Kamis, 29 September 2011
Iblis Laknatullah
Iblis Laknatullah
Rabu, 28 September 2011
MENJAWAB TENTANG LAMA PENCIPTAAN LANGIT DAN BUMI DI ALQUR'AN
Ada 7 (tujuh) ayat Qur’an yang menegaskan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa yaitu: QS. 7:54, 10:3, 11:7, 25:59, 32:4, 50:38, dan 57:4.
7.54 Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,
[10.3] Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa
[11:7] Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, ...
[32:4] Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa,...
[57:4] Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa...
ayat serupa juga ada dalam QS.25:59 & 50:38
Jadi menurut ayat-ayat diatas, Allah menciptakan bumi dan langit dalam 6 masa/hari. Tapi ayat-ayat ini sering dianggap bertentangan dengan:
[41.9] Katakanlah: “Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua masa
[41.10] Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni) nya dalam empat masa.
[41.12] Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa …
Nah sekarang, para penghujat biasanya menghitungnya dg logika yg sangat bodoh ala anak TK yaitu : 2 (bagi bumi) + 4(kadar2 makanan) + 2 (bagi langit) = DELAPAN hari; dan BUKAN ENAM hari!!!
Perhatikan baik-baik ayat-ayat QS.41:9-12!
Katakanlah: "Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada Yang menciptakan BUMI dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itulah Tuhan semesta alam". (QS. 41:9)
Ayat ini menceritakan tentang lamanya penciptaan bumi saja (tanpa disebut menciptakan isinya & langit)
Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni) nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. (QS. 41:10)
Ayat ini bukan hanya menerangkan tentang penciptaan Bumi saja, tetapi termasuk juga memberkahinya dan menentukan padanya kadar makanan-makanan penghuninya. Ia merupakan gabungan antara masa penciptaan Bumi selama 2 hari dan kemudian diberkatiNya bumi itu dan ditentukan padanya kadar makanan-makanan, yang mana mengikut ahli-ahli tafsir termasuklah pembentukan lautan, gunung, binatang, tumbuhan dan sebagainya.
“Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui” (QS .41:12)
Saya simpulkan:
Penciptaan Langit serta isinya : 2 masa
Penciptaan Bumi serta isinya : 4 masa
Total penciptaan Langit dan Bumi : 6 masa
Ayat pertama itu mengatakan penciptaan bumi (tidak termasuk langit), kemudian ayat ke dua menceritakan tentang penciptaan bumi beserta isinya selama 4 hari, ayat ke 3 menceritakan penciptaan langit selama 2 hari. Total semuanya adalah 6 hari.
Jika ayat-ayat QS. 7:54, 10:3, 11:7, 25:59, 32:4, 50:38, dan 57:4 menyatakan waktu diciptakannya bumi & langit selama 6 hari maka QS. 41:9-12 harus dipahami sebagai penjabaran atau uraian dari ketujuh ayat tersebut, sehingga angka-angka uraian ini tidak dapat dijumlah dengan kalkulator, tetapi harus dipahami dengan menggunakan akal yang waras, bahwa QS. 41:9-12 merupakan rincian dari waktu penciptaan: enam masa.
Ringkasnya, Allah menciptakan bumi dan segala isinya dalam empat masa dan menciptakan langit dalam dua masa. Lebih lamanya waktu penciptaan bumi dibandingkan dengan langit, oleh karena bumi merupakan pokok bahasan di dunia, dimana manusia berada dan diuji ketaqwaannya.
Maka benarlah apa yang diterangkan dalam Alquran yaitu, penciptaan Bumi selama 2 hari, evolusi pembentukan di atas muka bumi selama 2 hari, dan penciptaan langit selama 2 hari. Totalnya adalah 6 hari. Makanya baca ayat tuh jangan sepotong2.
Terbukti tidak ada pertentangan dalam Alqur’an bagi orang-orang yang berpikir sehat tanpa diliputi kebencian . Allah sudah menjamin keaslian Alqur’an dalam firman-Nya:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran, kalau sekiranya Alquran bukan dari sisi Allah tentulah mereka dapati banyak pertentangan di dalamnya.”(Qs. 4:82).
Wallhu'alam bishshowab.
MENJAWAB TENTANG LAMA PENCIPTAAN LANGIT DAN BUMI DI ALQUR'AN
Ada 7 (tujuh) ayat Qur’an yang menegaskan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa yaitu: QS. 7:54, 10:3, 11:7, 25:59, 32:4, 50:38, dan 57:4.
7.54 Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,
[10.3] Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa
[11:7] Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, ...
[32:4] Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa,...
[57:4] Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa...
ayat serupa juga ada dalam QS.25:59 & 50:38
Jadi menurut ayat-ayat diatas, Allah menciptakan bumi dan langit dalam 6 masa/hari. Tapi ayat-ayat ini sering dianggap bertentangan dengan:
[41.9] Katakanlah: “Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua masa
[41.10] Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni) nya dalam empat masa.
[41.12] Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa …
Nah sekarang, para penghujat biasanya menghitungnya dg logika yg sangat bodoh ala anak TK yaitu : 2 (bagi bumi) + 4(kadar2 makanan) + 2 (bagi langit) = DELAPAN hari; dan BUKAN ENAM hari!!!
Perhatikan baik-baik ayat-ayat QS.41:9-12!
Katakanlah: "Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada Yang menciptakan BUMI dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itulah Tuhan semesta alam". (QS. 41:9)
Ayat ini menceritakan tentang lamanya penciptaan bumi saja (tanpa disebut menciptakan isinya & langit)
Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni) nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. (QS. 41:10)
Ayat ini bukan hanya menerangkan tentang penciptaan Bumi saja, tetapi termasuk juga memberkahinya dan menentukan padanya kadar makanan-makanan penghuninya. Ia merupakan gabungan antara masa penciptaan Bumi selama 2 hari dan kemudian diberkatiNya bumi itu dan ditentukan padanya kadar makanan-makanan, yang mana mengikut ahli-ahli tafsir termasuklah pembentukan lautan, gunung, binatang, tumbuhan dan sebagainya.
“Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui” (QS .41:12)
Saya simpulkan:
Penciptaan Langit serta isinya : 2 masa
Penciptaan Bumi serta isinya : 4 masa
Total penciptaan Langit dan Bumi : 6 masa
Ayat pertama itu mengatakan penciptaan bumi (tidak termasuk langit), kemudian ayat ke dua menceritakan tentang penciptaan bumi beserta isinya selama 4 hari, ayat ke 3 menceritakan penciptaan langit selama 2 hari. Total semuanya adalah 6 hari.
Jika ayat-ayat QS. 7:54, 10:3, 11:7, 25:59, 32:4, 50:38, dan 57:4 menyatakan waktu diciptakannya bumi & langit selama 6 hari maka QS. 41:9-12 harus dipahami sebagai penjabaran atau uraian dari ketujuh ayat tersebut, sehingga angka-angka uraian ini tidak dapat dijumlah dengan kalkulator, tetapi harus dipahami dengan menggunakan akal yang waras, bahwa QS. 41:9-12 merupakan rincian dari waktu penciptaan: enam masa.
Ringkasnya, Allah menciptakan bumi dan segala isinya dalam empat masa dan menciptakan langit dalam dua masa. Lebih lamanya waktu penciptaan bumi dibandingkan dengan langit, oleh karena bumi merupakan pokok bahasan di dunia, dimana manusia berada dan diuji ketaqwaannya.
Maka benarlah apa yang diterangkan dalam Alquran yaitu, penciptaan Bumi selama 2 hari, evolusi pembentukan di atas muka bumi selama 2 hari, dan penciptaan langit selama 2 hari. Totalnya adalah 6 hari. Makanya baca ayat tuh jangan sepotong2.
Terbukti tidak ada pertentangan dalam Alqur’an bagi orang-orang yang berpikir sehat tanpa diliputi kebencian . Allah sudah menjamin keaslian Alqur’an dalam firman-Nya:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran, kalau sekiranya Alquran bukan dari sisi Allah tentulah mereka dapati banyak pertentangan di dalamnya.”(Qs. 4:82).
Wallhu'alam bishshowab.
Selasa, 27 September 2011
NASIONALISME
Para nasionalis menganggap negara adalah berdasarkan beberapa "kebenaran politik" (political legitimacy). Bersumber dari teori romantisme yaitu "identitas budaya", debat liberalisme yang menganggap kebenaran politik adalah bersumber dari kehendak rakyat, atau gabungan kedua teori itu.
Ikatan nasionalisme tumbuh di tengah masyarakat saat pola pikirnya mulai merosot. Ikatan ini terjadi saat manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tak beranjak dari situ.
Saat itu, naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya, tempatnya hidup dan menggantungkan diri.
Dari sinilah cikal bakal tubuhnya ikatan ini, yang notabene lemah dan bermutu rendah. Ikatan inipun tampak pula dalam dunia hewan saat ada ancaman pihak asing yang hendak menyerang atau menaklukkan suatu negeri.
Namun, bila suasanya aman dari serangan musuh dan musuh itu terusir dari negeri itu, sirnalah kekuatan ini.
Dalam zaman modern ini, nasionalisme merujuk kepada amalan politik dan ketentaraan yang berlandaskan nasionalisme secara etnik serta keagamaan, seperti yang dinyatakan di bawah.
Para ilmuwan politik biasanya menumpukan penyelidikan mereka kepada nasionalisme yang ekstrem seperti nasional sosialisme, pengasingan dan sebagainya
Senin, 26 September 2011
Membumikan Sekularisme Mengubur Fundamentalisme
- SDN 1 Randegan, SMPN 1 Sampang, MAK Yogyakarta. Dan sekarang sedang menyelesaikan S1 di Universitas Al-Azhar, Kairo.
LINK BUKU FAVORIT
KAMIS, 09 DESEMBER 2010
Membumikan Sekularisme Mengubur Fundamentalisme
Mungkin Hasan Hanafi benar, saat modernisasi begitu pesatnya merasuki seluruh relung kehidupan masyarakat, maka pada saat itulah mereka berusaha mencari 'identitas' keagamaannya. Dan oleh karenanya, perjuangan merebut identitas dianggap sebuah kewajiban. Namun dalam pencarian identitas keagamaan tersebut, menurut al-Jabiri, ada perbedaan mencolok antara gerakan di masa lalu, dan di masa kontemporer. Gerakan ekstremis masa lampau saat melawan modernisme pada tataran akidah, sedang masa kontemporer pada tataran syariah. Pada tahap ini, primordialisme pun kiat menguat. Namun, rasa kebersamaan yang mencerminkan kebersamaan dan solidaritas sebagai pemeluk suatu agama pada akhrinya bergeser ke dalam bentuk radikalisme dan militanisme saat berhadapan dengan kelompok lain.
Implikasinya, kita secara tidak sadar menjumpai gugatan demi gugatan tentang wacana mengembalikan otentisitas (ashâlah) Islam yang semakin gencar. Bagi kalangan islam progresif, ide-ide mereka tentunya sangat kolot, konservatif. Mereka menganggap, otentisitas Islam hilang manakala dicampuri oleh unsur dari luar. Gugatan ini muncul tak hanya berbentuk ide dan gagasan, namun telah termanifestasikan dalam sebuah gerakan; ormas-ormas islam: ikhwân al-muslîmîn, Hizbut Tahrir, dan sebagainya. Dalam artian, gugatan-gugatan mereka telah masuk pada level praksis. Namun dibalik itu semua, apakah yang dimaksud dengan otentik dalam perbincangan ini? apakah yang dimaksud otentik harus ke-Arab-Araban? Menerima Islam pada masa Nabi sebagai ajaran yang transenden, stagnan, baku dan kekal tanpa mau melirik Islam dengan pehaman yang lebih substansial? Apakah islam otentik mesti "garang" terhadap semua yang bukan dari Islam; tradisi lokal dan modernitas?
Dari Fundamentalis Sampai Fikih Siyâsah ; Sebuah Telaah Kritis
Membincang otentifikasi, maka merupakan keharusan menilik konsep politik Abu al-A'la al-Maududi. Karena dari konsep ini terlahir istilah "politik identitas". Konsep yang oleh para pengikutnya dianggap satu-satunya kebenaran. Konsep tersebut –menurut mereka– paling representatif mencerminkan otentisitas Islam. Maka muncul trademark, konsep tersebut harus diaplikasikan oleh umat Muslim se-dunia secara paripurna. Dari al-Maududi pula terlahir konsep politik agama dan Negara yang tak terpisahkan (integrated). Dengan adagium al-islâm dĂ®n wa dawlah, pemerintah Negara – dalam asumsi mereka – dilaksanakan atas dasar kedaulatan tuhan (divine sovereignity). Karena menurut catatan bingkai sejarah versi kelompok ini, pemisahan agama dari Negara (fashl al-dĂ®n 'an al-dawlah) adalah tindakan yang tidak ditemukan dalam Islam. Pandangan demikian ini --yang oleh Fazl Rahman – diistilahkan revivalis-fundamentalis.
Pada hakikatnya, jika memasuki tataran praksis, terdapat kesulitan memilah antara otoritas agama dan politik. Namun kesulitan pemilahan itu bukan karena keduanya tak terpisahkan (integrated). Otoritas agama lebih cenderung subyektif, dalam arti, adanya seseorang dalam memegang kekuasaan atas nama agama diukur –menurut kacamata orang lain- dari tingkat seberapa jauh orang tersebut menjalankan agamanya. Sedang otoritas politik berangkat dari obyektivitas, karena penilaiannya berdasarkan kualitas dan kemampuan seseorang dalam menjalankan pemerintahan. Dengan demikian, ada perbedaan mencolok antara pemimpin yang berlatar belakang agamis dan politis, kaitannya dengan "jangkauan" mereka terhadap pengikutnya. Inilah yang akan penulis tuliskan dalam beberapa baris ke depan.
Tidak ada pembahasan lebih lanjut jika pemegang tampuk kekuasaan adalah nabi SAW. Hal itu karena selain beliau memang rajul siyâsî, juga pemegang amanat risâlah dari Tuhan. Namun akan berbeda jika khalifah di tangan empat sahabat setelahnya. Sebagai misal, sampai saat ini masih saja terjadi perdebatan panjang mengenai otoritas Abu Bakar sebagai khalifah; saat Abu Bakr memerangi orang yang tidak mau membayar zakat dan gerakan murtad, para sarjana Islam masih tumpang tindih untuk menginterpretasikan sikap Abu Bakr, sebagai khalifah pengganti nabi dalam artian agama? atau sebagai khalifah yang bertendensi politik? Namun pada prakteknya, memahami sikap Abu Bakr diatas masih terlampau sulit, karena Madinah pada masa itu belum bisa dikatakan sebagai institusi negara. Jadi mau tidak mau harus memahami otoritas politik Abu Bakr secara personal.
