Kamis, 07 April 2011

AGAMA AGAMA BESAR DUNIA

iv
KATA PENGANTAR EDISI KEDUA
Edisi pertama dari Great Religions of the World telah diterbitkan di
Lahore (Pakistan) pada tahun 1976. Sejak itu, telah banyak buku-buku baru
tentang hidup keagamaan yang dipublikasikan dan telah memberi cahaya baru
tentang mereka. Saya telah beruntung membaca buku-buku ini, dan juga
membaca ulang serta menimbang-nimbang secara mendalam tentang Kitab Suci
mereka. Saya kira, saya telah mendapat pengertian yang lebih mendalam tentang
keyakinan mereka, dan semakin dekat memahami dari sisinya, yakni sebagai
orang beriman melihatnya. Cahaya ini memberikan rasa simpati yang mendalam
dan pemahaman yang lebih baik – lebih baik dari apa yang saya pahami
terdahulu – saya berfikir perlu untuk memberi beberapa tambahan dan perubahan
dalam buku ini. Saya memang belum merasa puas seperti yang saya harapkan.
Tetapi kenyataannya, buku ini perlu direvisi keseluruhan, ditulis ulang, dan
kurang beruntungnya saya tidak mempunyai banyak waktu.
Saya berterima kasih kepada Mr. Abdul Razak dari Bombay yang telah
memutuskan untuk menerbitkan The Great Religion of the World ini dari India,
sehingga memberikan saya kesempatan untuk mengadakan perubahan buku ini.
Peshawar
15 Juni 1990 ULFAT AZIZ-US-SAMAD
v
KATA PENGANTAR EDISI PERTAMA
Ada beberapa kisah sejarah agama dunia yang telah ditulis orang. Sebagian
besar ditulis oleh para pengarang Kristen yang selalu cenderung menyajikan
agama non-Kristen dengan ulasan yang kurang menguntungkan, sehingga
mereka hanya membuktikan bahwa agama Kristenlah satu-satunya agama yang
paling benar. Satu-dua pengarang Muslim yang berusaha menulis tentang agamaagama
besar di dunia, umumnya juga telah mengikuti jejak langkah seperti itu,
bahkan menggantungkan bahan-bahan karangannya kepada penulis-penulis
Kristen, kecuali ulasan mereka tentang Islam. Sebagaimana para pengarang
Kristen memperlakukan Islam, maka seperti itu pula mereka memperlakukan
agama-agama lain di luar agama Kristen, yakni tanpa suatu usaha yang sungguhsungguh
untuk memahami dan meresapinya. Para pengarang Muslim pun
cenderung hanya menyajikan Islam sebagai suatu agama wahyu yang paling
benar saja. Tetapi perlakuan mereka terhadap agama-agama seperti Hindu,
Buddha, Zarathustra, Kong Hu Chu, dan lain sebagainya tidaklah begitu berbeda
dengan apa yang telah ditulis oleh para pengarang Kristen tadi.
Sikap dan tujuan saya berbeda dengan para pendahulu yang terkemuka
dalam menulis bidang ini. Saya lebih tertarik untuk menemukan wahyu-wahyu
kebenaran di berbagai macam agama yang hidup dan meresapkan keindahan-nya.
Penelaahan saya terhadap kitab suci dari karya asli berbagai agama besar di
dunia, telah mendorong saya pada kesimpulan bahwa di dalam agama-agama
tersebut terdapat nilai-nilai kebenaran, yakni sesungguhnya ajaran-ajaran asli
mereka memiliki banyak persamaan. Dalam menulis tentang berbagai agama ini,
karena itu saya bedakan antara risalah-risalah yang asli sebagaimana telah
disampaikan kepada dunia luar oleh para pendirinya yang mulia, dan sistemsistem
dan kaidah – kaidah teologi yang berkembang sesudahnya, yang oleh
karena suatu kepentingan seringkali dimasukkan unsur-unsur asing ke dalamnya,
dan mengacaukan risalah-risalah yang asli. Untuk maksud inilah maka saya
bersandarkan pada:
Pertama, Kitab-Kitab Suci berbagai agama. Untunglah terjemahanterjemahan
yang sangat baik dalam bahasa Inggris dari sebagian besar Kitab Suci
yang dihidangkan oleh para cendekiawan yang sungguh-sungguh beriman
padanya bisa didapatkan. Dari kitab inilah, saya menggeluti lebih mendalam
dibandingkan dengan kitab-kitab lainnya untuk memperoleh pengertian berbagai
macam keimanan yang dihormati oleh jutaan ummat manusia di seluruh dunia,
dan telah menjadi sumber kebahagiaan tersendiri yang mengilhami saya. Semua
vi
itu telah membantu meluaskan pandangan saya, dan memperdalam rasa simpati
saya. Mustahil bagi saya untuk tidak menjunjung semua itu diatas segalanya di
kala saya membaca Kitab Suci itu, baik itu Alkitab, Al-Quran, Baghvad Gita,
Dharmmapada Ghatra dari Zarathustra maupun lembaran-lembaran suci Kong
Hu Chu.
