(Artikel saya ini telah dimuat dalam bahasa Inggris di The Jakarta Globe, 1 Febuari 2011. Saya terjemahkan krn ada bbrp yang minta versi bahasa Indonesianya) Negeri ini kembali disentak dengan berita seputar terorisme. Tujuh tersangka yang begitu belia ditangkap di Klaten dan diduga menjadi anggota. Lalu, banyak yang bertanya: Mengapa? Mengapa mereka begitu patuh pada pemimpin mereka? Para remaja yang telah bersiap, ataupun rela meledakkan bom beserta diri mereka sendiri seringkali bukan pentolan kelompok itu. Mereka kemungkinan besar adalah para ABG biasa, yang sering kita temui di sekitar kita dan yang mempunyai mimpi dan berjuang untuk mendapat hidup layak. Dan mungkin juga, mereka sebenarnya bukan pembenci dunia. Sebaliknya, mereka mungkin begitu mencintai dan berharap banyak akan dunia sehingga harapan-harapan mereka yang berlebihan inipun sirna ketika berhadapan dengan ketimpangan. Dunia memang tidak pernah pasti. Ia bisa menempatkan suatu kelompok pada kedudukan yang begitu tinggi lalu menghempasnya di saat yang lain. Islam yang pernah berjaya, sekarang seolah termarjinalkan dengan kemakmuran dan ideologi Negara Barat. Lalu para pelaku yang disebut teroris ini tak ubahnya seperti kekasih yang dikianati oleh hidup: mereka mencari berbagai cara untuk melawan musuh dunia mereka ini, kemakmuran yang tidak seimbang ini. Rasa tertekan dan ketidakadilan bisa dengan mudah dimanipulasi menjadi keinginan untuk dihormati yang menggebu-gebu. Dan inilah yang dapat digunakan dengan mudah oleh beberapa pemimpin mereka. Yang dapat mempesona dengan otoritas yang mendudukkan mereka sebagai “orang suci”, mereka dapat menggerakkan frustrasi duniawi kepada tujuan yang tampak lebih terhormat dan lebih tinggi. Hanya manusia naïf saja yang tidak menyadari hal ini: setelah begitu banyak nyawa dikorbankan, para pemimpin masih sehat walafiat dan berkutat dengan strategi dan ambisi baru yang akan mengorbankan lebih banyak nyawa. Manipulasi para penguasa yang mengorbankan rakyat biasa bukanlah barang baru. Memisahkan kita dari mereka, disertai pembunuhan masal luar biasa telah terjadi sejak dulu. Dan fundamentalisme agama dan nasionalisme biasanya berhasil dipakai untuk memperalat rakyat. Strategi serupa ini telah diterapkan oleh Kaisar Jepang untuk menguasai negara-negara lain. Para serdadu muda yang dikenal dengan kamikaze atau pasukan berani mati, dan pada Pada Perang Dunia II, skuadron-skuadron bunuh diri dari Angkatan Laut dan Udara ini dikirim dalam jumlah besar untuk menggempur tempat-tempat yang sudah diincar oleh Kaisar mereka. Pasukan yang tewas dianggap sebagai bunga sakura yang berguguran. Setelah para pilot dan pelaut itu wafat, mereka akan bertemu kembali di Altar Kuil Yasunuki dan dinobatkan sebagai Dewa. Ini adalah iming-iming yang belum tentu dapat diraih, atau paling tidak belum terbukti (karena belum ada pilot mati yang datang kembali ke dunia dan bersaksi kalau mereka benar-benar jadi Dewa di alam baka). Sedangkan alasan yang lebih pasti di balik serangan bunuh diri ini adalah: Demi kemuliaan dan keserakahan sang Penguasa. Ketika Jepang kalah setelah mengorbankan beribu skuadron mereka, para pasukan itu melakukan hara-kiri atau seppuku – menusuk diri mereka dengan samurai supaya dapat bergabung dengan teman setanah air mereka di kuil suci sebagai Dewa. Tentu saja pemimpin tertinggi mereka, sang Kaisar, tidak akan melakukan hal serupa. Bukannya karena ia tak mau menjelma menjadi Dewa di Kuil suci itu, tapi karena ia tidak cukup punya nyali dan kepercayaan yang sama seperti pasukannya. Bukankah ini sebuah ironi? Karena pemimpin yang berhasil menyalakan jiwa berkorban dan kepahlawanan seringkali justru manusia yang paling tidak sudi mengorbankan jiwanya sendiri. Karena itu, berhati-hatilah dengan pemimpin yang dianggap suci, yang tidak bisa disanggah, yang seolah tahu tentang hal-hal surgawi. Karena apa yang dinamakan “fundamentalisme” seringkali justru berawal dari ambisi duniawi segelintir pemimpin seperti ini. Perang Salib dimulai dengan ambisi sang Raja Bizantium untuk menguasai beberapa wilayah yang bukan haknya. Dan yang rohani hanyalah dijadikan alat untuk mengontrol pion-pion mereka sehingga melaksanakan tugas yang dikehendaki. Pion-pion yang telah dirudung kecewa dalam hidup, dan menginginkan suatu pelampiasan. Seperti sang Kaisar Jepang, Paus Urban ke-II pun melakukan strategi yang hampir sama dalam perang Salib itu. Ia menjanjikan surga bagi para rakyat miskin yang berani berperang melawan tentara Islam di Yerusalem. Tentu saja, sang Paus sendiri ingin masuk surga, namun dengan cara yang lain dari apa yang digembar-gemborkannya sendiri! Sang uskup tentunya lebih memilih ranjang yang empuk daripada dirajah oleh tombak di medan perang. Janji akan surga dan kehidupan mulia sesudah mati adalah sebuah strategi tua yang telah diterapkan oleh bermacam pemimpin dari agama dan Negara. Terkadang dengan berbagai variasi: Ada yang dengan malaikat berharpa, ada yang dengan perawan, ada yang dengan taman dan kuil emas. Semua tergantung dari kreatifitas pemimpin yang merekayasanya. Karena para pemimpin ini tidak akan rela meledakkan diri dengan bom atau melangkah ke medan perang dengan resiko tertusuk tombak lawan, bagi ambisi mereka sendiri. Sebab itulah, mereka mencoba dengan sekuat tenaga memperdaya, memanipulasi dan menggerakkan pengikut mereka untuk berkorban dan mengorbankan nyawa lain atas nama agama, nasionalisme, keadilan, surga, atau apa saja yang berhubungan dengan hal-hal yang sifatnya tampak lebih “mulia”, yang belum tentu dipercayai oleh sang pemimpin itu sendiri.
Jumat, 17 Juni 2011
Terorisme dan Janji akan Surga oleh : Soe Tjen Marching
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
copyrigt; Juned Topan.. Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar