Kamis, 07 April 2011

Bab I AGAMA HINDU

dari bagian-bagian
yang terambil oleh tangan-tangan manusia serta agama yang
diwahyukan.[]
􀁛􀁕􀁜
BAB I
AGAMA HINDU
Dari seluruh agama yang masih hidup mungkin agama Hindu
yang tertua. Agama ini adalah sinkretisme yang dibentuk dari
kompromi antara berbagai jenis agama dan kebudayaan di anak
benua India. Dua aliran agama yang bercampur dalam agama
Hindu, yakni Dravida dan Indo-Aria
AGAMA BANGSA DRAVIDA
Bangsa Dravida telah mencapai tingkat kebudayaan yang
sangat tinggi jauh sebelum munculnya bangsa Aria di anak benua
Indo-Pakistan. Ada bukti sejarah bahwa pada tahun 2500 sM
peradaban di lembah sungai Indus telah dibangun bangsa Dravida
dan sudah cukup maju di negeri yang sekarang disebut Pakistan.
Mereka berbudaya petani serta mahir baca tulis, menggunakan
tembaga, dan perunggu, tetapi belum memakai besi dalam
persenjataan, serta mempunyai hubungan dagang pada waktuwaktu
tertentu dengan Sumeria dan Akkad. Reruntuhan dari dua
ibukota kembarnya, yakni Harappa di Utara dan Mohenjo Daro di
Selatan dilandasi dengan rancangan bangunan yang sama dan ini
menyajikan bukti tentang masyarakat yang sangat terorganisir dan
ber-kembang dibawah suatu sistem pemerintahan yang kuat dan
terpusat. Mereka menghasilkan juga beberapa karya seni dan
kerajinan yang menakjubkan.
Kita tidak mengetahui sebanyak yang kita inginkan mengenai
agama Dravida. Peninggalan tulisan mereka berbentuk semacam
tulisan bergambar yang sampai sekarang belum terpecahkan.
Namun beberapa gambar timbul yang didapati di Harappa serta
12 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
Mohenjo Daro memberi kita beberapa kunci sifat agama mereka.
Berbagai gambar wanita di berbagai tembikar membuat kita berfikir
bahwa ada beberapa bentuk penyembahan terhadap tuhan ibu di
kalangan mereka. Juga ada suatu candi yang menunjukkan bentuk
wanita yang dari perutnya keluar suatu tanaman, dan ini
menunjukkan ide dari dewi bumi yang berhubungan dengan
tanaman. Dewi-dewi semacam itu adalah biasa dalam agama Hindu
sekarang. Juga ada beberapa sajian pada candi-candi yang
ditemukan di lembah Indus dari tuhan wanita, bertanduk dan
bermuka tiga yang duduk dalam posisi yoga, kakinya bersila
dikelilingi oleh satu candi berbentuk empat ekor binatang buas,
gajah, macan, badak, dan banteng. Ini adalah prototipe dari dewi
Hindu yang sebagai tuhan utama Shiva tuhan dari binatangbinatang
buas dan pangeran yogi.
Juga ada bukti di kalangan bangsa dari Lembah Indus ini,
orang-orangnya menyembah phallic dengan penyajian kelamin lakilaki
dan kelamin wanita; penyembahan pohon suci; khususnya
pohon pipal sebagai apa yang dimakan binatang binatang suci,
seperti banteng yang membungkuk, sapi, dan ular naga. Semua
gambaran ini menunjukkan binatang suci dalam agama Hindu.
Semua gambaran lain yang ada di agama Hindu juga ditemui,
seperti penyembahan patung, bertapa dengan cara-cara yoga,
bermeditasi, berkumpul dan mandi bersama-sama di sungai. Ajaran
inkarnasi (avtar) dan penitisan pun adalah sumbangan bangsa
Dravida ke dalam agama Hindu.
Peradaban lembah Indus ini berakhir secara mendadak antara
tahun 2000 sampai dengan 1500 tahun sebelum masehi. Taraf
terakhir dari peradaban ini adalah saat-saat kekacauan dan
kesukaran. Ada bukti-bukti yang tak terelakkan tentang adanya
kekerasan, perampokkan, dan kebinasaan yang dilakukan oleh
penyerang-penyerang asing. Peradaban kaum yang baru ini adalah
perusak peradaban lembah Indus yang datang berkelompok besar
AGAMA HINDU 13
dan bergelombang-gelombang, dan mereka jauh lebih primitif
dibanding dengan bangsa Dravida baik cara hidup kepercayaan,
maupun praktik keagamaan mereka secara menyeluruh
AGAMA WEDA
Para ahli sejarah menyatakan tentang pendatang baru ini
termasuk ras Indo-Eropah yang menyebut diri mereka sebagai
bangsa Arya. Untuk keterangan mengenai peradaban dari agama
bangsa Aria ini kami berpegang penuh kepada Kitab Weda yang
merupakan kumpulan puji-pujian yang termasyhur, terdiri dari
empat yang termasyhur, yakni Rig Weda, Yajur Weda, Sama Weda,
dan Atharwa Weda. Dari kesemuanya ini, Rig Weda adalah yang
paling awal dan yang paling penting serta berisikan 1028 pujipujian
Agama Indo-Aria sebagaimana ditemukan dalam Rig Weda
digambarkan sebagai penjelmaan alam. Dewa-dewi agama Weda
ini adalah penjelmaan lebih kurang sebagai pengejawantahan dari
daya-daya kekuatan alam. Agni adalah dewa api, Bayu adalah dewa
angin, Surya adalah dewa matahari, dan seterusnya. Mereka
dipandang sebagai makhluk yang lebih tinggi dari manusia, dan
kewajiban manusia untuk menyembah, mematuhi, dan memberi
sesaji kepada mereka. Jadi terdapat banyak tuhan dalam agama
bangsa Aria. K. M. Sen menulis: “Agama bangsa Aria sekarang ini
seperti tampak pada kitabnya adalah poleteisme, dan mempunyai
persamaan metologi dengan pasangannya di Eropah”.1
Walaupun demikian ada kira-kira seperempat dari puji-pujian
dalam Rig Weda ditujukan kepada Indra. Dia adalah dewa langit
biru, pengumpul awan, pencurah hujan, dan yang menurunkan
petir. Dia membantu para pemujanya, bangsa Aria dalam
1 K.M. Sen, Hinduism, Penguin Books, h. 18
14 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
membinasakan musuh-musuhnya di waktu peperangan. Agaknya
kurang biasa bahwa ditemukan minuman yang memabukkan yang
berasal dari sari tumbuhan yang merambat dan dikenal sebagai
somma. Yang secara moral lebih tinggi dari atau para dewa lainnya
adalah dewa yang memaksa dengan menakutkan , yakni Baruna
sebagai wakil dari langit tinggi. “Dewa ini”. Tulis Max Muller,
“adalah satu dari ciptaan yang paling menarik pemikiran Hindu,
karena walaupun kita dapat menangkap latar belakang fisik dari
munculnya dia, tetapi ia merupakan gambaran adanya dewa yang
lebih di atas dari semuanya. Ia adalah satu-satunya dewa yang
mengawasi seluruh dunia yang menghukum pembuat kejahatan dan
mengampuni yang bermohon ampunan kepadanya”.2
Ada satu aspek dari ide ketuhanan yang cukup menarik, yakni
kedekatan hubungan dengan apa yang digambarkan sebagai rta. Rta
berarti “cosmic order”, pemelihara dari segala tuhan-tuhan yang
ada dan akhirnya dikenal sebagai “kebenaran”.
Bentuk penyembahan yang utama dalam Kitab Weda adalah
Yajma, yakni upacara pengorbanan kepada dewa-dewa. Para
hadirin melingkari seputar api pengorbanan dan sesaji dikumpulkan
didalamnya. Sesaji itu terdiri dari men-tega, susu, minuman yang
memabukkan, dan barang-barang lain semacam itu. Binatang utama
yang dikorbankan adalah kambing, domba, sapi, dan seringkali juga
kuda. Kurban itu terutama dimaksudkan sebagai cara
menyenangkan hati para dewa untuk memperoleh keberuntungan
dari mereka.
Dalam puji-pujian yang belakangan disebut dalam Rig Weda
kita melihat suatu perkembangan ke arah monoteisme. Hal itu
tumbuh dari tuhan Prajapati Sang Pencipta. “Tetapi,” tulis Dr.
2 Max Muller, India, What It Can Teach Us? (Longman Green and Co, Calcutta, 1934),
hh. 169 - 170
AGAMA HINDU 15
Radkhakrishna, “monoteisme ini belum sedemikian tajam dan
langsung seperti halnya di dunia modern”.3
Di samping beberapa puji-pujian yang mengakui Prajapati
sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa dan Tuhan dari segala ciptaan,
tetapi pada kenyataannya ada dewa-dewi lain tidaklah disangkal.
Sebagaimana dikatakan Max Muller, “Dengan konsepsi yang
menyatakan Prajapati sebagai Tuhan dari semua yang diciptakan
dan penguasa dari dewa-dewa, pencarian terhadap monoteisme
sudah terpuaskan walaupun tidak diingkari adanya dewa-dewa”.
Walaupun dalam ayat-ayat Rig Veda kita tidak dapati benih
agama monoteisme yang sejati tetapi terselubung konsep
monoteisme. Dialah yang SATU dengan bermacam macam nama
seperti Agni, Yama, Matarisvan (Rig Veda I, 164:46)
Tidak adanya penyebutan dalam kitab Weda merupakan ciri
khas dalam praktik dan doktrin mereka. Tidak ada berhala, tidak
ada upacara mandi di sungai suci, tidak ada pertapaan yang tinggal
di hutan, tidak ada kerahiban atau pun tidak ada latihan-latihan
yoga. Juga tidak ada kewenangan dalam ajaran Hindu tentang Avtar
(penjelmaan kembali) dan metapsikososis (perpindahan jiwa).
Masyarakat Indo Arya dibagi menjadi tiga kelas, yakni ksatria,
pertukangan, dan ulama. Tetapi sebagaimana dikatakan Max Muller
tidak ada sistem kasta. Kaum wanita memperoleh hak kedudukan
yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat agama Hindu masa lalu.
Bila kita selesai menelaah Rig Weda dan masuk ke Atharwa
Weda, maka kita melihat kemerosotan yang besar dalam agama
yang kini menjadi nama lain dari takhayul dan praktik guna-guna.
Dr. Radhakrishnan menulis:
“Agama menurut Atharwa Weda adalah agama untuk orangorang
primi-tif, di mana isi dunia ini penuh dengan arwah orang
mati yang tanpa bentuk. Ketika dia menyadari ketidakmampuan
3 S. Radhakrishnan, Indian Philosophy, Vol. 1, h. 26 (George Alen and Unwin, London,
1923)
16 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
terhadap kekuatan alam, dan kodratnya yang dengan pasti menuju
ke kematian, maka mereka membuat kematian dan penyakit,
kegagalan dan gempa bumi sebagai permainan dari fikirannya.
Dunia ini menjadi penuh sesak dengan roh-roh dan dewa-dewa
yang dapat ditelusuri pada roh-roh yang tidak puas. Bila seseorang
jatuh sakit, dukun yang dikirim bukan dokter, dan dia melakukan
permainan-permainan untuk mengusir roh dari pasien itu. Daya
kekuatan yang menggentarkan hanya dapat ditangkal dengan
pengorbanan darah manusia atau binatang. Ketakutan akan
kematian memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada takhayul”.4
AGAMA BRAHMA
Dengan berlalunya waktu, kaum Indo Arya maju melewati
Punjab dan memasuki Lembah Gangga dan Jamuna. Mereka
berhasil menindas penduduk asli dan diturunkan derajatnya menjadi
budak (Sudra). Selama periode ini juga berlangsung pertempuran di
dalam masyarakat Indo Arya sendiri, di antara para perwira
(kesatria) dan ulama (Brahmana). Tadinya para kesatria di atas
tetapi kini kaum Brahmana meningkat sebagai golongan paling
tinggi dan paling berkuasa. Mereka mendapat kesenangan dengan
berlalunya waktu, dan hampir-hampir mendekati tingkat ketuhanan
serta diberikan kepada mereka kehor-matan sebagai kasta yang
paling tinggi. Sistem kasta yang tidak adil, tepat bersamaan dengan
adanya agama baru di kalangan mereka dan ini ditunjukkan
sebagaimana adanya agama Brahmana
Kitab-kitab yang disucikan oleh Brahmana disusun oleh
pendeta agama Brahmana sekitar abad kedelapan sebelum masehi
untuk menjelaskan asal usul mukjizat dan daya kekuatan
pengorbanan. Kitab tersebut juga memberi rincian secara monoton
4 The India Philosophy. Vol. I, p. 119-120
AGAMA HINDU 17
dan tidak masuk akal bagaimana upacara suci itu dilangsung-kan.
Kitab itu juga dipenuhi dengan dongeng-dongeng yang aneh-aneh,
baik dari manusia maupun dewa-dewa dalam menggambarkan
upacara pengorbanan.
Pengorbanan, seperti dikutip Professor Hopkins, “menjadi
seperti mesin giling yang bekerja untuk meramalkan pahala di masa
datang dan juga berkah saat ini”. Hal itu akhirnya dianggap suatu
upacara magis dan pengaruhnya tergantung kepada penyajian yang
tepat. “Yang lebih penting dicatat dari pekerjaan yang ruwet ini”,
tulis Professor Hiriyana, “adalah perubahan yang terjadi pada jiwa
pemberian korban kepada para dewa pada kurun waktu ter-tentu.
Upacara itu lebih cenderung untuk memaksa atau mendesak dewadewa
agama agar memberikan apa yang diinginkan oleh orang yang
memberikan korban. Perubahan yang terjadi pada jiwa pengorbanan
ini dicatat oleh banyak kalangan cendekiawan masa kini sebagai
tahap masuknya bagian-bagian magis dalam Agama Weda dan
diambil sebagai tandingan perpindahan kekuatan dari dewa-dewa
kepada para pendeta”.5
Dalam agama Brahmana ini, pertama kali kita dapati
peningkatan kitab Weda sebagai kitab suci. Kitab Weda sendiri
tidak pernah mengeluarkan pernyataan demikian.
AGAMA UPANISHAD
Tingkat selanjutnya dalam perkembangan fikiran keagamaan di
India membawa kita kepada revolusi pertama terhadap kaum
Brahmana. Buah fikiran dari para Rishi atau kisah-kisah
kepahlawanan dari orang-orang yang mendapat ilham Ilahi telah
mengakibatkan perkembangan yang menakjubkan dan ini
dikandung dalam Kitab Upanishad. Professor Hiriyanna menulis:
5 M. Hiriyanna, The Essentials of Indian Philosophy (London: George Allen and Unwin
Ltd, 1948), h. 17
18 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
“Berbicara lebih luas lagi, ajaran Upanishad menandakan suatu
reaksi terhadap kaum Brahmana yang sebagaimana ditunjukkan
telah menanamkan suatu sistem upacara agama yang pelik. Lebih
dari satu tempat, kitab Upanishad mengutuk nilai-nilai upacara
pengorbanan”.6
Kisah-kisah kepahlawanan yang terdapat dalam Upanishad
mengutuk para pendeta Brahmana dan upacara-upacara mereka
yang mengandung istilah tidak menentu.
“Terbatas dan sementaralah hasil dari upacara-upacara agama
orang-orang yang sesat dan menganggap itu sebagai tujuan
tertinggi, mereka hanya berada dalam ritual lahir dan mati saja.
Kehidupan mereka dalam jurang kebodohan namun merasa bangga
dan terus berputar-putar, ibarat orang buta menuntun orang buta
lagi. Hidup dalam jurang kebodohan itu dikiranya mendapat
berkah. Mereka terikat kepada upacara korban dan tidak mengenal
Tuhan” (Mundaka Upanishad, I.2 : 7 – 8).7
Dogma yang penting dalam kepercayaan Brahmana adalah
keyakinan ten-tang keabadian dan asal-usul ketuhanan dari Kitab
Weda. Kisah kepahlawanan Angiras tidak diragukan lagi telah
menolak dogma ini:
“Mereka yang mengenal Brahmana (Tuhan),” jawab Angiras,
“mengata-kan bahwa ada dua macam ilmu yang satu lebih tinggi
dan yang satu lagi lebih rendah, yakni pengetahuan tentang kitab
Weda – Rig, Sama. Yajur dan Atharwa – dan juga tentang phonetik,
upacara, tata bahasa, etmologi, ukuran, dan astronomi. Ilmu yang
lebih tinggi adalah pengetahuan mengenal yang tidak pernah
berubah”. (Mudaka Upanishad, I. 1 : 3,4)
6 The Essentials of Indian Philosophy, h. 18
7 The Upanishads, terjemahan Swami Prabhavananda dan Freerick Machester (Mentor
Book). Terjemahan lain dari kaitan Upanishad dan dipetik dalam bab ini diambil dari (i)
F.Max Muller (Sacred Book of the East); (ii) Juan Mascaro (Penguin classics)
AGAMA HINDU 19
Kandungan utama Upanishad adalah Keesaan Ilahi. Upanishad
menyebut-kan Tuhan Satu-Satunya Kebenaran adalah Brahman. Di
sana ditulis:
“Dia yang abadi di antara semua yang fana, yang menjadi
kesadaran suci umat manusia, SATU-SATU zat yang menjawab
doa dari semua orang ... Dia tidak diciptakan tetapi Maha Pencipta:
Mengetahui semuanya. Dia lah menjadi sumber kesadaran suci,
pencipta waktu, Maha Kuasa atas segala hal. Dia tuhan dari jiwa
dan alam ini ... sumber cahaya dan abadi dalam kemuliannya. Hadir
di mana-mana dan mencintai makhlukNya Dia penguasa terakhir
alam dunia ini dan tidak satu pun dapat terjadi tanpa izin Nya...
Saya pergi ke haribaan Tuhan yang SATU dalam keabadian,
memancarkan cahaya yang indah dan sempurna, di dalam Nya kita
akan mendapat kedamaian” (Svetasvatara Upanishad VI : 13: 19)
“Dia tidak terbentuk dari kesadaran dan di luar jangkauan
seluruh fikiran, tidak terbatas dan Dia adalah Tuhan. Dia membalas
semua perbuatan baik: Abadi, Esa, tidak berawal, menengah, dan
berakhir.
Ia transenden dan imanen, tidak hanya di dalam alam semesta
dan jiwa manusia, tetapi juga di luar alam semesta ini.
“Zat yang memancar dan tidak berbentuk. Ia di dalam semua
dan tanpa semua. Ia tidak dilahir, suci, lebih agung dari yang
teragung, tanpa nafas, tanpa jiwa” (Mundaka Upanishat, II, I:2)
Terminologi lainnya yang sering digunakan Upanishads adalah
Atman. Yakni “pribadi individual”, sebagai pembeda dari Brahman
yang berarti “pribadi alam semesta”. Atman walau demikian bukan
berarti badan, dan bukan juga fikiran, hidup, dan jiwa. Ia adalah ruh
yang intinya diri sendiri. Upanishads di berbagai tempat membuat
pernyataan yang mengejutkan bahwa “Atman adalah Brahman”
(atau dengan perkataan lain di Chandogya Upanishad, “That art
Thou”), tetapi itu tidak terlalu mengejutkan dibanding dengan
pernyataan Jesus, “Aku dan Bapak adalah satu”, atau dengan ahli
20 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
sufi Masur al-Hallaj, “Ana’l Haqq” (Aku adalah Kebenaran).
Pernyataan ini berarti bahwa Tuhan memanifestasikan tiap pribadi
jiwa, atau seperti yang dinyatakan dalam Al Qur’an bahwa Tuhan
meniupkan RuhNya ke dalam setiap manusia. Secara tidak
langsung dimungkinkan bahwa bersatunya jiwa dengan Tuhan, dan
dalam kenyataannya ekspresi tersebut dinyatakan ketiadaan pribadi
(oneness), Tuhan sendiri yang akan berbicara melalui mulutnya
merupakan pernyataan sufi, sebagai ungkapan kegembiraan
bersatunya kesadaran Tuhan dan melupakan dirinya, sehingga
terucapkan “Aku adalah Kebenaran”.
Upanishads mengatakan kepada kita bahwa tujuan dari
kesadaran spiritual dari manusia adalah mencari Tuhan, untuk
mengetahuiNya dengan bersatu seseorang denganNya.
“Brahman adalah akhir dari suatu perjalanan. Brahman adalah
tujuan tertinggi. Brahman ini, Pribadi, tersembunyi secara
mendalam dalam semua ciptaan, dan tidak juga diwahyukan ke
semua, tetapi berada di hati yang suci, terkonsentrasi dalam jiwa ...
kepadanyalah Dia diwahyukan”. (Katha Upanishad 3: 11-12)
Dan apa yang dikatakan Katha Upanishad tentang cara-cara
untuk mem-bimbing manusia ke arah tujuan bersatu dengan Tuhan:
“Dengan belajar seseorang tidak dapat mengenal Dia bilamana
dia tidak berhenti dari berbuat jahat, bilamana tidak mengendalikan
pancainderanya, bila tidak menenangkan fikirannya, dan tidak
mempraktikkan meditasi” (Katha Upanishad 2 : 24)
Jalan itu dapat dibagi atas empat tingkatan: (1) tingkatan usaha
memperbaiki akhlak dan kesucian hati, (2) tingkat murid dan
belajar dari guru yang mendapat petunjuk (sravana), (3) tingkat
refleksi diri (manana), dan (4) tingkat meditasi (dhyana).
Isha Upanishad (ayat 12-14) menjadikan hal terakhir ini jelas
bahwa yang sejati itu bukan jalan penyiksaan atau pun
mengasingkan diri dan menarik diri dari kehidupan dunia. Ia adalah
Jalan Tengah.
AGAMA HINDU 21
AGAMA SRI KRISHNA
Sekarang kita sampai kepada gerakan agama besar yang kedua
yang menolak Weda dan berkembang bebas serta menentang
Brahmanisme. Agama itu dinamakan agama Bhagvata dan nabinya
Krishna. Prof. Garbae menulusuri lima tahapan yang berbeda dalam
sejarah perkembangan agama Bhagvata.8
Dalam taraf pertama, agama itu berkembang di luar
Brahmanisme. Agama itu bersifat monoteisme yang menekankan
kepada ketuluasan dan melaksanakan tugas kewajiban tanpa pamrih
lahiriah. Pada tahap ini, Krishna dianggap sebagai nabi yang
mendapat ilham dari Tuhan untuk mengajarkan agama yang benar.
Pada tahap kedua, Sri Krishna dipertuhankan setelah kematiannya
oleh para pengikut yang terlampau fanatik dan bodoh. Dalam tahap
ketiga yang terjadi 500 tahun SM terjadilah Brahmanisme agama
Bhagawat dan Sri Krishna dianggap sebagai Dewa Wisnu. Prof.
Hiriyanna menulis:
“Akhirnya keimanan monoteisme pun berubah dengan
berlalunya waktu dengan dikombinasikan ajaran Weda tentang
Wishnu Narayana; dan kombinasi ini terutama berperan dalam
menciptakan Tuhan dari ajaran Weda dan bahkan lebih dari Siwa.
