Kamis, 07 April 2011

Bab VI. AGAMA TAO

standar sekarang bisa
diperolah dalam tigapuluh dua bagian.
3. Ch’un Ch’iu Fan-lu (Aneka ragam embun di musim semi
dan gugur). Kitab ini ditulis pada permulaan dinasti Han oleh Tung
Chung-shu, yang membangkitkan dan menegakkan agama Kong
Hu Chu sebagai Agama Negara sepenuhnya. Buku ini berisi
beberapa ceramah yang penuh renungan tentang sifat manusia,
falsafah, sejarah, dan ilmu tentang bencana alam , serta keadaankeadaan
yang tidak wajar.
BAB VI
AGAMA TAO
Agama Kong Hu Chu dan Tao saling melengkapi satu sama
lainnya. Keduanya menekankan dua segi agama yang berbeda,
namun sama-sama penting. Kong Hu Chu menekankan segi
kemasyarakatan, dan kepentingan utamanya adalah menegakkan
suatu tata sosial yang adil di mana tidak ada kejahatan dan
penindasan serta setiap orang melaksanakan kewajibannya dalam
keserasian dengan rencana Tuhan. Di pihak lain, Lao Tzu
menekankan aspek perseorangan dan bersangkut paut dengan
penemuan dan penguraian Jalan Tuhan serta cara-cara jiwa pribadi
yang akan membimbingnya agar dapat menemukan kedamaian
abadi dalam bersatu dengan Tuhannya. Jika Kong Hu Chu manusia
praktis, maka Lao Tzu seorang mistis.
PENDIRI AGAMA TAO
Lao Tzu pendiri agama Tao dilahirkan sekitar 570 sM di desa Li
Propinsi Chu. Jadi dia lebih tua dari Kong Hu Chu. Lao Tzu berarti
“Kakek Tua”, dan lebih merupakan titel dari pada nama. Nama asli
kakek tua itu adalah Lai Tan.
Di luar segudang legenda dan dongeng yang segera muncul di
sekitar dirinya, hanya sedikit yang dapat diketahui mengenai
kehidupan dan pribadi Lao Tzu. Akhirnya dipercayai oleh para
pengikutnya, bahwa Tuan itu dilahirkan dari seorang dara perawan,
yang mengandungnya setelah melihat bintang jatuh. Menurut
legenda yang lain, dia tetap dalam kandungan ibunya selama
delapan puluh satu tahun, dan telah menjadi orang bijak yang
berjenggot putih pada saat dia dilahirkan.
114 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
Kurangnya riwayat yang sahih tentang beliau menyebabkan
beberapa sarjana menganggap bahwa Lao Tzu itu seorang tokoh
dalam dongeng semata. Keraguan yang sama juga telah dinyatakan
atau diriwayatkan kepada Krishna, Buddha, dan Yesus. Namun
demikian berdasarkan biografi pendek dalam Shih Chi (Catatan
Sejarah) dan Ssu-ma Chien pelopor sejarah China yang hidup pada
abad kedua sebelum Masehi, sebagian besar sarjana masa kini
menerima adanya Lao Tzu dalam sejarah.
Lao Tzu bekerja sebagai pemelihara arsip kerajaan di ibukota
Lo, di mana diceritakan bahwa Kong Hu Chu telah
mengunjunginya. Berbeda dengan Kong Hu Chu yang berkelana
dari satu propinsi ke propinsi lain untuk mengkampanyekan
perombakan politik, Lao Tzu lebih suka mengerjakan karyakaryanya
tanpa nama. Jelas bahwa dia tetap dalam kedudukan ini di
kota Lo untuk masa yang cukup lama sampai dia mencium tandatanda
keroposnya rumah tangga Chou. Mula-mula dia hanya
mengundurkan diri, tetapi karena kecewa dengan semakin
gawatnya perpecahan dan kekacauan, dia pergi ke pengasingan.
Diriwayatkan bahwa sebelum dia memasuki apa yang sekarang
dinamakan negeri Tibet, dia dihentikan di Hankao Pass oleh
seorang pengawal yang memintanya agar menuliskan ajaranajarannya.
Diperkirakan bahwa dia menetap di sana cukup lama
untuk menulis buku kecilnya, Tao Te Ching. Setelah itu dia
melenyapkan diri dan tidak ada yang diketahui lebih lanjut
mengenai dirinya, meskipun diperkirakan dia hidup di pengasingan
sampai usia lanjut.
Ada sedikit yang dinyatakan Lao Tzu perihal dirinya sendiri
dalam Tao Te Ching. Betapa pun dalam nada ironis, ini
menunjukkan betapa dia berbeda dengan orang-orang lain:
“Orang – orang lain memiliki berbagai macam, sedangkan saya
sendiri telah kehilangan segala sesuatu. Saya seorang yang bodoh
dalam hati, tolol dan gelisah. Orang lain penuh cahaya, sedangkan
AGAMA TAO 115
saya sendiri seperti dalam kegelapan. Orang lain waspada dan siap
siaga, saya sendiri mati tak berdaya. Saya gelisah bagaikan
samudra, mengalir terus tidak punya tempat berhenti. Semua
manusia mempunyai manfaat yang berguna, saya sendiri tolol dan
badut. Meskipun saya kesepian dan tidak sama dengan orang lain,
namun saya bernilai karena saya menyerahkan rezeki kepada Ibu
Alam”.1
Pada akhir bukunya, dengan nada yang agak berbeda beliau
mengamati:
“Kata-kataku sangat mudah dimengerti, sangat mudah
dipraktikkan. Namun dunia tidak mengerti atau pun mau
menjalankannya. Kata-kataku mempunyai kunci, tindakantindakanku
mempunyai landasan prinsip. Adalah karena manusia
tidak mengetahui kunci itu, sehingga mereka tidak memahami saya.
Mereka yang mengenal saya hanyalah sedikit, dan karena hal itu
maka kehormatanku lebih besar. Demikianlah pahlawan itu
memakai pakaian sederhana, tetapi menggenggam permata dalam
dadanya.” (Tao Te Ching, LXX)
AJARAN LAO TZU
Sangat sedikit buku yang ditulis Lao Tzu, Tao Te Ching telah
mengemuka kan sifat dan lingkup ajarannya. Ada dua kata yang
penting dari yang sedikit ini. Pertama adalah Tao, yang berarti
Jalan, yang oleh Lao Tzu diartikan sebagai Jalan Menuju Tuhan,
Zat Yang Maha Kuasa. Tao Te Ching menyajikan suatu pandangan
yang unik atas Jalan Tuhan (Tao), pertama dalam aspek transenden
(diluar dirinya) , dan kemudian dari sisi yang mendasar
(imanen/keabadian) sebagaimana diwahyukan Tuhan dalam
1 Tao Te Ching. Terjemahan yang dipetik dalam bab ini diambil dari (i) R.B. Blackeny
(Mentor Books, New York), (ii) Lionel Giles (Wisdom of the East Series, London), (iii)
Arthur Waley (Alen and Unwin, London), (iv) Witter Bynner (John Day, New York).