"Kabur"nya otoritas politik dan agama mencapai puncaknya saat Ali bin Abi Thalib terbunuh; memasuki kekuasaan dinasti Umayah. Gelar-gelar (al-alqâb) penguasa Umayah – semisal khalifatullâh – menunjukkan sangat besarnya otoritas keagamaan yang dimiliki oleh khalifah. Pada masa ini upaya politisasi agama sangat kentara. Semua yang keluar dari lisan penguasa –dengan berlandaskan al-Qur'an dan al-Hadis– hanya bentuk apologi semata. Memasuki kekuasaan dinasti Abbasiyyah, seperti kasus mihnah (inquisisi) Ahmad bin Hanbal, saat khalifah pada masa itu menganut ideologi Mu'tazilah, adalah satu contoh konkret sulitnya memilah otoritas agama dan politik. Praktek kepemimpinan yang bermuara pada satu pemerintahan, kemudian benar-benar hancur setelah pembunuhan al-Mutawakkil oleh para tentara bayaran Turki yang membantunya meraih kekuasaan.
Bagi penggemar Arkoun tentu terperanjat dengan pembacaan sejarah di atas. Karena interpretasi sejarah menurut Arkoun bisa dikatakan lebih radikal; baginya hubungan antara agama dan politik mengalami konversi semenjak berkuasanya dinasti Umayah dan Abbasiyah. Sebab dinasti Umayyah dan Abbasiyah murni terlahir di atas pertempuran tragis. Maka –menurut pembacaan Arkoun-- klaim agama dan politik sebagai entitas yang tak terpisahkan masih dapat diterima sepenuhnya hingga berakhirnya kekuasaan al-khulafâ al-rasyĂ®dĂ®n.
***
Sampai disini kita perlu untuk mengintip sejenak konsep para intelektual Islam dalam menilai corak perkembangan politik yang variatif. Walaupun tak se-radikal konsep al-Maududi, namun fikih siyâsi dijadikan salah satu rujukan untuk melegitimasi tindakan kalangan konsevatif. Hal ini merupakan paradoks-paradoks politik Islam yang tidak membaca Islam dalam pemahaman yang lebih substansial.
Terma politik dalam Islam, tak akan lepas dari tiga pendekatan; filosofis, juristik dan teologis, serta administratif. Pendekatan filosofis dalam politik –menurut Madjid Fakhri dalam A History of Islamic Philoshopy-- tak dapat dipisahkan dengan aliran filsafat Yunani kuno yang telah mengalami Helenisasi dalam bentuk Neo-Platonisme. Anggapan senada juga keluar dari lisan sarjana Islam klasik, bahwa pendekatan filosofis dalam politik merupakan adopsi tulen dari peradaban Yunani semata. Dalam corak ini, kita bisa menjumpai nama al-Farabi dengan arâ' ahl al-madĂ®nah al-fadlĂ®lahnya, Ibnu Bajjah dengan tadbĂ®r al-mutawahhid, serta Ibnu Sina dalam fĂ® aqsâm al-ulĂ»m al'aqliyyahnya.
Kitapun bisa menjumpai fikih politik dengan pendekatan adminstratif – seperti jika disusun oleh seorang wazir (perdana menteri) sebagai petunjuk untuk penguasa – jika penulis tidak mempunyai latar belakang teolog atau juris. Hingga kebanyakan buku-buku yang ditulis dengan corak administratif seakan tendensius; isinya kebanyakan berisi pujian dan sanjungan terhadap penguasa. Al-Jawhar al-NafĂ®s fi Siyâsat al-RaĂ®s yang dianggit oleh Ibnu al-Haddad, serta al-Adâb al-KabĂ®r buah tangan Ibnu al-Muqaffa' merupakan salah satu buku politik dalam corak ini.
Sedang corak juristik dan teologis merupakan pure poltical. Dikatakan pure political karena – seperti Asumsi 'Abid al-Jabiri – memasukkan politik (al-siyâsah) dalam wilayah netral pengetahuan fiqh yang bernalar bayânĂ®. Dan riset al-Jabiri - dalam takwĂ®n al-'aql al-'arâbĂ® – menunjukkan selama beberapa waktu yang lama, seluruh pengetahuan yang sifatnya bayânĂ® –termasuk fikih– murni ditegakkan diatas sendi-sendi ortodoksi tekstual yang dibangun ulama, bukan diatas ortodoksi penguasa. Al-ahkâm al-shulthaniyyah buah tangan al-Mawardi serta Ghiyyâts al-umamnya al-Haramain cukup mewakili beberapa karya dalam bidang politik melalui pendekatan juristic, dan teologis dengan al-isryâdnya, sebab beliau menyinggung permasalahan al-Imâmah didalamnya.
