Selasa, 09 Agustus 2011
Mengenal Metode Penyebaran Agama Kristen dan Bagaimana Muslim Perlu Menyikapinya
Penulis mau menyoroti tujuh metode utama penyebaran agama Kristen, khususnya yang terpantau di Indonesisa, dan mengusulkan langkah-langkah proaktif untuk umat Muslim di Indonesia dapat menyikapi metode-metode ini. Sebelum bermuara ke situ, akan diulas dulu ihwal mengapa orang Kristen memandang agamanya sebagai agama yang terbaik dan terbenar sehingga mereka terdorong kuat untuk menyebarkannya, dorongan yang makin diperkuat oleh sejumlah amanat penyebaran agama yang tertulis dalam kitab suci Perjanjian Baru. Setelah dengan singkat dikemukakan apa tujuan orang Kristen menyebarkan agama mereka, penulis menegaskan bahwa di ujung semua kegiatan penyebaran agama apapun muncul persoalan demografis dan sosial politis, yang jika tidak ditangani dengan baik dapat memunculkan konflik fisik horisontal antar umat beragama di suatu kawasan. Selanjutnya penulis membeberkan bentuk-bentuk penyebaran agama Kristen yang umumnya dipakai orang Kristen di Indonesia; disusul dengan usul-usul tentang ihwal bagaimana umat Muslim di Indonesia dapat menyikapinya dengan kritis dan prokatif, tidak dengan membuta dan reaktif. Yang dimaksud dengan penyebaran agama dalam tulisan ini adalah kegiatan-kegiatan gereja atau orang Kristen yang terarah ke luar, go structure, gerak sentrifugal, masuk ke dalam kehidupan orang-orang non-Kristen di luar gereja, atau ke kawasan-kawasan non-Kristen, untuk membuat orang-orang non-Kristen di situ pindah agama, masuk Kristen setelah berlangsung kegiatan siar agama Kristen, dalam waktu singkat ataupun dalam waktu yang lebih panjang. Sedangkan semua kegiatan gereja yang diadakan di dalam gedung gereja sendiri, yang dihadiri oleh orang-orang Kristen sendiri (dari aliran apapun), atau oleh orang-orang lain yang dengan keinginan sendiri mendatangi gereja untuk mengenal gereja dan ajaran-ajarannya (ini yang disebut come structure, gerak sentripetal), dalam tulisan ini tidak dikategorikan sebagai penyiaran agama. Klaim agama terbaik Sama seperti semua orang beragama apapun, orang Kristen meyakini bahwa agama mereka adalah agama yang terbaik, atau paling benar, jika dibandingkan dengan semua agama lain. Keyakinan ini muncul sebagai kesimpulan dari empat keyakinan Kristen lainnya yang terpenting, yakni: keyakinan bahwa Yesus Kristus adalah Allah sendiri yang telah datang ke dalam dunia ini dengan menjelma sebagai manusia. Dengan demikian, Yesus Kristus adalah sosok terpenting dari antara semua manusia, dulu maupun kini, sehingga dia tak boleh diabaikan atau tak dikenal oleh seluruh umat manusia;keyakinan bahwa untuk menyelamatkan manusia yang berdosa dengan menghapuskan dosa mereka dan mendamaikan diri mereka dengan Allah, Yesus Kristus telah mati disalibkan sebagai pengganti semua manusia lainnya. Bagi orang Kristen, ini adalah jalan keselamatan satu-satunya yang paling realistik (berhubung, menurut akidah Kristen, manusia tak memiliki daya apapun untuk menyelamatkan diri mereka sendiri) yang disediakan Allah di bawah kolong langit bagi seluruh umat manusia sehingga harus diberitakan dan diperkenalkan kepada seluruh umat manusia (atau kepada segenap bangsa di dunia) demi mengubah dunia dan seluruh umat manusia (kegiatan pemberitaan keyakinan nomor dua inilah yang disebut gereja sebagai pemberitaan injil atau evangelisasi); keyakinan bahwa seluruh tulisan dalam Perjanjian Baru, yang dipercaya sebagai firman Allah yang tak bisa salah, dengan bulat dan kuat mempersaksikan keyakinan-keyakinan tentang Yesus Kristus yang telah disebutkan dalam dua poin di atas;keyakinan bahwa agama Kristen telah membentuk kebudayaan Barat modern yang diperlukan umat manusia untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan. Hal ini membuat orang Kristen sering melihat diri mereka sebagai orang-orang yang ditugaskan untuk menyelamatkan dunia dari segala anasir buruk yang dapat membuat dunia jatuh ke dalam stagnasi, penderitaan dan kehancuran. Bagi mereka, bukan hanya Yesus Kristus yang menjadi penyelamat dunia, mereka sebagai para pengikutnya juga adalah para penyelamat dunia. Jadi, ada dua alasan yang membuat orang Kristen percaya bahwa agama mereka adalah agama yang terbaik, yakni alasan skriptural (tiga poin pertama di atas) dan alasan kultural (poin keempat di atas). Tentu saja, jika dilakukan evaluasi tekstual kritis atas teks-teks Perjanjian Baru dan evaluasi komparatif kritis antara agama Kristen dan agama-agama dunia lainnya, serta kajian-kajian mengenai peradaban dunia, empat keyakinan ini bisa dipersoalkan kesahihannya atau kebenarannya, atau paling tidak bisa direlativisirkan, menjadi tak mutlak. Amanat penyebaran agama Bagaimanapun juga, jika dalam kitab suci Perjanjian Baru tidak ditemukan satu pun amanat penyebaran agama Kristen, semua orang Kristen dengan sendirinya akan menyebarkan agama mereka ke seluruh dunia karena didorong oleh empat keyakinan tersebut di atas. Penyebaran agama inilah yang memang terjadi sejak berbagai bentuk kekristenan muncul pertama kalinya di Palestina pada abad pertama Masehi, yang lalu menyebar ke kawasan-kawasan asing di luar Palestina dalam dunia Yunani-Romawi kuno, dan terus berlangsung hingga sekarang di abad ke-21 di mana-mana, termasuk di Indonesia. Kenyataannya, dalam Perjanjian Baru sendiri ada sejumlah amanat untuk orang Kristen menyebarkan agama mereka ke seluruh dunia, kepada segenap bangsa: amanat-amanat yang menurut penulis-penulis injil diucapkan oleh Yesus Kristus sendiri (Matius 28: 18-20; Lukas 9:60b; juga Kisah Para Rasul 1:6; 10:42), dan amanat-amanat yang disampaikan para rasul atau para penulis Perjanjian Baru (misalnya Roma 10:14-15; 1 Korintus 9:16; 2 Timotius 4:2). Teks-teks ini jelas makin membangun semangat orang Kristen untuk mengabarkan injil, menyebarkan agama mereka, bagaimanapun juga keadaan yang mereka akan hadapi, seperti tertulis dalam 2 Timotius 4:2, “Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya.” Tujuan penyebaran agama Kristen Kalau ditanyakan kepada orang Kristen, apa tujuan mereka mengabarkan injil atau menyebarkan agama Kristen, mereka akan menjawab: Pekabaran injil atau penyebaran agama Kristen harus dilakukan untuk dua tujuan: membuat banyak orang mengenal Yesus Kristus sehingga mereka akan menerima keselamatan, yakni nantinya (sesudah kematian, atau sesudah dunia kiamat) akan masuk surga, dan sekarang dalam dunia ini mengalami perubahan tabiat, perilaku dan moral secara radikal. Perubahan akhlak dan tabiat ini menjadikan mereka orang-orang yang “diciptakan baru” atau “dilahirkan kembali” dalam kemurnian: dari yang semula jahat menjadi baik, dari yang semula koruptor menjadi dermawan (mungkin dengan membagi-bagi uang hasil korupsi), dari yang semula maling menjadi polisi yang lalu menangkap maling lalu menjebloskan si maling ke dalam penjara, dan seterusnya;membuat orang yang sudah mengenal dan menerima Yesus Kristus sebagai sang juruselamat pribadi masuk ke dalam gereja Kristen dengan diawali penerimaan ritual inisiasi baptisan Kristen. Ritual ini dijalankan di dalam suatu ibadah gereja, setelah mereka menerima, menyetujui dan mengakui di depan umat sejumlah kepercayaan dasariah Kristen yang sebelumnya sudah disampaikan dan diperbincangkan dalam suatu kegiatan belajar agama Kristen (untuk para pemula) yang berlangsung berbulan-bulan bahkan bisa sampai 1 tahun. Jadi, mampu dan mau mengucapkan syahadat Kristen saja (yang dinamakan Pengakuan Iman Rasuli) tidak lantas bisa membuat orang jadi Kristen. Ada kelompok-kelompok Kristen yang memandang tujuan kedua di atas tidak perlu, sebab menurut mereka yang terpenting adalah kepercayaan dan pengakuan pribadi bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan juruselamat buat diri si pengaku; dus, masuk ke dalam dan menjadi bagian dari institusi gereja dinilai mereka kurang atau sama sekali tak penting. Karena itu mereka menolak jika pekabaran injil Kristen (= penyebaran ‘berita gembira’, injil, bahwa Yesus Kristus telah mati untuk menebus dosa manusia) dipandang sebagai kegiatan kristenisasi, dengan alasan bahwa mereka hanya mau menjadikan semua bangsa murid-murid atau para pengikut Yesus Kristus, pribadi demi pribadi, bukan mau menanam gereja di mana-mana, dan bukan untuk mengkristenkan suatu masyarakat atau suatu negara atau dunia ini. Mereka menyebut kegiatan mereka “disciple making”, memuridkan, bukan “christianizing”, mengkristenkan. Sebetulnya alasan itu sangat dicari-cari dan merupakan dalih saja, sebab setiap orang yang menjadi murid atau pengikut Yesus Kristus adalah orang Kristen, pengikut Kristus, sebutan yang diambil dari nama orang yang diikuti atau digugu dan ditiru, yaitu Yesus Kristus. Lagi pula, seorang yang sudah jadi Kristen ini (secara pribadi sekalipun) akan menjadikan orang lain Kristen pula, sebuah aktivitas yang disebut penggandaan murid, disciple multiplication. Nah, jika lewat pekabaran injil makin banyak orang secara pribadi menjadi Kristen dan akhirnya suatu masyarakat seluruhnya menjadi masyarakat Kristen, bukankah ini adalah kristenisasi? Jadi dengan dalih itu, mereka sebenarnya hanya mau menutup-nutupi kegiatan kristenisasi yang sedang berlangsung. Kalau kepada orang Kristen diajukan pertanyaan, Selanjutnya apa yang akan dilakukan jika sudah banyak orang masuk Kristen dan menjadi anggota gereja?, mereka tentu akan menjawab: Ya, selanjutnya mendirikan bangunan gereja lebih banyak lagi untuk menampung orang-orang yang sudah pindah agama, masuk Kristen. Kalau ditanya lagi, Kalau bangunan gereja sudah semakin banyak, dan jumlah orang Kristen makin meningkat di mana-mana, apa lagi yang harus dilakukan?, maka mungkin mereka akan mulai ragu dan bingung menjawabnya. Mengapa mulai ragu dan bingung? Soal demografis dan sosial-politis Ya, sebagaimana juga akan terjadi dalam kehidupan umat-umat beragama lain, kegiatan menyebarkan agama apapun pada akhirnya akan bermuara pada persoalan demografis dan persoalan sosial-politik―inilah fakta yang tak mau atau sukar diakui orang Kristen manapun! Ketika penganut sebuah agama makin banyak dan makin banyak terus, maka statistik demografis sebuah negara akan berubah; dan ketika penganut sebuah agama menjadi bagian mayoritas besar dari demografi suatu kawasan, maka bagian yang mayoritas ini mulai memikirkan ihwal bagaimana mengatur kehidupan di kawasan bukan berdasarkan keyakinan-keyakinan keagamaan orang lain, melainkan berdasarkan keyakinan-keyakinan agama mereka sendiri. Akan terjadi pengambilalihan manajemen sosial-politis suatu masyarakat atau suatu negara, di ujung setiap kegiatan penyebaran agama yang sukses besar. Dengan demikian, di ujung semua kegiatan penyebaran agama apapun, akan muncul persoalan sosial politik tentang siapa yang harus mengatur masyarakat dan bagaimana mengaturnya, dan sistem sosial apa yang harus dibangun. Tidak ada kegiatan penyebaran agama yang tidak akan bermuara pada persoalan sosial-politik di ujungnya. Agama apapun yang diklaim hanya mengurus perkara rohani saja, pada akhirnya tetap akan berhadapan dengan persoalan sosial-politik ketika umat agama ini sudah menguasai demografi suatu masyarakat atau suatu negara. Kalaupun negara yang di dalamnya kegiatan-kegiatan penyebaran agama gencar dilakukan umat-umat dari berbagai agama adalah negara sekuler, bentuk negara yang semacam ini bagaimanapun juga tidak dapat mengelakkan diri dari persoalan sosial politis yang ditimbulkan oleh perubahan komposisi demografis yang terjadi karena kegiatan-kegiatan siar agama. Kita tahu, bentuk apapun yang diambil suatu negara, apakah berbentuk sekuler demokratis atau berbentuk teokratis (negara agama), ini adalah hasil konsensus politis nasional dari rakyat negara tersebut. Jika rakyat memandang bentuk negara harus diganti, misalnya menjadi negara teokratis, maka konsensus yang lama akan dibatalkan, lalu konsensus yang baru akan dicapai, lewat mekanisme dan prosedur hukum yang sah. Perubahan menjadi negara teokratis ini tentu saja bisa terjadi karena kemauan kuat kelompok keagamaan mayoritas besar di dalam negara itu. Kenyataan demografis dan sosial-politik yang baru digambarkan di atas, yang akan menjadi muara semua kegiatan penyebaran agama yang sukses, tentu saja diketahui semua umat beragama di manapun, termasuk di Indonesia. Maka bisa dipahami jika timbul perasaan was-was, terancam, takut, khawatir, curiga, bahkan amarah, di dalam diri setiap kelompok umat beragama jika mereka melihat kelompok-kelompok umat beragama lainnya sangat aktif dalam menyebarkan agama dan memperluas wilayah teritorial mereka. Perasaan-perasaan yang destruktif ini bisa memicu konflik fisik horisontal antar umat beragama yang berbeda di suatu kawasan, cepat atau lambat, dengan dipicu pihak luar atau tidak, dengan direkayasa penguasa atau tidak. Jika konflik ini meluas dan membesar, suatu negara bisa pecah berantakan. Urusan mencari penumpang yang akan dibawa masuk surga ternyata bisa berubah menjadi urusan saling tabrak yang memakan banyak korban manusia, harta, rasa aman masyarakat dan keutuhan sebuah bangsa. Untuk mencegah dan menghindari hal-hal buruk yang sudah digambarkan dalam alinea di atas, setiap umat beragama perlu menilai kembali semua bentuk kegiatan penyebaran agama yang selama ini mereka lakukan, dan mampu mengenali, memahami dan mengevaluasi serta memberi sikap yang proaktif (tidak reaktif) terhadap berbagai bentuk penyebaran agama yang dilakukan umat-umat beragama lain. Bentuk-bentuk penyebaran agama Kristen dan bagaimana menyikapinya Sejauh penulis dapat pantau dan telah pelajari, orang Kristen di Indonesia menyebarkan agama mereka dengan menggunakan metode-metode atau bentuk-bentuk berikut, dari yang “hard” atau “overt”, terang-terangan, sampai yang “soft” atau “covert”, diam-diam dan tersamar. (1) Penyebaran agama lewat kesaksian pribadi (personal testimony) Umumnya orang Kristen mengklaim memiliki pengalaman pribadi dengan Yesus Kristus yang mereka klaim sebagai Tuhan yang hidup, the living Lord. Pengalaman ini umumnya beranekaragam, dari mendengar sendiri langsung suara Yesus di dalam hati atau lewat telinga ketika seorang Kristen sedang mencari bimbingan spiritual, atau melihat Yesus sendiri menampakkan diri dalam wujud laki-laki berjubah putih dan bercahaya, sampai mendapatkan kesembuhan ilahi dari penyakit-penyakit berat yang menurut pendekatan medis sudah tak akan dapat disembuhkan, atau konon berubah jadi kaya raya begitu menjadi orang Kristen (padahal Yesus dari Nazaret meminta setiap orang yang mau menjadi pengikutnya untuk menjual seluruh hartanya dan memberikannya kepada orang miskin!). Nah, orang yang mengklaim memiliki pengalaman pribadi dengan Yesus yang sejenis ini umumnya akan dengan yakin dan penuh gelora mempersaksikannya secara pribadi kepada orang lain sebagai sebuah personal testimony, lewat kesempatan tatap muka langsung berduaan, atau di dalam suatu kelompok orang yang sedang santai (misalnya sedang berekreasi di kawasan-kawasan hijau), atau di dalam suatu acara ibadah gereja yang salah satu unsurnya adalah penyampaian kesaksian pribadi tentang keterlibatan Yesus dalam kehidupan seseorang. Tentu adalah hak setiap orang untuk menceritakan pengalaman pribadi apapun (tidak harus pengalaman spiritual) kepada orang lainnya; tetapi adalah juga kewajiban setiap orang untuk menghormati privasi orang lain yang tidak mau diganggu, dan adalah juga hak dan kewajiban orang yang tak mau diganggu ini untuk dengan halus (atau jika sudah tak tahan, dengan tegas) menyuruh si pemberita Kristen ini pergi. Jadi, jika seorang Kristen mendatangi seorang Muslim atau sekelompok orang Muslim untuk menyebarkan agama, dia atau mereka dapat memintanya dengan halus (atau dengan tegas) untuk segera pergi, dengan tak perlu melakukan tindak kekerasan fisik apapun, dan dengan dibarengi permintaan agar si Kristen ini menghormati orang lain yang sudah beragama. Tetapi jika ada Muslim yang mau berdiskusi soal agama dengan seorang Kristen yang kebetulan mendatanginya, dia dapat membangun suatu percakapan dialogis dengan si Kristen ini. Jika dia mau berdialog, maka tujuannya bukanlah perpindahan atau pelepasan agama/keyakinan semula, melainkan untuk meningkatkan dan memperkaya pengetahuannya mengenai agama Kristen. Syukur-syukur kalau mitra dialognya yang Kristen juga mau diperkaya olehnya secara timbal-balik (tentang hal ini, akan diulas lebih lanjut di bawah). Sebetulnya jika seseorang bertemu dengan seorang beragama lain yang mau menceritakan pengalaman spiritualnya yang diklaimnya real, diskusi dapat masuk ke dalam pandangan-pandangan sains modern (khususnya neurosains) tentang pengalaman-pengalaman spiritual. Menurut neurosains, pengalaman keagamaan, pengalaman spiritual, atau semua fenomena supernatural atau paranormal, adalah pengalaman-pengalaman dan fenomena yang normal dan natural, yang muncul karena berlangsungnya aktivitas neural dalam neuron-neuron pada bagian-bagian tertentu otak manusia (yakni bagian temporal lobes, wilayah neural yang terletak persis di atas telinga). Jika ditinjau dari sudut pandang neurosains, pengalaman seorang Kristen bertemu dengan Yesus yang berjubah putih dan bercahaya sama sifat dan jenisnya dengan pengalaman seorang pencari wangsit yang mengklaim bertemu dengan suatu hantu besar penunggu sebuah kawasan pekuburan. Begitu juga, dilihat dari perspektif neurosains, klaim seorang Kristen bahwa dia mendengar suara roh kudus atau roh Yesus langsung di telinganya sama jenis dan sifatnya dengan klaim seorang Muslim bahwa di telinganya dia mendengar suara-suara jin atau suara-suara seorang sakti zaman dulu setelah dia bertapa sekian hari di tempat-tempat keramat. Bagaimanapun juga, kesaksian pribadi terkuat bukanlah lewat propaganda agama, melainkan lewat teladan bagaimana orang hidup bijak, bajik, apik, laik dan heroik. (2) Penyebaran agama dari rumah ke rumah Ada kelompok-kelompok Kristen yang menjalankan penyebaran agama dari rumah ke rumah, door-to-door evangelism, dan hal ini umumnya dipandang sebagai gangguan terhadap privasi dan ketenangan rumah yang didatangi, yang bisa bermuara pada tindak kekerasan yang dilakukan pihak pemilik rumah, yang akhirnya bisa juga menimbulkan kemarahan orang sekampung terhadap para penyebar agama ini, khususnya jika yang didatangi mereka adalah rumah-rumah Muslim yang sama-sama tidak toleran. Tetapi umumnya, yang kerap didatangi para penyebar agama jenis ini bukanlah rumah-rumah Muslim, melainkan rumah orang-orang non-Muslim (misalnya rumah keluarga penganut agama Tridharma, atau malah rumah orang Kristen aliran lain). Untuk mencegah didatangi mereka, pihak Muslim dapat menempel pada dinding depan rumah mereka pernyataan pendek Tidak Menerima Penyebar Agama Apapun. Atau melaporkan mereka ke ketua RT/RW setempat untuk mendapat teguran dan pembinaan moral Pancasila yang mengharuskan setiap warganegara untuk menghormati orang yang sudah beragama. Menempelkan stiker yang bertuliskan Awas Ada Anjing Galak memang tak bisa terjadi di rumah Muslim; susahnya, kalau menempelkan stiker Awas Ada Kambing Galak, ya tampaknya tak akan berpengaruh. Tetapi jika ada keluarga Muslim yang mau menerima dan melayani mereka, ya terimalah dan layanilah mereka dengan bermartabat, berintegritas dan cerdas, untuk justru membuat mereka malah dengan ikhlas dan sadar bertobat, pindah agama, masuk Islam, ketimbang sebaliknya. Supaya ini terjadi, keluarga Muslim yang didatangi tentu saja harus sudah memiliki basis kuat dalam akidah Islam dan pengalaman bagaimana hidup sebagai Muslim penyebar kedamaian, dan sudah terbiasa hidup dalam keanekaragaman pandangan keagamaan, dan tentu saja memiliki hati yang lemah lembut, sabar dan welas asih. Akidah yang benar dan mendewasakan manusia, dan akhlak yang jempolan, adalah dua modal utama untuk memenangkan orang ke agama sendiri, jika memindahkan orang lain ke agama sendiri memang dipandang sebagai suatu kebajikan, dan bukan sebagai suatu persoalan. (3) Penyebaran agama lewat apologetika Apologetika adalah sebuah cabang dalam disiplin “ilmu” teologi yang isinya adalah konstruksi-konstruksi teologis dogmatis yang dibangun untuk membela agama sendiri dari serangan-serangan lawan dan memperlihatkan atau membuktikan kebenaran dan keunggulan agama sendiri, dan kesalahan serta kelemahan posisi pihak lawan yang menyerang. Apologetika Kristen bukan kekecualian, malah memiliki tujuan akhir yang sudah jelas: diharapkan dan didoakan agar orang non-Kristen jadi meyakini kebenaran agama Kristen lalu memutuskan pindah agama, masuk Kristen, yang oleh kaum Muslim disebut murtad, sementara orang Kristen memandangnya sebagai rakhmat dan hidayah ilahi bagi si mantan Muslim. Dalam lingkungan Kristen, banyak orang disekolahkan ke luar negeri, dengan memakan biaya yang sangat besar dan waktu yang panjang (bisa sampai delapan tahun), untuk meraih gelar doktor dalam ilmu apologetika, dengan kepiawaian satu-satunya adalah membela agama sendiri dengan