Rabu, 06 April 2011

Taswuf amali

Miftahul Huda,Dr.H.M.Ag UIN Malang
HomeBlogPhotosCalendarReviewsMarketLinks

Blog Entry Dinamika Tasawuf (Dari Abad Pertengahan Sampai Kontemporer) Dec 2, '08 7:55 AM
for everyone

Tradisi Ilmiah

Kajian tasawuf pada abad 3 dan 4 H terdapat dua kecenderungan para tokoh. Pertama cenderung pada kajian tasawuf yang bersifat amali yang didasarkan pada Alquran dan assunnah. Kedua cenderung pada kajian tasawuf falsafati dan banyak berbauar dengan kajian filsafat metafisika.

Dalam lingkungan aliran pertama diantaranya muncul tiga orang penulis aliran tasawuf terkenal yang buku-bukunya masih dapat ditemukan dewasa ini.(1) Abu Nasr As-Sarraj Attusi, seorang penulis kitab besar dan fundamentalis dalam tasawuf berjudul Kitab Al Luma’(2) Abu Thalib AlMaki membuktikan keabsahan dari doktrin dan praktek sufi dalam karyanya Qut Alqulub (3) Abu Bakar Alkalabazi penulis buku kecil Ta.aruf li Madzhab Attasawuf. Ketiga penulis tersebut telah memperkenalkan doktrin dan praktek tasawuf yang muncul pada abad 4 H dan sebelumnya.

Sedangkan pada lingkungan aliran kedua terdapat Zunun Almisri. Dia seorang sufi yang juga ahli kimia, mengetahui tulisan hieroglif Mesir Kuno dan akrab dengan pengetahuan hermetis (kedap udara). Dikenal sebagai Bapak Makrifat. Menurutnya pengetahuan tentang Tuhan mempunyai tiga tingkatan 1) pengetahuan awam yaitu pengetahuan tentang Tuhan dengan perantara ucapan syahadat, 2) pengetahuan ulama, dimana tuhan dikenal lewat logika dan akal 3) pengetahuan sufi, yaitu pengetahuan Tuhan dengan hati nurani dan sanubari.

Tokoh lain adalah Yazid Al Bustami dengan ungkapan as sakr (mabuk ketuhanan), fana dan baka (peleburan diri untuk mencapai keabadian dalam diri ilahi) dan ittihad (bersatu dengan Tuhan). Satu lagi Tokoh yang paling controversial adalah Aljallaj dengan teori al hullul nya yakni paham yang menyebutkan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya, setelah sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh dilenyapkan.

Perkembangan tasawuf abad 5 H bisa dikatakan sebagai kemunduran tasawuf falsafati dan berjayanya tasawuf amali-suni. Hal ini didukung oleh keunggulan aliran asariyah dalam teologi yang sejalan dengan tasawuf Suni. Dan puncak kecemerlangan abad ini pada masa alghozali dengan karya tulisnya yang cukup terkenal yakni Ihya Ulumuddin. Dalam karyanya tersebut beliau dengan ilmunya yang luas dan dalam mendamaikan teologi, fiqh dan tasawuf. Ia juga membahas secara luas tentang peran ibadah dalam kehidupan, dosa-dosa yang membinasakan manusia dan jalan menuju keselamatan berupa maqom dan ahwal.

Sedangkan perkembangan tasawuf setelah abad 5 H, yakni 6-7 H mengalami puncak pada masa Ibnu Arabi dengan teorinya Wahdatul Wujud yakni memandang wujud mutlak dan haqiqi itu adalah Allah. Sedangkan fenomena alam yang serba ganda ini hanya merupakan wadah tajali (penamapakan lahir diri)

Dalam lapangan tasawuf amali muncul pemuka-pemuka tarekat yang besar dengan ide-idenya yang cemerlang. Akan tetapi setelah abad 7 H tidak ada lagi tokoh-tokoh besar yang membawa ide tersendiri dalam pengetahuan tasawuf. Kebanyakan dari mereka hanya mengembangkan ide para pendahulunya. Misalnya Abdul Karim bin Ibrahim Aljili dengan bukunya alinsan alkamil. Ia hanya melacak kembali teori wahdatul wujud.