Kedua, buku-buku yang ditulis untuk menerangkan berbagai agama dari
para cendekiawan yang mengerti dan beriman kepadanya. Bilamana saya
mengutip suatu bukti dari seorang pengarang yang tidak mengimani agama yang
bersangkutan, saya harus yakin bahwa pandangan-pandangan yang
dikemukakannya sepenuhnya disokong oleh apa yang tersurat maupum tersirat
dari kitab-kitab Suci itu. Dalam setiap langkah, saya selalu menjaga sikap yang
bebas dan kritis. Tujuan saya tiada lain kecuali untuk menemukan Kebenaran,
dan tidak untuk mendukung suatu tesis yang sudah ada sebelumnya. Saya
berharap dan berdoa mudah-mudahan buku kecil ini akan membimbing kita
bersaudara, saling pengertian, yang lebih baik terhadap berbagai agama besar
dari manusia modern, dan membawa para pengikutnya lebih dekat lagi. Agama
seringkali dipergunakan sebagai alat pemecah belah oleh orang-orang yang
punya kepentingan tertentu, dan sebagai alat untuk menimbulkan kebencian di
antara sesama manusia. Saya tidak menemukan kekuatan yang dapat
mengumpulkan ummat manusia bersama-sama dan mempersatukan mereka
dalam ikatan saling mencinta dan berkasih-sayang seperti halnya yang dapat
diperbuat oleh agama yang dimengerti dengan benar. Hanya agama sajalah yang
bisa menumbuhkan pengorbanan seseorang terhadap kepentingan-kepentingan
pribadinya demi manusia lainnya dan dapat menciptakan keyakinan dalam
dirinya bahwa ketulusan dan kebenaran yang abadi adalah kenyataan yang harus
dipentingkan dari segalanya dalam ikrar kita. Jadi, ini dapat membimbing kita
kearah apa yang digambarkan oleh Kong Hu Chu sebagai “evolusi kemanusiaan
yang sejati” dan menjadikan manusia itu sebagai “khalifah di bumi”,
sebagaimana di kandung oleh ajaran Islam, di samping membawa jiwa manusia
dan dunia ini ke arah perdamaian yang sangat didambakan oleh seluruh manusia
pada abad modern ini.
Tak seorang pun yang lebih menyadari selain diri saya sendiri, yang tahu
akan keterbatasan saya dalam mengemban tugas menulis buku ini dari segala
kekurangannya. Tidak kalah pentingnya dalam hal ini ialah ketidak-sanggupan
saya untuk meneliti Kitab-Kitab Suci dalam bentuk bahasa aslinya, dan saya
hanya bergantung kepada terjemahan-terjemahan dalam bahasa Inggrisnya saja,
meskipun hal itu sudah dikerjakan dengan sangat cermat, namun tetap tak bisa
menggantikan aslinya. Demi keterbatasan ruangan, saya terpaksa meninggalkan
vii
pembicaraan beberapa aspek agama-agama yang telah saya gambarkan dalam
buku ini, dan membicarakan beberapa aspek lain secara singkat saja, dan
karenanya mengakibatkan kekosongan sejumlah hal tertentu dan menjadikan
penyajiannya secara keseluruhan kurang memuaskan sebagaimana yang saya
inginkan.
Saya sangat berterima-kasih kepada suami saya atas kerjasamanya. Tanpa
pertolongannya maka buku ini (khususnya bab agama-agama di India tidak akan
dituliskan). Terima kasih saya juga kepada Mr. Nasir Ahmad dari Ahmadiyya
Anjuman Isha’at-i-Islam (Lahore) yang telah memberikan saran-sarannya untuk
menulis buku semacam ini dalam taraf pertama dan atas perhatiannya yang terusmenerus
mengingatkan penundaan yang kadang-kadang tidak terelakkan oleh
saya. Akhirnya saya harus menyatakan rasa hutang budi saya kepada banyak
para cendekiawan yang terkemuka yang telah menulis berbagai macam agama,
beberapa dari mereka telah saya sebutkan dalam daftar perpustakaan pada akhir
buku ini. Betapa pun saya telah banyak menelaah hasil karya mereka, dan
darinya saya banyak belajar, namun demikian saya tidak selalu setuju dengan
pendirian mereka.
Peshawar
9 Maret 1975 ULFAT AZIZ-US -SAMAD
PENDAHULUAN
Kesadaran beragama agaknya telah berakar dalam fitrah
manusia. Bila kita selami lubuk hati manusia, dengan tiada
mengingat berbagai bentuk dan kelahiran dari bermacam-macam
agama, maka kita akan sampai kepada asal-muasal dari manakah
pertanyaan tentang keagamaan itu bermula. Para peneliti di bidang
psikologi ilmu bangsa-bangsa dan sosiologi telah sampai kepada
kesimpulan yang lebih mendasar lagi akan hadirnya sifat azali ini
dalam diri manusia. Dibalik sistem-sistem agama itu, dan
bersamaan dengan perbedaan di antara agama dengan agama yang
lain, maka ada suatu aturan sejarah yang tetap, yang selalu
menyelaraskan manusia dalam suatu tatanan tertentu dan cenderung
mengejawantahkan dalam bentuk keagamaan.