Sejatinya, pendekatan politik juristic-teologis inilah yang merepresentasikan penyatuan agama dan politik. Walaupun berangkat dari konsep hubungan yang simbiotik (antara agama dan politik) --dalam arti Negara memerlukan agama dan sebaliknya– namun pada tataran praksis, yang ada malah Negara menelikung agama. Ajaran-ajaran agama yang seharusnya mengatur kehidupan bernegara, malah diatur oleh penguasa dan dibatasi ruang geraknya. Agama dieksploitasi sedemikian rupa, sehingga cenderung menuju konsep al-islâm dĂ®n wa dawlah (islam adalah agama dan Negara).
Maka konsep politik al-Maududi (al-islâm dĂ®n wa dawlah) dan konsep politik yang melalui pendekatan juristic-teologis –melalui buah tangan al-Mawardi misalnya-, tidak ditemukan perbedaan yang mencolok. Dalam arti, keduanya –pada akhirnya– sama-sama berjalan pada satu jalur. Sebagaimana keduanya masih menyisakan perbedaan yang signifikan; al-Mawardi melihat jabatan khalifah adalah penerus misi kenabian. Sedang Maududian tetap berpendapat kekuasaan yang absolut ada di tangan tuhan.
Konsep al-Mawardi yang mendengungkan hubungan simbiotik antara agama dan Negara, tidaklah terlahir begitu saja. Lahirnya ide hubungan simbiotik antara agama dan Negara sangat berkait-kelindan dengan corak politik melalui pendekatan administratif; mengambil sample Abdullah Ibnu al-Muqaffa', misalnya. Satu contoh, dalam bukunya al-Adâb al-Saghir, Ibnu al-Muqaffa' menjadikan muhâsabah al-nafs dan riyâdlah bersifat sosio-politis dari yang tadinya disakralkan oleh kalangan sufi. Dengan meminjam "cara pendekatan kaum sufi" tersebut, Ibnu Muqaffa' menggunakannya untuk menjamin stabilitas Negara dengan memanipulasi konsep-konsep agama, sehingga dari sana kalangan elit bisa terkontrol secara otomatis. Begitu pula ia memanipulasi al-'aqîl dzû al-fadl wa al-'ilm (sebutan untuk orang berilmu), dari yang tadinya bentuk ketaatan pada Tuhan, menjadi ketaatan kepada pengusa.
Dus, tidak terlalu berlebihan untuk mengatakan dari awal konsep politik dengan pendekatan juristik, sudah mulai tercium aroma politisasi agama, namun dengan ruak gerak yang berbeda. Anggapan seperti ini muncul, berangkat dari upaya manipulatif yang dilakukan corak konsep politik melalui pendekatan administratif. Dan yang ternyata mengilhami al-Mawardi dalam al-ahkâmnya. Oleh karena itu – menurut al-Jabiri dalam al-'aql al-siyâsĂ® – penulis sekaliber al-Jahiz dalam al-tâj dan al-Tharthusyi – dalam sirâj al-mulĂ»k menjadikan ketaatan penguasa merupakan manifestasi dari ketaatan pada tuhan (thâ'ath al-imâm min thâ'athillâh).
***
Namun dibalik itu semua, ada perbedaan yang signifikan antara tampuk kekuasaan pada masa Nabi dan generasi setelahnya. Hemat Ahmad an-Na'em dalam Islam and Secular State: Negotiating the Future of Syaria, yang juga sejalan dengan gagasan Abdurraziq dalam al-islâm wa ushĂ»l al-hukmnya, kepemimpinan pada masa nabi – hampir – tidak bisa diinterpretasikan sebagai kepemimpinan politik. Sedangkan generasi setelah beliau – pada hakikatnya - lebih tepat untuk dimaknai sebagai kepemimpinan yang bersifat politis; bukan agamis. Oleh karena itu tindakan Abu Bakr dalam menumpas pemberontakan bisa diterima oleh para shahabat dengan memandang Abu Bakr sebagai pemegang otoritas politik. Juga penolakan beberapa shahabat – diantaranya Umar bin al-Khattab - saat Abu Bakr memerangi kelompok yang tidak mau membayar zakat membuktikan otoritas Abu Bakr bersifat politis, bukan agamis. Tentu kondisinya akan berbeda, jika jabatan khalifah saat itu dipegang oleh Umar.
Dan al-Maududi dengan pandangan politiknya, sebagaimana dikatakan oleh Abu al-Hasan al-Nadawi dalam al-Tafsir al-SiyâsĂ® li al-Islâm, terlalu membatasi ajaran Islam terbatas pada hubungan Tuhan dan manusia semata. Jika konsep al-Mawardi sedikit banyak terpengaruh dengan upaya manipulatif Ibnu al-Muqaffa', al-Maududi – menurut penulis – telah jatuh pada kesalahan pemahaman; mengasumsikan kondisi politik pada zaman nabi dan generasi setelahnya sebagai satu kesatuan. Padahal keduanya sangat jelas berbeda. Bisa juga kita ambil perspektif Arkoun jika hendak menelaah secara kritis konsep al-Maududi, yaitu memahami format ideal politik islam sebagai satu-satunya model yang solutif serta otentik, adalah suatu sikap "abai" terhadap nilai-nilai historisitas (al-târikhiyyah). Dan hal itu berimplikasi pada pensakralan pemikiran keagamaan, dan dikukuhkan oleh makin kuatnya cara berpikir yang mengedepankan ortodoksi dan dogmatisme.
