Kamis, 21 Juli 2011

Dalil-Dalil Fiktif atas Pembentukan Khilafah

Menukil dari Tulisan Nadirsyah Hosen di Media ISNET

1. Wajibkah mendirikan khilafah?

Tidak wajib! Yang wajib itu adalah memiliki pemimpin, yang dahulu disebut khalifah, kini bebas saja mau disebut ketua RT, kepala suku, presiden, perdana menteri, etc. Ada pemelintiran seakan-akan para ulama mewajibkan mendirikan khilafah, padahal arti kata “khilafah” dalam teks klasik tidak otomatis bermakna sistem pemerintahan Islam (SPI) yang dipercayai oleh para pejuang pro-khilafah.

Masalah kepemimpinan ini simple saja: “Nabi mengatakan kalau kita pergi bertiga, maka salah satunya harus ditunjuk jadi pemimpin”. Tidak ada nash yang qat’i di al-Qur’an dan Hadis yang mewajibkan mendirikan SPI (baca: khilafah ataupun negara Islam). Yang disebut “khilafah” sebagai SPI itu sebenarnya hanyalah kepemimpinan yang penuh dengan keragaman dinamika dan format. Tidak ada format kepemimpinan yang baku.

2. Bukankah ada Hadis yang mengatakan khilafah itu akan berdiri lagi di akhir zaman?

Para pejuang berdirinya khilafah percaya bahwa Nabi telah menjanjikan akan datangnya kembali khilafah di akhir jaman nanti. Mereka menyebutnya dengan khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Ini dalil pegangan mereka:

“Adalah masa Kenabian itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang menempuh jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya (menghentikannya) apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang menggigit (Mulkan ‘Adldlon), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang menyombong (Mulkan Jabariyah), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya, apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang menempuh jejak Kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah). Kemudian beliau (Nabi) diam.” (Musnad Ahmad: IV/273).

Cukup dengan berpegang pada dalil di atas, para pejuang khilafah menolak semua argumentasi rasional mengenai absurd-nya sistem khilafah. Mereka menganggap kedatangan kembali sistem khilafah adalah sebuah keniscayaan. Ada baiknya kita bahas saja dalil di atas. Salah satu rawi Hadis di atas bernama Habib bin Salim. Menurut Imam Bukhari, “fihi nazhar”.

Inilah sebabnya imam Bukhari tidak pernah menerima hadis yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim tsb. Di samping itu, dari 9 kitab utama (kutubut tis’ah) hanya Musnad Ahmad yang meriwayatkan hadis tsb. Sehingga “kelemahan” sanad hadis tsb tidak bisa ditolong.

Rupanya Habib bin salim itu memang cukup “bermasalah.” Dia membaca hadis tsb. di depan khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz untuk menjustifikasi bahwa kekhilafahan ‘Umar bin Abdul Aziz merupakan khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Saya menduga kuat bahwa Habib mencari muka di depan khalifah karena sebelumnya ada sejumlah hadis yang mengatakan: “Setelah kenabian akan ada khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, lalu akan muncul para raja.”

Hadis ini misalnya diriwayatkan oleh Thabrani (dan dari penelaahan saya ternyata sanadnya majhul). Saya duga hadis Thabrani ini muncul pada masa Mu’awiyah atau Yazid sebagai akibat pertentangan politik saat itu.

“Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah” di teks Thabrani ini mengacu kepada khulafa al-rasyidin, lalu “raja” mengacu kepada Mu’awiyah dkk. Tapi tiba-tiba muncul Umar bin Abdul Azis -dari dinasti Umayyah-yang baik dan adil. Apakah beliau termasuk “raja” yang ngawur dalam hadis tsb?

Maka muncullah Habib bin Salim yang bicara di depan khalifah Umar bin Abdul Azis bahwa hadis yang beredar selama ini tidak lengkap. Menurut versi Habib, setelah periode para raja, akan muncul lagi khilafah ‘ala minhajin nubuwwah-dan ini mengacu kepada Umar bin Abdul Azis. Jadi nuansa politik hadis ini sangat kuat.

Repotnya, istilah khilafah ‘ala minhajin nubuwwah yang dimaksud oleh Habib (yaitu Umar bin Abdul Azis) sekarang dipahami oleh Hizbut Tahrir (dan kelompok sejenis) sebagai jaminan akan datangnya khilafah lagi di kemudian hari. Mereka pasti repot menempatkan ‘Umar bin Abdul Aziz dalam urutan di atas tadi: kenabian, khilafah ‘ala mihajin nubuwwah periode pertama (yaitu khulafa al-rasyidin), lalu para raja, dan khilafah ‘ala minhajin nubuwwah lagi. Kalau khilafah ‘ala minhajin nubuwwah periode yang kedua baru muncul di akhir jaman maka Umar bin Abdul Azis termasuk golongan para raja yang ngawur.

Saya kira kita memang harus bersikap kritis terhadap hadis-hadis berbau politik. Sayangnya sikap kritis ini yang sukar ditumbuhkan di kalangan para pejuang khilafah.

3. Bukankah khilafah adalah solusi dari masalah ummat? Selama ummat Islam mengadopsi sistem kafir (demokrasi) maka ummat Islam tidak akan pernah jaya?

Di sinilah letak perbedaannya: sistem khilafah itu dianggap sempurna, sedangkan sistem lainnya (demokrasi, kapitalis, sosialis, dll) adalah buatan manusia. Kalau kita menemukan contoh “jelek” dalam sejarah Islam, maka kita buru-buru bilang, “yang salah itu manusianya, bukan sistem Islamnya!”. Tapi kalau kita melihat contoh “jelek” dalam sistem lain, kita cenderung untuk bilang, “demokrasi hanya menghasilkan kekacauan!” Jadi, yang disalahkan adalah demokrasinya. Ini namanya kita sudah menerapkan standard ganda.

Biar adil, marilah kita melihat bahwa yang disebut sistem khilafah itu sebenarnya merupakan sistem yang juga tidak sempurna, karena ia merupakan produk sejarah, dimana beraneka ragam pemikiran dan praktek telah berlangsung. Sayangnya, karena dianggap sudah “sempurna” maka sistem khilafah itu seolah-olah tidak bisa direformasi. Padahal banyak sekali yang harus direformasi.

Contoh: dalam sistem khilafah pemimpin itu tidak dibatasi periode jabatannya (tenure). Asalkan dia tidak melanggar syariah, dia bisa berkuasa seumur hidup. Dalam sistem demokrasi, hal ini tidak bisa diterima. Meskipun seorang pemimpin tidak punya cacat moral, tapi kekuasaannya dibatasi sampai periode tertentu.

Saya maklum kenapa sistem khilafah tidak membatasi jabatan khalifah. Soalnya pada tahun 1924 khilafah sudah bubar, padahal pada tahun 1933 (the 22nd Amendment) Amerika baru mulai membatasi jabatan presiden selama dua periode saja. Sayangnya, buku tentang khilafah yang ditulis setelah tahun 1933 masih saja tidak membatasi periode jabatan khalifah. Itulah sebabnya kita menyaksikan bahwa dalam sepanjang sejarah Islam, khalifah itu naik-turun karena wafat, dibunuh, atau dikudeta. Tidak ada khalifah yang turun karena masa jabatannya sudah habis.

Contoh lainnya, sistem khilafah selalu mengulang-ulang mengenai konsep baiat (al-bay`ah) dan syura. Tapi sayang berhenti saja sampai di situ [soalnya sudah dianggap sempurna]. Dalam tradisi Barat, electoral systems itu diperdebatkan dan terus “disempurnakan” dalam berbagai bentuknya. Dari mulai sistem proporsional, distrik sampai gabungan keduanya.

Begitu juga dengan sistem parlemen. Dari mulai unicameral sampai bicameral system dibahas habis-habisan, dan perdebatan terus berlangsung untuk menentukan sistem mana yang lebih bisa merepresentasikan suara rakyat dan lebih bisa menjamin tegaknya mekanisme check and balance.

Tapi kalau kita mau “melihat” ke teori Barat, nanti kita dituduh terpengaruh orientalis atau terjebak pada sistem kafir. Akhirnya kita terus menerus memelihara teori yang sudah ketinggalan kereta.

4. Kalau khilafah berdiri, maka ummat islam akan bersatu. Lantas kenapa harus ditolak? Bukankah kita menginginkan persatuan ummat?

Sejumlah dalil mengenai persatuan ummat Islam dan kaitannya dengan khilafah banyak dikutip oleh “pejuang khilafah” belakangan ini: Rasulullah SAW bersabda: “Jika dibai’at dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR. Muslim)

Bagaimana “rekaman” sejarah soal ini? Ini daftar tahun berkuasanya khilafah yang sempat saya catat:

1. Ummayyah (661-750)
2. Abbasiyah (750-1258)
3. Umayyah II (780-1031)
4. Buyids (945-1055)
5. Fatimiyah (909-1171)
6. Saljuk (1055-1194)
7. Ayyubid (1169-1260)
8. Mamluks (1250-1517)
9. Ottoman (1280-1922)
10. Safavid (1501-1722)
11. Mughal (1526-1857)

Dari daftar di atas kita ketahui bahwa selepas masa Khulafa al-Rasyidin, ternyata hanya pada masa Umayyah dan awal masa Abbasiyah saja terdapat satu khalifah untuk semua ummat Islam. Sejak tahun 909 (dimana Abbasiyah masih berkuasa) telah berdiri juga kepemimpinan ummat di Egypt oleh Fatimiyyah (bahkan pada periode Fatimiyah inilah Universitas al-Azhar Cairo dibangun).

Di masa Abbasiyah, Cordova (Andalusia) juga memisahkan diri dan punya kekhalifahan sendiri (Umayyah II). Di Andalusia inilah sejarah Islam dicatat dengan tinta emas, namun pada saat yang sama terjadi kepemimpinan ganda di tubuh ummat, toh tetap dianggap sukses juga.

Pada masa Fatimiyyah di Mesir (909-1171), juga berdiri kekuasaan lainnya: Buyids di Iran-Iraq (945-1055). Buyids hilang, lalu muncul Saljuk (1055-1194), sementara Fatimiyah masih berkuasa di Mesir sampai 1171. Ayubid meneruskan Fatimiyyah dengan kekuasaan meliputi Mesir dan Syria (1169-1260). Dan seterusnya, … silahkan diteruskan sendiri.

Jadi, sejarah menunjukkan bahwa khilafah itu tidak satu; ternyata bisa ada dua atau tiga khalifah pada saat yang bersamaan. Siapa yang dipenggal lehernya dan siapa yang memenggal? Mana yang sah dan mana yang harus dibunuh?

Kita harus kritis membaca Hadis-Hadis “politik” di atas. Saya menduga kuat Hadis semacam itu baru dimunculkan ketika terjadi pertentangan di kalangan ummat islam sepeninggal rasul. Alih-alih bermusyawarah, seperti yang diperintahkan Qur’an, para elit Islam tempo doeloe malah melegitimasi pertempuran berdarah dengan Hadis-Hadis semacam itu.

Sejumlah Ulama yang datang belakangan kemudian berusaha “mentakwil” makna Hadis di atas. Mereka menyadari bahwa situasi sudah berubah, dan Islam sudah meluas sampai ke pelosok kampung. Pernyataan Nabi di atas tidak bisa dilepaskan dari konteks traditional-state di Madinah, dimana resources, jumlah penduduk, dan luas wilayah masih sangat terbatas. Cocok-kah Hadis itu diterapkan pada saat ini?

Berpegang teguh pada makna lahiriah Hadis di atas akan membuat darah tumpah di mana-mana. Contoh saja, karena tidak ada aturan yang jelas, maka para ulama berdebat, seperti direkam dengan baik oleh al-Mawardi, M. Abu faris dan Wahbah al-Zuhayli: berapa orang yang dibutuhkan untuk membai’at seorang khalifah? Ada yang bilang lima [karena Abu Bakr dipilih oleh 5 orang], tiga [dianalogikan dengan aqad nikah dimana ada 1 wali dan 2 saksi], bahkan satu saja cukup [Ali diba'iat oleh Abbas saja]. Jadi, cukup 5 orang saja untuk membai’at khalifah. Aturan itu cocok untuk kondisi Madinah jaman dulu, namun terhitung “menggelikan” untuk jaman sekarang.

Disamping itu, urusan “memenggal kepala” itu tidak lagi cocok dengan situasi sekarang. Contoh: ribut-ribut jumlah suara antara Al Gore dengan Bush 4 tahun lalu diselesaikan bukan dengan putusnya leher salah satu di antara mereka.

Begitu juga Gus Dur tidak bisa meminta kepala Mega dipenggal ketika Mega “merebut” kekuasaannya tempo hari. Mekanisme konstitusi yang menyelesaikan semua itu. Nah, mekanisme itu yang di jaman dulu kagak ada. Apa kita mau balik ke jaman itu lagi?

Akhirnya, dengan adanya catatan sejarah yang menunjukkan bahwa terdapat beberapa khalifah dalam masa yang sama, di wilayah yang berbeda. Hadis politik di atas sudah tidak cocok lagi diterapkan.

5. Jawaban anda sebelumnya seolah-olah hendak mengatakan bahwa berdirinya khilafah justru akan menimbulkan pertumpahan darah sesama ummat islam, bukan menghadirkan persatuan seperti yang didengungkan para pejuang khilafah saat ini. Betulkah demikian? Benarkah sejarah khilafah menunjukkan pertumpahan darah tersebut?

Ketika Bani Abbasiyah merebut khilafah, darah tertumpah di mana-mana. Ini “rekaman” kejadiannya:Pasukan tentara Bani Abbas menaklukkan kota Damsyik, ibukota Bani Umayyah, dan mereka “memainkan” pedangnya di kalangan penduduk, sehingga membunuh kurang lebih lima puluh ribu orang. Masjid Jami’ milik Bani Umayyah, mereka jadikan kandang kuda-kuda mereka selama tujuh puluh hari, dan mereka menggali kembali kuburan Mu’awiyah serta Bani Umayyah lainnya. Dan ketika mendapati jasad Hisyam bin Abdul Malik masih utuh, mereka lalu menderanya dengan cambuk-cambuk dan menggantungkannya di hadapan pandangan orang banyak selama beberapa hari, kemudian membakarnya dan menaburkan abunya.

Mereka juga membunuh setiap anak dari kalangan Bani Umayyah, kemudian menghamparkan permadani di atas jasad-jasad mereka yang sebagiannya masih menggeliat dan gemetaran, lalu mereka duduk di atasnya sambil makan. Mereka juga membunuh semua anggota keluarga Bani Umayyah yang ada di kota Basrah dan menggantungkan jasad-jasad mereka dengan lidah-lidah mereka, kemudian membuang mereka di jalan-jalan kota itu untuk makanan anjing-anjing.

Demikian pula yang mereka lakukan terhadap Bani Umayyah di Makkah dan Madinah.

Kemudian timbul pemberontakan di kota Musil melawan as-Saffah yang segera mengutus saudaranya, Yahya, untuk menumpas dan memadamkannya. Yahya kemudian mengumumkan di kalangan rakyat: “Barangsiapa memasuki masjid Jami’, maka ia dijamin keamanannya.” Beribu-ribu orang secara berduyun-duyun memasuki masjid, kemudian Yahya menugaskan pengawal-pengawalnya menutup pintu-pintu Masjid dan menghabisi nyawa orang-orang yang berlindung mencari keselamatan itu. Sebanyak sebelas ribu orang meninggal pada peristiwa itu. Dan di malam harinya, Yahya mendengar tangis dan ratapan kaum wanita yang suami-suaminya terbunuh di hari itu, lalu ia pun memerintahkan pembunuhan atas kaum wanita dan anak-anak, sehingga selama tiga hari di kota Musil digenangi oleh darah-darah penduduknya dan berlangsunglah selama itu penangkapan dan penyembelihan yang tidak sedikit pun memiliki belas kasihan terhadap anak kecil, orang tua atau membiarkan seorang laki-laki atau melalaikan seorang wanita.

Seorang ahli fiqh terkenal di Khurasn bernama Ibrahim bin Maimum percaya kepada kaum Abbasiyin yang telah berjanji “akan menegakkan hukum-hukum Allah sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah”. Atas dasar itu ia menunjukkan semangat yang berkobar-kobar dalam mendukung mereka, dan selama pemberontakan itu berlangsung, ia adalah tangan kanan Abu Muslim al-Khurasani. Namun ketika ia, setelah berhasilnya gerakan kaum Abbasiyin itu, menuntut kepada Abu Muslim agar menegakkan hukum-hukum Allah dan melarang tindakan-tindakan yang melanggar kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, segera ia dihukum mati oleh Abu Muslim.

Cerita di atas bukan karangan orientalis tapi bisa dibaca di Ibn Atsir, jilid 4, h. 333-340, al-Bidayah, jilid 10, h. 345; Ibn Khaldun, jilid 3, h. 132-133; al-Bidayah, jilid 10, h. 68; al-Thabari, jilid 6, h. 107-109. Buku-buku ini yang menjadi rujukan Abul A’la al-Maududi ketika menceritakan ulang kisah di atas dalam al-Khilafah wa al-Mulk.
Note:

Yang jelas sejarah “buruk” kekhilafahan bukan hanya milik khalifah Abbasiyah, tapi juga terjadi di masa Umayyah (sebelum Abbasiyah) dan sesudah Abbasiyah. Misalnya, menurut al-Maududi, dalam periode khilafah pasca khulafatur rasyidin telah terjadi: perubahan aturan pengangkatan khalifah seperti yang dipraktekkan sebelumnya, perubahan cara hidup para khalifah, perubahan kondisi baitul mal, hilangnya kemerdekaan mengeluarkan pendapat, hilangnya kebebasan peradilan, berakhirnya pemerintah berdasarkan syura, munculnya kefanatikan kesukuan, dan hilangnya kekuasaan hukum.

Sejarah itu seperti cermin: ada yang baik dan ada yang buruk. Kita harus menyikapinya secara proporsional; jangan “buruk muka, cermin dibelah. Sengaja saya tampilkan sisi buruknya agar kita tidak hidup dalam angan-angan atau nostalgia masa lalu saja, tanpa mengetahui sisi buruk masa lalu itu.

Ada kesan bahwa dengan menjadikan “khilafah is the (only) solution” maka kita melupakan bahwa sebenarnya banyak kisah kelam (sebagaimana juga banyak kisah “keemasan”) dalam masa kekhilafahan itu. Jadi, mendirikan kembali khilafah tidak berarti semua problem akan hilang dan lenyap; mungkin kehidupan tanpa problem itu hanya ada di surga saja.

6. Ada sejumlah kewajiban yang pelaksanaannya tidak terletak di tangan individu rakyat. Di antaranya adalah pelaksanaan hudûd, jihad fi sabilillah untuk meninggikan kalimat Allah, mengumpulkan zakat dan mendistribusikannya, dan seterusnya. Sejumlah kewajiban syariat ini bergantung pada pengangkatan Khalifah. Bukankah di sinilah letak urgensinya kita mendirikan khilafah?

Cara berpikir anda itu masih menganggap khilafah itu sama dengan sebuah sistem pemerintahan Islam [SPI], padahal hadis-hadis yang menyinggung soal khilafah itu hanya bicara mengenai pentingnya mengangkat pemimpin (dan sekarang semua negara punya pemimpin kan?).

Kalau pertanyaannya saya tulis ulang: bukankah sebagian pelaksanaan syariat islam membutuhkan campur tangan pemimpin? Jawabannya benar,dan itulah yang sudah dilakukan di sejumlah negara: misalnya memungut zakat, memberangkatkan jamaah pergi haji, membuat peradilan Islam (mahkamah syariah), menentukan 1 Ramadan dan 1 Syawal, dst. Jadi, syariat Islam sudah bisa berjalan saat ini tanpa harus ada khilafah.

Lha wong kita sholat, puasa, sekolah, makan, bekerja, menikah, dst. adalah bagian dari syariat Islam dan kita bisa menjalaninya meski tidak ada khilafah dalam arti SPI. Kita menjalaninya karena pemimpin kita membebaskan kita melakukan itu semua. Kita tidak dilarang menjalankannya.

Di Saudi Arabia, tanpa ada khilafah sekalipun hukuman potongan tangan (hudud) sudah diberlakukan. Bukan berarti saya setuju dengan penerapan hudud ini. Saya hanya ingin menunjukkan tanpa khilafah (baca: SPI) maka syariat Islam juga bisa diterapkan.

7. Apa lagi letak keberatan anda terhadap ide mendirikan khilafah?

Kalau khilafah berdiri maka dunia ini tidak akan damai. Perang terus menerus. Para pejuang khilafah menerima saja mentah-mentah Hadis yang mengungkapkan 3 langkah dalam berurusan dengan non-muslim:

1. Ajak mereka masuk Islam
2. Kalau mereka enggan, suruh mereka bayar jizyah (upeti)
3. Kalau enggan masuk Islam dan enggan bayar jizyah, maka perangilah mereka.

Kalau Indonesia sekarang berubah menjadi khilafah, maka Singapura, Thailand, Philipina dan Australia akan diajak masuk Islam, atau bayar jizyah, atau diperangi. Masya Allah!

Simak cerita Dr. Jeffrey Lang di bawah ini (yang diceritakan ulang oleh Dr Jalaluddin Rakhmat):

Kira-kira dua bulan setelah saya masuk Islam, mahasiswa-mahasiswa Islam di universitas tempat saya mengajar mulai mengadakan pengajian setiap Jum’at malam di masjid universitas. Ceramah kedua disampaikan oleh Hisyam, seorang mahasiswa kedokteran yang sangat cerdas yang telah belajar di Amerika selama hampir sepuluh tahun. Saya sangat menyukai dan menghormati Hisyam. Dia berbadan agak bulat dan periang, dan mukanya tampak sangat ramah. Dia juga mahasiswa Islam yang sangat bersemangat.

Malam itu Hisyam berbicara tentang tugas dan tanggungjawab seorang Muslim. Dia berbicara panjang lebar tentang ibadah dan kewajiban etika orang yang beriman. Ceramahnya sangat menyentuh dan telah berjalan kira-kira satu jam ketika dia menutupnya dengan ucapan yang tidakdisangka- sangka berikut ini.

“Akhirnya, kita tidak dapat lupa –dan ini benar-benar penting– bahwa sebagai orang Muslim, kita wajib untuk merindukan, dan ketika mungkin berpartisipasi di dalamnya, yakni menggulingkan pemerintah yang tidak Islami –di mana pun di dunia ini– dan menggantinya dengan pemerintahan Islam.”

“Hisyam!” Saya mencela. “Apakah anda bermaksud mengatakan bahwa warga negara Muslim Amerika harus melibatkan diri dalam penghancuran pemerintah Amerika? Sehingga mereka harus menjadi pasukan kelima di Amerika; suatu gerakan revolusioner bawah tanah yang berusaha untuk menggulingkan pemerintah? Apakah yang kamu maksudkan adalah jika seorang Amerika masuk Islam, dia harus melibatkan diri dalam pengkhianatan politik?”

Saya berfikir begitu dengan maksud memberikan Hisyam suatu skenario yang sangat ekstrem, sehingga dapat memaksanya untuk melunakkan atau mengubah pernyataannya. Dia menundukkan pandangannya ke lantai sementara dia merenungi pertanyaan saya sebentar. Kemudian dia menatap saya dengan suatu ekspresi yang mengingatkan saya terhadap seorang doktor yang hendak menyampaikan khabar kepada pesakitnya bahwa tumornya adalah tumor berbahaya. “Ya,” dia berkata, “Ya, itu benar.”

Dr. Jeffrey Lang, muslim Amerika yang juga profesor matematik di Universitas Kansas, menceritakan pengalaman di atas untuk menunjukkan betapa “absurdnya” gagasan mendirikan negara Islam bagi orang Islam di Amerika. “Bagi mereka, ide bahwa kaum Muslim –menurut agama mereka– berkewajiban untuk menyerang negara-negara yang tidak agresif seperti Swiss, Brazil, Ekuador atau jika mereka tidak mau tunduk kepada Islam sangat tidak masuk akal,” kata Dr. Lang selanjutnya.

Anehnya, di mana saja Dr. Lang menemukan wacana negara Islam ini dikemukakan, baik di meja diskusi ilmiah maupun di medan perang.

Sekian kutipan dari Dr Jeffrey Lang.

Kalau kita sekarang nggak suka dengan doktrin pre-emptive strikenya Bush, maka sebenarnya kalau sekarang khilafah berdiri, maka khilafah itu juga memiliki doktrin yang sama. Sungguh mengerikan.

Hadis di atas telah diplintir maknanya sedemikian rupa sehingga khilafah akan menjadi monster yang memaksa negara sekitarnya untuk memeluk Islam dengan cara diperangi. Inilah salah satu keberatan saya dengan ide mendirikan kembali khilafah.

8. Saya heran dengan anda. CIA saja sudah bisa memprediksi bahwa khilafah akan berdiri pada tahun 2020. Kalau musuh-musuh Islam saja percaya dengan hal ini, bagaimana mungkin anda sebagai Muslim malah tidak mendukung berdirinya khilafah?

Biar nggak Ge-Er, kawan-kawan yang pro-khilafah coba baca baik-baik laporan lengkapnya di sini:http://www.foia.cia.gov/2020/2020.pdf. Intinya, CIA membuat 4 skenario FIKTIF sbg gambaran situasi tahun 2020. Khilafah itu hanya satu dari empat skenario fiktif tsb. Jadi jangan diplintir seolah-olah CIA mengatakan khilafah akan berdiri tahun 2020. Berikut kutipannya:

Possible Futures

In this era of great flux, we see several ways in which major global changes could take shape in the next 15 years, from seriously challenging the nation-state system to establishing a more robust and inclusive globalization. In the body of this paper we develop these concepts in four fictional scenarios which were extrapolated from the key trends we discuss in this report. These scenarios are not meant as actual forecasts, but they describe possible worlds upon whose threshold we may be entering, depending on how trends interweave and play out:

1. “Davos World” illustrating “how robust economic growth, led by China and India, could reshape the globalization process”;
2. “Pax Americana” “how US predominance may survive the radical changes to the global political landscape and serve to fashion a new and inclusive global order”;
3. “A New Caliphate” “how a global movement fueled by radical religious identity politics could constitute a challenge to Western norms and values as the foundation of the global system”; and
4. “Cycle of Fear” proliferation of weaponry and terrorism “to the point that large-scale intrusive security measures are taken to prevent outbreaks of deadly attacks, possibly introducing an Orwellian world.”

(The quotes are taken from the report’s executive summary.)

Of course, these scenarios illustrate just a few of the possible futures that may develop over the next 15 years, but the wide range of possibilities we can imagine suggests that this period will be characterized by increased flux, particularly in contrast to the relative stasis of the Cold War era. The scenarios are not mutually exclusive: we may see two or three of these scenarios unfold in some combination or a wide range of other scenarios.

Yang menarik, laporan itu juga menyebut-nyebut soal Indonesia. Ini prediksi mereka:

“The economies of other developing countries, such as Brazil, could surpass all but the largest European countries by 2020; Indonesia’s economy could also approach the economies of individual European countries by 2020.”

Lalu apa yang akan terjadi dengan Amerika, masih menurut laporan tersebut:

“Although the challenges ahead will be daunting, the United States will retain enormous advantages, playing a pivotal role across the broad range of issues –economic, technological, political,and military– that no other state will match by 2020.”

Jadi, dari skenario fiktif yang mereka susun, Amerika tetap saja jaya. Kerjaan CIA kan ya memang begitu…kok bisa-bisanya kawan-kawan pejuang pro-khilafah percaya sama CIA. Bukankah prestasi terbesar CIA adalah saat mengatakan di Iraq ada weapon of mass destruction (WMD)?

Kita tahu ternyata WMD (senjata pemusnah massal) memang fiktif belaka. Yah jangan-jangan khilafah juga bakalan bernasib sama: fiktif.


KOMENTAR BERDASARKAN :
  • 7 January 2010 11:34:17

    Hhhmmm…..

    Suka
  • 7 January 2010 11:48:22

    Sangat memberi perspektif.
    Belum berani nanggapi, nunggu yang lain dulu. he..he..he hehe.

    Suka
  • 11 January 2010 23:04:42

    Salah satu argumentasi yang kerap dilontarkan untuk menolak sistem Khilafah adalah alasan sejarah. Sejarah Khilafah digambarkan sebagai fragmen kehidupan yang penuh darah, kekacauan dan konflik. Paling tidak ada tiga argumentasi sejarah yang dilontarkan: (1) Khalifah merupakan sistem otoriter dan diktator; (2) Pembunuhan yang tejadi dimasa Khulafuur-rosyidin; (3) Perlakuan terhadap non muslim dan wanita. Berdasarkan fakta sejarah ini kemudian disimpulkan bahwa sistem Khilafah adalah sistem yang tidak layak bagi manusia. Sistem ini pun dituduh sebagai sistem yang diktator, tidak memiliki mekanisme untuk mencegah penyimpangan dan kekacauan. Sistem inipun dituduh tidak memperhatikan non muslim dan merendahkan derajat wanita. Secara mendasar ada beberapa kesalahan mendasar dari argumentasi diatas. Pertama, dalam menempatkan posisi sejarah Islam. Perlu kita ketahui bahwa kewajiban Khilafah bukanlah didasarkan kepada argumentasi sejarah. Artinya, sejarah bukanlah dalil untuk menerima atau menolak sistem Khilafah. Dalam Islam , yang menjadi dalil syara’ adalah al Qur’an , as Sunnah, Ijma’ Sahabat dan Qiyas. Karena itu kewajiban Khilafah haruslah merujuk kepada empat dalil tersebut.

    Namun bukan berarti sejarah (tarikh) tidak ada artinya sama sekali. Sejarah sebagai peristiwa masa lampau bisa dijadikan pelajaran dan kajian tentang pelaksanaan dari hukum-hukum syara oleh manusia. Artinya, dari sejarah kita mengetahui apakah hukum syara tersebut dilaksanakan atau tidak, kita juga tahu bahwa apa akibat kalau hukum-hukum syara tersebut tidak dilaksanakan. Sebab bagaimanapun manusia sebagai pelaku hukum-hukum syara bukanlah ma’sum (yang tidak mungkin salah). Sebagai manusia bisa saja Khalifah melakukan kekeliruan dalam pengertian menyimpang dari batasan-batasan hukum syara’. Satu-satunya yang ma’sum yang tidak mungkin keliru adalah para nabi dan Rosululullah.

    Sebagai sistem yang dipraktekkan oleh manusia sistem Khilafah adalah sistem politik yang manusiawi. Karena itu dalam berbagai praktek dalam sistem Khilafah, bisa saja terjadi kekeliruan. Namun yang penting disini dicatat disini adalah kalau penyimpangan yang dilakukan oleh Khalifah atau pejabat negara, bukan berarti kemudian sistem Khilafahnya yang salah dan keliru. Tapi pelaksanaan dari orang-orangnya. Adalah tidak relevan menyalahkan sistem yang ideal dengan melihat kesalahan dari pelaku sistem yang ideal tersebut.

    Contoh sederhana adalah keliru menyimpulkan Islam kalau melihat prilaku orang-orang Islam saat ini. Di Indonesia misalnya, sebagai besar pelaku kriminal adalah orang Islam, banyak pelaku korupsi juga orang Islam, harus diakui banyak orang Islam yang tidak menjaga kebersihan dan lingkungannya. Namun, tentunya tidak disimpulkan- dengan hanya melihat kelakuan dari orang-orang Islam tersebut- bahwa Islam adalah agama yang menganjurkan pemeluknya melakukan kejahatan seperti itu.

    Untuk menilai Islam haruslah dilihat bagaimana sumber-sumber Islam dalam hal ini syariah Islam mengatur dan menjelaskan persoalan tersebut. Tidak ada satu dalilpun di dalam Al Quran dan Sunnah yang memerintahkan seperti itu. Justru sistem Islam melarang dan menghukum para pelaku kriminal dan korupsi. Islam juga mengajarkan pemeluknya untuk menjaga kebersihan lingkungan. Artinya, fakta-fakta yang salah tersebut justru diakibatkan karena pemeluk Islam meninggalkan ajaran Islam yakni syariah Islam tentang perkara tersebut. Bukan karena syariah Islam itu sendiri. Sama halnya dengan fakta-fakta buruk dalam sistem Khilafah, bukan disebabkan oleh sistem Khilafah itu sendiri. Tapi justru bentuk penyimpangn dari syariah Islam yang seharusnya diterapkan secara konsekuen dalam sistem Khilafah oleh rakyat dan penguasanya.

    Sebagai contoh, ketika Muawiyah memaksa rakyat untuk membait anaknya Yazid sebagai Khalifah, merupakan bentuk penyimpangan dari syariah Islam. Sebab dalam Islam Khalifah adalah hasil pilihan rakyat dan kerelaan rakyat (ikhtiar wa ridho). Jadi yang menyimpang adalah tindakan Muawiyahnya bukan sistem Khilafahnya. Sehingga tiidak bisa kemudian dikatakan bahwa sistem Khilafah adalah sistem yang otoriter berdasarkan sejarah di era muawiyah ini.

    Kesalahan kedua adalah, terjebak pada generalisasi. Menyimpulkan sistem khilafah adalah sistem yang buruk hanya dengan mengungkap beberapa fakta sejarah adalah keliru. Beberapa fakta sejarah tentang sikap Khalifah tidaklah kemudian bisa mencerminkan keseluruhan dari sistem Khilafah tersebut. Apalagi yang dilakukan oleh Khalifah tersebut adalah bentuk penyimpangan dari sistem Khilafah yang ideal. Adalah keliru menggambarkan masa pemerintahan Bani Umayyah dengah hanya memfokuskan sejarah seorang Yazid. Atau menggambarkan masa pemerintahan Bani Abbas hanya dengan mengambil sebagian peristiwa dan tingkah laku para Khalifahnya. Apalagi yang menjadi fakta sejarah itu adalah buku-buku sejarah yang dibuat oleh musuh-musuh Islam yang nyata kebenciannya terhadap Islam

    Sama halnya kita adalah keliru menggambarkan pemerintahan Bani Abbas dengan membaca kitab Al Aghani yang dikarang untuk menceritakan tingkah laku para biduan, para pemabuk, penyair,dan sastrawan atau membaca buku-buku tasawuf yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Yang perlu diperhatikan cerita-cerita tentang para penguasa dan pejabatnya banyak ditulis oleh pihak-pihak yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sebagian besar mereka adalah pencela atau pemuja yang tidak bisa diterima periwayatannya.

    Sumber sejarah yang bisa diterima adalah yang bisa dipertanggungjawabkan periwayatnya sehingga sumber-sumbernya layak diterima. Persis sama dengan cara yang ditempuh dalam periwayatan hadits. Cara penulisan seperti ini (yang periwayatan yang bisa dipertanggungjawabkan) bisa dilihat dalam kitab tarikh Tabari dan Siroh Ibnu Hisyam.

    Kesalahan ketiga adalah saat menjadikan sistem demokrasi sebagai standar untuk menilai baik dan buruknya Khalifah atau sistem Khilafah. Sistem Khilafah tidak bisa dinilai dari pradigma baik dan buruk menurut sistem demokrasi. Apalagi dengan asumsi kalau itu tidak sesuai dengan sistem demokrasi berarti sistem itu adalah diktator, otoriter dan jelek. Padahal sistem demokrasi sendiri adalah sistem yang buruk yang tidak layak dijadikan sebagai standar untuk menilai baik dan buruk bagi kaum muslim. Yang harus dijadikan standar , sekali lagi adalah syariah Islam. Dengan asumsi kalau berbeda dengan demokrasi adalah diktator atau otoriter , maka banyak yang keliru menyimpulkan sistem khilafah itu adalah diktator dan otoriter. Padahal standar yang digunakan ini jelas keliru. Sebagai contoh, dalam sistem demokrasi , sebuah sistem dikatakan baik kalau menganut asas trias politika. Berdasarkan asas ini, harus dipisahkan tiga fungsi dalam sistem politik (legislatif, yudikasi, dan eksekutif). Alasannya, kalau tiga fungsi ini tertumpu pada satu orang seperti dalam sistem Teokrasi di Eropa, penguasa itu akan cendrung menjadi diktator.

    Sementara dalam sistem Khilafah, Khalifah selain sebagai eksekutif (pelaksana pemerintahan), dia juga memiliki wewenang sebagai yudikatif untuk mengadili pelanggaran di tengah masyarakat. Jelas kalau berdasarkan cara pandang demokrasi ini, sistem Khilafah ini berarti otoriter atau diktator.

    Apalagi muncul kesalahan saat menganggap Khalifah juga memiliki fungsi legislasi seperti sistem teokrasi, yang menganggap suara raja adalah suara Tuhan. Sehingga kata-kata raja adalah kebenaran itu sendiri. Karena itu raja tidak pernah salah. Kemudian disimpulkan sistem Khilafah akan sama kondisinya dengan sistem teokrasi yang memunculkan penguasa yang diktator dan otoriter.

    Menyamakan sistem Khilafah dengan teokrasi seperti ini adalah keliru. Sebab, kata-kata Khalifah bukanlah otomatis kata-kata Tuhan yang pasti benar. Khalifah dalam keputusan dan kebijakannya tetap harus merujuk kepada hukum syara’. Karena itu, Khalifah sangat mungkin salah dan menyimpang dari hukum syara. Untuk itu, Islam mewajibkan untuk melakukan koreksi terhadap penguasa (muhasabah lil hukkam) yang menyimpang dari hukum syara’. Ada kewajiban koreksi ini jelas menunjukan bahwa Islam melihat kemungkinan bahwa Khalifah itu keliru. Kalau kata-kata Khalifah selalu benar, untuk apa Islam mewajibankan mengkoreksi penguasa yang menyimpang ?

    Kesalahan keempat adalah saat menyimpulkan bahwa Khilafah tidak memiliki sistem tertentu dengan melihat terjadinya konflik, pembunuhan atau kekecauan di beberapa bagian dari sejarah Khilafah. Seperti terjadinya pembunuhan terhadap Khalifah. Kemudian dengan sederhana menyimpulkan karena ada pembunuhan terhadap kepala negara berarti tidak ada mekanisme politik yang menjamin keamanan kepala negara dan masyarakatnya. Padahal seharusnya kita harus meneliti lebih mendalam apakah hal tersebut terjadi karena ketidakmampuan sistem idealnya atau karena penyimpangan dari sistem ideal tersebut. Apa yang terjadi dalam konflik-konflik berdarah dalam Islam, justru karena menyimpang dari sistem ideal Islam yakni syariah Islam, bukan karena akibat penerapan syariat Islam itu sendiri

    Untuk menilai apakah tidak ada sistem untuk mencegah itu seharusnya yang dijadikan rujukan adalah sumber sistem itu, dalam hal ini adalah syariah Islam. Dalam hal ini syariah Islam jelas memiliki cara untuk mencegah dan menangani konflik tersebut.

    Kalau semata-mata ada kekecauan dan pembunuhan, kenapa tidak dikatakan bahwa sistem demokrasi tidak memiliki sistem ? Padahal pembunuhan kepala negara, politikus, juga terjadi dalam sejarah sistem demokrasi seperti di Amerika Serikat dan Eropa . Sejarah negara-negara demokrasi, seperti halnya sejarah Khilafah Islam, bukanlah tanpa konflik. AS yang sering diklaim sebagai kampiun demokrasi pernah mengalami perang saudara yang berdarah-darah. Kalau pembunuhan terhadap Khalifah sebagai kepala negara menjadi soroton ,apakah AS sepi dari hal itu ? Bagaimana dengan pembunuhan terhadap Kennedy, percobaan pembunuhan terhadap Reagen dan pemimpin-pemimpin politik AS lainnya.

    Revolusi Perancis sebagai peristiwa penting demokrasi juga penuh darah. Runtuhnya negara komunis yang kemudian berubah menjadi negara demokrasi, penuh dengan pertumpahan darah dan konflik seperti yang terjadi di Balkan saat ini. Hal ini secara mendalam dibahas Jack Snyder dalam From Voting to Violence yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah (Jakarta: KPG, 2003). (Farid Wadjdi)

    Suka
  • 21 February 2010 14:02:55

    kata siapa, nggak tuh, sistem pemerintahan zaman baheula itu patrimonial atau tribalisme, sehingga ketika elit politik dan elit agamawannya berkonflik, imbasnya justru lebih parah di rakyat kecil. Baca lagi lah buku2 sejarah, nggak usah mendiskreditkan sejarah yang ditulis orang barat, liat kitab thabari’ tuh yang hidup pada masa tabi’ tabi’in, atau ibnu khaldun, faraq fouda, biar mata kau terbuka.

    Suka
  • 11 January 2010 23:06:19

    Itu tanggapan Farid Wadjdi…. Gua sepakat ama Farid Wadjdi……

    Suka
  • 20 February 2010 22:08:30

    sepakat wong fakta sejarah sekuler lebih berdarah2 dan sampai mewabah seantero dunia….liat effek buble ekonomi dan kelaparan, penyakit…coba bandingkan dengan keadaan masyarakat dibawah naungan Islam/khilafah…biasanya yg dibesar2kan kan yg negatifnya…padahal yg negatif jaman itu hanya segelintir elit politik namun masyarakatnya tetap taat syariat Islam sehingga tertata rapih tidak menjadi rusak sistemik spt sistem sekuler kapitalis…..heheh

    Suka
  • 21 February 2010 14:01:36

    kata siapa, nggak tuh, sistem pemerintahan zaman baheula itu patrimonial atau tribalisme, sehingga ketika elit politik dan elit agamawannya berkonflik, imbasnya justru lebih parah di rakyat kecil. Baca lagi lah buku2 sejarah, nggak usah mendiskreditkan sejarah yang ditulis orang barat, liat kitab thabari’ tuh yang hidup pada masa tabi’ tabi’in, atau ibnu khaldun, biar mata kau terbuka.

    Suka
  • 8 April 2010 06:18:38

    wuih seru mas… mas… klo gua sorot dari analisis secara teknik matematis… membanding sample antara sekarang dan sejarah dlu. misal dari tahun 1900 samapai 2010 dibandingkan dengan sejarah islam yang berdiri 13 abad dengan ciri khas utama diterapkan hukum syariah. itu samplenya 1:13. artinya tanggapan mas tentang sistem khilafah dibandingin dengan sistem sosialisme dan kapitalisme kurang bisa jadikan rujukan pasti. masnya hrus buktikan dengan sample yang sama untuk bisa nyaingin produk khilafah yang sudah terbukti 13 abad bertahan. klo gitu nih sistem demokrasi coba dipertahankan 13abad juga ya. klo gak bisa dipertahanin sama dengan nggedabrus

    Suka
  • 18 June 2010 10:14:37

    betul mas KUPRET, sampeyan itu harus buka” lagi buku siroh yg mu’tabar dan shahih. Keagungan masa kekhalifahan itu tdk sj di akui oleh kaum muslimin saja. Bahkan para penulis non-Muslim pun mengakuinya. Dan kewajiban u menerapkan Syari’ah di bawah naungan Khilafah itu sudah Masyhur di kalangan para ulama hanif. Ndak tw deh klo ulama SYU’ mah??? intinya mah harus takut ama Allah…!!!

    Suka
  • 18 June 2010 14:22:46

    mana ada siroh mu’tabar dan shahih, semua penulis tuh subyektif ada motif2 kekuasaan dibaliknya, kekuasaan bukan berarti duduk di kursi birokrasi tapi kekuasaan bisa juga hegemoni pengetahuan yg mengeliminisir dan menganggap subversif tulisan2 yg bertentangan dg pusat hegemoni. di zaman baheula relasi kuasa-pengetahuan bersifat despotik dan represif, justru di zaman skrg mulai harus diangkat tulisan2 itu utk menggoyang hegemoni yg mapan ini karena hegemoni pengetahuan di zaman skrg jg lwt produksi pngethuan

    Suka
  • 18 June 2010 14:30:48

    contoh jelas ada hegemoni pengetahuan/dlm hal ini hegemoni penulisan sejarah adalah adanya pembagian yg mu’tabar dan yg ghairu mu’tabar, padahal siapa yg punya otoritas utk menentukan itu selain mereka yg punya kuasa, baik kekuasaan politik, ideologi, dan keagamaan. mereka memproduksi pengetahuan dan pengetahuan tuh dimapankan utk menyediakan kekuasaan. inilah yg disebut distorsi. mereka bertindak seolah mndahulukan objektifitas tapi mereka sendiri subjektif ktika mngeleminisir tulisan yg subversif

    Suka
  • 30 August 2010 11:02:35

    nih al yang kupret bilang orang-orang pro khilafah, sebenernya bukan semata-mata bertujuan mendirikan khilafah aja. Melainkan melaksanakan kewajibabn sesuai dalil Al-Qur’an coba baca Al-Baqarah 208-209, Al-Maidah 50, kan sebagai muslim mempunyai kwajiban mengikuti hukum Allah, and ga’ gtu aja, harus ada tempatnya untuk melaksanakan aturan Allah secra sempurna, mana bisa kita merdeka di negara yang demokrasi ini, yang jelas2 kedaulatannya di tangan rakyat, bukan Allah, ingat sebagai manusia tidak ada kebebasan mutlak, karena manusia punya pencipta yang Maha Mengatur, yaitu Allah swt. Jadi sebagaimana oslam yang kaffah diibaratkan air yang murni dan sehat untuk minum, lalu wadah untuk minumnya kotor (demokrasi) air itu pun akan kotor dan ga bisa diminum lagi.. kitapun kudu nyiapain gelas yang bersih(khilafah) untuk menerapkan islam secara totalitasnya..

    Suka
  • 30 August 2010 13:09:02

    itu kan persepsi dan interpretasi anda atas teks yang keranjingan uniformity atau penyeragaman dan sistem totaliter

    Suka
  • 17 April 2011 20:34:01

    penulisnya gublooooookkkk, jd ndak perlu didebat drpd ketularan guoblog!

    Suka
  • 17 April 2011 21:39:27

    hanya orang goblok yang suka mencela orang lain goblok, maklumlah

    Suka
  • 20 April 2011 12:14:47

    saudaraku bla-bla ceuh,prisatia permana,Farid Wadjdi……. semoga diberkahi ALLah SWT…..
    tetaplah bersabar………..!!! Allah Berfirman

    “Sebenarnya, mereka telah mendustakan kebenaran tatkala kebenaran itu datang kepada mereka, maka mereka berada dalam keadaan kacau balau.” Qs.Qaaf : 50

    bagi yang merasa kontra silahkan anda baca terserah pendapat anda!!yang jelas kami telah menyampaikan…..

    “Allah menjanjikan orang-orang yang beriman dan beramal soleh dari kalangan kamu (wahai umat Muhammad) bahawa Ia akan menjadikan mereka khalifah-khalifah yang memegang kuasa pemerintahan di bumi, sebagaimana Ia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka: khalifah-khalifah yang berkuasa; dan Ia akan menguatkan dan mengembangkan agama mereka (Islam) yang telah diredhaiNya untuk mereka; dan Ia juga akan menggantikan bagi mereka keamanan setelah mereka mengalami ketakutan (dari ancaman musuh). Mereka terus beribadat kepada-Ku dengan tidak mempersekutukan sesuatu yang lain dengan-Ku. Dan (ingatlah) sesiapa yang kufur engkar sesudah itu, maka mereka itulah orang-orang yang derhaka (fasiq)”. (TMQ An-Nur [24]:55)

    “Ibnu Asakir dalam Tarikh Ad-Dimasyq, Yunus Bin Maysara Bin Halbas berkata bahawa Nabi Sallallahu’alaihi wa Sallam bersabda “Kekuasaan ini (Khilafah) akan ada setelahku di Madinah, lalu di Syam, di Jazirah Arab, di Iraq, di Madinah lalu di Baitul Maqdis (Al-Quds). Lalu ketika kekuasaan itu di Al-Quds, itulah tempatnya yang terakhir kerana setelah itu tiada seorangpun yang akan menghapuskannya”

    Ibnu Sa’ad dan Al-Muttaqi Al-Hindi di dalam Kanzul Ummal 14/252, kedua-duanya meriwayatkan bahawa Abu Umairah al-Mazani mengatakan bahawa Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan ada bai’at di Baitul Maqdis”

    An-Nawawi dalam Syarah Muslim (18/38-39), Ahmad dalam Musnad 3/317, dari Jabir, Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Pada saat generasi terakhir dari umat ini akan ada seorang khalifah yang membahagi-bahagikan wang tanpa menghitungnya”

    Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 4/468, Imam Ahmad dalam Musnad 2/84, Abu Daud dalam Sunan no 2482, Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Akan terjadi dua hijrah dan hijrah terakhir akan terjadi ditempat bapamu, Ibrahim as berhijrah”

    dan masih banyak lagi……….
    klo pun anda tdk percaya akan dalil Quran Dan Hadist silahkan simak pendapat menrut tokoh-tokoh barat.

    Surat kabar al-Mujtama’ al-Kuwaitiyah edisi 119 tanggal 05/03/1996 M mengutip bahwa Jim Miran, anggota dewan urusan luar negeri kongres Amerika, menuturkan kepada direktur surat kabar,
    “Saya meyakini abad mendatang adalah abad Islam, abad tsaqafah Islam, dan abad ini akan menjadi sebuah kesempatan untuk semakin menciptakan kedamaian dan kesejahtraan di setiap penjuru dunia”

    Samuel juga mengatakan,
    “Islam adalah satu-satunya haadharah (peradaban) yang membuat keberlangsungan Barat berada dalam keraguan. Hal itu paling tidak telah dua kali dilakukan”

    Nixon, mantan presiden Amerika , sekaligus sebgai salah satu ahli strategi Amerika, dalam bukunya, al-Furshah al-Sânihah, mengatakan,
    “Islam bukanlah agama semata. Akan tetapi, ia merupakan dasar bagi sebuah hadhârah (peradaban) yang besar”

    Pada 05/12/2005 M, menteri pertahanan Amerika, Donald Rumsfeld, dalam sebuah komentarnya seputar masadepan Iraq –pada saat itu ia berada di Universitas John Hopkins –mengatakan, “Iraq tak ubahnya adalah tempat lahirnya Khilafah Islamiah baru yang akan membentang mencakup seluruh Timur Tengah dan akan mengancam pemerintahan-pemerintahan resmi di Eropa, Afrika dan Asia. Inilah rencana mereka. Mereka telah menegaskan hal ini. Kita akan mengakui sebuah kesalahan yang amat menakutkan jika kita gagal mendengar dan belajar”

    Pada 05/09/2006 M, George W.Bush kembali membicarakan Khilafah. Bush mengatakan, “Mereka itu sesungguhnya berusaha menegakkan kembali negara mereka yang amat unggul, Khilafah Islamiah. Dimana, semuanya akan dipimpin dengan ideologi yang sangat dibenci itu. Sistem Khilafah itu akan mencakup seluruh negeri-negeri Islam yang ada saat ini”.

    Ketua Dewan Duma (Parlemen Rusia), Mikael Boreyev, menegaskan bahwa “dunia kini sedang menuju penyatuan menjadi lima negara besar; Rusia, Cina, Khilafah Islamiah dan Konfederasi yang mencakup Amerika”. Mikael Boreyev menambahkan, “dan ditambah satu lagi, yaitu India, apabila ia sukses melepaskan diri dari kekuatan Islam yang amat kuat yang mengepungnya”. Demikian Boreyev menuturkan. Pemuatan sebuah peta dunia pada sampul sebuah buku berjudul, “Rusia Emperium Ketiga (al-Rusiya Imbrathuriyah al-Tsâlitsah)”, karya Boreyev nampak sekali disana hanya terdapat sejumlah negara. Sementara, Eropa akan berada dibawah Rusia yang diprediksikan oleh penulis akan menjadi emperyor ketiga (Setelah masa Kekasisaran dan Sosialisme). Boreyev, sebagaimana dirilis oleh surat kabar al-Khalîj al-Imâratiyah, memprediksi negaranya akan kembali menjadi negara emperyor dan akan mendominasi Benua Eropa yang diprediksikan akan segera terhapus negaranya dan runtuh peradabannya. Boreyev memberikan sinyalemen bahwa ia tidak bisa secara pasti meyakini bahwa Rusia akan menduduki benua Eropa. Akan tetapi, ia yakin bahwa hadharah Eropa sedang menuju kehancuran. Dan hal ini pasti akan di duduki atau diperangi oleh negara ini (Rusia) atau negara itu (Khilafah Islamiah atau negara-negara besar lainnya). Ketua Dewan Duma ini memprediksikan bahwa dengan datangnya tahun 2020 M, mayoritas negara-negara di dunia (yang saat ini ada) akan mengalami kehancuran. Dia memberikan isyarat bahwa nanti hanya akan ada lima negara besar, atau emperyor, saja. Yakni; Rusia yang telah menggabungkan Eropa kedalamnya; Cina, yang akan mendominasi negara-negara Timur Tengah dengan kekuatan ekonomi dan militernya; Khilafah Islamiah yang akan membentang dari Jakarta hingga Tangier dan mayoritas daerah Afrika selatan padang pasir; dan Konfederasi yang menggabungkan benua Amerika Utara dan Amerika Selatan. Boreyev melihat bahwa India juga mungkin akan menjadi negara besar jika ia mampu menghadapi kekuatan Islam yang meliputinya. (sumber : majalah alwaie arab edisi khusus)
    atau dilink http://dreamlandaulah.wordpress.com/2010/10/27/khilafah-dalam-pandangan-barat/

    semoga anda tersadarkan…

    Suka
  • 21 April 2011 19:55:34

    selamat bagi yang suka berutopia, imajinasi tingkat tinggi yang mampu mengubah tindakan dan merasa paling benar

    Suka
  • 20 April 2011 12:34:52

    untuk saudaraku saudaraku bla-bla ceuh,prisatia permana,Farid Wadjdi…bersabarlah
    “Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik. “QS : Al Muzzammil : 10

    “Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik.”Qs:Al Ma´aarij : 5

    “Dan bersabarlah, karena Sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan.”Qs:al-Hud:115

    Suka
  • 7 May 2011 08:06:12

    Al-Hafidzh Al-Iraqi (wafat 806 H), guru dari Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalaniy (wafat 852 H), di dalam kitabnya Mahajjatul-Qarb ila Mahabbatil-Arab (II/17), mengatakan :”Status hadits ini shahih”, Syu’aib Arna’uth menyatakan : sanadnya baik (isnâduhu hasan), Al Haitsami dalam Majma’uz Zawa’id (5/341) menyatakan perowi-perowinya terpercaya, Al Albani menshahihkan dalam Silsilah As Shahihah (1/34).

    Adapun komentar Imam Bukhory tentang Habib bin Salim, tidak otomatis menjadikan hadits ini lemah, namun perlu diteliti, dan hasil penelitian para ahli hadits mereka tidak melemahkan hadits ini. Imam Muslim sendiri juga meriwayatkan hadits dari Habib Bin Salim semisal hadits: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa membaca surat Al A’la dan surat Al Ghasyiah dalam shalat dua hari raya dan shalat Jum’at. Bila shalat Id bertepatan dengan hari Jum’at, beliau juga membaca kedua surat tersebut dalam kedua shalat itu.”

    Selain Imam Muslim, Habib Bin Salim juga merupakan perowi Abu Dawud (4 hadits), At Tirmidzi (3 hadits), an Nasa’i (8 hadits), Ibnu Majah (2 hadits), Imam Ahmad (16 hadits) juga ad Darimi ( 4 hadits). Seandainya mengikuti logika penulis blog tersebut, niscaya para ahli hadits tidak akan memuat Habib Bin Salim sebagai perowi hadits mereka.

    Selengkapnya di: http://mtaufiknt.wordpress.com/2010/11/14/seputar-hadits-kembali-berdirinya-khilafah-ala-minhaaj-al-nubuwwah/

    Suka
  • 7 May 2011 13:00:39

    hadis itu dikodifikasi abad ke 2 Hijriah, kalau untuk membuktikan keotentikan hanya berdasarkan jalur lisan, sedangkan jalur lain sperti historis dan arkeologis ditolak, ya sama saja dengan hegemoni ulama2 klasik

    Suka
  • 14 June 2011 01:19:18

    pelajarilah syari’at islam, bukan mempelajari untuk mengkritik sya’riat islam…
    astaghfirullah…

0 komentar:

Posting Komentar

copyrigt; Juned Topan.. Diberdayakan oleh Blogger.