Gambaran tentang dimensi keagamaan ini dapat ditelusuri
melalui ber-macam-macam sistem dan melalui berbagai
pembahasan. Di satu sisi, hal itu dapat dilihat pada gerak akal
fikiran manusia yang tiada henti mempertanyakan dirinya tentang
sumber dan asal-usulnya, keinginan jiwanya yang keras untuk
menemukan arti sejati dari hidup dan gerak-langkahnya di dunia ini
serta upaya untuk mengerti hubungannya dengan segala sesuatu. Di
sisi lain keinginan ter-sebut telah mendorongnya mencari sesuatu
yang azali dan setia memberikannya ‘kebajikan’ serta mengatur
segala sesuatunya.
Cara apa pun yang dipandang tentang manusia sebagai sumber
dinamika yang terdalam, maka seseorang senantiasa akan tiba pada
suatu masalah dan cenderung untuk meleburkan dirinya, dunianya,
dan masyarakatnya kepada Yang Mutlak. Semua ini menandakan
adanya keterbatasan manusia untuk menuju ke suatu yang tak
terbatas dan mutlak, yakni suatu batas dalam jiwa manusia yang tak
dapat diisi secara terpisah-pisah oleh dirinya sendiri. Memang
2 AGAMA BESAR DUNIA
benar bahwa penelitian ini seringkali tetap saja membingungkan
seperti suatu tanda tanya yang selalu mengambang di kepala. Bagi
banyak orang hal itu tidak lebih dari suatu perasaan yang tidak
pasti, cemas, bingung suatu keinginan kosong yang harus dipenuhi
dan seringkali bangkit dari balik cerminan berbagai peristiwa atau
tekanan tertentu yang sebagian besarnya tenggelam di dasar lubuk
yang tak bisa terusik lagi serta diselimuti oleh problem kehidupan
sehari-hari. Memang benar pula bahwa hal itu baru timbul dalam
dirinya sendiri yang didorong oleh keadaan-keadaan tertentu, akan
tetapi kita tidak dapat meng-ingkari bahwa hal ini telah membuka
cakrawala ummat manusia yang akhirnya menjadi titik penting dari
acuan keberadaannya. Dengan mengingat keadaan ini, kesadaran
manusia dan kecenderungannya yang khusus inilah yang
memungkinkan adanya agama.
Betapapun agama sebagaimana adanya dalam ilmu sejarah
adalah suatu gejala yang sangat rumit. Dia mencakup sekelompok
besar kepercayaan dan tata-cara yang sifatnya sangat berlainan
coraknya. Percaya dan mengikuti kemauan apa yang disebut
sebagai roh pepohonan dan sungai, penyembahan kuburan orangorang
yang sudah mati. Sesaji bagi arwah nenek-moyang, totem
dan tabu, serta upacara pemberian beberapa makananan dan
mencegah beberapa macam makanan lainnya, penyiksaan dan
melaparkan diri dengan maksud untuk menyucikan dan
memperkuat jiwa sebagaimana pada pesta-pesta adat kepercayaan
kepada banyak dewa, demikian halnya pada keimanan kepada satu
dan satu-atunya Tuhan, menyembah berhala batu yang berbentuk
binatang dan tumbuhan seperti halnya kebaktian kepada Tuhan
sebagai roh gaib yang tidak terbayangkan, kesucian hidup yang
berlangsung dalam kerahiban disamping percabulan di kui-kuil,
semuanya ini dan banyak lagi lainnya telah dinisbahkan sebagai
kepercayaan dan upacara keagamaan.
PENDAHULUAN 3
Kesalahan para ahli ilmu bangsa-bangsa terletak dalam
usahanya untuk menelusuri asal-usul berbagai agama dan adat
istiadat hanya berdasarkan satu fakta tunggal saja. Sebagai contoh
Grant Allen yang mengikuti Herbert Spencer, mengira bahwa
agama itu timbul dari penyembahan nenek moyang1. Dalam
bukunya yang berjudul The Evolution of Idea of God, pengarang
menusuri tiga konsepsi manusia tentang orang mati Pada taraf
pertama perbedaan antara hidup dan mati tiada lain hanya sakit atau
tidur. Hal ini bisa dilihat bahwa si mati masih hidup dalam jasadnya
dan karena itu maka jenazahnya diawetkan bahkan dibikin mummi.
Pada tingkatan ini dewa-dewa atau semacam itu, sebagian besar
belum dikenali, sehingga mayat-mayat para sahabat dan nenek
moyang lah yang dipuja dan dihormati. Pada taraf kedua kematian
itu disadari sebagai kenyataan lahiriah, tetapi hal itu masih
dianggap sebagai keadaan sebentar saja. Pada tingkat ini, manusia
mulai menguburkan jenazah dan meramalkan akan kebangkitan
jasad dan mengharap akan kehidupan lain di balik alam kubur. Pada
taraf ketiga, roh itu dianggap sebagai makhluk yeng berbeda dari
jasad, roh itu tetap dalam suatu bentuk yang terpisah dan agak
samar-samar. Oleh kerena itu pandangan akan masa depan yang
sesuai dengan tingkatan ini, bukanlah pada kepercayaan akan
kebangkitan roh dari jasad, tetapi menjadi kepercayaan kepada
keabadiaan roh. Dan justru dari hal seperti ini, muncullah ide
kebangkitan roh pada upacara penguburan. Maka ide kebangkitan
yang abadi itu terikat erat dengan upacara yang tetap menjadi
kepercayaan kepada pembakaran mayat. Ide tentang Tuhan, kata
Grant Allen lahir pada taraf kedua dan ketiga ketika hantu arwah
nenek moyang yang sudah mati mulai dipuja sebagai dewa-dewa
penunggu rumah dan hantu-hantu dari kepala-kepala suku atas
penguasaan mereka sebelum mati. Belakangan dengan timbulnya
1 Grant Allen, The Evolation of the Idea of God (The Thinker’s Library: London, 1931)
4 AGAMA BESAR DUNIA
kerajaan, maka masuklah konsepsi tentang Tuhan Yang Maha
Kuasa dan politeisme lama berkembang menjadi menjadi
monoteisme. “Dalam hampir setiap kasus, maka kita secara pasti
dapat menelusuri timbulnya hal tersebut”, kata pengarang Evolution
of the Idea of God, “mempertuhankan itu dimulai dengan seseorang
yang dipertuhankan dan itu diangkat oleh para pemujanya kepada
derajat ketuhanan (setelah kematiannya) dan dilengkapi dengan
dongeng tentang peristiwa mukjizat”.
Selain itu Sir James Frazer, percaya bahwa agama berkembang
dari tenung atau sebagai akibat dari realitas daya tenaga sihir2. Dia
berdalil bahwa di berbagai tempat sihir datang sebelum Abad
Agama. Dalam Abad Sihir, seseorang percaya bahwa dengan
sekedar mengadakan upacara-upacara tertentu yang diikuti daya
permainan-permainan tertentu, maka dapat mengendalikan alam
dan arah dari peristiwa-peristiwa serta dapat pula mengatur hasil
yang diinginkan. Dalam abad itu tidak ada tuhan-tuhan. Hanya
ketika seseorang mendapat bahwa seringkali upacara-upacara
magis itu meskipun diselenggara-kan dengan cukup tepat, tetapi
tidak membawa hasil yang diharapkan, maka dia pun mulai berfikir
bahwa pastilah ada makhluk-makhluk lain yang seperti mereka
yang jauh lebih kuat dan tidak kelihatan oleh mereka yang telah
mengendalikan arah peristiwa dan mendatangkan bermacam
rangkaian peris-tiwa yang tadinya dipercayai bisa digantungkan
kepada daya sihirnya sendiri. Demikianlah timbulnya keperyaaan
kepada tuhan-tuhan, dan bagi orang-orang primitif itu sebagai ganti
atau untuk penambah upacara-upacara sihirnya, mereka mulai
membujuk makhluk-makhluk yang lebih unggul dari dirinya agar
ikut campur dan memberikan keberuntungan yang diinginkan
mereka. Frazer memberi batasan tentang agama sebagai “sesuatu
upacara atas persembahan kepada daya kekuatan yang lebih unggul
2 Sir J.G. Frazer,The Golden Bough (abridged edition), Macmillan, New York, 1959
PENDAHULUAN 5
dari manusia yang dipercayai dapat mengarahkan dan
mengendalikan arah alam dan kehidupan manusia”. Jadi dari
definisi ini, ia melanjutkan “suatu agama terdiri dari dua bagian
teoretik dan praktis, yakni kepercayaan kepada daya kekuatan yang
lebih tinggi dari manusia, dan suatu usaha untuk memuja atau
menyenangkan hati mereka. Dari kedua hal itu, kepercayaan mulamula
harus ada, karena kita harus percaya kepada adanya suatu
makhluk sebelum kita dapat berusaha untuk menyenang-kan
hatinya”.
Antropolog besar lainnya adalah Sir E.B. Taylor. Dalam
Primittive Culture dia menjelaskan tentang teori asal-usul agama
yang berbeda dibandingkan teori-teori disebutkan diatas. Dia
berpendapat bahwa agama yang paling awal adalah Animisme,
yakni kepercayaan bahwa segala sesuatu baik yang dalam dunia
yang bernyawa atau pun benda mati dihuni roh3. Manusia primitif
yang terdorong untuk mempunyai pandangan ini asal mula
berdasarkan atas mimpi-mimpinya. Tentunya dia tidak sepenuhnya
mampu membedakan secara tajam antara perkara-perkara nyata
dalam saat terjaga dan hal yang dilihat dalam mimpinya. Maka
ketika seorang primitif itu bangun dari tidurnya dia mengira telah
sungguh-sungguh pergi ke suatu tempat dan mengerjakan hal-hal
yang dilihat serta diperbuatnya pada waktu bermimpi. Tetapi
setelah dia sungguh-sungguh tahu berdasarkan pengalamannya,
bahwa jasmaninya tidak pergi dalam tamasya ini, maka penjelasan
wajar yang dapat masuk akalnya ialah bahwa setiap orang pasti
mempunyai suatu roh dalam dirinya atau suatu hantu yang serupa
dengan dirinya di luar pribadinya. Roh atau hantu yang dapat keluar
dari tubuh jasmani, melihat, dan dapat kelihatan dalam mimpi
ketika tubuhnya terbaring di gua di saat dia jatuh tertidur. Pribadi
atau rohnya telah pergi ke tempat lain dan bertemu dengan roh-roh
3 Sir E.B. Taylor, Primittive Culture (Harper Torch Books, New York, 1929)
6 AGAMA BESAR DUNIA
orang lain dan terlibat dalam bermacam-macam kegiatan. Bahkan
orang-orang yang terjaga pada waktu siang hari seringkali melihat
hantu-hantu arwah dari apa yang disebut visiun atau halusinasi.
Lebih lanjut orang primitif terdorong untuk percaya bahwa roh itu
tidak mati bersama denga tubuh jasmaninya tetapi hidup setelah
meninggalkan jasadnya karena meskipun seseorang itu meninggal
dan dikuburkan, namun bayangan arwahnya selalu nampak kepada
teman-temannya dalam impian maupun visiun. Berdasarkan alasan
yang persis sama, seseorang primitif berkesimpulan bahwa kuda
dan anjingnya, busur dan panahnya, matahari dan rembulan, sungai
dan gunung juga memiliki penghuni yang mirip dengan badan
jasadnya atau dalam bentuk diluarnya. Kini beberapa dari roh-roh
ini, misalnya roh dari gelombang sungai, jauh lebih kuat dari
manusia dan ketika marah dapat menghancurkan tempat tinggalnya
dan mengakibatkan kerugian berat baginya dan bila sedang senang
hatinya ia memberikan keuntungan yang besar kepadanya. Karena
itu kepada roh-roh ini dan kepada arwah dari kepala suku yang
gagah perkasa, orang-orang primitif mulai menunjukan doa-doanya
dan memberikan sesajen ataupun korban untuk memuja dan
menarik mereka ke fihaknya. Inilah yang menjadi tuhan-tuhannya.
Maka kata Sir E.B. Taylor, “Perkembangan animisme secara
keseluruhan termasuk percaya kepada roh-roh dan keadaan di masa
depan dalam upaya mengendalikan dewa-dewa dan roh-roh yang
lebih rendahan, dan ajaran-ajaran ini dalam praktiknya
menghasilkan beberapa macam penyembahan yang aktif”. Jadi
meneurut dia, segenap bentuk kepercayaan dan praktik keagamaan
dari yang paling primitif sampai yang paling tinggi tingkatannya
berkembang dari Animisme. Dr.R.R.Marett yang mendekati
masalah keagamaan dari suatu titik pandangan psikologi, dan
menganggap Supernaturalisme sebagai suatu perasaan dasar yang
mendahului Animisme. Dia memberi batasan bahwa
supernaturalisme terdiri dari rasa ketakutan, pujian, pengangguman,
PENDAHULUAN 7
dan semacamnya yang bisa digambarkan sebagai “kengerian”.
Maka digambarkan oleh A. Goldenweiser sebagai “kegentaran” dan
dia menyatakan bahwa akhir kesihiran itu berasal sepenuhnya dari
kegentaran agama.
Ahli antropologi dan psikologi sosial lainnya berpendapat
bahwa agama sebagai penyesuaian psikologi yang normal dengan
masyarakat untuk membangun suatu benteng perlindungan berupa
khayalan untuk menghadapi rasa takut. Emile Durkheim, seorang
sosiolog Perancis menganggap bahwa agama merupakan hal yang
paling primitif dari seluruh gejala kemasyarakatan. Di luar agama,
tulisnya, “ bahwa kemudian timbul berkat perubahan-perubahan
selanjutnya, maka segala manifestasi kegiatan masyarakat lainnya
seperti hukum, tata susila, seni, ilmu, bentuk-bentuk politik , dan
lain sebagainya. Pada awalnya semua itu adalah “agama”.4 Menurut
Durkheim, asal mula seluruh pengalaman keagamaan dapat dicari
dari peningkatan perasaan kelompok (euphorial) yang terjadi
bilamana pribadi-pribadi itu berkumpul bersama-sama dalam
pertemuan besar para suku, sebagai reaksi untuk mengimbangi
kehidupan sekuler yang dihadapinya..
Sigmund Freud, pendiri termasyhur dari ilmu Psikoanalisis,
juga berang-gapan bahwa dunia agama itu adalah dunia khayalan.5
Menurut pendapatnya, kebutuhan akan iman kepada Tuhan dan
agama timbul dari perasaan ketidakmampuan manusia dalam
hubungannya terhadap dunia di luarnya. Bagi seseorang seperti
halnya manusia, pada umumnya kehidupan itu sungguh merupakan
beban yang berat untuk dipikulnya. Peradaban dimana dia ambil
bagian di dalamnya telah membebaninya dengan beberapa kaidahkaidah
bagi pribadinya, dan orang-orang lain pun pada satu tingkat
tertentu menyebabkan penderitaan. Demikian pula berlakunya
4 Emile Durkheim, The Elementary Form of the Religious Life (Chicago, 1947)
5 Sigmund Freud,The Future of an Illusion (The Hegarth Press and the Institute of Psycho-analysis),
London, 1992
8 AGAMA BESAR DUNIA
hukum-hukum dari peradabannya atau-pun ketidaksempurnaannya.