Ada lagi Abdul Wahab Asy Sy’aroni seorang sufi yang berpengetahuan luas dengan ciri buku-bukunya penuh tahayul serta ungkapan-ungkapan yang menonjolkan diri sendiri. Kemudian muncul lagi tokoh Syekh Muhammad Isa Shindi al Burhanpuri Al Hindi dengan bukunya At Thufat al Mursalah yang mengembangkan teori wahdanul Wujud menjadi ajaran martabat Tujuh.



Dinamika Kultural

Pada periode sekarang dinamika tasawuf menunjukkan gejala baru, dengan mencoba menilik fenomena tasawauf kontemporer di Indonesia. Akhir-akhir ini seringkali diadakan acara dzikir dan atau do’a bersama yang tidak saja dilakukan oleh organisasi keagamaan, tetapi organisasi kemasyarakatan bahkan organisasi politik. Demikian maraknya, sebuah televisi menayangkan satu acara yang bertajuk "Indonesia Berdzikir". Fenomena itu menjadi begitu menarik karena dari sisi materi, acara itu tidak menyuguhkan satu hal yang istimewa. Pada umumnya, apa yang di-sampaikan merupakan materi yang bersifat muhasabah disertai zikir-zikir yang mengagungkan nama Tuhan. Materi zikirnya pun tidak nampak mewakili sebuah aliran tarekat mana pun.

Memang itu merupakan satu fenomena yang baru muncul. Kalau dilihat dari segi isinya, tidak ada yang istimewa. Mereka mencoba untuk menelisik kesadaran umat Islam dan mengingatkan akan dosa-dosa mereka, kewajiban-kewajiban mereka kepada Allah. Intinya, acara itu adalah acara pertobatan. Tema tentang pertobatan memang menjadi tema yang sangat pas dan dibutuhkan oleh umat sehingga suasana seperti yang kita lihat di televisi dengan mudah bisa tercipta.

Fenomena itu tidak hanya dilihat dari sisi materinya, tetapi dari sisi ritual yang dipraktikkan. Hal itu tampaknya sudah menjadi bagian dari ibadah. Mereka bisa masuk ke dalam suasana yang khidmat, khusyuk, dan tenang. Dan, suasana seperti itu tentu saja sangat berpengaruh pada kondisi psikologis mereka.

Memang ada beberapa orang yang melihat bahwa "ritual" itu hanyalah seperti obat penenang yang memberikan ketenangan untuk waktu sesaat. Hal itu hanyalah muhasabah sesaat, nangis sesaat, dan setelah itu mereka lupa lagi dan melakukan kesalahan lagi. Persis seperti seorang yang mengonsumsi shabu-shabu atau ekstasi. Alangkah lebih baik jika kita nangis ketika melihat anak-anak gelandangan yang terlantar atau orang-orang miskin yang tersisihkan dan tidak mendapat perlindungan.

Topik utama perhatian bukanlah pada seberapa lama mereka menyerap kesadaran itu karena ada banyak dari mereka yang tetap memelihara kesadaran itu ketika keluar dari majelis. Yang menarik adalah bahwa hal itu telah menjadi ikon baru kebudayaan, sebuah ritual baru yang berfungsi untuk mengasah spiritualitas umat. Kegiatan ritual seperti ini memang sangat dibutuhkan oleh orang-orang kota. Mereka merasa bahwa dalam kegiatan semacam ini mereka bisa mendapatkan sesuatu yang selama ini dicari-cari. Ritual itu bisa mereka lakukan dengan mudah dan mereka juga bisa mendapatkan ketenangan yang diidamkan secara lebih cepat.. Sebenarnya, kegelisahan macam apa yang saat ini sering dialami oleh orang-orang kota atau orang-orang metropolis sehingga mereka merasa membutuhkan "sesuatu" untuk menyingkirkan kegelisahan mereka?

Salah satu sebab utama adalah gejala kehidupan yang individualistik. Kehidupan kota dipenuhi oleh persaingan atau rivalitas yang sangat ketat sehingga kadang-kadang, nilai-nilai moral atau nilai-nilai keagamaan menjadi terkotak-kotak. Setiap orang menjadi lebih mudah bercuriga, iri, dan merasa tertekan melihat kemajuan yang dicapai orang lain. Belum lagi saat ini kita hidup di era teknologi informasi yang membuat kita cenderung untuk berinteraksi secara instan dan fungsional. Setiap orang akan berhubungan dengan orang lain jika dia merasa bisa mendapatkan sesuatu yang dia inginkan dari orang lain. Di samping itu, informasi yang bisa dengan mudah diakses oleh setiap orang, membuat kita tak perlu lagi berhubungan dengan orang lain. Semua hal itu, tanpa disadri, telah membuat maysarakat kota merasa terpenjara dan terasingkan di dunia yang ramai. Ritual pertobatan menjadi semacam media untuk melepaskan belenggu-belenggu yang mengikat mereka.