segala cara dan bentuk, yang harus dituangkan dalam tulisan-tulisan yang diklaim berbobot akademik tinggi, dan menunjukkan kelemahan atau kesalahan atau inferioritas agama pihak lawan. Dalam debat-debat sengit antara pakar-pakar agama yang bertitel doktor, yang umumnya ditugaskan berdebat adalah para apologet yang berkacamata kuda, yang memiliki telinga separuh tuli atau keduanya tuli, dan yang mempunyai mulut yang piawai menjual Kecap Bango nomor satu di dunia. Kalau kepada kedua belah pihak diberi sepasang sarung tinju atau sepasang kelewang, debat-debat agama ini akan berubah menjadi sangat seru, tetapi bersimbah darah. Sudah jelas Muslim yang eling, yang memiliki wawasan akademik dan biasa hidup toleran dan damai di tengah kemajemukan, tidak akan mau masuk ke dalam debat agama kalangan apologet. Kita semua sudah tahu, bahwa hasil dari debat-debat agama kalangan apologet semacam ini tidak pernah berakhir dengan rasa damai di hati masing-masing pihak yang berdebat, tidak pernah berhasil memindahkan orang lain ke agama sendiri, tidak pernah bisa memperkaya khazanah pengetahuan pihak-pihak yang berdebat mengenai agama-agama lain, melainkan hanya membuat para apologet makin fanatik dan picik dalam beragama, dan membuat mereka mudah histeris karena alasan-alasan sepele yang menyangkut agama mereka masing-masing. (4) Penyebaran agama lewat dialog bermartabat Lawan dari apologetika adalah dialog. Dalam dialog, pihak-pihak yang aktif saling menghormati dan menghargai posisi masing-masing, memandang pihak lain bukan sebagai lawan tetapi sebagai mitra yang sederajat, dan keduanya akan sama-sama mengalami perluasan wawasan dan pengayaan intelektual dan spiritual. Keduanya akan sama-sama tumbuh dan berkembang menuju kematangan, keagungan, keterbukaan yang makin luas, dan akan mengalami pengalaman-pengalaman baru yang akan merevitalisasi, mentransformasi dan menguniversalisasi kepercayaan-kepeercayaan yang semula dipegang masing-masing mitra, dan tidak akan terjadi proselitisasi atau pemurtadan terhadap pihak manapun. Lewat dialog yang intensif dan ekstensif, seorang Kristen akan menjadi Kristen plus, seorang Muslim akan menjadi Muslim plus, seorang Buddhis akan menjadi Buddhis plus, seorang Hindu akan menjadi Hindu plus, seorang Yudais (Yahudi) akan menjadi Yudais plus, seorang Bahai akan menjadi Bahai plus, dan seterusnya. Mengapa? Karena lewat dialog yang jujur, terbuka dan bermartabat, setiap pihak yang terbenam di dalamnya akan diperkaya oleh agama-agama lain, tanpa mereka masing-masing harus pindah ke agama lain. Nilai plus di sini bukan hanya dalam ranah intelektual kognitif, melainkan juga dalam ranah spiritualitas, ranah moralitas dan ranah praktis. Agamawan-agamawan yang telah mengalami keadaan ini sangat diperlukan dalam masyarakat, sebagai orang-orang yang bisa melintasi batas-batas agamanya sendiri (yang disebut passing over), tanpa pindah agama, sehingga mereka bisa menjadi figur-figur pemersatu umat-umat beragama yang berbeda-beda. Figur-figur semacam ini sangat diperlukan di dalam masyarakat-masyarakat yang sering terancam terpecah belah karena masalah-masalah agama, yang anggota-anggotanya yang berlainan agama kerap terjebak dalam berbagai konflik dan konfrontasi yang bisa memakan banyak korban manusia. Figur-figur semacam ini benar-benar wakil Tuhan dalam dunia ini, jika memang Tuhan tidak bisa meninggalkan kantor dan kesibukan-Nya sehingga Dia perlu mengirim wakil. Dengan demikian, salahlah anggapan banyak agamawan konservatif bahwa dialog antar agama-agama tidak akan bergerak ke mana-mana, goes to nowhere, dan pihak-pihak yang berdialog hanya akan makin terbenam dalam aktivitas tukar pikiran saja, yang tidak memberi buah berharga apapun buat agama dan umat mereka masing-masing: tidak ada konversi, tak ada pertambahan jumlah anggota umat, malah sebaliknya umat beragama yang minoritas akan makin tak berdaya dalam mengembangkan agama dan jumlah umat mereka. Faktanya, anggapan mereka ini justru terbukti benar malah di dalam debat-debat sengit antar para apologet konservatif, sebagaimana sudah dikemukakan di atas. Juga ada sebuah keberatan lain dari banyak agamawan konservatif terhadap aktivitas dialog yang menghasilkan agamawan-agamawan plus, yakni bahwa lewat dialog dan pengayaan timbal balik terjadilah apa yang mereka sangat tentang, yakni sinkretisme. Keberatan ini mudah dijawab. Sebagaimana kita alami, jalani dan lakukan setiap hari dalam kehidupan kita di luar bidang keagamaan, baik sebagai individu maupun sebagai bangsa, kita semua akan meniru perbuatan-perbuatan baik orang lain atau bangsa lain, langkah-langkah mereka menuju keberhasilan-keberhasilan. Kita mau tahu dan mau mempelajari pengetahuan-pengetahuan dan teknologi mereka yang telah membuat mereka berhasil dan menjadi terpandang dan besar. Kita mau tahu dan memeluk nilai-nilai moral dan nilai-nilai sosial yang membuat mereka teguh, kokoh, cerdas dan sukses dalam berbagai bidang kehidupan. Kita mau tahu dan mengadopsi strategi-strategi ekonomi dan politik mereka yang telah mengangkat nama mereka di panggung internasional, dan seterusnya. Nah, analogi dengan ini, jika ada hal-hal positif dan bernilai dalam agama-agama lain, maka tak ada alasan yang masuk akal dan dapat dibenarkan jika kita menolak untuk mengadopsi hal-hal positif ini! Selain itu, kita semua tahu bahwa tidak ada agama apapun dalam dunia ini yang ketika lahir, tumbuh dan berkembang tidak memakai atau meminjam atau menyerap pandangan-pandangan dunia (worldviews) dari kebudayaan-kebudayaan lain, baik yang menjadi latarbelakang kelahirannya maupun yang menjadi tempat-tempat persemaian baru ketika agama ini disebarkan ke kawasan-kawasan lain yang asing. Memakai istilah-istilah baku dalam dunia misiologi agama-agama, akan selalu terjadi inkulturasi (atau indigenisasi) dan kontekstualisasi baik ketika sebuah agama baru dilahirkan maupun ketika sebuah agama disebarkan dan masuk ke wilayah-wilayah yang baru dan asing. Hanya dengan melewati semua proses antropologis kultural ini, sebuah agama baru akan cepat diterima masyarakatnya dan ketika disebarkan akan juga cepat dan mudah diterima dan dihayati oleh masyarakat asing yang menjadi sasaran penyebaran agama ini. Agama yang murni datang dari surga, yang seratus persen tidak bersentuhan dengan dunia nyata tempat kehidupan kita, jika agama semacam ini ada, agama ini tidak akan dimengerti oleh orang manapun di dalam dunia ini, yang berjalan dengan menginjak muka Bumi dan yang masih terus-menerus belajar untuk menjadi lebih bijak dan bajik. Agama yang tidak dimengerti jelas akan ditolak, dan agama yang ditolak tentu akhirnya akan lenyap dari dunia ini, cepat atau lambat. Jadi, jika memang penyebaran agama tidak bisa dilarang, demikian juga perpindahan agama, maka lakukanlah ini lewat dialog untuk menghasilkan agamawan-agamawan lintas agama, yang punya basis kuat dalam agamanya sendiri tetapi juga bisa menyeberang sementara ke agama-agama lain demi memikul tugas