Ditambah lagi dengan adanya setan-setan yang menaklukkan alam
dan menganiayanya. “Seseorang akan mengira”, kata Freud, “suatu
keadaan yang terus menerus tegang dan mendebarkan serta
menganiaya dengan berat dirinya yang telah mengakibatkan hal-hal
seperti itu”. Manusia mencari ketentraman dari perasaan
ketidakberdayaan dan bahkan dalam jangkauan yang lebih luas
menguasainya dengan cara memanusiakan alam. Dengan berbuat
demikian, maka dia dapat merasa tenteram dalam menghadapi alam
supernatural dan bisa berhubungan dengan kecemasan yang
menyimpang itu. Dia juga dapat melenyapkan, membujuk, dan
membayar alam yang telah dimanusiakan itu, yakni tuhannya yang
telah merampas sebagian daya tenaganya. Freud berkata bahwa
tidak ada sesuatu yang baru dalam situasi ini, karena sesungguhnya
itu hanya merupakan tingkat perkembangan dan bentuk kekanakkanakan
menjadi bentuk yang lebih dewasa. Suatu kali, sebelumya
manusia pernah berada dalam keadaan yang tidak berdaya yakni
sebagai anak kecil dalam hubungannya dengan orang tuanya.
Ketika di masa kanak-kanak, ayahnya memerintahkan
penghormatan dan ketaatan serta pada saat yang sama memberikan
perlindungan kepadanya. Suatu ketika dia meningkat dewasa segera
menyadari bahwa ayahnya seorang makhluk yang berkekuatan
keras namun terbatas dan karenanya dia diberikan sesuatu gelar
yang diinginkannya. Oleh sebab itu, dia menengok kembali
bayangan kenang-kenangan dari bapak yang lebih unggul di masa
kecilnya dan menaikkan derajatnya ke status dewa serta
menghadirkannya di masyarakat dalam bentuk kenyataan. “Ketika
si anak tumbuh dan mendapatkan dirinya tetap tinggal sebagai anak
kecil selama-lamanya, dan bahwa dia tidak akan pernah dapat
berbuat tanpa perlindungan dari daya-daya kekuatan yang lebih
perkasa dan tak dikenalnya, maka dia men-ciptakan ini dengan
mengikuti jejak bayangan ayahnya, yakni dia menciptakan bagi
PENDAHULUAN 9
dirinya sendiri tuhan-tuhan”. Jadi, menurut Freud, agama adalah
“suatu usaha untuk mendapatkan kendali atas dunia yang tersaring
di mana kita hidup dengan sarana berupa dunia yang kita inginkan,
yakni yang telah kita kembangkan dalam diri sebagai akibat
kebutuhan biologis.
Teori-teori yang kita catat sejauh ini menganggap bahwa
agama sebagai perkembangan alamiah. Mereka tetap bertahan
bahwa manusia itu secara fitrah maupun secara stimulatif adalah
beragama. Sekarang kita sampai kepada pandangan seorang ahli
antropologi yang menganggap bahwa agama itu sebagai suatu
fenomena sejarah dan menyatakan bahwa orang-orang primitif itu
tidak mempunyai agama. Professor A.C.Hocart menghubungkan
asal-usul agama dengan lembaga kerajaan. Dia menulis: “Agama
yang paling awal dikenal adalah suatu kepercayaan ketuhanan
kepada para raja. Saya tidak mengatakan bahwa itu harus yang
paling primitif, tetapi dalam catatan sejarah yang paling awal
diketahui, manusia tampaknya menyembah tuhan-tuhan dan wakilwakilnya
di bumi, yakni raja. Kita tidak berwenang dengan keadaan
penge-tahuan kita sekarang ini untuk menyisipkan pandangan
bahwa penyembahan kepada tuhan-tuhan itu adalah kelanjutan dari
penyembahan kepada para raja. Mungkin tidak ada satu tuhan pun
tanpa raja atau raja-raja tanpa tuhan”.6
Lord Raglan juga menganggap bahwa agama sebagai sesuatu
yang didapat dan digunakan oleh manusia karena fakta-fakta
sejarah tertentu dan bukanlah sesuatu yang dilahirkan atau
alamiah.7 Dia berpendapat bahwa agama itu asal mulanya suatu
upacara ritual. Kepercayaan dongeng-dongeng kepahlawanan dan
ilmu ketuhanan diciptakan belakangan untuk menjelaskan ritual itu.
Mula-mula manusia berbuat sesuatu dan dengan itu ia
mengharapkan untuk mencapai hasil yang menguntungkan bagi diri
6 A.C. Hocart, Kingship (The Thinker’s Library, London, 1941)
7 Lord Raglan, The Origins of Religion (The Thinker’s Library, London, 1949)
10 AGAMA BESAR DUNIA
dan dunianya. Dan sesudah itu baru menemukan penjelasan atas
apa yang mereka perbuat. Agama pertama dari manusia, yakni
ritual yang paling awal mengandung suatu makna perlambang dan
dimaksudkan untuk suatu tingkat kebijakan atas peradaban tertentu.
