Senin, 24 Januari 2011
Jika komunisme adalah masa lalu, ketakutan kepadanya setali tiga uang dengan nostalgia. Tapi haruskah ide ini hanya disikapi demikian, bila ia adalah impian yang tak pernah lapuk oleh cuaca yang berganti?
Kita bersua dengan Gonzalo: tokoh dalam lakon Shakespeare, The Tempest (diterjemahkan Trisno Sumardjo sebagai ”Prahara”). Ia penasihat Raja Alonso dari Napoli. Di tengah kelicikan dan tipu-menipu politik, orang tua ini tetap baik hati. Sejak awal lakon kita tahu ialah yang menolong Prospero dan putrinya ketika mereka dihanyutkan ke laut. Ia juga yang merayakan perdamaian di antara para bangsawan yang bertikai—orang-orang serakah dan mendendam yang akhirnya bertemu kembali di pulau yang penuh sihir itu.
Tapi yang penting dalam percakapan kita kini: Gonzalo punya sebuah bayangan tentang masyarakat yang dalam wayang purwa digambarkan oleh ki dalang sebagai gemah ripah loh jinawi, thukul kang sarwo tinandur. Di sana alam menghasilkan apa saja yang dibutuhkan dan orang tak berkekurangan:
… nature should produce
Without sweat or endeavour… and should bring forth,
Of its own kind, all foison, all abundance,
To feed my innocent people.
Di sana orang tak perlu bekerja, ”all men [are] idle.” Tak ada perebutan. Tak ada sengketa. Tak ada pengadilan yang menengahi sengketa: ”No name of magistrate.” Dan dengan demikian tak perlu ada raja yang berdaulat yang menjaga agar peradilan efektif: ”No sovereignty.”
Dalam kata-kata Marx dua abad kemudian, itulah masyarakat komunis, masyarakat di mana ”Negara”—sebuah instrumen pemaksaan—tak dibutuhkan lagi, sebab tak ada lagi konflik di antara kelompok sosial. Tingkat komunisme tercapai, kata Marx, bersama dengan saat Negara ”melapuk-lenyap”, der Staat stirbt ab.
Bagaimana menyiapkan keadaan yang seperti itu tak dijelaskan Marx. Ia tak hendak menuliskan ”resep bagi toko masakan masa depan”, seperti dikatakannya dalam pengantar Das Kapital edisi kedua. Memang ada gagasan agar alat-alat produksi dikuasai bersama oleh masyarakat, hingga hasilnya tak terganggu krisis. Tapi haruskah untuk gemah ripah itu manusia mengikuti agresivitas kapitalisme, karena—seperti disebutkan Manifesto Komunis—kaum borjuislah yang terbukti berhasil mengubah dunia?
Terry Eagleton, yang menyumbangkan satu tulisan yang segar untuk buku The Idea of Communism yang disusun Costas Douzinas dan Slavoj Žižek (terbitan Verso, 2010), mengetengahkan satu paradoks.
Di satu pihak, komunisme menghendaki satu tingkat di mana orang dapat ”memperoleh sesuai dengan yang dibutuhkannya, dan menyumbang sesuai dengan kemampuannya”. Ini berarti satu keadaan sosial yang merupakan, dalam kata-kata Eagleton, ”buah produktivitas yang intensif”. Di lain pihak, komunisme juga merupakan penentang dari desakan produktivitas yang tak sehat (”patologis”) itu: desakan yang kini terbukti merusak alam dan menindas manusia di bawah regimentasi kerja.
Dalam paradoks itu, pemecahan model imajinasi Gonzalo bukanlah melihat manusia sebagai sumber produktivitas. Yang produktif alam. Manusia cuma pasif menampung kedermawanan bumi: ”all men [are] idle” seperti telah dikutip tadi. Manusia yang agresif adalah pangkal kekejian, bukan saja terhadap air, pohon, fauna, udara. Manusia jadi tak peka akan nasib tubuhnya sendiri dan tubuh orang lain. Bagi Gonzalo yang lembut hati, manusia yang baik adalah manusia yang ramah dan menghargai momen bermain bersama.
Tapi komunisme semacam itu, seperti dikatakan Eagleton, bukanlah yang dilahirkan kaum pekerja. Komunisme semacam itu hanya diyakini seorang Oscar Wilde, seniman pesolek yang menyukai hidup sebagai keindahan dan keasyikan: komunisme yang berlangsung antara jamuan makan malam.
Sayangnya, sebuah masyarakat senantiasa hidup dalam kondisi keterbatasan, dan dengan itu mengatasi keterbatasan. Di sini Eagleton mengemukakan satu tokoh lain dari Shakespeare: Lear.
Raja ini meninggalkan takhta yang diperebutkan dengan bengis oleh putri-putrinya. Ia mengembara di tengah alam yang dingin, muram, hampa. Di situ, katanya, pengemis yang paling papa pun seakan-akan berlebih, dan hidup manusia demikian murahnya: ”Man’s life is cheap as beast’s.”
Hidup murah di sini berarti hidup yang tak memerlukan banyak. Dari Lear pun kita menyadari makna keterbatasan—bukan dari petuah-petuah agama tentang manusia yang daif dan Tuhan yang Akbar, melainkan dari tubuh yang hampir telanjang, tersisih, tak punya apa-apa.
Dari keterbatasan itu terbitlah rasa bersama. Demikianlah raja tua itu menyeru, anehnya dalam keadaan hampir gila, sesuatu yang menggugah, seakan-akan suara khotbah lain dari bukit: ”Expose thyself to feel what wretches feel”—sebuah seruan untuk solidaritas kepada yang nestapa.
Saya kira lewat kalimat-kalimat dalam King Lear itu Shakespeare berbicara kepada para penonton di teater The Globe, di tepi Sungai Thames, London, di masa ketika ketimpangan sosial awal abad ke-17 begitu tajam. Lewat mulut Lear ia menghujat ”orang yang serba berlebih dan hidup dari nafsu” (”the superfluous and lust-dieted man”). Melalui Lear juga ia mengimbau agar kekayaan yang berlimpah ruah itu didistribusikan, hingga tiap orang berkecukupan:
So distribution should undo excess,
And each man have enough
Jika itu adalah ide ”komunisme”, ia memang lebih tua ketimbang Marx. Dan saya kira, tanpa Marx, seruan Lear dan impian Gonzalo akan berlanjut. Kadang-kadang dengan ketakutan. Kadang-kadang dengan nostalgia.
Goenawan Mohamad
0 komentar:
Posting Komentar