luhur mempersatukan umat manusia. (5) Penyebaran agama lewat inkulturasi dan kontekstualisasi teologi Jika sebuah agama disebarkan lewat inkulturasi (juga disebut indigenisasi), maka si penyebarnya akan mengungkapkan kisah-kisah skriptural dan ajaran-ajaran agamanya dalam berbagai bentuk ekpresif kesenian dan kebudayaan yang diambil dari kebudayaan masyarakat sasaran penyebaran agama. Misalnya dalam bentuk gaya lukisan, madah, pantun, alat-alat musik, bentuk pakaian, bentuk bangunan, bahasa, kisah-kisah, olah raga, upacara-upacara, sampai ke gaya hidup, yang semuanya berurat dan berakar dalam kehidupan masyarakat-masyarakat lokal yang menjadi sasaran penyebaran agama. Memakai analogi metaforis, inkulturasi bisa mengambil bentuk percampuran air dan minyak, atau bentuk percampuran air dan susu. Sebagaimana air dan minyak tak bisa larut menyatu, tetapi tetap terpisah meskipun berada dalam satu wadah, inkulturasi bentuk ini masih menampilkan dengan kuat kekhususan agama si penyebar, yang disatukan tanpa terlebur dengan agama atau kebudayaan masyarakat lokal sasaran penyebaran agama. Contoh: gamelan dipakai, tetapi lagu-lagu yang dinyanyikan tetap lagu-lagu Kristen Barat sehingga terdengar aneh, tak klop, tak enak, dan asing, di telinga penduduk asli. Atau, lukisan dibuat dengan memakai wujud-wujud orang setempat yang memakai pakaian-pakaian lokal, atau memakai latarbelakang lingkungan alam setempat, tetapi tema lukisannya nyata sekali tema Kristen, yang dulu muncul dan bertahan di Palestina atau di wilayah Eropa pada abad-abad pertama Masehi, atau yang terdapat di dalam Alkitab. Kita tahu, orang Kristen di Indonesia, yang dipelopori orang Katolik Indonesia, sudah lama memakai metode penyebaran agama Kristen lewat strategi inkulturasi jenis percampuran air dan minyak; dan strategi ini sudah terbaca dan diketahui umat Muslim di mana-mana, lalu diberi reaksi keras dan tak sedikit yang agresif. Inkulturasi jenis ini telah masuk ke kehidupan orang Betawi asli, orang Jawa, orang Sunda, orang Papua, dan sebagainya, untuk menyebut beberapa contoh saja. Sebagaimana air dan susu bercampur dan lebur menjadi satu, inkulturasi jenis kedua menghasilkan bentuk-bentuk perpaduan jenius dan kreatif antara tema-tema lokal dan tema-tema Kristen sehingga tak bisa dibedakan lagi mana tema-tema lokal dan mana tema-tema Kristen, mana lukisan lokal dan mana lukisan Kristen, mana madah pribumi dan mana madah Kristen, dan seterusnya. Contoh: Yesus Kristus ditampilkan sebagai seorang penari Bali, dengan wajah dan pakaian serta lenggak-lenggok Bali, menarikan tari Bali dengan latarbelakang pemandangan alam Bali, dan memerankan diri sebagai dewa-dewa yang disanjung dalam agama Hindu Bali. Tema khas Kristen hampir tak nyata terlihat dalam lukisan ini; dan jika si pelukis tak menjelaskan secara lisan atau lewat tulisan bahwa figur yang sedang menari itu adalah Yesus Kristus, siapapun tak akan bisa menemukan bahwa sosok utama dalam lukisan itu adalah Yesus. Ketika sudah menerima atau membaca penjelasan si pelukis, maka si pengamat lukisan itu segera saja bisa menghubungkan semua yang dilihatnya ada pada lukisan itu dengan tema-tema Kristen tertentu, atau tema-tema alkitabiah. Nah, pertanyaannya: Apakah penyebaran agama Kristen lewat dua jenis inkulturasi ini harus dilarang? Jawabnya: Tak bisa dilarang, sebab yang disajikan kepada masyarakat adalah lukisan atau karya seni lain atau bentuk-bentuk ekspresif kultural, yang meskipun lokal, tetap merupakan bagian dari kebudayaan global yang dilindungi oleh PBB untuk dipelihara malah disebarluaskan sehingga menjadi milik global. Kebudayaan dan kesenian yang sangat dipingit, yang dibatasi hanya untuk satu suku tertentu yang kecil populasinya, akan bisa hilang dari dunia, cepat atau lambat sekalipun dilindungi oleh UU suatu negara. Sebaliknya, bentuk-bentuk kesenian dan kebudayaan lokal yang oleh para penyebar agama diangkat ke peringkat dunia, sehingga dikenal dunia luas, akan lebih besar kemungkinannya untuk bertahan dalam jangka waktu yang sangat panjang. Jadi, ketimbang melarang paksa dua jenis strategi inkulturasi ini, sebaiknya umat Muslim di Indonesia mempersilakan keduanya dijalankan oleh para pemberita Kristen lewat tangan para seniman, lokal maupun mancanegara. Dan kepada umat Muslim, para pemuka Muslim dapat menjelaskan bahwa semua yang mereka lihat ada dalam wilayah kesenian dan kebudayaan, sehingga tak perlu dilarang, malah harus didorong supaya kebudayaan dan kesenian Indonesia yang sangat pluralistik bisa dikenal dunia luas di luar Indonesia. Jika semua hasil inkulturasi ini dipandang demikian, setiap Muslim yang memiliki basis kuat dalam akidah-akidah dasariah Islam, yang menyaksikan bentuk-bentuk ekspresif kesenian dan kebudayaan hasil inkulturasi, tak akan pindah agama, dan malah bisa menghargai seni sebagai seni, meskipun si senimannya atau orang yang memesan karya seni titipan ini punya tujuan lain, yakni mau mengkristenkan orang lain lewat karya-karya kesenian dan kebudayaan. Tujuan ini tidak bisa diabaikan atau dihilangkan, tetapi setiap Muslim yang bebas, bisa menentukan sendiri dengan merdeka apa pesan karya seni dan karya kebudayaan hasil inkulturasi, yang sedang dipandang dan ditafsirkannya. Kalau mau melangkah lebih jauh dan lebih kreatif, para pelukis Muslim juga dapat melakukan inkulturasi Islam ke dalam bentuk-bentuk kultural dan kesenian lokal, yang sangat banyak ragamnya di bumi Indonesia. Tentu hal ini akan dapat dilakukan jika hambatan-hambatan akidah dan tradisi Islam dapat diatasi atau dilampaui. Lalu, bagaimana dengan kontekstualisasi teologi? Ada banyak orang Kristen, khususnya para misiolog (= kalangan pakar yang memikirkan, mengonsep, merencanakan dan membuat strategi-strategi, landasan-landasan ideologis/teologis dan kebijakan-kebijakan penyebaran agama secara efektif sebagai misi gereja), yang tidak membedakan kontekstualisasi dari inkulturasi. Tetapi ada banyak juga yang membedakan keduanya. Bagi kalangan yang kedua, kontekstualisai adalah inkulturasi yang dijalankan dalam wilayah politik dan ekonomi suatu negara, tidak lagi dalam wilayah kesenian dan kebudayaan sebagaimana sudah diurai di atas. Ini mungkin mengagetkan dan merisaukan hati banyak Muslim di Indonesia, yang sebenarnya tak perlu, mengingat agama Islam sendiri adalah agama yang sangat politis. Di Amerika Latin, teologi pembebasan yang dirumuskan banyak pakar teologi Katolik di sana (antara lain Gustavo Gutiérrez dan Leonardo Boff) pada era tahun 1970-an dan 1980-an, adalah suatu bentuk kontekstualisasi pemikiran teologis Kristen dalam konteks sosial-politik dan ekonomi negara-negara di sana yang dibuat bangkrut oleh kapitalisme, yang menimbulkan kemiskinan parah di kalangan penduduk. Di Asia, kemiskinan yang besar yang melanda banyak rakyat benua ini diberi respons sosial-politik dan religius oleh para teolog pembebasan Asia, antara lain dengan memanfaatkan nilai-nilai moral dan sosial yang ditawarkan Buddhisme, yang disandingkan