Akhirnya Sri Krishna nabi dari agama Bhagawat dipertuhan-kan
dan dikenal sebagai Wishnu Narayana sebagai penjelmaan dari
Dia”.9
Tingkat keempat dalam perubahan bentuk agama Bhagvata
adalah ajaran Weda, yang paham utamanya adalah pengabdian
yang intensif kepada personifikasi dewa Wishnu, tidak hanya
sebagai pencipta dan pengrusak alam semesta. Jadi, ajaran Weda
selain itu menciptakan doktrin trinitas yang merupakan kesatuan
8 Richard Garbe, Philosophy of Ancient India (Open Court, Chicago, 1899)
9 M. Hiriyanna, The Essentials of Indian Philosophy, h. 35
22 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
dari Brahma, Wishnu, dan Shiwa sebagai penghargaan terhadap
tuhan Wishnu. Kedua penjelmaan dalam diri manusia dari Wishnu
dikatakan sebagai Krishna dan Rama. Akhir dari semuanya,
terjadilah ajaran Weda yang dibangun oleh ahli agama besar
Ramanuja, sebagai tokoh modifikasi Monoisme. (Visistadvaita).
Bhagawad Gita , kitab suci agama Bhagawad, dalam bentuk
yang sekarang ini termasuk dalam tahap keempat. Seperti itulah Sri
Krishna muncul didalamnya, yakni sebagai Tuhan Yang Maha
Kuasa sebagai inkarnasi Wishnu. Bhagawad Gita menjalani
perubahan dan interpolasi yang sangat besar sebelum sampai
bentuk yang sekarang ini dan menyatu dalam epos Hindu, yakni
Mahabrata.
Seperti halnya para Rishi dalam Upanishad, Sri Krishna
menolak sistem pengorbanan kaum Brahmana dan percaya kepada
keaslian wahyu dalam kitab Weda. Dia berkata bahwa Weda sedikit
gunanya dan ibarat tempat air yang kecil dalam bidang yang penuh
air.10
Agama Sri Krishna jelas pada awalnya monoteisme:
“Mereka yang fikirannya senantiasa tenang berarti
memenangkan kehidu-pan di dunia ini. Tuhan adalah suci dan
senantiasa Esa dan senantiasa bersatu dengan mereka” (Bhagawad
Gita 5 : 19)”
Agama Baghawad Gita adalah penyerahan diri kepada Tuhan:
Bila seseorang menyerahkan segala keinginan yang muncul di
hatinya dengan rahmat Tuhan, maka ia memperoleh kegembiraan
beserta Tuhan dan sesungguhnya jiwa telah memperoleh
kedamaian” (Bhagawad Gita 3 : 9)
10 Bhagawad Gita, 2: 42 – 46, terjemahan oleh Juan Mascaro (Penguin classics).
Terjemahan lain dari Bhagawad Gita dilihat dan dipetik bab ini bersumber dari (i) K.T.
Telang (Sacred Book of the East); (ii) Mrs. Anni Besant (Theosopphical society); (iii)
Swami Prabhavananda dan Christopher Ishewood (Mentor Book)
AGAMA HINDU 23
Sri Krishna, nabi agama Bhagawad, mengajarkan pengikutnya
untuk men-jalankan tingkah laku dengan penuh kesucian atau
sebagai kebaktian kepada Tuhan. Bhagawad Gita menyebutkan
sebagai Bhakti Yoga:
“Dunia selalu mengikat kita, kecuali penyerahan diri. Maka
jadikanlah tin-dak tandukmu dengan kesucian dan bebas dari ikatan
hawa nafsu” (Bhagawad Gita 3 : 9)
“Serahkanlah segala karyamu ke hadirat Tuhan dan buanglah
segala ikatan, pamrih pribadi, serta kerjakanlah amalanmu. Maka
tidak ada dosa yang melekat dalam dirimu ibarat air yang tidak
melekat ke daun teratai” (Bhagawad Gita, 5: 10)
Dia juga menyerukan para pengikutnya untuk menjalankan
kewajiban tanpa memandang konsekuensinya. Kepentingan mereka
haruslah untuk mengerjakan apa yang diyakininya sebagai
kebenaran, dan bukan dalam pahala ataupun buah hasilnya:
“Kendalikan dirimu pada baktimu, dan jangan sekali-kali pada
pahala. Berbakti bukan untuk pahala, dan janganlah pernah berhenti
dalam kebaktian-mu” (Bhagawad Gita. 2:47) Bhagawad Gita
menggambarkan timbulnya beramal tanpa pamrih sebagai Karma
Yoga. Namun rupanya tidak ada perbedaan yang nyata antara
Bhakti Yoga dan Karma Yoga.
Bhagawad Gita berarti Jalan Tengah (6:16). Dia menarik
manusia agar mempunyai itikad baik terhadap sesamanya, untuk
menyayangi segenap ummat manusia, untuk mengendalikan
keinginan dan hawa nafsunya, mengikis habis egoisme dalam
berbakti agar mendapat ketentraman, lemah lembut, sederhana, dan
pemaaf (16: 1-4). Tujuan akhir hidup manusia dikatakannya adalah
“untuk menemukan kedamaian dalam damai dengan Tuhannya” (2:
71-72).
BANGKITNYA HINDUISME
24 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
India adalah tanah air dari berbagai suku bangsa, kebudayaan,
dan agama. Kami telah menggambarkan beberapa gerakan agama
ini pada halaman-halaman terdahulu. Sekarang kita mencapai tahap
di mana kita saksikan suatu usaha yang mengherankan dengan
memasukkan segenap kepercayaan agama, filsafat, dan praktiknya
ke dalam satu sistem yang kita namakan Hinduisme. Kita melihat
manifestasi semangat Hindu yang aneh – semangat untuk
mensintesis, kompromi. Hinduisme menyerap ke dalam dirinya
sendiri ide-ide keagamaan, gambaran dan praktik kehidupan dari
bangsa Drawida dengan Wedanya, Brahmana dengan
Upanishadnya, dan Bhagawat Gita dengan Sri Krishna, dan bahkan
praktik animisme dan primitif serta kegemaran dari bangsa asli
India. Hinduisme mengorganisasi keberanekaragaman yang jelasjelas
tidak serasi dalam satu sistem, namun mereka tidak
menghapuskan variasi ataupun mengambil keputusan yang ketat
terhadap satu golongan, satu konsepsi keagamaan, ataupun pada
cara penyembahan tertentu.
Bangsa Drawida telah menyumbangkan kepada Hinduisme
banyak dewa-dewa (termasuk Siwa dan dewa dewi), adat kebiasaan
keagamaan yang menyembah patung, kependetaaan, serta mandi
suci di sungai keramat, dan doktrin tentang reinkarnasi dan avtar.
Mula-mula Siwa dikenal sebagai dewa badai dalam Weda, yakni
Rudra, dan belakangan timbul sebagai satu dari tiga dewa utama.
Agama Weda telah menyumbangkan sistem pengorbanan dan
dewa-dewa alam. Dari agama Brahmana masuk kepercayaan
keabadian Weda, sistem kasta, dan sederetan upacara-upacara serta
ritual agama yang melelah-kan. Agama Upanishad yang awalnya
dibentuk untuk melawan dan mengutuk Brahmaisme pada akhirnya
dibuat kompromi dengan mensublimasikan kon-sepsi Realitas
Terakhir dan jalan bersatu dengan Tuhan ke dalam ajaran Hindu.
Sri Krishna yang telah mendirikan suatu agama tersendiri, akhirnya
juga dimasukkan dalam Hinduisme dengan membuat suatu avtar
AGAMA HINDU 25
atau inkarnasi dari tuhan agama Hindu Wishnu; kitab sucinya
Bhagawad Gita dimasukkan setelah direvisi seperlunya dalam epos
Hindu Mahabrata, dan monoteisme serta ajaran peningkatan moral
dijadikan bagian dari Hinduisme.
Di samping bangsa Drawida dan Arya terdapat pula sejumlah
besar penduduk asli. Mereka memiliki satu tingkat kebudayaan
yang sangat rendah. Mereka menyembah setan dan hantu serta juga
menyembah sungai, gunung, pepohonan, serta binatang. Tata cara
serta cara penyembahan mereka itupun masuk dalam Hinduisme.
Di antara dewa-dewa yang muncul dari budaya kaum pribumi asli
adalah dewa yang dahsyat, Kali, (yang digambarkan dalam mitologi
Hindu sebagai istri Siwa) dan Ganesha sebagai dewa setengah
gajah setengah manusia sebagai putera Siwa dengan dewi Parawati.
Seringkali dikatakan bahwa Hinduisme adalah gudang segala
macam percobaan keagamaan dan bukanlah satu agama yang
tunggal. Mengutip kata-kata Jawaharlal Nehru:
“Hinduisme sebagai suatu keimanan adalah samar-samar, tidak
berbentuk, banyak sekali sisinya, semua barang untuk semua orang.
Sangat sukar untuk mendefinisikan atau menyatakan secara pasti
apakah itu agama atau bukan dalam rasa bahasa yang biasa. Dalam
bentuk yang sekarang ini, dan bahkan di waktu yang lampau
Hinduisme merangkum banyak kepercayaan dan adat istiadat dari
tingkat tertinggi sampai ke tingkat terendah seringkali berlawanan
atau bertentangan satu dengan lainnya”.11
Meskipun agama Hindu memberi kebebasan dalam meyakini
konsepsi ketuhanan (politeisme, pantaisme,atau monoteisme) dan
mempergunakan objek dan cara penyembahan apapun (dengan atau
tanpa patung), namun agama Hindu mengharuskan keseragaman
yang ketat dalam menjalankan aturan-aturan hidup tertentu
11 Jawaharlal Nehru, The Discovery of India, p. 52 (Signet Press, Calcutta, 1947)
26 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
sebagaimana tercermin dalam hubungan masyarakat Hindu dan
sistem kasta. Tulis Mrs. Annie Besant:
“Kebebasan pandangan, namum kolot dalam kehidupan ini
telah menjadi ciri khas Hinduisme walaupun telah melalui evolusi
yang sangat panjang. ... Seorang Hindu boleh berfikir semaunya
tentang Tuhan – sebagai kesatuan atau terpisah dari alam semesta,
bahkan boleh menghapuskan Nya sama sekali – namun begitu tetap
kolot, yakni dia tidak boleh kawin dengan kasta lain ataupun
memakan makanan yang ternoda”.12
Sepanjang ini, kami telah menelaah evolusi agama Hindu serta
asal-usul perkembangan bermacam kepercayaan yang akhirnya
terserap dalam Hinduisme. Sekarang kita akan mempelajari segisegi
yang berbeda dari aspek agama ini – teologi, filsafat, institusi
sosial, dan nilai moralnya.
YANG ESA DAN YANG BANYAK
Dalam ajaran Hindu sebagaimana telah dinyatakan dari awal,
ada kebebasan yang mutlak dalam meyakini ketuhanan. Banyak
sekali penafsiran dari kitab sucinya, dan akhirnya sampai bahwa
semuanya kolot. Seorang Hindu dapat saja percaya terhadap setiap
konsepsi ketuhanan, yakni dalam upayanya meyakini atau
menerimanya. Sebagian besar filsafat Hindu berkeyakinan bahwa
Realitas Akhir atau Tuhan ada Esa – “Hanya satu tanpa kedua”-
Dia tidak terhingga, abadi, tidak berubah, dan multak.13. Dia berada
di semua, oleh sebab itu tidak suatu hal pun yang dapat dikatakan
padaNya. Di sekolah Hindu tidak diajarkan untuk mendefinisikan
keesaan Realitas Mutlak atau Jiwa Dunia dalam terminologi pribadi
tuhan. Dia impersonal dan tanpa atribut (nir-gunna). Namun tidak
12 Annie Besant, Hinduism, p.5 (Theosophical Publishing House, Adyar, Madras, 1935)
13 Ajaran Hindu menggunakan kata depan IT atau THAT, dan bukan He untuk
menyatakan sesuatu zat yang mutlak atau Tuhan.
AGAMA HINDU 27
semua orang Hindu yakin tentang konsep Tuhan seperti itu (nirgunna
Brahman). Berbagai sekolah atau sekte ajaran Hindu tetap
meyakini Tuhan sebagai Pribadi yang Maha Kuasa, mempunyai
atribut (sa-gunna) sehingga seseorang dapat masuk kedalam untuk
menemukan hubungan yang bermakna. Satu-satunya kebenaran
Pribadi Tuhan disebut Ishwara atau Bhagawan. Dia dinyatakan
sebagai Sat (Zat yang tidak terhingga), Chit (Kesadaran yang tidak
terhingga), dan Anand (Kebahagian yang tak terhingga). Ishwara
dimanifestasikan dalam dirinya sebagai Trimurti : Brahma, Wishnu,
dan Siwa. Tiga bentuk ini walaupun terpisah oleh fungsinya, tetapi
esa dalam esensinya. Dalam kenyataannya, mereka melakukan
personifikasi atau representasi mitologi bahwa ada tiga utama aspek
atau atribut Tuhan.
Brahma adalah Sang Pencipta. Dalam mitologi Hindu, Brahma
dikatakan lahir dari telur emas yang muncul pada awal alam
semesta ini. Setelah ter-geletak selama setahun, kemudian terbelah
menjadi dua, sebagaian dari bulatan itu menjadi sorga dan sebagian
lainnya menjadi bumi. Di antara keduanya adalah langit. Sepanjang
hidupnya Dewa Brahma tidur dan terjaga secara periodik. Ketika
dia bangun, dunia ini berkembang dan ketika dia tidur semua
makhluk musnah. Istrinya adalah Saraswati, dewi kebijakan. Semua
ciptaan datang dari persatuan keduanya. Ia mengendarai seekor
angsa Hansa, tinggal di sorga Brahmaloka, yakni berada di puncak
Gunung Meru yang dikelilingi air suci sungai Gangga.
Wishnu adalah Pemelihara. Dia adalah dewa yang berkulit
gelap, bertangan empat, tangan pertama memegang tongkat, tangan
kedua memegang keranjang atau karangan bunga, tangan ketiga
dan keempat memegang teratai. Istrinya adalah Laksmi, dewi
kebahagian dan kemakmuran. Dia mengendarai burung Garuda.
Ada sepuluh titisan Wishnu (avtars) dan dua yang sangat penting
adalah Rama pahlawan dari epos Ramayana dan Krishna manusia
Tuhan dalam epos besar lainnya, Mahabharata. Dalam mitologi
28 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
Hindu, Krishna nabi dari agama Bhagawat telah dicampur dengan
dewa yang berupa anak laki-laki suku bangsa pengembara yang
menggembala yang namanya mungkin juga Krishna. Banyak cerita
tentang tingkah laku kebebasannya diceritakan dalam buku-buku
suci agama Hindu. Dia mempunyai beberapa ribu istri dan gundik
sehingga yang paling disayangi di masa mudanya adalah Radha.
Dia dikatakan mempunyai sebanyak 16.108 istri.
Siwa dewa ketiga dari Trinitas agama Hindu adalah Perusak. Ia
digambar-kan sebagai seorang pertapa yang mengendarai lembu
suci dan tempat tinggalnya di Kailasa. Ia mempunyai tangan empat,
dan selalu berpakaian kulit macan dan berambut loreng dan seekor
naga melingkar di lehernya. Lambang-nya adalah Lingga atau
Phallus. Istrinya Parawati; Durga, dan dewi yang dahsyat Kali yang
keduanya penjelmaan Parwati. Ganesha dewa keberuntungan yang
berkepala gajah adalah yang paling terkenal dari antara anak-anak
Siwa yang banyak itu.