Tidak mungkin itu berasal dari masyarakat yang primitif yang
melaksanakan upacara-upacara dari orang yang berbudaya. Betapun
mereka secara mekanik meniru gerakan-gerakan yang berbeda dari
ritual itu tanpa mempunyai ide tentang makna simboliknya.
Ritual agama pertama, di mana gambaran agama lainnya
berkembang dengan berlalunya waktu adalah merupakan sejenis
upacara yang diperbaharui kembali. Di masa-masa yang sangat
purbakala, ada kebiasaan dari beberapa kaum untuk memilih
seorang pemuda untuk dijadikan calon korban dalam upacara
agama dan menjaganya dengan penuh penghormatan seperti dewa
selama setahun. Dia diperlakukan sebagai tamu pribadi dari seluruh
kaum, dan segala keinginannya dipenuhi. Namun pada akhir tahun,
dalam upacara keagamaan, maka dia disembelih dan bagian
potongan dagingnya dimakan dan darahnya diminum untuk
memberi kehidupan baru kepada para pesertanya. Dipercayai oleh
mereka, bahwa bilamana upacara ini tidak diadakan maka dunia ini
akan menjadi mati. Dengan berlalunya waktu, maka calon korban
yang terpilih tadi selagi berada di tengah-tengah kebahagian hidup
itu, dia dikejar-kejar oleh bayangan akhir nasibnya yang
menggelisahkan. Maka disepakati oleh para pendeta untuk
digantikan dengan yang lain untuk disembelih dan orang yang
sesungguhnya terpilih akan diberhentikan sementara waktu serta si
penggantinya dipaksa menempati kedudukan tersebut untuk
selanjutnya dikorbankan. Selanjutnya, pengganti sebelumnya itu
meneruskan tempat yang dimuliakan sehingga menjadi semacam
raja yang tetap. Lord Raglan menelusuri asal usul ide ketuhanan
seperti lembaga kerajaan dari calon korban upacara keagamaan.
Orang yang asli terpilih sebagai calon korban upacara agama
PENDAHULUAN 11
tersebut bahkan bisa menjadi tamu tetap dalam kaumnya adalah
raja yang pertama merangkap sebagai tuhan pertama yang hidup,
sedangkan para penggantinya disembelih dari tahun ke tahun. Bila
di belakang hari, ketuhanan dianggap sebagai suatu yang terpisah
dan dibedakan dari dirinya, maka ide tentang tuhan yang tidak
nampak mulai lahir dan manusia yang dianggap sebagai raja serta
tuhan yang hidup mulai dipercayai sebagai penjelmaan tuhan yang
tidak kelihatan atau sebagai putraNya. Dengan berlalunya waktu,
beberapa dongeng tentang Tuhan Juru Selamat pun diadakan
berdasarkan ritual tersebut. Dipercaya mereka, bahwa dengan
kematian dan kebangkitanNya maka Tuhan telah memberikan
kehidupan yang baru dan keselamatan bagi umat manusia. Upacara
yang paling penting berhubungan dengan kultus Tuhan Juru
Selamat adalah upacara makan daging dan minum darah secara
simbolik yang dianggap sebagai membawa berkah bagi seluruh
pesertanya dan bersatu dengan Dia.
Harus kita akui, bahwa setiap teori yang disebutkan di atas
tersebut memang mengandung beberapa unsur kebenaran. Teoritoeri
ini telah memberi jawaban yang memuaskan terhadap asalusul
berbagai kepercayaan dan adat istiadat sampai sekarang yang
masih terdapat di berbagai kelompok. Tetapi tidak satu pun dari
mereka bisa dikatakan telah menjelaskan agama secara
keseluruhan. Banyak kepercayaan dan praktik-praktik keagamaan
yang asal usulnya, baik diambil secara individual maupun kolektif,
tidak bisa diterangkan secara demikian. Masing-masing dari teori
ini, menarik anggapan bahwa agama telah berkembang dari yang
kasar kepada bentuk yang diperhalus, dari politeisme primitif
kepada monoteisme bermoral. Hal ini, walau bagaimanapun tidak
ditunjang oleh fakta-fakta lain yang digelar di hadapan kita.