116 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
Hukum-Hukum Alam dan hubungan Tuhan dengan manusia. Kata
lain yang penting dalam Tao Te Ching adalah Te, yang berarti
akhlak mulia. Jadi tujuan utama Lao Tzu dalam bukunya ini adalah
menerangi manusia tentang Jalan Tuhan dan mengajak mereka
berakhlak mulia yang berasal dari iman yang penuh dan amal yang
tulus sesuai dengan hukum-hukum itu. Lao Tzu percaya pada
Keesaan Ilahi dan segala sesuatu itu ada karena Dia:
“Sejak dahulu kala semua menerima sentuhan kehidupan dari
Yang Esa: Langit demi kemuliaan dan Yang Esa menjadi terang;
bumi demi kemulian dan Yang Esa diberi tenaga; lembah demi
kemulian dan Yang Esa menjadi penuh bermilyar makhluk; para
bangsawan demi kemulian dan Yang Esa dihidupkan; para raja dan
pangeran demi kemulian dan Yang Esa menjadi pimpinan negeri.
Adalah Yang Esa yang membuat segala-galanya menjadi apa
adanya.” (Tao Te Ching, XXXIX)
Beliau mengajarkan bahwa agama yang sejati ialah mengenal
Tuhan dan menjadikan kehendak seseorang itu dalam keselarasan
penuh dengan kehendak dan maksud Tuhan. Tersembunyi di dalam
kedalaman segala sesuatu, katanya, adalah kekekalan dimana akar
dari segala kehidupan dari semua nasib itu berlangsung. Tanpa ilmu
atau akal kehidupan ini, yakni akar keabadian seseorang akan
menjadi buta sehingga dia berbuat jahat:
“Sentuhlah keabadian terakhir, pegang teguh erat-erat. Segala
perkara berlangsung bersama. Saya telah perhatikan mereka
muncul, dan melihat betapa mereka berkembang dan kembali ke
asalnya masing-masing, keakarnya. Inilah yang saya katakan
sebagai kekekalan suatu langkah surut ke akar permulaan hidup
seseorang, atau yang lebih utama lagi kembali kepada Kehendak
Tuhan yang saya katakan sebagai keabadian. Ilmu ke arah
keabadian itu, saya namakan penerangan dan kukatakan bahwa
tiada mengetahuinya berarti kebutaan yang mendorong ke arah
perbuatan jahat.” (Tao Te Ching, XVI)
AGAMA TAO 117
Dalam aspek transendentalnya, Jalan Tuhan (Tao) adalah suatu
rahasia. Ini tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Sesungguhnya
ini tak terjangkau akal fikiran. Ini hanya dapat dikenal dengan
penglihatan rohani tanpa dihalangi nafsu pribadi.
“Tao yang dinyatakan dengan kata-kata bukanlah Tao yang
abadi; nama yang dapat disebutkan bukanlah namanya yang kekal.
Tanpa suatu nama adalah Permulaan Langit dan Bumi dengan suatu
nama. Dia adalah Ibu dari segala sesuatu. Hanya seseorang yang
senantiasa bebas dari hawa nafsu bisa menangkap sari rohani ini,
mereka yang selalu menjadi budak hawa nafsu tidak dapat melihat
lebih jauh dari benda-benda lahir saja. Dua perkara ini, yakni
materi dan spritual meskipun kita sebut mereka dengan nama-nama
yang berbeda asal usulnya adalah satu dan sama. Kesamaan ini
adalah rahasia – suatu rahasia kegaiban. Ini adalah pintu gerbang
dari segala mukjizat.” (Tao Te Ching, I)
Meskipun Jalan Tuhan (Tao) itu akhirnya transenden, namun
dia juga immanen. Ini adalah tenaga penggerak seluruh alam,
prinsip-prinsip hukum di balik segenap kehidupan. Jalan Tuhan
membawa segala sesuatu menjadi ada, memelihara, dan
mencukupinya dengan rezeki serta membimbingnya ke arah tujuan
yang ditentukan yakni kesempurnaan:
“Jalan Tuhan (Tao) membuat segala perkara menyantuninya
masing-masing dibentuk sesuai fitrahnya; masing-masing
disempurnakan menurut kekuatannya. Maka tiada sesuatupun
kecuali berbakti kepada Jalan Tuhan dan memperoleh
kemuliaannya tidaklah karena paksaan melainkan senantiasa secara
sukarela. Demikianlah Tao itu yang menciptakan segala sesuatu
menyantuninya, mengembangkannya, dan membimbingnya,
menyempurnakan nya, mengolahnya, mengelolanya,
melindunginya. Membuat tanpa milik, membuat tanpa pamrih
pribadi, mengembangkan tanpa dominasi, ini adalah perbuatannya
yang rahasia. “ (Tao Te Ching, LI)
118 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
Tuhan mendapatkan apa yang dikehendakiNya dengan caraNya
sendiri, yakni Jalan. Dia tidak mengeluarkan kata-kata tetapi
Rencana IndukNya tampak meliputi bagaikan jaring-jaring besar
yang melingkupi segala sesuatu sehingga tiada satu pun yang dapat
lolos:
“Jalan Tuhan mengikat dan menaklukkan segalanya, tetapi hal
itu berlangsung tanpa kekerasan. Tiadalah dengan kata-kata Tuhan
itu memperoleh jawabannya. Dia tidak menyeru meliputi segalanya
tetapi dengan perlahan-perlahan bagaikan jarring-jaring Tuhan
yang luar melingkupi segalanya. Jaring itu lembut tetapi tak
seorangpun yang bisa lolos.” (Tao Te Ching, LXXIII)
Jalan Tuhan tidak memiliki orang, tetapi bila seseorang itu baik,
Jalan itu berada di sampingnya:
“Jalan Tuhan itu tidak terbagi-bagi. Dia hanya bersama orangorang
baik.”
(Tao Te Ching, LXXIX)
Kita hanya mengetahui Jalan Tuhan sepanjang yang
diwahyukan kepada kita dan adalah penting bagi kita mengenal
Tuhan dan mencapai kedekatan dengan Nya serta karena itu disebut
“kata pengantar kepada Tuhan”.
“Jalan itu adalah baka (melingkupi segalanya), digunakan tetapi
tidak pernah penuh: suatu kedalaman bagaikan nenek moyang dari
mana segala perkara berasal. Dia menumpulkan yang tajam
meluruskan yang bengkok, menyinarkan cahaya, meredakan badai
kekacauan. Suatu danau yang dalam tetapi tak pernah mengering.
Dan keturunan mana saya tidak tahu, ini seperti kata pengantar
kepada Tuhan. “(Tao Te Ching, IV)
Jalan itu telah seringkali diwahyukan kepada ummat manusia
melalui para Nabi atau “tuan-tuan yang mulia di zaman dahulu”
(secara harfiah “mereka yang di JalanNya”), yang mereka hidup
dengan itu, dan menjadi contoh-teladan bagi ummat manusia.
Mereka adalah manusia seperti kita. Mereka hidup di dunia ini,
AGAMA TAO 119
namun tetap tidak terpengaruh oleh jahatnya dunia. Mereka
manusia-manusia dari Tuhan, jujur dan benar.
Tuan-tuan yang mulia di masa dahulu,
Halus, misterius, mistis, tajam,
Sangat terkenal bagi zamannya,
Karena mereka tidak dimengerti orang,
Lebih baiklah bila dikatakan betapa mereka itu,
Seperti orang yang menyeberangai arus air di musim dingin,
Betapa hati-hatinya!
Seperti seorang yang dikelilingi marabahaya,
Betapa waspadanya!
Seperti seorang tamu di setiap saat,
Betapa mulianya!
Seperti es yang mulai mencair,
Sangat percaya diri!
Seperti sebatang kayu yang belum digergaji,
Betapa tulusnya!
Seperti sebuah lembah yang menunggu tamu
Betapa ramah tamahnya!
Seperti hujan badai yang berlangsung terus,
Dan gelap pekat!
Siapakah, yang berlari dengan badan kotor berlumpur?
Bisakah bersih bening seperti air di lubuk?
Siapakah yang berdiam diri ?
Bisakah menggerakkan orang lain kepada sempurnanya
kehidupan?
Dialah yang memeluk jalan itu, tidak serakah
Yang menahan segala beban tanpa minta upah
(Tao Te Ching, XV)
120 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
Mereka yang mengikut para Nabi dan Jalan yang diwahyukan
kepada mereka beriman dan sayang kepada Tuhan Yang Esa dan
Sejati. Mereka berusaha mengembangkan penglihatan rohani
sehingga mereka bisa mengenal Dia dengan keyakinan yang sangat
mendalam, mereka ingin menjadi bebas seperti bayi yang baru
lahir, mereka mencari jalan kesempurnaan diri dan
menyempurnakan orang-orang lain , mereka selalu terlibat dalam
beramal saleh kepada sesama makhluk Tuhan:
“Dalam menyayangi Yang Esa dengan jiwamu, dapatkah Anda
meninggalkan Tao? Dalam mengendalikan tenaga vital luntuk
mencapai kemuliaan, dapatkah Anda seperti bayi yang baru lahir?
Dalam mensucikan dan membersihkan pandangan mistis Anda,
dapatkah Anda usahakan kesempurnaan? Dalam mencintai ummat
dan memerintah kerajaan, dapatkah Anda memerintah tanpa
memaksa ?” (Tao Te Ching, X)
Mereka yang mengikuti Jalan menjadikan Jalan itu dipenuhi
kemuliaan:
“Jika Anda berbuat pada Jalan, Anda akan menjadi Jalan. Jika
Anda berkarya dengan kemuliaan, Anda akan diberi kemuliaan.
Tinggalkanlah salah satu, maka keduanya akan meninggalkan anda.
Dengan rela Jalan akan menerima mereka yang memilih berjalan di
atasnya, rela juga kekuatannya yang mengikat mereka yang mau
memilih menggunakannya dengan sebaik-baiknya, kehendak yang
rela akan menghilangkan salah kepada mereka yang
meninggalkannya. Iman yang sedikit ditanamkan kepada mereka
yang hanya percaya sedikit saja.” (Tao Te Ching, XXIII)
Jalan Tuhan adalah memperbaiki dan mengelola hal-hal yang
tidak sama. Hendaknya manusia mengikuti jalan dengan
menyesuaikan niat dan kehendaknya kepada Kehendak Tuhan dan
kemudian melalui Dia, Jalan itu akan memelihara seluruh
kebutuhannya:
AGAMA TAO 121
“Dia yang merendahkan hatinya, akan dijamin sepenuhnya. Dia
yang menyimpang akan dijadikan lurus. Dia yang kosong akan
diisi. Dia yang layu akan disegarkan. Dia yang kecil akan berhasil.
Dia yang berlebih akan sesat. Karena itu para syuhada mencintai
yang Esa (beriman dan mencintai Satu Tuhan Yang Benar) dan
adalah suatu contoh teladan bagi segenap manusia di kolong langit.
Dia terbebas dari pamer diri, karena itu dia bersinar gemerlapan;
dan pengendalian dirinya dia menjadi menonjol dari puji-pujian
yang dialunkannya, hasilnya dia memperoleh kemulian, karena
peningkatan dirinya dia tampak unggul dari yang lain. Sebegitu
jauh yang tak dikejarnya tak seorang pun di dunia ini yang dapat
mengejar bersama dia.” (Tao Te Ching, XX II)
Lao Tzu mengajarkan manusia doktrin tentang Wie-wu-wie
(harfiahnya “Beramal tanpa perbuatan”), yakni tenang, pasif,
tentram emosinya, sehingga Jalan Tuhan dapat melaluinya tanpa
terhambat ataupun gangguan. Beliau mengajarkan rendah hati,
ketenangan, tanpa campur tangan, dan mengutuk kekerasan,
kesombongan, serta nafsu pribadi. Dia yang mengikuti Jalan
manusia yang mulia, ibarat air:
“Manusia terbaik adalah seperti air, bermanfaat bagi segala
sesuatu, dan tidak bersaing dengan segala sesuatu. Dia tinggal di
tempat-tempat yang paling rendah, yang disingkiri orang di mana
dia bisa dekat kepada Tao. Di tempat kediamnya, syuhada itu
mencintai bumi yang rendah, dalam kalbunya dia mencintai apaapa
yang baik dalam hubungannya dengan sesama, dia mencintai
kasih sayang dalam kata-katanya, dia mencintai ketulusan dalam
tata pemerintahannya, dia mencintai perdamaian dalam masalah
perdagangan, dia menyukai kesanggupan dalam tindak
perbuatannya, dia menyukai waktu yang tepat. Ini adalah karena dia
tidak puas kalau dia tidak berpahala.” (Tao Te Ching, VIII).
122 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
Lao Tzu mengajarkan manusia agar berbuat kebajikan,
melarang kejahatan, dan kasih sayang kepada segenap makhluk
Tuhan. Katanya:
“Balaslah sakit hati dengan kasih sayang” (Tao Te Ching,
LXIII)
“Antara kebajikan dan keburukan saya harus baik, karena
kemuliaan adalah kebajikan. Baik kepada manusia yang jujur atau
tidak, saya lebih menyukai iman karena kemuliaan itu penuh iman”.
(Tao Te Ching, XLIX)
“Kekuasaan duniawi dapat diikatkan kepada manusia yang
mencintai sesamanya sebagaimana dia cinta kepada dirinya
sendiri.” (Ibid, XLIS)
“Karena kasih itu adalah penakluk dalam menyerang, dan paling
teguh dalam bertahan. Tuhan mempersenjatai kasih sayang kepada
mereka yang tidak diinginkanNya binasa (Ibid, XIII)
Orang yang di Jalan Nya, pemeluk agama Tao, adalah tanpa
pamrih pribadi. Dia lebih mencintai orang-orang lain daripada
dirinya sendiri:
“Alam semesta ini tahan terus. Sebab musabab karena alam
semesta bertahan terus, karena dia tidak hidup untuk dirinya
sendiri. Karena itu dia dapat dan akan hidup lama. Maka para
syuhada harus meletakkan dirinya di tempat terakhir dan
menempatkan dirinya di medan yang tersulit, menganggap jasad
tubuhnya sebagai perisai terhadap peristiwa-peristiwa, dan
karenanya dijamin keselamatan. Bukankah karena dia tidak hidup
demi kepentingan pribadi, maka dia mencapai kesempurnaan?”
(Tao Te Ching, VIII).
Kaum Tao karena itu diberkahi dengan ilmu mengenai dirinya,
pengendalian diri, ketenteraman dan pasrahnya seorang dalam
tempat yang sudah digariskan dalam alam ini:
“Seseorang yang dapat mengenal orang lain itu pandai, tetapi
seseorang yang mengenal dirinya berarti dia diterangi. Seseorang
AGAMA TAO 123
yang menaklukkan orang itu berarti dia berkuasa, tetapi dia yang
dapat menaklukkan dirinya sendiri adalah gagah perkasa.
Seseorang yang mengenal kebahagiaan berarti kaya, dan seorang
yang mendorong tenaganya berarti mempunyai kemauan.
Seseorang yang kehilangan memang bukan yang harus ditempati.
Seseorang yang mati tetapi tidak binasa berarti memiliki kehidupan
yang kekal abadi.” (Tao Te Ching, XXXIII)
Penganut agama Tao mengajarkan Jalan kepada orang-orang
lain tidak dengan memberi khotbah, melainkan dengan
menjalankan apa-apa yang diajarkan beliau, dan memberi landasan
contoh teladan bagi orang lain:
“Sesungguhnya kerja orang bijaksana itu ialah dengan berdiam
diri, dia tidak mengajarkan dengan lisan, tetapi dengan perbuatan.
Dia mengamalkan segala sesuatu bagi semua orang, dan tak lalai
terhadap suatu apa pun, kehidupan mereka diserahkan demi
segenap makluk, dia sendiri tidak memiliki apa-apa dan apa yang
dia dapat dibagikan kepada orang lain. Untuk keberhasilannya dia
tidak meminta imbalan, maka pahala tak pernah meninggalkannya.”
(Tao Te Ching, II)
Lao Tzu tidak senang terhadap penelaahan ilmu yang berbelitbelit
serta bentuk-bentuk upacara agama yang tidak menentu. Ini
semua, katanya, tidak dapat dibandingkan dengan usaha ke arah
ketuhanan dan kesempurnaan akhlak:
“Belajarlah terus menerus bersama gangguan yang
mengiringinya, karena ada suatu perbedaan antara “ya dengan
benar”, bandingkan sekarang dengan jurang pemisah antara
kejahatan dengan kebajikan. Apa yang ditakuti manusia pada
umumnya harus kutakuti, betapa gersang dan mandulnya fikiran
semacam itu. Gerombolan orang yang riuh rendah pada pesta
Korban Besar atau pada arak-arakan musim semi, mengesan dalam
diri saya, wahai tak tergetar sunyi sendiri seperti seorang anak yang
tak pernah tersenyum”. (Tao Te Ching, XX)
124 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
Beliau juga mengutuk peperangan yang agresif serta ambisius
untuk menaklukkan dan membangun suatu kekaisaran yang besar.
“Jika Tao menguasai dunia, kuda-kuda akan digunakan untuk
bertani. Jika Tao tidak berkuasa, kuda-kuda perang akan merata
dikembangbiakkan.” (Tao Te Ching, XLVI)
“Di mana para prajurit dikumpulkan, pagar berduri dan onak
ditegakkan. Mengikuti jalannya balatentara yang besar pastilah ada
tahun-tahun kesesatan.” (Tao Te Ching, XXX)
“Di saat para kesatria saling bertempur, maka siapa yang
memiliki belas kasih dialah yang unggul.” (Tao Te Ching, LXIX)
“Orang yang berakhlak adalah untuk memperbaiki para
penakluk agar mengetahui kesalahannya.” (Tao Te Ching, XXIX)
“Senjata yang terbaik adalah alat untuk peristiwa yang buruk,
menggelisahkan, dan dihindari oleh mereka yang berada di Jalan
…. Tetapi bila hal itu tak terhindarkan, mereka harus menggunakan
dengan tenang dan menahan diri. Bahkan pada saat-saat
kemenangan, alat-alat ini tidak sedap dilihat, karena mereka yang
menggunakannya sesungguhnya orang yang menyukai
pembunuhan.” (Tao Te Ching, XXXI)
Lao Tzu memberi risalah tentang kembali ke Alam, itu tidak
berarti bahwa dia menasehatkan untuk mengasingkan diri dari
dunia, tetapi apa yang dilakukannya menunjukkan bahwa dalam
renungan di tengah hutan dan gunung, awan dan sungai, terletaklah
kebahagian sejati. Jalan Tuhan yang rahasia dan ajaib hanya dapat
dinikmati dengan penerimaan terhadap Alam. Karena itu agama
Tao mencari keserasian dengan alam dan mengutuk campur tangan
yang semena-mena terhadap lingkungan serta mengganggu ciptaan
Tuhan:
“Bagi mereka yang mengambil seluruh isi bumi ini untuk bahan
tukang keramik demi mengikut seleranya sendiri, saya amati bahwa
mereka itu pasti tak pernah dapat berhasil karena dunia ini adalah
satu perahu yang suci yang tidak boleh dirombak semena-mena
AGAMA TAO 125
oleh tangan manusia. Tukang keramik telah merampasnya; hasil
rampasannya akan menghilangkannya.” (Tao Te Ching, XXIX)
Kecintaan terhadap alam inilah yang menjadi dasar atas lukisan
pemandangan alam China yang tiada tara keindahannya di muka
bumi ini. Sungguh kita tidak dapat memahami kesenian China
tanpa latar belakang falsafah Tao ini.
Lao Tzu ingin agar manusia itu menempuh pola hidup
sederhana dan wajar demi menjaga kemurnia fitrah asli manusia
yang rendah hati. “Kemukakan pribadimu yang rendah hati”,
katanya, “peluklah erat-erat fitrah azali, periksalah selalu nafsu
pribadimu, padamkanlah hawa nafsumu.” (Tao Te Ching, XIX).
“Di saat-saat istana bergelimangan kesukaan, ladang-ladang
pertanian akan terlantar dan lumbung akan sangat kosong.
Dipakainya jas-jas yang mewah berenda-renda, di bawahnya
pedang-pedang yang tajam, berlimpah ruahnya makanan dan
minuman, bertumpuknya harta milik dan kekayaan, inilah yang
saya namakan perampokkan terang-terangan, sudah pasti yakin ini
bukan Tao.” (Tao Te Ching, LIII)
Dengan semangat yang sama seperti inilah dia mengemukakan
dirinya menentang “para penguasa yang terlalu serakah”. Negerinegeri
dari dusun yang kecil-kecil secara politis menjadi citacitanya,
dan semua bentuk pemerintahan terpusat tak
diinginkannya. Semakin sedikit campur tangan penguasa di segala
bidang adalah lebih baik, manusia bahkan harus tidak was-was
bahwa mereka itu selalu diperintah. Nasehat Lao Tzu adalah
“Perintahlah suatu negeri besar itu seperti Anda menggoreng seekor
ikan kecil” (Tao Te Ching, LX) – yakni dengan memberikan
kebebasan sejauh mungkin . Beliau ingin agar manusia itu
menikmati kemerdekaan seutuhnya:
“Di saat pembatasan dan larangan berlipat ganda di dalam
kerajaan, rakyat akan hidup semakin lama semakin miskin.
Bilamana rakyat itu di bawah pemerintah yang terlalu ketat, seluruh
126 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
negeri akan dilanda keresahan. Di waktu orang-orang ahli dalam
seni tinggi, akan tampak anehlah barang-barang mewah yang
muncul kemudian. Semakin banyak jumlah peraturan dan larangan,
semakin banyak pencuri dan rampok yang akan muncul.” (Tao Te
Ching, LVIII)
Ajaran Wie-wu-wie (“beramal tanpa berbuat”) tetap berlaku,
baik bagi penguasa maupun warga biasa. Doktrin ini tetap berlaku
baik dalam kebijaksanaan negeri maupun sebagai prinsip akhlak.
“Tao tidak pernah berbuat namun melaluinya segala sesuatu
diperbuat. Bilamana para raja dan pangeran dapat menjaga Tao,
dunia akan bisa dibentuk sesuai dengannya. Di saat merombak
dalam membangkitkan tindakan haruslah menahan diri dengan
kesederhanaan azali yang suci. Kesederhanaan azali yang suci itu
terjauh dari nafsu demi kepuasaan diri. Dengan menghilangkan
hawa nafsu itu, ketenangan akan tercapai sehingga dunia akan
menjadi damai dengan sendirinya.” (Tao Te Ching, XXXVII)
AJARAN CHUANG TZU
Agama Lao Tzu mengalamai nasib seperti kebanyakan agamaagama
lainnya. Mula-mula agama itu tidak diacuhkan orang,
kecuali oleh sedikit murid-muridnya. Kemudian masuklah para
pengikut dari kalangan penguasa yang terpilih dan sejauh itu
mempopulerkannya, tetapi dengan berbuat demikian mereka juga
mengadakan perobahan perobahan penting dalam ajarannya.
Mereka menyebarkan huruf-hurufnya tetapi menghilangkan
semangatnya. Di saat Meng Tzu memberikan semangat baru
kepada agama Kong Hu Chu, munculah seorang pembaharu agama
lainnya, yakni Chuang Tzu membeberkan secara terinci kebenaran
yang dibawa oleh Lao Tzu dalam bentuk harfiah. Karya karya
tulisnya menunjukkan pandangan mendalam digabung dengan
gambaran bersanjak yang sangat indah. Seringkali syair-syair itu
juga mengandung humor yang aneh. Dia menulis buku yang setelah
AGAMA TAO 127
dia meninggal disebut Chuang Tzu. Dalam bentuknya yang
sekarang berisi tujuh puluh tiga bab semuanya campuran teka-teki
filosofis dan anekdot serta perumpamaan. Chuang Tzu dengan
mengikuti Lao Tzυ sebagai pembimbingnya, bermaksud
menguatkan kenyataan Tao (Jalan Tuhan). Segala sesuatu yang lain
di alam semesta ini adalah tidak tetap atau selalu berubah. Hanya
Tao saja yang senantiasa tetap dan selalu sama.
“Karena Tao mempunyai realitas mendasar atas peristiwaperistiwa
yang mengikutinya, maka dia terhindar dari tindakan atau
berbentuk. Jalan itu bisa disalurkan tetapi tidak bisa diserap. Bisa
dicapai tetapi tidak bisa dilihat. Jalan ini berdasarkan dirinya
sendiri, berakar dalam dirinya sendiri. Sebelum adanya langit dan
bumi, hanya Tao sendiri yang ada dan selalu ada dari masa ke
masa. Jalan itu memberi roh dan penguasaan atau daya-daya rohani
mereka, dan memberi penciptaan langit dan bumi. Bagi Tao titik
tertinggi di langit tidaklah tinggi, dan yang terdalam tidaklah
rendah, tak ada noktah dalam waktu yang lama atau berlalunya
abad menjadi tua.”2
Menurut Chuang Tzu ada dua tingkat ilmu yang dipelajari
dengan panca indera kita atau yang dikenal sebagai “ilmu
rendahan”, dan yang diwahyukan langsung ke fikiran dan hati kita
disebut “ilmu yang lebih tinggi”. Chuang Tzu dengan penuh
penyesalan melihat kenyataan bahwa manusia itu mudah puas
dengan ilmu rendahan, dan melalaikan ilmu yang lebih tinggi. Dia
juga percaya atas relativitas dari semua nilai-nilai yang ada dalam
perwujudan Nya di dunia, dan sebagai korelasi dari prinsip identitas
dan teori timbal balik. Pola ini mencakup semua kebalikan dan
dasar kehidupan aktif-pasif, positif-negatif, cahaya-gelap, laki-
2 Chuang Tzu, bab “Yang Maha Kuasa”. Terjemahan dari buku Chuang Tzu dan kutipankutipan
yang dberikan di sini berasal dari Lin Yutang (Wisdom of China, Michael Joseph,
London)
128 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
perempuan, hidup-mati. Doktrin kenisbian ini dengan indahnya
digambarkan dalam pernyataan riwayat dirinya sendiri berikut ini:
“Suatu peristiwa saya, Chuang Tzu, bermimpi bahwa saya
seekor kupu-kupu yang terbang dan hinggap ke sana ke mari untuk
memenuhi kebutuhan dari maksud seekor kupu-kupu, tanpa
menyadari bahwa aku adalah Chuang Tzu. Segera setelah aku
terjaga dan menyadari diriku sendiri lagi, aku tak tahu apakah aku
ini seorang manusia yang bermimpi menjadi kupu-kupu ataukah
aku seekor kupu-kupu yang bermimpi menjadi seorang manusia,”
(Chuang Tzu, bab “Dalam Tingkatan Segala Perkara”)
Pada akhirnya segenap kebalikan dan ketegangan itu ditentukan
dalam keserasian dan keesaan Jalan Tuhan. Dalam kata-kata
Chuang Tzu:
“Kata-kata argumentasi semuanya nisbi. Bila kita ingin
mencapai yang mutlak kita harus menserasikan mereka dengan
sarana Keesaan Ilahi dan dengan mengikuti prinsip evolusi yang
alami. Dengan demikian kita bisa melengkapi sisa kehidupan kita
yang sudah ditentukan. Tetapi apa yang dimaksud dengan
menserasikan mereka dengan sarana sarana Keesaan Ilahi ini
adalah demikian. Apa yang kelihatannya benar, belum tentu benar.
Apa yang kelihatannya demikian, belum tentu dalam kenyataannya
demikian. Bahkan jika apa yang benar kelihatannya benar itu
memang benar, di mana letak perbedaan dengan yang salah tidaklah
dapat dibuat terang dengan argumentasi. Bahkan jika apa yang
kelihatannya demikian itu memang benar-benar demikian, apa
bedanya dengan yang tidak demikian juga tidak bisa dibuat terang
dengan alasan-alasan. Jangan pedulikan waktu baik atau buruk.
Langsung masuklah dalam Ketentraman Yang Tak Terjangkau,
ambillah kedamaian akhir di dalamnya.” (Chuang Tzu, bab “Dalam
Tingkat Segala Perkara”)
AGAMA TAO 129
Seperti pembimbingnya yang besar, Chuang Tzu juga mencitacitakan
alam dengan cara hidup alamiah. Dia berkata bahwa fitrah
asli manusia itu dalam cita-citanya adalah kebahagiaan :
“Pernahkan Anda mendengar Abad Alam Sempurna pada masa
Yung Ch’eng, Tat’ing, Pohuang, Chungyng ,,, orang-orang yang
mengikat tali-tali perhitungan. Mereka menikmati hidangan,
mengenakan pakaian indah, puas dengan rumah tangganya, dan
bergembira atas adat istiadatnya. Tetangga bersilaturahmi satu
dengan lainnya, hingga mereka bisa mendengar salak anjing dan
kokok ayam tetangganya, dan orang-orang hingga akhir hayaattnya
tidak berkelana ke luar daerahnya. Masa itu adalah kedamaian
sempurna,” (Chuang Tzu, bab “Membelah Batang Pohon atau
Protes Kepada Kebudayaan”).
Manusia menjadi menderita dan dilanda kesusahan dalam
kehidupan mereka, karena bermain-main dengan alam dan
menempuh cara-cara hidup yang direkayasa. Seperti halnya
manusia yang kehilangan kebahagian disaat mereka meninggalkan
kehidupan fitrah dari masa kanak-kanaknya, begitu pula
masyarakat menjadi sesat bila mereka terikat dengan upacaraupacara
lahiriah dan larangan-larangan yang diada-adakan.
Manusia harus dibiarkan bebas untuk menempuh kehidupan yang
sederhana dan alamiah:
“Kukira orang yang tahu bagaimana memerintah kerajaan tak
akan berbuat demikian. Sebab rakyat itu mempunyai naluri alamiah
yang tertentu untuk menentukan dan membuat pakaiannya sendiri,
untuk menggarap ladangnya, dan menyediakan makanannya
sendiri. Inilah sifat mereka yang umum di mana semua orang
terlibat. Naluri semacam ini bisa dinamakan ‘terlahir dari Langit’.
Demikianlah dalam hari-hari kehidupan alamiah yang sempurna,
manusia itu tenang tentram dalam gerak-geriknya, dan berwibawa
dalam pandangannya.” (Chuang Tzu, bab “Berlarinya Kuda”)
130 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
Chuang Tzu bertindak lebih jauh dari pembimbingnya dengan
mengutuk kebudayaan, dan menganjurkan pengasingan diri dari
dunia. Dia boleh dikatakan nyaris tak melihat gunanya
pemerintahan:
“Tidak ada suatu perkara seperti membiarkan manusia bebas
sendiri dengan penuh toleransi, tidak ada suatu perkara seperti
dalam memerintah manusia. Biarlah manusia sendiri terjauh dari
ketakutan. Bila sifat-sifat asli manusia tidak dirusak, dan kehendak
mereka tidak diselewengkan, apalagi perlunya ada pemerintahan?”
(Chuang Tzu, bab “Toleransi”)
Ia memberikan penjelasan yang indah tentang prinsip Wie-wuwie,”
biarkan sendiri” atau kelambanan, dan diakhiri dengan
pembahasan yang disebutnya Jalan Tuhan.
“Dia yang tidak mengenal Tuhan akan tidak suci tabiatnya. Dia
yang tidak jelas penghargaannya kepada Tao, tidak akan tahu
bagaimana memulai. Dan dia yang tidak mendapat pencerahan dari
Tao – aduh sungguh menyesal dia! Selanjutnya apakah Tao? Tao
adalah Tuhan, Tuhannya manusia. Kehormatan melalui tanpa usaha
datang dari Tao Tuhan: keterlibatan melalui tindakan datang dari
Tao manusia. Tao Tuhan adalah dasar, Tao manusia adalah akibat.
Jarak pemisahnya demikian besar. Marilah perhatian kita ke arah
sana!” (Chuang Tzu, bab “Toleransi”)
Kehidupan yang ideal dinamakan Chuang Tzu “Tamasya
Kebahagian”, adalah keadaan di mana manusia “akan mengubur
emasnya dilereng-lereng bukit dan melemparkan mutiaramuatiaranya
ke laut. Dia tidak akan mengejar harta atau
kemasyhuran. Dia tidak akan bergembira ria karena umur panjang
atau pun berduka cita karena harus segera meninggal dunia. Dia
tidak akan bersuka ria dalam sukses ataupun merasa sakit hati
dalam kegagalan. Dia tidak merasa bahwa mahkota di kepalanya itu
sebagai hasil usaha pribadinya, dan bahwa dia tidak mengaku
bahwa kemaharajaan dunia ini kemuliaan pribadinya.
AGAMA TAO 131
Kemuliaannya adalah dalam memiliki pandangan yang dalam
bahwa segalanya adalah Esa sehingga kehidupan dan kematian itu
sama saja.
Chuang Tzu beriman kepada Hari Akhirat dan kehidupan
sesudah mati. Dia menganggap takut mati sebagai sumber pokok
ketidakbahagiaan manusia. Namun melalui pemahaman yang
diajarkannya, ketakutan ini tidak ada artinya. Kisah Chuang Tzu
dan tengkorak dapat menggambarkan secara baik hubungan ini:
Dalam perjalanan ke Ch’u, Chuang Tzu melihat sebuah
tengkorak tergeletak di pinggir jalan. Dengan memegang
cambuknya, dia menundukkan kepalanya dan bertanya: “Tuan,
ambisi apakah yang tak terpuaskan dan keinginan tak terkendalikan
yang manakah sehingga Anda seperti ini. Jatuhnya suatu
kerajaankah yang dibinasakan oleh kampak atau toya? Atau Anda
menempuh kehidupan jahat sehingga mencemarkan nama keluarga
dan karenanya Anda sampai pada keadaan semacam ini. Apakah
Anda meninggal karena kelaparan dan kedinginan, ataukah Anda
meninggal secara wajar dalam usia tua?” Kemudia diambilnya
tengkorak itu dan diletakkan di bawah bantalnya ketika tidur. Pada
tengah malam, tengkorak itu muncul di hadapannya dalam mimpi,
dan bercerita tentang kebahagiaan mereka yang sudah mati. Namun
Chuang Tzu tidak mempercayainya, dan bertanya kalau-kalau
tengkorak itu mau dikembalikan ke dunia fana dan dipulangkan
kembali ke rumahnya. Mendengar hal ini, tengkorak pun melotot
sambil mengangkat alisnya dan berkata; “Bagaimana Anda dapat
bayangkan bahwa saya akan lemparkan kebahagian besar sebagai
raja hanya untuk kembali ke dunia guna bertani dan membuat
kesusahan di alam fana itu?”
Dan disinilah gambaran Chuang Tzu tentang manusia sejati itu:
“Manusia sejati dari zaman dahulu, nampak bagaikan menara
yang kokoh tak dapat dirobohkan. Sikap mereka selalu berusaha
keras dalam pribadinya, tanp menengok orang lain. Secara fitriah
132 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
mereka memiliki kebebasan berfikir, tetapi mereka tidak keras hati.
Hidup dalam kemerdekaan yang tak terhambat, mereka tidak
mencoba untuk menonjolkan diri. Mereka tampak tersenyum seolah
selalu bahagia, dan hanya bereaksi atas umpan balik yang wajar
dari lingkungannya. Kewibawaan mereka mengalir dari timbunan
kebajikan dalam hatinya. Dalam hubungan sosial , mereka tampak
menjaga watak aslinya. Lapang dada mereka terlihat anggun,
unggul, dan selalu terkendali. Mereka senantiasa menetap seolah
pintu tertutup. Mereka selalu merenung seolah lupa bicara. Mereka
melihat hukum pidana dari bentuk luar, dan upacara di masyarakat
sebagai sarana-sarana tertentu. Ilmu pengetahuan dilihat sebagai
alat mencapai tujuan. Moral sebagai petunjuk, karena alasan inilah
maka bagi mereka hukum pidana berarti administrasi yang baik,
upacara sosial suatu cara untuk bergaul , dan ilmu pengetahuan
sebagai penolong untuk hal-hal yang tak terhindarkan. Dan
moralitas sebagai petunjuk bagi mereka yang bersedia berjalan
bersama orang lain untuk mencapai bukit kebahagian. Dan semua
manusia mengira bahwa mereka dalam penderitaan agar dapat
hidup dengan benar. Karena apa yang mereka perhatikan adalah
Satu dan yang mereka abaikan juga Satu. Apa yang mereka anggap
Esa adalah Satu dan apa yang mereka tidak anggap Esa juga Satu.
Di mana Yang Esa semua adalah dari Tuhan, dan di mana yang
tidak dianggap Esa dari manusia. Dan demikianlah maka antara
manusia dan keilahian itu sebenarnya tidak ada pertentangan. Inilah
yang dinamakan seorang manusia sejati.” (Chuang Tzu, bab “Yang
Maha Kuasa”)
PERKEMBANGAN BELAKANGAN
Selama dinasti Han agama Tao memperoleh pengaruh yang kuat
dalam kerajaan, dan boleh dikatakan sebagai masa agama negara.
Raja Tai yang memerintah dari tahun 156 sM, memerintahkan agar
buku Lao Tzu, Tao Te Ching dipelajari di kerajaan, dan karenanya
AGAMA TAO 133
dia mendapat penghargaan istana. Tetapi pada saat itu pula agama
Tao telah banyak dirusak oleh elemen-elemen magis yang
menyusup jauh dari kebenaran dan keserderhanaannya yang asli.
Pencariannya sekarang tidak lagi ditekankan kepada kemuliaan
akhlak sebagai suatu kesempurnaan hidup abadi, dan obat bagi
ketentraman hidup. Salah satu Kaisar Han telah menyiapkan
ekspedisi untuk mencari Pulau Rakhmat, di mana manusia dapat
hidup selama-lamanya tanpa mengenal sakit. Percobaan untuk
menjadi Jin mendorong manusia untuk mengadakan percobaanpercobaan
yang aneh dengan obat-obatan, dan ke arah segudang
eksprimen jasmani yang dekat dengan praktik Yoga dalam agama
Hindu. Prof. Soothill, menulis pada tahun 1923, bahwa kehancuran
agama Tao telah menjelma menjadi suatu sistem magis:
“Suatu kesalahan tidak dapat ditimpakan kepada Laocius (nama
latin dari nama Lao Tzu), dan sungguh disayangkan bahwa ajaran
akhlak yang mulia dari Laocius dan Chuang Tzu tidak dapat
terjangkau oleh para pewarisnya. Bahkan di masa Chuang Tzu, kita
dapati elemen-elemen keajaiban, yakni seseorang dapat menembus
batu cadas dan meloncat dari jarak yang sangat tinggi tanpa luka,
dan menempuh api tanpa terbakar, berjalan melalui udara beribu
mil, menghilang berhari-hari, manusia tidak mati tetapi berpindah
ke alam gaib, dan lain sebagainya. … Para penganut agama Tao
sekarang dapat berjalan di atas pedang, berjalan menginjak api
yang berkobar, menancapkan jarum panjang menembus pipi…..
Mereka dapat dipanggil untuk membersihkan rumah hantu dan
menolak setan, berkeliling kota untuk mencegah wabah kolera,
mengutuk pencuri dengan guna-guna, dan menjadi pawang hujan.”3
Orang yang bertanggung jawab dalam mengorganisir agama
Tao dan elemen-elemennya dalam Kelenteng adalah Chang Tao-
Ling – diriwayatkan bahwa dia dilahirkan pada tahun 34. Ia
3 W.E. Soothill, The Three Religions of China, (Oxford University Press)
134 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
menjadikan dirinya semacam Paus yang pertama dari garis panjang
pewaris-pewarisnya yang berlangsung terus sampai abad ini, dan
hingga tegaknya Republik Rakyat China telah mempunyai
pengaruh politik yang cukup diperhitungkan. Chang Tao-Ling
dengan sekelompok pengikutnya menegakkan negara kecil
berdasarkan prinsip-prinsip agama Tao di suatu pelosok terasing,
dan karya-karyanya disebarkan ke berbagai bagian China oleh
anggota-anggotanya dan keluarganya. Diyakini, dia memilki tenaga
gaib dan satu dari keturunannya telah menemukan air kehidupan
sehingga menjadi hidup abadi. Jabatan suci itu diturunkan dari ayah
ke anak laki-lakinya. Dan dengan berlalunya waktu, Kaisar
menghadiahkan suatu negara agama di Kiangsi, hingga masa kini
menjadi pusat Kelenteng agama Tao.
Sejarah agama Tao yang belakangan semakin meningkat
kerumitan dan peleburan dari anasir asing. Masuknya agama
Buddha di China yang sudah rusak karena agama Brahma Tantri
dan agama-agama purba dari Asia Tengah adalah komplikasi
lanjutan, dan berakibat imitasi, adaptasi, penyerapan dari banyak
gagasan yang aslinya dari India. Kuil, Biara, dan Kelenteng
didirikan orang-orang suci dan dewa-dewa, dan bahkan para
pahlawan nasional disembah-sembah orang. Akhirnya muncullah
Trinitas agama Tao yang terdiri dari Lao Tzu, Tahta Permata ( satu
tokoh mistis yang melambangkan penguasa tertinggi alam semesta),
dan dewa purba yang pertama – Dewa Perusak atau Pembinasa
Dunia, samar-samar ada prinsip utama yang lebih tinggi dari pada
ini. Dibawah pengaruh “Guru-Guru Langit” beroperasilah Jin dan
Peri yang tak terhitung banyaknya, termasuk “Delapan Yang
Abadi” yang seringkali muncul dalam kesenian China. Jalan Tuhan
(Tao) dan nilai-nilai akhlak agama Tao yang asli telah kabur
sepenuhnya, dan bercerai berai kemana-mana di samping
pengobatan gaib, dan guna guna yang bersimaharajalela di setiap
kelenteng dan biara. Takhayul yang luar biasa disebarkan di
AGAMA TAO 135
kalangan para petani yang sederhana dan buta huruf untuk
menghasilkan sejumlah uang tertentu bagi para rahib yang hidup
mewah dalam kemalasannya. Prinsip tidak berbuat seperti yang
dianjurkan Lao Tzu dan Chuang Tzu demi pengembangan rohani
telah diartikan semata-mata dengan kemalasan tanpa berbuat apaapa.
Dalam kemorosotan yang cepat, agama Tao menjadi tanah
subur bagi segala takhayul dari tugas utamanya yakni menolak roh
jahat.
Sebelum kita tinggalkan sejarah agama Tao, hendaknya kita
catat bahwa agama Buddha, Kong Hu Chu, dan Tao tidaklah
terpisah-pisah di China. Bagi negeri Kristen, pastilah tak terfikirkan
bagaimana seorang dapat menjadi Katholik sekaligus seorang
Methodist. Namun seorang China dapat dengan mudah mengatakan
dia adalah pengikut Kong Hu Chu, dan sekaligus Buddha dan Tao,
yakni sesungguhnya dia masuk dalam ketiga-tiga agama itu pada
saat yang bersamaan. Pendeta Buddha suka menjalankan kewajiban
dalam Kelenteng Tao. Kong Hu Chu sendiri disajikan dalam
tulisan-tulisan Chuang Tzu sebagai penerus teori agama Tao,
beberapa penganut agama Tao bahkan menyembah Kong Hu Chu
sebagai Dewa. Kombinasi tiga agama ini secara aneh digambarkan
oleh Dr. Carpenter:
“Pada awal abad ke enam, seorang pendeta Buddha yang
terkenal ditanya oleh Kaisar, “Apakah Anda seorang Buddhis?”,
dan dia menunjuk kopiah Tao-nya, “Apakah Anda pemeluk agama
Tao?”, dan dia menunjuk sepatu Kong Hu Chunya, “Apakah Anda
pengikut Kong Hu Chu?”, dan dia memakai jubah pendeta
Buddha.”4

0 komentar:

Posting Komentar

copyrigt; Juned Topan.. Diberdayakan oleh Blogger.