Adapun konsep politik yang diambil dari praktek politik nabi dan shahabat (juristik), sangat kentara sekali adanya unsur-unsur politisasi agama didalamnya (walaupun dengan ruang gerak yang berbeda), sebagaimana yang sudah penulis tuliskan di atas. Walaupun corak yang ada bersifat simbiotik, namun konsep-konsep Ibnu al-Muqaffa' juga cukup berperan dalam pembentukan fikih siyâsî model al-Mawardi pada umumnya. Padahal langkah-langkah Ibnu Muqaffa' yang manipulatif sudah tercium pada ide-idenya guna men"sakralkan penguasa" dimata rakyat. Pengaruh Ibnu Muqaffa' pada konsep fikih siyâsî terlihat jelas pada pengharaman kritik terhadap penguasa. Oleh karena itu al-Ghazali dan al-Mawardi menamakan buku mereka nashîhat al-mulûk (nasehat pada raja-raja), padahal didalamnya berisi kritik terhadap penguasa.
Problematika Hubungan Ulama dan Penguasa; sekularisme sebuah solusi
Adalah Sahl bin Salma al-Anshary, salah satu warga Baghdad yang mengalungkan kertas di lehernya menyeru al-amr bi al-ma'rûf wa al-nahy 'an al-munkar. Ia dengan tindakannya tersebut berhasil meraup banyak dukungan dari penjuru kota, tak terkecuali ulama sekaliber Ahmad bin Hanbal. Dalam orasinya, Sahl menyeru untuk kembali ke al-Qur'an dan al-Sunnah guna melawan dan menumbangkan otoritas Negara yang telah gagal menegakkan syariat islam. Dengan demikian, organisasi yang dibangun oleh Sahl mewakili kemunculan spontan sebuah pemerintahan bersifat keagamaan yang militan dan menolak otoritas khalifah secara terbuka. Kejadian ini tepatnya bersamaan dengan tragedi mihnah pada masa al-Makmun; independensi teologis Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya.
Tindakan memisahkan diri sekelompok ulama, sebagaimana satu contoh diatas, bukanlah awal kalinya terjadi. Namun, sebelum itu, tidak sedikit ulama yang menilai otoritas politik penguasa sudah tidak bisa dipertanggungjawabkan melalui kacamata agama. Muhammad al-Ghazali dalam al-istibdâd al-siyâsĂ® menuliskan kasus khalifah Abdul Malik bin Marwan yang melamar putri salah satu ahli fikih Madinah (fuqâha' sab'ah), Sa'id bin Musayyab (w.94H), untuk putra mahkotanya. Sa'id menolaknya dan buru-buru ia menikahkan putrinya dengan salah seorang muridnya yang miskin. Penganggit kitâb al-mihan, Abi al-'Arabi, menyebut "salah satu riwayat" penolakan Abu Hanifah untuk menjadi Hakim (al-Qadli ) menyebabkan khalifah Abu Ja'far al-Mansur meletakkan racun dalam minumannya, dan ia (Abu Hanifah) meninggal karena meminum racun tersebut. Abu Yusuf – sahabat karib Abu Hanifah– tidak diterima riwayatnya oleh ulama hadis (muhadditsĂ®n) karena ia pernah menjadi Qâdli. Pada Abad ke 4 H, muncul asumsi dari para ulama bahwa antek penguasa setara dengan orang fasik. Lebih parah lagi, mereka harus segera diminta bertaubat (istitâb). Jika ada antek penguasa yang sudah melepaskan diri dari pemerintahan, kemudian ia kembali ke pemerintahan untuk kedua kali, maka para ulama menyebutnya dengan murtad. Dan seabreg kasus lain yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu di sini.
Jika Muhammad al-Ghazali menangkap fenomena tersebut sebagai al-istibdâd (kelaliman), penulis melihat, apa yang dilakukan oleh para ulama mencerminkan sikap preventif karena kesadaran mereka terhadap misi suci sebuah agama yang akan terkotori jika disatukan dengan institusi pemerintahan. Karena yang akan terjadi selanjutnya adalah upaya politisasi agama, atau melegimatasi tindakan penguasa atas nama agama. Oleh karena itu, sangat diperlukan upaya sekularisasi. Sekularisasi di sini bukan pemisahan agama secara total, namun ia bermakna –seperti yang sering ditulis oleh Nurcholis Majid– menduniawikan hal-hal yang memang bersifat duniawi, dan mengukhrawikan hal-hal yang memang bersifat ukhrawi. Atau memilih mana yang profan, dan mana yang transendental. Dengan begitu, tidak ada lagi upaya atau peluang untuk mempolitisasi isu-isu keagamaan, apalagi memanipulasinya secara tak bertanggung jawab.
