia karena dinilainya bertentangan dengan empat dari lima Maqashid asy-Syar’iah: pemeliharaan jiwa, akal, keturunan, dan agama.

Walhasil, yang melarang kloning — apalagi yang berkaitan dengan manusia — memiliki aneka alasan, baik karena kekuatiran mereka terhadap dampak buruk dari hasil penemuan ilmiah, atau adanya prioritas lain yang lebih utama, atau karena kaedah ”Menampik keburukan lebih diutamakan daripada mendatangkan manfaat”. Larangan itu dikuatkan lagi dengan aneka uraian yang boleh jadi dikemukakan oleh pendukung-pendukung kloning manusia yang tidak memahami agama, misalnya ungkapan yang menyatakan ”Kloning dapat membuktikan manusia adalah materi tidak ada unsur spiritualnya” atau ”Dengan kloning manusia dapat hidup kekal”.

Dalam pengamatan penulis, tak sedikit ulama yang dipengaruhi kenyataan adanya kelompok manusia yang menggunakan hasil penemuan ilmuwan justru untuk kepentingan terbatas, sehingga menyengsarakan umat manusia. Dari sini lahir pendapat yang tegas menolak karena sangat berhati-hati dan membayangkan dampak buruk dari kloning itu. Tetapi ada juga ulama yang optimis dan memberi peluang sehingga tidak menggugurkan upaya mengklon itu bagaikan menggugurkan janin yang sedang dikandung. Mereka itu memberi peluang hidup bagi janin, namun bila nanti ternyata membahayakan barulah dijatuhi hukuman mati.

Setiap ide ilmiah yang dikemukakan tidak keluar dari tiga katagori Syekh Muhammad Taufiq Miqdad.

Pertama, ia berkaitan dengan sesuatu yang telah pasti diharamkan agama, seperti eutanasia. Ini jelas ditolak oleh agama karena berkaitan langsung dengan kehidupan manusia yang merupakan anugerah Ilahi tanpa sedikit campur tangan manusia.

Kedua, ia berkaitan dengan sesuatu yang jelas didukung oleh agana dan juga pertimbangan akal, seperti penciptaan aneka obat untuk penyembuhan manusia. ini termasuk bagian dari kebutuhan pokok manusia. Islam mendukung setiap usaha ke arah sana, dan menilainya sebagai sesuatu yang amat terpuji.

Ketiga, suatu ide ilmiah yang belum terbukti hasil dan dampaknya baik positif maupun negatif. Ide semacam ini baru dalam proses pembentukan atau tahap awal. Kita belum dapat memperoleh gambaran jelas dan utuh yang dapat menyingkirkan segala ketidakjelasan yang berkaitan dengannya. Ide semacam ini, tidak dapat ditetapkan atasnya hukum haram atau halal secara pasti, karena ia baru berbentuk ide atau baru dalam bentuk kekuatiran adanya sisi mudharat dan negatif yang juga baru dalam benak dan teori. Menetapkah hukum — baik halal maupun haram — menyangkut hal semacam ini adalah ketergesa-gesaan yang bukan pada tempatnya dan tidak sejalan dengan tuntunan akal dalam berpikir atau menarik kesimpulan.

Ide tentang kloning yang dibicarakan dewasa ini adalah salah satu contoh dari bagian ketiga di atas. Kita tidak memiliki alasan untuk menghukum mati secara mutlak dan tidak juga memberinya kebebasan hidup secara mutlak. Kita hendaknya memberi ide ini peluang dalam bidang ilmiah yang luas sampai menjadi jelas ciri dan dampak-dampaknya dari segala sisi, kemudian setelah itu kita menetapkan hukumnya sesuai dengan hasil penerapannya dan dampak-dampak yang dihasilkannya.

Pendapat di atas — yang juga dianut tidak sedikit ulama — menilai penelitian ilmiah dalam bidang kloning merupakan mubah dan tidak perlu tergesa-gesa melarang atau mengharamkannya. Sheikh Muhammad Miqdad menegaskan: ”Apabila ternyata kloning reproduksi manusia menghasilkan manusia yang hanya serupa dengan manusia yang lahir normal, tetapi tidak memiliki sifat-sifat sebagaimana manusia normal baik fisik maupun mental, atau dia tidak mampu melaksanakan fungsi-fungsi yang dilaksanakan fungsi-fungsi manusia biasa, atau terbukti bahwa dia akan menjadi manusia yang buruk perangainya — luput dari semua sisi positif manusia, maka ketika itu kita baru dapat berkata bahwa ia haram secara pasti.”

Ia melanjutkan: ”Islam sebagai agama yang realistis dan melindungi serta mendorong perkembangan ilmu pengetahuan memandang kepada persoalan semacam ini sesuai dengan dampak dan hasil-hasilnya yang positif dan negatif. Kalau sisi positifnya lebih banyak, maka ia dapat dibenarkan dan kalau sebaliknya maka ia terlarang berdasar kaedah yang ditegaskan oleh firman Allah ((QS. 2: 219), ‘Dosa keduanya (minuman keras dan perjudian) lebih besar daripada manfaatnya’.”

Ini, tegasnya, hanya pada kloning reproduksi manusia. Adapun binatang dan tumbuh-tumbuhan, maka Islam secara jelas membolehkannya, lebih-lebih kalau tujuannya untuk meningkatkan mutu pangan dan kualitas daging yang dimakan manusia.

Demikian terbaca perbedaan pendapat ulama. Agaknya kita dapat menyimpulkan, mayoritas ulama tidak membenarkan kloning reproduksi manusia, tetapi dapat membenarkan kloning yang bertujuan terapi. Wallahu a’lam.

0 komentar:

Posting Komentar

copyrigt; Juned Topan.. Diberdayakan oleh Blogger.