Terlepas dari Trinitas yang terdiri dari Brahma, Wishnu, dan
Siwa, kaum Hindu juga percaya dan menyembah banyak dewa atau
dewa-dewa alam. Mereka dimaksudkan untuk membimbing
segenap kegiatan. Keberuntungan dari para dewa itu dapat
diperoleh dengan apa yang dinamakan tukar menukar secara
harfiah: manusia melengkapi mereka dengan cara memberi sajian
atau barang-barang yang mereka sukai, dan mereka sebagai
balasannya memberikan kepada manusia apa yang mereka
inginkan. Demikianlah apa yang kita baca dalam Bhagawad Gita:
“Dengan ini (yakni memberi sajian) engkau menyenangkan
para dewa dan mudah-mudahan para dewa memelihara kamu.
Karena dengan menyenangkan-nya, maka para dewa akan
menganugerahkan kamu kesenangan yang kau inginkan”. (3: 11-
12)
Kaum Hindu yang terdidik pun tetap mempertahankan
sejumlah besar dewa dan dewi – trinitas Brahma, Wishnu, dan Siwa
AGAMA HINDU 29
beserta istri dan anak-anaknya (dimana sejumlah berhala dipuja
dalam rumah-rumah orang Hindu dan kuilnya), inkarnasi dari
Wishnu dan serba dewa lainnya – tidak mengacaukan keesaan
tuhan mereka. Mereka hanya berbeda dalam memanifestasikan atau
dalam bentuk-bentuk simbolik sama dan hanya kepada Tuhan
mereka menyembah. Demikian Swami Vivekananda menulis:
“Pada mulanya saya dapat katakan kepada Anda bahwa tidak
ada politeisme di India. Di setiap kuil, jika seseorang berdiri dan
mendengarkan akan mendapati para penyembah itu menyebutkan
segenap nama-nama Tuhan mereka, termasuk yang gaib untuk
dibayangkan. Itu bukan politeisme dan istilah henotisme mungkin
dapat mendudukkan permasalahannya”.14
Louis Renou, mempunyai pandangan yang berbeda.
Menurutnya:
“Hinduisme pada dasarnya politeisme, tidak hanya pada tingkat
lahiriahnya melainkan juga dalam tata susunan spekulatif di mana
para dewa yang kongkrit dan figuratif tidak pernah dihilangkan.
Tidak disangkal lagi ada variasi dalam perasaan kemajemukan
dewa-dewa. Kaum filosof menggabungkannya (pada sisi yang lain)
dengan kepercayaan satu prinsip yang maha kuasa, seringkali
dipersonifikasikan sebagai Pangeran (Ishvara), seringkali diterima
sebagai dewa atau suatu impersonal yang mutlak (Brahman).
Prinsip kemutlakan ini akan dikomposisikan sendiri dari suatu
‘bentuk kualifikasi’ (saguna) yang sewaktu-waktu dianggap
sebagai yang paling penting, sedangkan di fihak lain direndahkan
pada tingkatan “berilmu rendah’. Pemeluk agama pada umumnya
tidak perduli dengan keesaan tuhan, yang terakhir ini agaknya
hanya dibicarakan pada tingkat filosof dan tidak pernah dilakukan
dalam upacara keagamaan secara langsung. Bagi kaum yang bukan
filosof, perbedaan yang muncul adalah normal. Dari kemajemukan
14 Swami Vivekananda, Essentials of Hinduism, p. 40 (Advaita Ashrama, Calcutta, 1966)
30 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
ini, para pemeluk memilih dewa-dewa kesenangannya (istadevata);
pilihannya menun-jukkan bahwa dia mengenal pentingnya bentuk
sesembahan lainnya sebagai pasangan dewa atau paredres. Pilihan
semacam ini diikuti dengan tingkat kepangkatan sebagaimana dapat
diamati dalam dharma di masyarakat, akhlak, atau bidang ritual
lainnya “.15
KARMA DAN KELAHIRAN KEMBALI
Kaum Hindu tidak sepakat mengenai masalah asal-usul dunia
ini. Beberapa dari mereka percaya bahwa dunia diciptakan oleh
Tuhan dari ketiadaan, tetapi mereka yang mempunyai pandangan
ini tidaklah banyak. Sebagian besar lagi percaya bahwa dunia ini
adalah pengejawantahan dari Tuhan,baik yang apa-apa yang di
dalam maupun di luar. Banyak juga yang mengira dunia ini adalah
suatu khayalan (maya) dan terjadi hanya karena kelalaian kosmis
(avidya) serta sesungguhnya tidak ada yang nampak kecuali SATU
(Brahman). Para pengikut aliran Samkya dan Yoga dari filsafat
Hindu,dan juga kaum Arya Samaj berpandangan bahwa baik materi
(prakrit) dan roh (purush) tidak diciptakan dan abadi. Dunia ini
adalah hasil permainan (dengan atau tanpa intervensi Tuhan) dari
materi dengan roh.
Roh pribadi ataupun jiwa muncul di bumi ini untuk bekerja
demi keselamatan mereka dengan arah evolusi yang lamban melalui
kematian dan kelahiran yang tak terhitung jumlahnya. Kehidupan
sekarang dari setiap pribadi adalah bukan kehidupan yang pertama
di dunia. Dia telah menjalani kehidupan yang tak terhitung di masa
lampau dan jiwanya telah tinggal di berbagai jasad yang berbeda
dan dia akan menjalani kehidupan yang lebih banyak di masa
depan. Dengan kematian jasmani, masing-masing jiwa yang abadi
itu memperoleh suatu jasad tubuh baru dan selanjutnya memulai
15 Louis Renau, Hinduism, p. 19 (Washington Square Press Book, New York, 1963)
AGAMA HINDU 31
suatu kehidupan baru lagi di dunia. Inilah yang kita baca dalam
Bhagawad Gita:
“Sebagaimana seseorang menanggalkan baju lamanya dan
mengambil pakaiannya yang baru, maka begitulah roh itu
meninggalkan jasad kasarnya dan mengembara untuk menetap lagi
di tubuh yang baru” (2:22)
Semua yang dijalani manusia dalam kehidupan ini, berbagai
jasad tubuh yang dipunyai, kedudukannya dalam masyarakat, baik
itu hartanya, kebahagia-annya, dan kesedihannya adalah akibat
tingkah laku perbuatan di masa lampau. Ini ajaran tentang Karma.
Karma manusia itu siapa menanam, maka dia menuai:
“Sesuai dengan tingkah laku manusia di jalan kehidupan,
begitulah dia jadinya. Dia yang berbuat jahat akan menjadi jahat,
dia berbuat baik akan menjadi baik. Dengan tingkah laku yang suci,
dia menjadi suci (dan bahagia); dengan kelakuan yang jahat dia
menjadi jahat (dan terlaknat)”. (Brihadaranyaka Upanishad IV, 4:4)
Bilamana dia dengan penuh keyakinan menjalankan tugasnya,
yakni dharma dalam kehidupannya ini, maka dia akan dilahirkan
dalam tubuh yang lebih baik dan kasta yang lebih tinggi, serta
menjalani kehidupan yang makmur dalam kelahirannya yang akan
datang. Tetapi jika dia melalaikan dharmanya dan berbuat jahat,
maka ia akan dilahirkan kembali dalam keadaan yang lebih buruk,
bahkan bisa jadi dalam jasad seekor binatang yang lebih rendah.
Tetapi pada saat kematiannya, jiwa itu tidak seketika muncul
kembali dalam jasad tubuh yang baru di dunia. Mula pertama, dia
pergi ke sorga atau neraka tergantung kepada tingkah laku manusia
itu. Di sana dia akan menderita sakit atau menikmati kesenangan
sehingga dia mendapat buah hasil perbuatannya. Setelah dia
menghasilkan buah perbuatannya yang baik atau yang buruk, maka
dia akan dilahirkan kembali dalam tubuh yang baru:
“Setelah mencapai akhir dari perjalanannya (di sorga atau di
neraka), mulailah dia dengan karyanya di bumi. Maka jauhilah bagi
32 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
manusia yang hidup diliputi oleh hawa nafsunya”. (Brihadaranyaka
Upanishad IV. 4:6)
Dalam roda perputaran kelahiran dan kematian inilah
seseorang manusia terikat hawa nafsu dan kejahilannya. Tetapi
disaat dia menaklukkan hawa nafsunya dan membinasakan
kejahilannya, maka dia memperoleh keselamatan-nya. Mukti atau
Moksha adalah tidak adanya kelahiran kembali di dunia ini. Dia
menjadi satu dengan Tuhan, dan jiwa pribadinya terserap dalam
Roh Semesta.
TIGA JALAN
Agama Hindu percaya bahwá ada bermacam-macam jalan
mencapai Tuhan untuk berbagai jenis manusia. Secara umum ada
tiga cara manusia. Beberapa lainnya pada dasarnya emosi. Ketiga
jalan itu pada pokoknya aktif. Bagi masing-masing pribadi, ajaran
Hindu menganjurkan satu macam jalan atau marga untuk mencapai
keselamatan.
Jhana Marga (jalan bersatu dengan tuhan melalui
pengetahuan) dimak-sudkan bagi pencari spiritual yang mempunyai
kecenderungan intelektual yang kuat. Baginya agama Hindu
menganjurkan satu seri meditasi dan demonstrasi logika untuk
mengembangkan dirinya sehingga mempunyai daya pembeda yang
nyata dan tidak. Dengan ilmu yang benar, dia dapat membinasakan
khayalan (maya atau avidya) dan bersatu dengan Tuhan.
Bhakti Marga (jalan bersatu melalui cinta dan pengabdian)
bagi mereka yang dikuasai emosinya. Jika manusia intelektual
membayangkan Tuhan terutama melalui bentuk impersonal, maka
manusia emosional perasaannya ke arah satu atau lebih pribadi
Tuhan. Dia menyembah dan memuja baik Siwa atau salah satu
penjelmaan Wishnu (Rama atau Krishna) atau istri-istri mereka,
Lakshmi, Saraswati, Durga, Kala, dan Radha. Dia menyatakan
cintanya melalui upacara kebaktian atau memberi sesaji berupa
AGAMA HINDU 33
makanan atau bunga-bunga kepada arca atau dengan menari dan
menyanyi. Secara bertahap, jiwa para pengabdi itu mengambil sifatsifat
tuhan yang disembahnya menjadi apa yang dipujanya.
Akhirnya, cinta yang disembah itu luluh dalam persatuan yang
lengkap dengan yang Dicintainya.
Karma Marga (jalan untuk bersatu melalui kerja) adalah bagi
mereka yang pokoknya aktif. Manusia kerja belajar melakukan
pekerjaannya sebagai kewajiban tanpa keinginan pada hasil
karyanya. Dia menjalankan tugasnya bagaikan seorang prajurit atau
seorang praktisi dunia dengan keberanian yang penuh kesadaran.
Jalan ini juga mendorong ke arah tujuan yang sama seperti hal
kedua jalan terdahulu, yakni bertujuan mencapai keselamatan atau
persatuan dengan Tuhan
EMPAT ASHRAMA
Menurut agama Hindu, kehidupan yang dicita-citakan untuk
lahir kedua kalinya (yakni, manusia dari tiga kasta yang lebih
tinggi) terbagi atas empat tingkatan atau Ashrama.
Tahap pertama yakni ia menjadi murid, terikat kepada hidup
membujang (Brahmachari); dimulai setelah upacara pembabtisan
antara usia delapan sampai duabelas tahun dan berakhir setelah
duabelas tahun. Selama periode ini, murid biasanya hidup di rumah
gurunya dan melayaninya sebagai balasan atau perintah yang
diterimanya. Kewajibannya adalah memperoleh ilmu dari Dharma
dan Kitab Suci.
Tingkat kedua sebagai tuan rumah (Grahastha) dimulai dengan
perkawi-nan. Kewajiban tuan rumah adalah memperoleh anak,
mengejar kekayaan dan berhasil dalam karir yang dipilihnya. Dia
pun harus melaksanakan kewajiban kemasyarakatannya di mana dia
berada. Dia diharapkan melakukan sekelompok besar upacara dan
kebaktian baik harian maupun musiman, serta membuat sesaji
untuk dewa serta arwah para leluhur.
34 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
Taraf ketiga, yakni penghuni hutan (Vanaprastha); dimulai
ketika manusia itu menjadi tua dan mempunyai cucu. Dia harus
mengundurkan diri ke hutan untuk melepaskan tali ikatan duniawi
dan mengabdikan diri sepenuhnya dengan latihan-latihan
keagamaan.
Taraf keempat dan terakhir, yakni sebagai pertapa (Sannyasin).
Di sini seseorang hidup menyendiri, menghindari segala sesuatu,
bahkan keluarga, secara bertahap mengurangi makanannya hingga
sepotong sehari dan menanti serta mempersiapkan diri untuk mati.
SISTEM KASTA
Kitab suci Hindu (Shruti) dan kitab hukum (Dharma Shastra)
membagi seluruh umat Hindu dalam empat kasta yang terpisah dan
tidak sama dalam masyarakat – Brahmana (pendeta), Kshatriya
(bangsawan dan perwira), Vaishya (pedagang dan tukang), dan
Sudra (budak). Namun sekarang pembagian dalam empat golongan
kasta ini telah berbaur dan campur aduk dengan adanya
perkembangan lebih dari 3.000 kelompok kasta yang terpisah.
Kasta adalah suatu sistem di mana peristiwa kelahiran telah
menentukan sekali untuk seumur hidup segenap jalinan hubungan
sosial, maupun rumah tangga hidup manusia. Menurut Sir Edward
Blunt:
“Prinsip dasar dari kasta adalah perkawinan dan keturunan.
Seorang laki-laki harus kawin dengan seorang wanita dari satu
kasta yang sama dengan dirinya; anak-anak mereka dilahirkan
dengan kasta yang sama seperti orang tuanya dan seluruh hidupnya
harus tetap menjadi anggota dari kasta tersebut. Selanjutnya setiap
kasta menetapkan dari kasta apa seseorang boleh memilih kawan
untuk sama-sama makan, seorang koki untuk menyiapkan
makanannya, dan seorang abdar (pembantu) yang akan
membawakan air. Seringkali suatu kasta itu terdiri dari berbagai
sub-kasta yang endogame (kawin dengan kastanya sendiri-pent.),
AGAMA HINDU 35
dalam hal ini apa yang telah kita uraikan tentang kasta berlaku pula
dalam sub-kasta ini.”16
Sistem kasta mempunyai pra anggapan mendasar bahwa ada
ketidaksama-an di antara manusia, sebab kelahirannya yang
berbeda dan haruslah sepanjang hidupnya dalam status agama dan
masyarakat yang lebih tinggi atau lebih rendah.
Masyarakat Indo Arya sebagaimana telah ditunjukkan terbagi
tiga golongan, tetapi tidak ada sistem kasta di masa Weda. Sistem
kasta ini muncul pertama kali pada masa Brahmana di mana para
pendeta Brahma menduduki kedudukan terhormat di India. Sejak
saat itu, sistem tersebut menjadi suatu gambaran yang aneh dalam
masyarakat India. Di negeri lain tidak terdapat keadaan seperti ini.
Dasar dan ciri dari sistem ini serta pedoman yang mengatur
macam-macam kasta digambarkan secara terinci dalam kitab
Dharma Shastra (kitab yang bersangkut paut dengan dharma atau
hukum-hukum keagamaan), khususnya dalam Manu Smritti.
Menurut Manu ada tiga kasta yang suci atau “yang terlahir kedua
kali”. Di sini kasta Brahmana yang tertinggi, kemudian Kshatrya,
baru Waishya. Di bawahnya masuk kasta Sudra. Mereka tidak
diperbolehkan untuk menaruh sesaji ataupun membaca Weda, dan
fungsi utama mereka dengan rendah hati melayani yang telah
terlahir keduakalinya. Yang paling rendah adalah orang tak
berkasta yang tak boleh disentuh (Paria), sekitar 100 juta orang,
dan digambarkan sebagai “golongan rasial yang terbesar namun
paling rendah di dunia”. Mereka adalah golongan rendah di India
yang mengerjakan tugas-tugas kotor dan hina, menjadi penyapu
jalan, tukang cuci pakaian kotor, dan perawat bangkai busuk. Kaum
Paria ini telah didefinisikan sebagai “burung gagak dalam jumlah
yang fantastis”. Kaum Paria harus hidup terpisah dari penghuni
desa lainnya. Sentuhan mereka, hubungan mereka dan seringkali
16 Sir Edward Bhunt, Social Service in India, p. 44 (His Majesty’s Stationery Office,
London, 1939)
36 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
bahkan bayangan mereka dianggap mengotori kasta-kasta Hindu
lainnya yang lebih tinggi. Mereka ditolak dalam menaiki kuil-kuil
Hindu, menimba air langsung dari sumur-sumur desa, dan anakanak
mereka tidak dapat masuk sekolah bersama-sama dengan
murid-murid Hindu lainnya.
Konsepsi Hindu tentang dharma, kewajiban, sangat erat terikat
dengan sistem kasta ini. Jika karma (atau perbuatan seseorang
manusia waktu kelahiran sebelumnya) menentukan kedudukan
dalam jaringan kasta, dharma menyatakan kepadanya apa yang
harus dilakukan dan diperbuat dalam kedudukan itu. Varnashrama
Dharma tidak sesuai dengan gagasan amaliyah kalangan Kristen
ataupun Muslim, karena tidak dihubungkan dengan satu prinsip
yang tetap. Dharma dalam pandangan Hindu adalah kedudukan dan
tingkah laku yang cocok pada kastanya dan tidak pada kasta
lainnya sepanjang hidup. Jadi pengelola uang itu diharapkan akan
menjadi seorang wiraswasta yang cerdas, dan perwira menjadi
prajurit yang gagah berani. Namun demikian, ada juga Dharma
secara umum (Sadharana Dharma), ketulusan atau berpegang pada
aturan moral berlaku untuk semuanya. Termasuk di sini perintah
untuk melakukan perbuatan berguna seperti misalnya pergi menjadi
penziarah, menghormati Brahmana, dan memberi derma. Demikian
juga berlaku pada larangan, misalnya menyakiti, berbohong, tidak
jujur, dan sebagainya.
SEKTE-SEKTE HINDU
Beragam sekte yang terdapat dalam agama Hindu sebagai hasil
gerakan Bhakti. Kaum Hindu ortodok (Sanatan Dharmis) dibagi
dalam tiga sekte, tergantung dari dewa mana yang dianggap paling
dipuja mereka.
1. Sekte Vaishnav – pemuja Wishnu, penjelmaannya, dan istriistri
serta selir-selirnya. Termasuk sekte ini pengikut
AGAMA HINDU 37
Ramanuja, Ramananda, Kabir, Chaitanya, dan
Vallabhacharya.
2. Sekte Shaiva, penyembah Siwa dan pasangannya. Mungkin
pemikir dan pengajar terbesar dari sekte ini adalah ahli
filsafat Shankara (abad 9 M) yang termashur sebagai
eksponen Monisme Absolut (Advaita Vedantism). Pengemis
keagamaan Hindu, pertapa, serta para yoga termasuk dalam
sekte ini.
3. Sekte Shakta, mereka yang memuja penyembahan dewadewa
saja, misalnya Saraswati, Laksmi, Radha, Sita,
Parwati, Durga, dan Kali. Golongan ini menolak kitab suci
sekte lain (termasuk Weda), dan memiliki Kitab Sucinya
sendiri, yakni Tantras.
Sebagai perbandingan dalam tahun-tahun belakangan ini
terlahir tiga sekte baru (tidak ortodoks) sebagai akibat dari
pengaruh Islam dan Kristen.
1. Yang pertama adalah Brahmo Samaj, didirikan di Bengali
oleh Raja Raj Mohun Roy (1774 – 1833). Seorang
cendikiawan terkemuka dalam bahasa Arab serta Parsi.
Buku pertamanya, Tuhfat-ul-Muwahiddin (“Suatu
persembahan kepada orang-orang bertauhid”) ditulis dalam
bahasa Arab. Kaum Brahmo Samaj percaya kepada Keesaan
Tuhan dan menghormati nabi-nabi dari semua agama, tetapi
mereka tidak percaya wahyu Ilahi. Mereka mengambil sikap
yang rasional dan maju terhadap masalah-masalah
kemasyarakatan dan pelopor di antara pendidikan Hindu
modern serta hak-hak kaum wanita. Penyair Bengali Rabindranate
Tagore termasuk golongan ini.
2. Sekte modern yang lain, percaya kepada Keesaan Tuhan dan
mengutuk penyembahan berhala adalah Arya Samaj yang
didirikan oleh Swami Dayanand Saraswati (1824–1883).
Namun golongan ini berbeda dengan Brahmo Samaj dalam
38 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
sikapnya yang sangat membenci kepada agama lain. Tidak
saja dia menganggap agama seperti Buddha, Sikh, Kristen,
dan Islam adalah palsu, namun mereka sangat senang untuk
menyerang dengan menjelek-jelekan para pendirinya.17
Kaum Arya Samaj percaya bahwa Kitab Weda adalah
wahyu Ilahi, tak tercipta, dan abadi, serta mendasarkan
keimanan mereka terutama kepada kitab tersebut meskipun
mereka menafsirkannya dengan cara yang bagi kaum
ortodoks kurang menyenangi. Cita-citanya adalah
memurnikan (Shuddhi) atau mengembalikan kepada Hindu
lagi melalui bujukan, godaan atau kekerasan orang Hindu
dan anak-anaknya yang telah memeluk agama Islam atau
Kristen. Mereka di barisan terdepan dari segala gerakan
Hindu yang militan.
3. Sekte Hindu yang ketiga dalam perkembangan akhir-akhir
ini adalah versi modern dari Sankara’s Advaita Vedantism,
yang percaya kepada keesaan mutlak dan menganggap
dunia ini sebagai ilusi (maya). Pendiri sekte ini adalah
Ramkrishna Paramhansa, tetapi orang yang mempopulerkan
serta menyebarkan ke seluruh India dan bahkan di negara
asing adalah muridnya yang sangat pandai dan dinamis,
yakni Swami Vivekananda. Pengikut sekte ini percaya
bahwa Brahma sendirilah yang nyata, Dia adalah Dzat Yang
Mutlak, Satu Tuhan yang impersonal, dari para dewa yang
terdapat dalam kitab suci dan mitologi adalah manifestasi
atau bentuknya. Di dalam dan melalui segala bentuk adalah
Dia sendiri yang disembah. Sekte ini juga menganggap
Weda sebagai wahyu Ilahi dan abadi, tetapi jika berbicara
tentang Weda, mereka tidak memahami sebagai hymne
(Samhita), melainkan juga terutama Upanishad. Mereka
17 Swami Dayanand’s, Satyarath Prakash, terjemahan bahasa Inggris oleh Chiranjiva
Bhardwaja (The Arya Samaj, Madras)
AGAMA HINDU 39
menganggap semua agama adalah benar – sebagai jalan
yang berbeda ke arah Tuhan yang sama – namun agama
Hindu adalah jalan yang paling sempurna.[]

0 komentar:

Posting Komentar

copyrigt; Juned Topan.. Diberdayakan oleh Blogger.