Keberanian 'Ali Abdurraziq dalam menelorkan fatwanya yang kontroversial, seakan membuka pintu-pintu baru bagi pemikir Islam yang lain untuk mengeluarkan unek-unek mereka tentang pemisahan negara dan agama. Setelah Abdurraziq mengeluarkan karya monumentalnya, al-islâm wa ushûl al-hukm, tepatnya tahun 1925 M, satu tahun kemudian Thaha Husaen mengeluarkan buku yang bersisi tata cara pembentukan Negara sekular yang bertajuk mustaqbal al-tsaqâfah fî misr. Di waktu Ali Abdurraziq dan Thaha Husein mendapat kecaman keras dari pemerintah, Muhammad Husein Haikal Basya mendukung ide tersebut dengan tulisan-tulisannya di majalah-majalah ternama saat itu. Namun keadaan menjadi berubah, ketika Abdurraziq menarik pendapatnya disebabkan tekanan pemerintah pada saat itu. Setidaknya permasalahan akan lain, jika pemerintah tidak campur tangan dengan ide-ide Abdurraziq. Karena sekarang tulisan-tulisan Abdurraziq seakan sudah tidak bernilai, dengan apologi ia sudah menarik gagasannya kontroversinya.
Di balik itu, jika kita mencermati khazanah turats, gagasan sekularisme (fashl al-dîn 'an al-dawlah) sejatinya sudah bisa dijumpai pada tulisan-tulisan sarjana klasik. Sebut saja Ibnu Rusyd, yang menyinggung inklinasi sekularisme. Namun sayangnya --sebagaimana disebutkan oleh Arkoun dalam al-akhlâq al-siyâsahnya- ajaran tersebut tenggelam dalam sejarah yang didominasi oleh politisasi agama.
Jumat, 23 September 2011
UFO di Indonesia Bukti Foto dan Video UFO Terbaik di Indonesia
UFO atau benda terbang yang tak dikenal, sebenarnya sudah ada di Indonesia sejak dulu. Tapi laporan dari sekian banyak saksi-mata yang melihat kejadian penampakan UFO (UFO sighting) tersebut, hanya sedikit sekali yang dapat mendokumentasikan benda terbang tak dikenal tersebut ke dalam sebuah foto atau gambar, apalagi video.
UFO, singkatnya adalah benda terbang yang tak dapat dikenali, apapun bentuknya dan berapapun besarnya. Dan tidak selamanya benda aneh yang tak dikenal itu selalu berhubungan dengan alien atau makhluk luar angkasa.
Kini semakin banyak laporan dari saksi mata dan bisa jadi apa yang telah dikatakan oleh banyak saksi mata tersebut memang benar. Tapi tetap saja sangat jarang yang dapat membuktikannya melalui foto dan video, yang akhirnya hanyalah berupa cerita atau gambar sketsa saja dan membuat cerita atau peristiwa tersebut menjadi tidak kuat buktinya, sekalipun banyak saksi matanya.
Juga, bukti-bukti gambar atau foto UFO yang selama ini ada ternyata hanyalah hasil olahan perangkat lunak (software) dan merupakan berita bohong (hoax) semata.
Berikut ini adalah peristiwa-peristiwa penampakan UFO (UFO sighting) di Indonesia sejak dulu.
KHUSUS YANG MEMPUNYAI BUKTI: berupa gambar / foto atau video yang asli dan kualitasnya terlihat lebih baik dari yang lain:
1. UFO di Gunung Agung, Bali (1973)
Foto UFO pertama di atas Indonesia dibuat oleh wisatawan Jepang, Ryo Terumoto, pada 17 April 1973. Sekitar pukul 14.00 siang, dari mobil ia memotret Gunung Agung di Bali.
Setelah fotonya dicetak, ia terkejut melihat adanya sebuah benda berbentuk cakram yang melayang di depan gunung tersebut. Ketika memotret ia tidak memperhatikannya. Fotonya kemudian dimuat di majalah Hito to Nippon (Orang dan Jepang) terbitan Maret 1974 dengan judul “Piring Terbang di Atas Pulau Bali?”
2. UFO di lepas Pantai Cilamaya, Jawa Barat (1975)
Waktu itu sekitar pukul 15.00, Ir. Tony Hartono Rusman sedang melepas lelah, sehabis makan siang di Quarters Platform pada lantai III kompleks menara pengeboran minyak lepas pantai di ladang minyak Arjuna, 83 km dari pantai Cilamaya, Karawang, Jawa Barat.
Tiba-tiba perhatian Tony tertarik pada titik hitam di atas cakrawala yang menuju ke arah ladang minyak dengan bentuk lonjong dan berwarna merah tua. Pada jarak sekitar 10 km, benda itu membelok dengan tajam dan menjauh lagi, sehingga membuat lintasan seperti bumerang.
Di kejauhan, benda itu naik vertikal ke atas dan hilang dari pemandangan. Tony waktu itu sedang menyandang sebuah kamera Olympus, dan dengan cepat ia menyetel dan membidikkannya ke arah benda yang muncul tidak lebih dari satu menit itu. Semula Tony tidak sadar bahwa benda yang diabadikannya itu adalah sebuah UFO. Setelah film itu dicuci, tampaklah UFO di atas tanker minyak Arco Arjuna.
Lalu Tony menunjukkan foto tersebut ke teman-temannya warga negara Amerika yang juga bekerja di pengeboran minyak lepas pantai. Kemudian temannya memberitahukan bahwa foto tersebut dapat dievaluasi dan diselidiki lebih lanjut di Amerika. Maka Tony memberikan negatif film tersebut ke temannya, namun hingga bertahun-tahun, temannya sudah entah kemana dan hilanglah negatif film asli tersebut. Dan tak lama setelah peristiwa tersebut, foto itu sudah menjadi terkenal di seluruh dunia.
3. UFO di Porong, Jawa Timur (1977)
Hari itu tanggal 27 Juni 1977 jam 18.15 WIB, Dr. Ir. Aryono Abdulkadir bersama dua orang rekannya masing-masing Ir Rudianto Ramelan dan Ir. Ananda Soeyoso sedang melakukan perjalanan dari Surabaya ke arah Malang. Langit terang penuh dengan warna merah senja karena matahari baru saja terbenam.
Tiba-tiba di suatu tempat, di antara Gempol Porong, salah seorang di antaranya melihat benda langit yang menarik perhatian di sebelah barat jalan raya. Saksi mata Dr. Ariono yang memang pada dasarnya senang mengamati gejala-gejala seperti itu, mengira benda langit itu sebagai meteor.
Segera ia keluar dari mobil sambil menyiapkan alat fotonya untuk mengambil gambar meteor tadi. Dua kali dijepretkan. Tiba-tiba saja terjadi hal yang mengejutkan. Benda langit tadi membelok tajam hampir sembilan puluh derajat ke arah selatan, meninggalkan trail yang nampak pada mata seperti bunga api.
4. UFO di Salatiga, Jawa Tengah (2003)
Pada hari Minggu, 12 Oktober 2003, saya dan Adit teman saya (juga dari Ekonomi, tetapi 3 tahun lebih tua dari saya) sedang mengambil gambar pemandangan di sekitar Salatiga untuk website kami.
Kami mengambil gambar dari sebuah gedung bank yang telah tidak terpakai, BHS Bank. Setelah kami mengambil puluhan gambar di sekitar gedung, tiba-tiba teman saya menunjuk ke kejauhan dan berteriak ” arah jam 11 … arah jam11 …” (saat itu aku sedang bersiap-siap untuk mengambil gambar dari Gunung Ungaran).
Lalu aku melihat ke arah jam 11 dan melihat bahwa ada sesuatu yang “bersinar” atau mungkin aku harus mengatakan “berkedip”. Saya mengira bahwa benda itu di atas Danau RawaPening. Saat itu langit tampak seperti terdistorsi dan tidak cerah. Tetapi aku bisa melihat sesuatu … aneh?
Kemudian aku mulai menekan tombol kamera dan mengambil gambar tanpa memiliki kesempatan untuk mengatur fokus kamera. Saya kecewa ketika bersiap-siap untuk mengambil gambar yang lain, ‘benda itu’ tiba-tiba seperti berubah warna menjadi transparan sehingga dalam sekejap langit hanya tampak kosong.
4. UFO di Rumbai, Pekanbaru, Riau, Sumatera (2007)
Doris, melihat benda pada Sabtu malam sekitar pukul 19.00 WIB, ia berdiri di depan teras rumahnya, dan secara tak sengaja melihat benda yang semula ia kira bintang.
Namun setelah diperhatikan agak lama, benda tersebut bukan bintang dan bukan pula sebuah pesawat yang tengah mengudara di malam hari. Karena penasaran, Doris pun segera memanggil keluarganya serta warga sekitar serta berinisiatif dengan mengabadikan benda tersebut memakai kamera.
5. UFO di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Indonesia (2010)
UFO dilihat oleh banyak orang pada malam hari Minggu di bulan September 2010. Dan ada buktinya berupa video yang sempat diabadikan oleh seorang saksi mata yang sedang berada di sebuah mall di daerah Senayan, Jakarta Pusat.
Saksi mata melihat beberapa cahaya lampu yang berkedip-kedip dan kadang berubah warna serta membentuk formasi segitiga dan melayang diatas wilayah Bendungan Hilir yang tak jauh dari Senayan.
Sebenarnya masih banyak sekali kejadian atau peristiwa penampakan UFO lainnya di Indonesia. Namun bukti foto ataupun video penampakan UFO lainnya itu kualitasnya tidak baik, oleh karenanya maka kejadian lainnya itu tidak dicantumkan disini.
*****
Berita terkait: Misteri UFO Indonesia
*****
((( IndoCropCircles.wordpress.com )))