Seandainya majelis yang diselenggarakan itu sifatnya majelis ilmu, tak akan banyak orang yang datang, karena bukan itu yang dicari oleh orang-orang. Mereka ingin mendapatkan ketenangan dan kedamaian hati serta celah-celah untuk melepaskan belenggu yang mengikat mereka dengan cara yang instan dan cepat. Fenomena Aa Gym, misalnya, dia menjadi sosok panutan karena bisa langsung menyentuh dan memberikan apa yang dibutuhkan oleh orang-orang saat ini. Mereka tidak membutuhkan konsep-konsep keberagamaan yang rumit dan melelahkan. Tempo hidup di perkotaan yang begitu cepat membuat setiap orang butuh akan media release yang cepat pula.

Komunitas masyarakat seperti gambaran diatas umumnya tidak sampai pada tahap mempertanyakan masalah teologis dan keeagamaan yang lebih rumit seperti konsep tentamg ketuhanana dan hubungan antara manusia dengan Tuhan. Akan tetapi masalah yang lebih banyak mereka kemukakan lebih pada tataran praktis. Tasawuf yang dipertanyakan dan diamalkan juga lebih cenderung pada tasawuf praktis /amali. Misalnya, bagaimana kita bisa bersikap ikhlas atau bagaimana kita bisa memperoleh ketenangan lewat zikir. Mereka tidak pernah membicarakan tema-tema tasawuf yang agak rumit, kecuali pada beberapa orang tertentu, itu pun hanya dalam obrolan-obrolan selintas.

Selain itu, saat ini banyak sekali buku-buku yang menunjang pengetahuan kita tentang tasawuf yang mana tidak semua buku-buku tasawuf yang terbit saat ini berisi konsep-konsep yang bersifat akademis dan rumit. Ada beberapa buku yang mencoba untuk langsung menyentuh lahan-lahan spiritual yang dibutuhkan oleh banyak orang saat ini. Misalnya buku-buku yang menjelaskan tentang ikhlas, zuhud, sabar, dan sebagainya. Jadi, memang ada sebagian orang yang ingin memperoleh kesejukan dan kedamaian seperti itu. Ini di tingkat awam seperti yang telah diungkap di awal. Dalam forum-forum zikir, hampir bisa dipastikan bahwa di situ tidak banyak kaum akademisi karena kebutuhan kaum akademisi bukan di situ, tetapi lebih pada analisis ilmiahnya.

Jika kaum awam lebih membutuhkan konsep-konsep yang lebih simbolis, kaum akademisi lebih membutuhkan hal-hal yang lebih substansial. Kebutuhan mereka terletak pada epistemologi, peradaban, dan konsep-konsep keberagamaan yang lebih membutuhkan penelusuran pemikiran serius. Hal-hal semacam itu dibutuhkan untuk mengimbangi efek-efek yang dimunculkan oleh peradaban Barat yang telah kehilangan nilai-nilai transendental atau spiritualnya. Kemajuan yang didapat berkat kebudayaan dan peradaban Barat di sisi lain memunculkan kekosongan spiritual sehingga mereka berupaya untuk mencari konsep-konsep yang bisa menjawab kegelisahan mereka.

Di samping itu, pendidikan selama ini, kecuali di beberapa pesantren, sangat bersifat Barat sentris, berdampak pada terciptanya ruang-ruang kosong dalam diri manusia. Akan tetapi, di Barat sendiri saat ini menggejala keinginan untuk mencari hal-hal yang luhur, agung, dan transendental dan objek pencarian mereka lebih bersifat substansial, seperti yang terungkap dalam adagium "spiritualism yes, religion no!". Mereka ingin memperoleh kedamaian ruhani diluar jalur agama. Inilah yang berlawalanan dengan semangat tasawuf, karena spiritualitas islam ini tidak dapat dilepaskan dari syari’at dengan dasar falsafah yang kokoh, sehingga memunculkan amaliah yang membawa berkah bagi kehidupan manusia.

0 komentar:

Posting Komentar

copyrigt; Juned Topan.. Diberdayakan oleh Blogger.