Sebagai misal, Andrew Lang, berdasarkan beberapa fakta yang
tidak terbantahkan tentang masyarakat pra sejarah dan primitif,
mengetengahkan suatu “hipotesis tentang Dzat Yang Maha Kuasa
12 AGAMA BESAR DUNIA
yang telah ada dalam bentuk yang paling awal di kalangan orangorang
biadab, tetapi belakangan dikacaukan menjadi penyembahan
nenek-moyang dan tuhan-tuhan siluman”.8
Pater W. Schmidt mempergunakan tesis Lang dan telah
menulis panjang lebar tentang konsepsi Satu Tuhan yang mengatasi
segala tuhan-tuhan yang ada di kalangan orang pra sejarah. Schmidt
menyatakan bahwa bukti-bukti yang pasti sekarang tersedia telah
membuktikan bahwa “Tuhan Yang Maha Tinggi di dalam
bentuknya yang paling tua telah terbentuk sebelum seluruh elemen
dari agama, apakah itu penyembahan alam, jimat animisme,
penyembahan arwah, totemisme atau magisme yang diturunkan
sebagai asal mula agama menurut teori evolusi keagamaan”.9
Dari sini jelaslah bahwa ide-ide keagamaan yang lebih
berkembang, misalnya keimanan kepada satu Tuhan Yang
Mengatasi segalanya merupakan sumber segala kebajikan dan yang
mewajibkan untuk mencegah segala bentuk kejahatan, beramal
kebaikan dalam ketaatan kepadaNya telah ada berdampi-ngan
dengan adat kebiasaan yang primitif dan kasar seperti
penyembahan nenek moyang, fetisisme, totemisme, dan sebagainya
dari saat permulaannya dan di segala zaman. Tidaklah tepat untuk
menyatakan bahwa yang belakangan itu berkembang dari yang
terdahulu. Hal ini hanya mendorong kepada satu kesimpulan bahwa
ada dua macam sumber agama yang berbeda secara keselu-ruhan,
baik dalam kepercayaannya maupun dalam amalannya, yakni
agama buatan tangan manusia dan agama wahyu. Agama buatan
manusia termasuk didalamnya animisme, penyembahan kepada
jenazah nenek-moyang, para raja, dan upacara serta korban-korban
magis yang tak keruan bentuknya. Inisiatif dan naluri keagamaan
mendorong dia mencari atribut upacara melalui beberapa benda,
untuk menemukan dan mengadopsi semua bentuk ritual. Tetapi
8 Andrew Lang, The Making of Religion (London, 1949)
9 Pater W. Schmidt, High Gods in North America (Oxford, 1933), p. 3
PENDAHULUAN 13
karena ketidakmampuan mental manusia untuk menangani tugastugas
tersebut, maka agama yang diciptakannya menjadi kosong
dari kebenaran dan tidak terhormat. Paling-paling hanya merupakan
ketidakpastian dalam menerka-nerka kebenaran. Pada bagian yang
kompleks ini sajalah yang disebut agama oleh para ahli antropolog
dan hanya bagian inilah yang telah berhasil diselidikinya.
Ide keagamaan dan amalannya yang lebih utuh serta
berkembang ada di luar jangkauan penelaahan para ahli antropologi
tersebut, dan ini adalah agama yang diwahyukan oleh Tuhan
kepada ummat manusia. Satu dan satu-satunya Tuhan tidak saja
menciptakan dan memelihara dunia ini, melainkan juga
mengenalkan Dirinya kepada ummat manusia dan membimbingnya
ke jalan yang benar. Dia tidak pernah melalaikan suatu kaum
ataupun suatu bangsa tanpa tuntunan yang sejati, sebab Dia adalah
Tuhan Pemelihara dan Pem-bimbing umat manusia. Segenap
agama-agama wahyu dalam bentuk aslinya mengajarkan keimanan
kepada satu dan satu-satunya Tuhan. Dia Yang Maha Baik, Yang
Maha Penyayang, Yang Maha Mengetahui, Yang Maha Kuasa, dan
yang mengajarkan ummat manusia untuk berserah diri kepada
kehendakNya serta beramal saleh. Sebab apa yang membuat ridho
Tuhan, bukanlah upacara dan korban-korbanya, melainkan
kebenaran, ketulusan, dan kebajikan. Bukti bahwa Dia
menginginkan kecintaan dari mereka kepadaNya, maka hendaknya
mereka mengasihi dan melayani makhluk-makhlukNya dengan
sebaik-baiknya.
Dua jenis agama ini, yakni agama buatan manusia dan agama
wahyu tentu saja sangat berbeda satu dengan lainnya. Tuhan telah
mengirim para Nabi dan para UtusanNya agar manusia membuang
agama-agama yang dibuat oleh tangan manusia dan menggunakan
agama yang diwahyukan. Tetapi adat-istiadat lama sukar sekali
dihilangkan. Beberapa bagian dari agama bikin-bikinan manusia ini
tetap tertinggal dan terserak dalam agama wahyu. Para pendeta dari
14 AGAMA BESAR DUNIA
agama yang lama dan orang-orang yang percaya dengan setengah
hati kepada agama wahyu ini, mendapatkan bahwa lebih enak dan
menguntung-kan untuk tetap menjalankan praktik-praktik adat
kebiasaan lama. Mereka membangkitkannya lagi setelah wafat
nabiNya dan mencampurinya dengan kepercayaan serta amalan dari
agama wahyu. Dengan berlalunya waktu, roh semangat itu lenyap
dan agama wahyu pun menjadi rusak dan tafsiran-tafsiran bikinan
manusia menyusup ke dalamnya. Maka kita dapati bahwa sebagian
besar agama-agama yang ada adalah campuran dari bagian-bagian
yang terambil oleh tangan-tangan manusia serta agama yang
diwahyukan.[]

0 komentar:

Posting Komentar

copyrigt; Juned Topan.. Diberdayakan oleh Blogger.