dengan nilai-nilai moral dan sosial yang ditawarkan Yesus dari Nazaret dan para penulis Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dari usaha kontekstualisasi di Asia ini, lahirlah sebuah tawaran untuk orang, khususnya para penguasa dan pengusaha, sementara mengelola politik dan ekonomi negara, juga sanggup mengambil jarak (detachment) dari mammon ekonomi dan sifat korupnya kekuasaan, seperti diperlihatkan para rahib Buddhis dan juga Yesus dari Nazaret. Malah dianjurkan, supaya kalangan kaya dengan rela mengambil jalan hidup miskin dengan rela, jalan kehidupan para rahib Buddhis, lewat kerelaan mereka memakai uang mereka untuk memberdayakan rakyat miskin tanpa pamrih. Di Indonesia, pada masa Soeharto berkuasa selama lebih dari tiga dekade, teologi pembebasan sempat dicurigai sebagai teologi yang berbahaya, bahkan subversif, yang dianggap bisa menggerakkan rakyat miskin melawan rezim ini; akibatnya sempat terjadi debat sengit antara pemikir teologi Kristen yang membela teologi pembebasan (Amerika Latin) dan yang menolaknya. Sebagai jalan yang lebih aman, kebanyakan pemikir teologi Kristen pada era rezim ini mengembangkan apa yang dinamakan teologi pembangunan, sebab teologi jenis ini cenderung melegitimasi politik pembangunan ekonomi rezim Orba. Di samping itu, ada sedikit teolog Indonesia pada masa ini berusaha mengembangkan pemikiran teologi Kristen yang dikawinkan dengan nilai-nilai moral, kultural, sosial-politik dan ekonomi yang termaktub dalam Pancasila, sehingga muncullah sebuah nama yang pada waktu itu dirasakan aneh: teologi Pancasila. Sekarang, pada masa pemerintahan Presiden SBY, sedikit pemikir teologi Kristen memikirkan dan berusaha mengonstruksi teologi yang bisa mempercepat tumbuhnya kesadaran masyarakat dan para birokrat pemerintah untuk mereformasi bangsa dan negara dalam banyak segi kehidupan, dan memperjuangkan suatu negara yang demokratis non-teokratis dan menjunjung tinggi HAM. Di samping itu, berhubung filosofi dan ideologi bangsa dan negara, Pancasila, sudah sempat tenggelam karena penyalahgunaannya dalam masa pemerintahan Orde Baru, kini mulai kembali orang memikirkan untuk merancangbangun teologi Pancasila dalam konteks reformasi bangsa dan negara. Pada sisi lain, kita semua tahu, teologi politik Islam sangat gencar dipikirkan, ditulis dan dipropagandakan oleh banyak segmen dalam dunia Muslim Indonesia masa kini, yang tujuan akhirnya adalah menghasilkan sebuah negara teokratis Islami yang namanya Indonesia, yang dilandaskan bukan pada Pancasila dan UUD 45 (yang sudah diamandemen), tetapi pada Alquran dan Syariah Islam. Pemberlakuan otonomi daerah makin melicinkan jalan-jalan menuju islamisasi sistem politik Indonesia, padahal bukan itu tujuannya, sebab desentralisasi kekuasaan pusat ke daerah-daerah tak pernah lepas dari konteks negara kesatuan RI. Dus, bagaimana kita harus menyikapi kontekstualisasi teologi dalam dunia sosial-politis dan ekonomi Indonesisa? Jawabnya sangat jelas: cari dan rumuskanlah teologi sosial-politis dan ekonomis yang tidak separatis sektarian, melainkan dihasilkan bersama oleh para pemikir teologi lintasagama dan lintasilmu, demi kepentingan masa kini dan masa depan NKRI, yang dalam payung Pancasila akan diperjuangkan dan diaktualisasi tidak sendiri-sendiri, melainkan bersama-sama lewat masyarakat sipil Indonesia, sebagai mitra sekaligus oposisi yang santun terhadap pemerintah NKRI kapan pun juga. (6) Penyebaran agama lewat aktivitas diakonia Salah satu kegiatan gereja adalah ber-diakonia, artinya: melalui aktivitas gereja orang-orang yang umumnya dianggap sebagai sampah masyarakat, pengganggu, masyarakat apung yang tak memiliki tempat tinggal tetap dan KTP, yang selalu dikejar-kejar oleh para penertib kehidupan dan kebersihan kota, yang hidup miskin, menganggur dan rentan terhadap segala penyakit (fisik maupun sosial) dan ketidakadilan dalam skala luas, diinginkan dapat ambil bagian, berpartisipasi, di dalam kerahiman dan kerahmanian Allah sebagaimana diperlihatkan dengan nyata dan efektif oleh Yesus dari Nazaret pada masa kehidupannya dulu di Tanah Israel. Kata kerja diakoneō, yang kerap diterjemahkan sebagai ‘melayani’, sebenarnya berarti membuat orang lain dapat ambil bagian, berpartisipasi, di dalam sifat-sifat rahimi dan rahmani Allah, khususnya sifat-sifat Allah yang diperlihatkan kepada orang-orang yang miskin dan rentan mengalami perlakuan semena-mena dan tidak adil dari orang-orang yang berkuasa mengatur kehidupan orang lain. Nah, diakonia dilakukan gereja minimal dalam tiga bentuk. Pertama, pelayanan karitatif (amal) lewat, misalnya, pemberian sembako kepada penduduk miskin di suatu kawasan, pemberian sumbangan sejumlah kecil uang, pakaian dan mainan bekas ke panti-panti asuhan, vaksinasi gratis terhadap anak-anak penduduk kawasan-kawasan kumuh, pasar sangat murah untuk penduduk miskin yang tinggal di sekitar lokasi gereja, sampai ke balai-balai pengobatan sangat murah untuk warga miskin dalam gereja maupun yang berada di luar gereja, dan lain sebagainya. Kedua, pelayanan vokasional, yakni kegiatan mendidik, menyekolahkan dan melatih para pengangguran dan orang miskin agar mereka memiliki bekal pengetahuan praktis dan keahlian yang dapat membuat mereka menjalani vokasi/panggilan sebagai pekerja-pekerja yang dapat dipercaya dan terampil dalam masyarakat, untuk menghasilkan pendapatan buat kehidupan mereka sendiri minimal, sehingga tidak menjadi parasit yang tak disukai orang lain. Filsafat moral yang dijalankan dalam kegiatan ini adalah: Jangan beri orang miskin ikan, tetapi berilah mereka kail supaya mereka dapat menangkap ikan sendiri, dan jangan lupa sediakan juga empang atau kolam atau danau untuk mereka dapat mengail atau menjala sendiri! Tentu banyak gereja membuka sekolah-sekolah atau universitas-universitas Kristen yang dapat juga dimasuki oleh orang-orang non-Kristen sebagai siswa/i atau mahasiswa/i. Kita sudah tahu, sekolah-sekolah dan universitas-universitas semacam ini tunduk pada peraturan pemerintah yang melarang pemanfaatan secara langsung institusi pendidikan umum yang berlatarbelakang agama tertentu untuk kegiatan penyiaran agama kepada orang yang tidak menganut kepercayaan yang melandasi pendirian institusi ini. Kalaupun pemerintah tidak mengaturnya, sangat jarang institusi pendidikan semacam ini akan memakai kegiatan belajar-mengajar sebagai kesempatan mengkristenkan peserta didik yang non-Kristen, berhubung mereka juga menyadari dan paham betul bagaimana perasaan dan reaksi masyarakat non-Kristen terhadap mereka jika institusi pendidikan yang mereka bangun, ketahuan dibangun untuk kegiatan kristenisasi. Biasanya juga, sangat jarang seorang Muslim mau masuk ke institusi-institusi pendidikan Kristen; kalaupun ada yang mau masuk, biasanya institusi ini akan meminta orangtua peserta didik yang Muslim ini untuk menandatangani sebuah pernyataan bahwa anaknya tidak dilarang untuk mengikuti pelajaran agama Kristen; atau jika orangtuanya berkeberatan, sekolah dapat memberi alternatif untuk si peserta didik mengikuti mata pelajaran agama Islam di sebuah sekolah lain supaya pada rapornya nanti dapat ditulis berapa nilai mata pelajaran agamanya. Ini persoalan sebenarnya: nilai mata pelajaran agama di rapor harus diisi! Masih dalam bentuk diakonia yang kedua, gereja Kristen juga membuka pusat-pusat pendidikan dan pelatihan bagi orang miskin dan pengangguran, dan juga panti-panti asuhan, yang pada awalnya, ketika belum diganggu oleh kalangan lain yang non-Kristen, banyak diminati mereka, tetapi akhirnya harus ditutup karena tuduhan bahwa diakonia jenis ini dijalankan untuk mengkristenkan penduduk miskin dan pengangguran yang kebanyakan adalah Muslim. Sebetulnya, semua bentuk diakonia tidak boleh menjadi sarana pengkristenan orang non-Kristen, sebab yang menjadi tujuan satu-satunya diakonia gereja adalah membuat orang miskin dan pengangguran dan kalangan lain yang rentan menerima perlakuan tidak adil dan tak memiliki kesempatan untuk maju sama sekali, mendapat bagian atau berpartisipasi di dalam kerahiman dan kerahmanian Allah, sehingga mereka bisa merasakan bagaimana rupa dan wujud kerahiman, kerahmanian dan kemurahan Allah, dengan nyata dan mengesankan, perasaan yang dapat membangkitkan harga diri dan respek dalam diri mereka. Tentu saja masih akan selalu ada orang Kristen yang memanfaatkan diakonia gereja untuk mengkristenkan orang-orang yang dilayani, secara diam-diam dan berharap-harap, atau dengan terang-terangan. Penulis mau tegaskan, orang Kristen yang semacam ini salah sama sekali; mereka tidak tahu apa arti sebenarnya diakonia. Jika saya menemukan orang-orang Kristen yang semacam ini, saya selalu menegur mereka dengan tegas! Karena kesalahan pemahaman orang Kristen yang semacam inilah, akhirnya diakonia gereja sekarang ini dicurigai dan dinilai banyak Muslim sebagai kegiatan amal yang ujung-ujungnya adalah kegiatan pengkristenan. Hal yang patut disayangkan, karena sebenarnya banyak juga orang Kristen yang menjalankan diakonia tanpa pamrih apapun, selain untuk membahagiakan orang-orang yang mereka layani. Kalaupun menginginkan orang lain berbahagia adalah suatu pamrih, ini adalah pamrih yang luhur dan universal, yang bisa diterima dengan rela dan senang oleh semua orang! Bagaimana kaum Muslim menyikapi dua bentuk diakonia ini? Pertama, cek langsung ke orang-orang, gereja-gereja, atau yayasan-yayasan Kristen, yang mengadakan dua kegiatan diakonia ini, khususnya yang diadakan di kawasan Muslim, apakah mereka bertujuan melakukan pengkristenan kaum Muslim atau tidak. Kedua, jika mereka menjamin (sebaiknya tertulis) bahwa misi mereka bukan kristenisasi sama sekali, percayalah kepada mereka, dan dukung dengan ikhlas, dan jika perlu juga dengan dana, kegiatan-kegiatan diakonia mereka. Tetapi jika mereka ragu-ragu atau sama sekali tidak bisa memberi jaminan, jangan dukung mereka; dan kalau pusat kegiatan mereka ada di kawasan mayoritas Muslim, mintalah mereka dengan baik-baik untuk memindahkan lokasi kegiatan mereka. Bentuk diakonia yang ketiga adalah diakonia advokatif, diadakan khusus untuk melakukan pendampingan dan pembelaan atas orang-orang miskin jika mereka terlibat atau berhadapan dengan masalah-masalah hukum, yang timbul karena perlakuan-perlakuan tidak adil dan sewenang-wenang yang mereka alami dari para pengusaha, penguasa atau kalangan lain yang tampak mampu menentukan nasib mereka tanpa bisa mereka lawan sendirian. Umumnya pelayanan diakonia advokatif ini tidak langsung ditangani gereja, melainkan lewat yayasan-yayasan bantuan hukum yang didirikan warga gereja, bukan oleh lembaga gereja. Selain itu, karena advokasi perlu membentuk persepsi masyarakat dengan disengaja dan terencana, dan memobilisasi banyak orang untuk mendukung aksi advokasi, gereja-gereja biasanya banyak yang enggan untuk membuka diakonia advokasi. Bagaimana sikap Muslim terhadap diakonia advokasi? Jika kalangan Muslim sepakat bahwa orang miskin yang mengalami perlakuan tidak adil harus dibela secara hukum, maka dukunglah atau ikutsertalah dalam diakonia advokatif gereja. Dalam diakonia jenis ini, sama sekali tidak ada tujuan pengkristenan, sebab umumnya advokasi ditujukan kepada banyak warga masyarakat miskin sekaligus, bukan kepada satu atau dua orang miskin. Dan akan jauh lebih baik, jika aksi advokasi dipikul dan dijalankan secara bersama-sama oleh umat-umat lintasagama. (7) Penyebaran agama lewat penerjemahan Alkitab Poin ketujuh ini tentu ada kaitannya dengan poin lima mengenai evangelisasi lewat inkulturasi dan kontekstualisasi teologi. Jadi, poin tujuh ini tak memerlukan uraian panjang lagi, tetapi dipisahkan dari poin lima karena ada hal-hal penting yang perlu disoroti terpisah. Banyak reaksi negatif dari kalangan Muslim terhadap penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa lokal atau bahasa-bahasa suku-suku bangsa di Indonesia. Mereka khawatir bahwa lewat Alkitab yang ditulis dalam bahasa-bahasa suku atau bahasa-bahasa lokal akan banyak orang Indonesia, lebih-lebih yang tinggal di kawasan-kawasan pedalaman, menjadi Kristen karena mereka bisa membaca sendiri Alkitab dalam bahasa mereka sendiri, lalu memahaminya dan tertawan oleh beritanya, sehingga akhirnya mereka meninggalkan agama-agama suku mereka, menjadi Kristen. Ketika mereka sudah menjadi Kristen, mereka dikhawatirkan akan mengubah gaya hidup mereka, mengikuti gaya hidup para penyebar agama Kristen, yang tidak sedikit di antaranya adalah orang-orang bule/Barat, yang rela dan senang masuk ke pedalaman-pedalaman Indonesia dan tinggal si sana bertahun-tahun, mempelajari kebudayaan mereka, bahasa mereka, antropologi dan psikologi mereka, dan akhirnya mengkristenkan mereka ketika waktunya dipandang sudah tiba, dan panen tinggal dituai. Apakah kekhawatiran kaum Muslim semacam ini dapat dibenarkan? Sama sekali tidak dapat dibenarkan, karena beberapa alasan. Pertama, jika penerjemahan ke dalam bahasa-bahasa suku dipandang berbahaya, bukankah jauh lebih berbahaya penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Indonesia, mengingat bahasa Indonesia adalah bahasa nasional yang umumnya dipakai di seluruh provinsi Indonesia bahkan sampai juga ke pedalaman-pedalaman oleh segelintir cerdik pandai yang hidup di sana sejak mereka dilahirkan? Dengan memakai logika Muslim yang sudah digambarkan di atas, bukankah Alkitab dalam bahasa Indonesia bisa membuat seluruh Indonesia jadi Kristen karena umumnya bagian terbesar rakyat Indonesia memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa pendidikan dan bahasa pergaulan nasional? Faktanya tidak demikian. Dapat dikatakan sejak 1928, hingga kini, Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya (85 persen) menganut agama Islam. Kedua, bahasa suku bangsa apapun, dan di manapun, adalah juga bagian dari kekayaan kebudayaan global yang patut dipelihara dan dipertahankan untuk jangka waktu yang lama. Penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa suku dapat dikatakan adalah bagian dari usaha-usaha melestarikan bahasa-bahasa suku yang ada dalam dunia ini, khususnya yang ada di Indonesia. Sangatlah salah jika usaha-usaha kultural yang tepat dan bagus ini dihambat karena ketakutan-ketakutan yang ditimbulkan alasan-alasan keagamaan. Ketiga, Alkitab meskipun berisi sejumlah pandangan religio-kultural dan moralitas yang harus ditolak (misalnya: pandangan bahwa berperang demi nama Tuhan atau atas perintah Tuhan harus dilakukan apapun risikonya, termasuk keharusan melakukan genosida; praktek atas nama agama mengorbankan anak sulung untuk Tuhan; larangan bergaul lintas agama atau menerima pengaruh dari agama-agama lain; posisi manusia yang dipandang lebih tinggi dari alam dan harus menaklukkan alam; dan lain sebagainya), tetap masih memuat pesan-pesan religio-kultural dan moral (khususnya yang tertulis dalam Perjanjian Baru) yang relevan untuk diperdengarkan dan diketahui suku-suku terasing, misalnya suku-suku terasing yang kanibalis (dulu masih ada di Indonesia, sekarang mungkin sekali sudah tak ada) atau yang masih sering terlibat perang antarsuku dan tak bisa diperdamaikan. Supaya terjadi transformasi kultural dan moral, suku-suku di pedalaman Indonesia perlu memiliki Alkitab yang sudah ditulis dalam bahasa-bahasa suku mereka sendiri-sendiri, supaya mereka dapat membaca dan memahaminya secara langsung sendiri, di bawah bimbingan orang-orang yang kompeten di antara mereka. Keempat, karena bahasa ibu adalah bagian dari jati diri seseorang, dan mengenal bahasa ibu seseorang dengan demikian adalah mengenal diri orang itu sedalam-dalamnya, maka penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa suku adalah suatu tindakan penghargaan yang dalam terhadap jati diri dan martabat mereka. Apakah tindakan yang agung ini harus dihambat dan dihentikan, lagi, karena alasan-alasan persaingan antaragama? Jelas, tidak boleh! Alasan-alasan persaingan antaragama menduduki posisi jauh di bawah alasan penghargaan atas jadi diri dan martabat seseorang. Jika demikian halnya, maka bagaimana kaum Muslim harus menyikapi penyebaran agama Kristen lewat penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa suku? Jelas, kaum Muslim perlu juga menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa-bahasa suku yang ada di Indonesia, dengan maksud dan tujuan yang bisa serupa dengan maksud dan tujuan Alkitab diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa suku, sebagaimana sudah diuraikan di atas. Mengingat, misalnya, keturunan Tionghoa di Indonesia yang masih berbicara dan membaca bahasa Mandarin dan berbagai dialeknya yang majemuk, masih banyak, maka supaya Islam makin masuk ke kalangan mereka, Alquran juga perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin dan dialek-dialeknya untuk dipakai menyiarkan agama Islam ke mereka. Jadi, bersainglah dengan sehat dan agung dalam usaha menerjemahkan Alquran, meskipun usaha ini masih banyak yang menentang karena bahasa Arab Alquran (dan kebudayaan Arab pada umumnya) dipandang agung dan tinggi, melampaui bahasa-bahasa lain (dan kebudayaan-kebudayaan lain) apapun dalam dunia ini, suatu sikap mental Muslim yang sangat perlu untuk dievaluasi dengan dingin. Inkulturasi teologi masih belum biasa dilakukan di kalangan sarjana teologi Muslim Indonesia sekarang ini, bahkan masih dipandang sebagai kesesatan. Jalan masih panjang buat kaum Muslim Indonesia. Tetapi di depan nanti, Muslim di Indonesia akan bersaing dengan orang Kristen dalam usaha-usaha menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa-bahasa suku. Kita nanti tak akan heran lagi jika menemukan edisi-edisi Alquran dalam berbagai bahasa suku yang ada di Indonesia, karena Islam kontekstual Indonesia akan semakin mengokohkan posisi Islam di negeri ini. Penutup Telah diuraikan di atas tujuh metode penyebaran agama Kristen di Indonesia, serta saran-saran bagaimana seharusnya Muslim Indonesia menyikapinya. Tentu masih ada metode-metode lain yang belum diuraikan di atas, misalnya metode passing over dan coming back. Jika metode ini digunakan, terbatas khususnya oleh para ilmuwan peneliti agama-agama, maka si ilmuwan ini meninggalkan agamanya sendiri, melintasinya, untuk masuk ke dalam agama orang lain, sekian tahun, untuk benar-benar bisa memahami dan merasakan bagaimana menjadi orang beragama lain secara faktual. Setelah itu, dia kembali ke agamanya sendiri, coming back, untuk memperkaya agamanya semula dan membagi pengalamannya selama ber-passing over kepada umatnya, sehingga bukan hanya dirinya, tetapi juga umatnya menjadi warga negara dua agama, tetapi berdiam di dalam satu rumah agama. Sikap proaktif terkuat dan paling bertanggungjawab dan bermartabat untuk mencegah pemurtadan di lingkungan Muslim Indonesisa, adalah dengan memperkuat basis akidah, spiritual, moral dan gaya hidup semua Muslim di Indonesia. Jika ini sudah bisa dihasilkan, bisa jadi Muslim di Indonesia akan tampil dengan percaya diri, dan tak mudah curiga, resah dan marah ketika mereka melihat aktivitas penyebaran agama yang dilakukan orang Kristen. Pada sisi lain, orang Kristen di Indonesia hendaklah menyadari dan paham, bahwa berusaha mengganti agama orang yang sudah beragama dengan agama Kristen adalah sebuah tindakan yang selalu salah jika ditinjau dari sudut apapun. Mengenai hal ini, penulis sudah pernah menulis panjang lebar (klik link inihttp://www.facebook.com/note.php?note_id=10150176516849096 ). Dilihat dari etika pergaulan sosial, niat memproselitisasi orang yang beragama lain adalah suatu niat yang asosial atau anti-sosial, sebab hanya seseorang yang tak bisa menghargai sesamanya yang berlainan agama sebagai sesama manusia yang bermartabat, akan berusaha keras mengonversinya ke dalam agamanya sendiri. Membujuk-bujuk dengan segala cara orang non-Kristen supaya mau menjadi Kristen, sebenarnya bukan suatu tindakan mengagungkan agama sendiri, melainkan suatu tindakan mengerdilkan agama sendiri, yang dipandang kekurangan penganut. Kalaupun agama apapun perlu terus disebarkan, lakukanlah lewat dialog yang jujur, terbuka, bermartabat dan mencerahkan, dengan hasil bukan pemurtadan atau proselitisasi, melainkan pengayaan timbal balik, mutual enrichment, sehingga yang Kristen menjadi Kristen plus, yang Muslim menjadi Muslim plus, yang Buddhis menjadi Buddhis plus, dan seterusnya. Metode dialog inilah yang pas dijalankan di Indonesia, suatu negara besar yang bisa pecah berantakan jika umat-umat beragama yang berbeda-beda berusaha memperbanyak umat sendiri lewat kegiatan proselitisasi atau pemurtadan. Sayang kan kalau vas bunga indah di rumah anda sampai jatuh pecah berantakan. oleh Dr. Ioanes Rakhmat URL Facebookhttp://facebook.com/ioanes.rakhmat1 HP 081 314 7555 66 -------------- (*) Makalah untuk kuliah umum di ITB (Bandung), yang disampaikan di GSS A Masjid Salman ITB, pada 7 Agustus 2011.
Oleh: Ioanes Rakhmat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
copyrigt; Juned Topan.. Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar