Karena itu, jika khilafah diklaim sebagai sistem pemerintahan Islam yang universal, sesungguhnya akan mudah saja bagi kita menemukan sistem itu dipraktikkan di seantero Arab yang memiliki hubungan genealogis erat dengan sejarah kelahiran khilafah. Tapi yang terjadi adalah, hampir tidak ada negara-negara Timur Tengah yang mengadopsi sistem khilafah sebagai sistem negara modern. Tidak sedikit yang justru beralih mengadopsi sistem republik atau republik demokratis. Proliferasi gerakan Islam berideologi kanan di Indonesia beberapa tahun belakangan, membuka kembali perdebatan tentang khilafah Islam. Ini terjadi karena Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), salah satu eksponen gerakan Islam ideologis di Indonesia, mengusung gagasan perlunya kembali ke sistem khilafah sebagai solusi semua problem yang dihadapi bangsa-bangsa dunia, termasuk Indonesia. Tulisan ini bermaksud mengkaji utopisme dan irasionalitas adopsi sistem khilafah Islam dalam konteks modernitas. Irasionalitas mengadopsi sistem khilafah dalam konteks masa kini, sebenarnya bisa diidentifikasi melalui pelacakan setting dan struktur sosial suatu masyarakat. Kajian tentang sejarah pembentukan dan evolusi bentuk-bentuk pemerintahan di negara-negara Arab yang dilakukan Nazih al-Ayubi (1995) dalam Overstating Arab States, bisa dijadikan salah satu contoh. Al-Ayubi menggunakan kerangka teori Marxisme tentang mode of production untuk menganalisis evolusi sistem kenegaraan di dunia Arab. Tapi yang terjadi ketika menggunakan kerangka teori tersebut? Kegagalan dalam menjelaskan fenomena yang terjadi di Arab sana. Kerangka teori Marxisme mengidentifikasi bahwa suprastuktur negara sangat ditentukan oleh basis masyarakat. Oleh Marx, basis itu tidak lain adalah mode of production dan relasi antar para pemilik sarana-sarana produksi. Di masyarakat Barat di mana Marx menelurkan gagasannya, sarana produksi lebih bersifat modern. Tapi dalam masyarakat Arab pra-Islam,mode of production seperti yang diandaikan Marx tidaklah ada. Yang berlangsung adalah apa yang disebut dengan Asiatic mode of productionatau model produksi Asia, di mana pemilik unsur-unsur produksi adalahtribe (suku). Yang dimiliki tidak lain adalah tanah. Penguasaan unsur produksi pada akhirnya ditentukan oleh pemilikan atas tanah. Untuk membuktikan bahwa basis menentukan suprastruktur, pendekatan Marxian bisa diterapkan di sini. Karena dominasi pemilikan tanah ada di tangan suku, maka proses penentuan suprastruktur negara sangat ditentukan oleh ikatan-ikatan primordial yang kemudian dikenalkan oleh Ibn Khaldun dengan nama ashabiyah (fanatisme). Dalam konteks ini, simplifikasi khilafah sebagai sistem pemerintahan yang terbaik menjadi sangat ahistoris. Dengan melihat struktur sosial di atas, khilafah sama sekali bukan sistem Islam. Ia adalah produk zaman, di mana sistem kenegaraan didasarkan tribe atau puak sangat mendominasi. Lahirnya sistem khilafah adalah evolusi dari sistem dan mekanisme yang berkembang dalam tradisi masyarakat Arab pra-Islam. Karena itu, dia mengandung unsur-unsur partikularistik yang tidak bisa diadopsi begitu saja dalam konteks masyarakat yang memiliki sistem sosial yang berbeda. Karena itu, jika khilafah diklaim sebagai sistem pemerintahan Islam yang universal, sesungguhnya akan mudah saja bagi kita menemukan sistem itu dipraktikkan di seantero Arab yang memiliki hubungan genealogis erat dengan sejarah kelahiran khilafah. Tapi yang terjadi adalah, hampir tidak ada negara-negara Timur Tengah yang mengadopsi sistem khilafah sebagai sistem negara modern. Tidak sedikit yang justru beralih mengadopsi sistem republik atau republik demokratis. Ini menunjukkan bahwa sistem bernegara adalah sesuatu yang bersifat evolutif dan merupakan human construction atau konstruksi manusia yang tidak terlalu jauh melibatkan Tuhan. Dengan menjadikan negara-negara Arab sebagai objek pengamatan, Ibn Khaldun juga sampai pada kesimpulan bahwa terdapat lima tahapan perkembangan dan keruntuhan suatu negara: konsolidasi, tirani, eksploitasi hak-hak istimewa, perdamaian serta desolusi, dan pembusukan (Fakhry, 2003: 342). Pada tahapan yang terakhir ini, kekuasaan akan mengalami pembusukan, karena menurut Ibn Khaldun, telah terjadi penyalahgunaan hak milik publik untuk kesenangan penguasa (monarch). Apa yang diidentifikasi Khaldun ini tentu terjadi dalam sebuah konteks di mana khilafah menjadi sistem dominan bagi bangsa-bangsa Arab di masa lampau. Karena besarnya potensi penyimpangan yang luar biasa pada sistem khilafah itulah, menjadi maklum kalau negara-negara Arab belakangan ini mulai melirik demokrasi sebagai sistem alternatif (Richard N. Hass, 2003). Tentu demokrasi tidak sepenuhnya baik. Tapi sampai hari ini, demokrasi selalu dirujuk sebagai sistem pemerintahan terbaik. Di banding sistem pemerintahan lainnya, demokrasi termasuk yang paling reliable atau andal. Dan dalam demokrasi sendiri, terdapat varian-varian yang cukup beragam. Tapi keragaman varian itu sah saja sepanjang nilai-nilai dasar demokrasi tetap diberlakukan. Tapi sementara kelompok menolak demokrasi atas dasar keyakinan bahwa hukum Tuhan adalah hukum terbaik. Gagasan ini sangat utopis dan terlampau abstrak. Bagaimana hukum Tuhan yang abstrak itu akan diberlakukan untuk menangani persoalan-persoalan kemanusiaan, kalau tidak juga melewati campur tangan manusia. Sementara pada awal pewahyuan saja hukum-hukum Tuhan itu masih memerlukan penjelasan teoretik dan praksis dari Nabi, apatah lagi di masa kita yang hidup di alam yang jauh dari Nabi. Penafsiran hukum-hukum Tuhan tidak pernah bisa dielakkan. Dalam konteks itu, demokrasi juga dapat disebut sebagai kreasi manusia untuk mengaktualisasi hukum Tuhan dalam konteks profanitas kehidupan manusia. Demokrasi tidak bermakna hilangnya suara Tuhan. Bahwa Islam punya banyak sistem dalam mengatur kehidupan, tentu bisa dibenarkan. Tapi klaim bahwa Islam punya sistem bernegara yang lebih baik juga kesimpulan yang terburu-buru. Namun demikian, Islam punya hak dan potensi untuk mengadopsi nilai-nilai demokrasi yang tidak destruktif. Di luar soal dari mana demokrasi berasal, nilai-nilai demokrasi sebenarnya sangat kompatibel dengan Islam. Karena itu, yang diperlukan bukan semata-mata mengadopsi demokrasi ala Barat itu, melainkan melakukan “ekstraksi” sehingga nilai-nilai demokrasi yang sudah universal pada dasarnya itu bisa bertemu dengan gagasan Islam yang rahmatan lil `alamin. Para filosof muslim telah memberikan teladan, bagaimana melakukan akselerasi warisan filsafat Yunani dengan nilai-nilai genuine Islam, sehingga lahirlah filsafat Islam yang kaya dan sarat dengan nilai-nilai Islam. Tapi meski begitu, mereka juga tidak menafikan perujukan terhadap filsafat Yunani sebagai inspirasi. Pilihan untuk meninggalkan sistem khilafah dan menggantinya dengan demokrasi justru menunjukkan kekayaan Islam dan fleksibilitas agama ini dalam melakukan akselerasi dengan perubahan. apakah khilafah tidak dekat dgn tirani ? menurut sejarah, “islam” pernah mengalami masa keemasan dengan menyebarkan “islam” dengan tirani sampai ke eropa, tapi tidak bertahan lama -itu jelas mungkin Allah tidak merestui- telah membuktikan cara itu tidak benar dan gagal total. Jelas Fanatisme euphoria dongeng masa lalu tidak mungkin terlaksana, kecuali dengan tirani. Kalau jelas saya tidak mau, bagi saya Nabi Muhammad itu no. 1. Dan saya masih bingung Nabi tidak pernah menunjuk orang lain dgn kata kasar bahkan buruk, tpi d sini ada. ?????!!!?!?!?!?!? aku mohon ampun kepada Allah sangat menyedihkan pertentangan khilafah terjadi, khilafah harus ditegakkan kembali, islamisasi peradaban harus digencarkan, jika liat sejarah khilafah menjadai pemerintahan yang serbaik, dan islam mencapai masa keemasannya, namun ketika khilafah ditumbangkan tahun 1924, Peradaban islam mulai tergeserkan dengan arus sekulerisme, sekulerisasi membuat kita luapa akan syariat yang ada. islam adalah totalitas kita dalam kehidupan bukan sekedar pegagang dan status. maka sudah saatnya kita secara totalitas kembali kepada jalan yang benar. khilafah sebagai salah satu syariat harus kita tegakkan. Mas ga usah banyak komentar, istigfar sekarang atau bersama-sama perjuangkan Khilafah, ALLAHU AKBAR Kalau khilafah dimaknai sbg model pemerintahan, maka tulisan Boy ini ada benarnya. Namun sebenarnya ada kerancuan pemahaman khilafah pada beberapa aktivis gerakan Islam, yg mana khilafah dimaknai sbg sistem/model pemerintahan. Khilafah hendaknya dimaknai kembali pada esensinya, yaitu sebuah naungan bagi ummat Islam. Khilafah dalam pengertian ini, maka memang sebagian besar ulama memandang wajib mengusahakannya. Mengenai model pemerintahan, maka ini adalah berkembang seiring dinamika ummat. Bisa saja model pemerintahan republik. Tidak ada nash ttg model pemerintahan ini. Pada faktanya setelah khulafaur-rasyidin, adanya adalah khilafah kerajaan. Jadi tdk menutup kemungkinan khilafah republik. Tdk ada yg mengharamkan kerajaan ataupun republik. Ini kembali pada kesepakatan dan dinamika masyarakat. Model pemerintahan apapun, jika dimasukkan asumsi yg sama, misalnya pemimpinnya adil, rakyatnya baik, maka akan menghasilkan output yg baik. Jadi, berbeda antara khilafah dg model pemerintahan. Salam, Edy M Negara didirikan atas asas persamaan dari suatu kumpulan orang ,maka hal ini diartikan adanya penduduk,adanya wilayah,adanya sistem pemerintahan, maka hal ini akan timbul sebuah Negara. Di zaman Nabi Muhammad SAW, adanya suatu wilayah di kawasan negeri arab,yang mungkin kita namakan Wilayah Mecca atau Mekah dan Madinah.Diwilayah tersebut sudah ada sistem pemerintahan yang sangat kacau, dimana semua orang selalu menyembah berhala ,membunuh bayi perempuan dan masih banyak lagi penistaan yang dilakukan pada zaman tersebut, dan zaman tersebut adalah zaman jahiliah. Rasul datang kebumi sebagai utusan Tuhan datang kebumi untuk dapat meluruskan sistem pemerintahan yg sudah hancur. Dahulu negeri arab adalah negeri yang sangat terbelakang dari peradaban manapun, tapi setelah islam lahir yang di bawa oleh rasul,maka sistem pemerintahan dirubah sebagai aturan yang tercantum dalam Al Quran, maka hal ini dapat dikatakan bahwa setelah datang Islam maka wilayah arab dapat berkembang dengan baik dan dapat pula mengalahkan sistem pemerintahan yang lain seperti Romawi dan Persia. Disini kita ambil kesimpulan bahwa apa yang dikatakan JIL sebagai pelopor jaringan sesat, memisahkan sistem negara dan Agama, maka hal itu jelas bertolak belakang terhadap upaya islam dalam membentuk negara yg di ridhoi Allah SWT,ingat dulu islam dapat membantu negara eropa dalam pengetahuan ilmu politik dan ilmu pemerintahan, tapi setelah negara islam lulai dengan kemewahan yg ada maka pemerintahan eropa dapat mengalahkan pemerintah islam di Arab.Jadi jelas negara tanpa agama akan seperti tubuh tanpa kaki,atau sebaliknya.Ingat Agama islam akan selalu unggul dalam berpolitik kenegaraan, jika para pemeluk islam dapat menjalan islamnya secara Kaffah.
Dalam konteks inilah, Ibn Khaldun kemudian mengintrodusir gagasan bahwa satu-satunya jalan untuk mengontrol negara adalah dengan peperangan, sehingga terjadi pergeseran pola produksi dari Asiatic mode of production kepada tributary, military atau conquest mode of production. Lahirnya imperium Islam, sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari mode produksi seperti ini. Jika dilihat secara kasar, tributary mode of production ini sebenarnya terjadi dalam satu sistem pemerintahan bernama khilafah.
——-
Selasa, 26 Juli 2011
Utopisme dan Irasionalitas Sistem Khilafah Oleh Pradana Boy ZTF
Posted by ratnaboy on 09/19 at 06:56 AM
Posted by oktavia okto on 08/25 at 06:02 AM
Posted by Ganda ewata on 04/28 at 12:05 AM
Posted by Edy Marwanta on 06/13 at 08:06 PM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
copyrigt; Juned Topan.. Diberdayakan oleh Blogger.
Komentar Masuk (15)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)