Apakah nasionalisme itu? Berbagai pengertian mengenai nasionalisme dapat membantu kita memahami hakikat nasionalisme Indonesia. A. Pengertian leksikal Secara etimologis, kata nation berakar dari kata Bahasa Latin natio. Kata natio sendiri memiliki akar kata nasci, yang dalam penggunaan klasiknya cendrung memiliki makna negatif (peyoratif). Ini karena katanasci digunakan masyarakat Romawi Kuno untuk menyebut ras, suku, atau keturunan dari orang yang dianggap kasar atau yang tidak tahu adat menurut standar atau patokan moralitas Romawi. Padanan dengan bahasa Indonesia sekarang adalah tidak beradab, kampungan, kedaerahan, dan sejenisnya. Kata natio dari Bahasa Latin ini kemudian diadopsi oleh bahasa-bahasa turunan Latin seperti Perancis yang menerjemahkannya sebagai nation, yang artinya bangsa atau tanah air. Juga Bahasa Italia yang memakai kata nascere yang artinya “tanah kelahiran”. Bahasa Inggris pun menggunakan kata nation untuk menyebut “sekelompok orang yang dikenal atau diidentifikasi sebagai entitas berdasarkan aspek sejarah, bahasa, atau etnis yang dimiliki oleh mereka” (The Grolier International Dictionary: 1992). Pengertian ini jelas mengalami perubahan karena kata nasion dan nasionalisme diadopsi dan dipakai secara positif untuk menggambarkan semangat kebangsaan suatu kelompok masyarakat tertentu. Di bawah pengaruh semangat pencerahan (enlightenment), kata nasionalisme tidak lagi bermakna negatif atau peyoratif seperti digunakan dalam masyarakat Romawi Kuno. Sejak abad pencerahan (zaman pencerahan atau zaman Fajar Budi berlangsung selama abad 17–18), kata ini mulai dipakai secara positif untuk menunjukkankesatuan kultural dan kedaulatan politik dari suatu bangsa. “Kesatuan kultural” dan “kedaulatan politik” merupakan dua kata kunci yang penting untuk memahami nasionalisme. Nasionalisme dalam pengertian kedaulatan kultural akan berbicara mengenai semangat kebangsaan yang timbul dalam diri sekelompok suku atau masyarakat karena mereka memiliki kesamaan kultur. Di sini kita berbicara mengenai nasionalisme bangsa Jerman atau bangsa Korea atau bangsa-bangsa di Eropa Tengah dan Timur yang memiliki kesamaan kultur. Semangat kebang-saan atas dasar kesamaan kultur ini telah terbentuk sebelum terbentuknya suatu negara bangsa. Mengacu pada pengertian ini, Indonesia jelas tidak menganut paham nasionalisme dalam artian kesamaan kultur. Kita memiliki pluralitas budaya dan etnis yang memustahilkan kita berbicara mengenai semangat kebangsaan atas dasar persamaan kultur. Masih dalam konteks pengertian ini, sebenar-nya wajar saja jika orang Aceh berbicara mengenai nasionalisme Aceh, demikian pula orang Papua, Maluku, Jawa, Batak, Bugis, Makassar, Bali, Flores, dan sebagainya. Nasionalisme yang mereka mak-sudkan tentu saja adalah semangat kebangsaan atas dasar persamaan kultur ini, dan semangat ini tidak bisa dikatakan sebagai salah atau benar. Pengertian kedua adalah nasionalisme dalam arti kedaulatan politik. Berdasarkan pengertian ini, suatu kelompok masyarakat menentukan sikap politik mereka—atas dasar nasionalisme, entah nasionalisme kultural atau nasionalisme politik—untuk memperjuangkan terbentuknya sebuah negara yang independen. Itu berarti baik kelom-pok masyarakat yang memiliki kesamaan kultur maupun yang multi kultur dapat memiliki nasionalisme dalam artian kedaulatan politik ini. Menurut pengertian ini, Indonesia termasuk yang memiliki nasionalisme dalam arti kedaulatan politik. Demikian pula halnya dengan negara-negara lain yang memiliki keragaman kultur. Nasionalisme dalam arti semangat kebangsaan karena kesamaan kultur mula-mula mendasarkan dirinya pada persamaan-persamaan kultur yang utama, misalnya kesamaan darah atau keturunan, suku bangsa, daerah tempat tinggal, kepercayaan agama, bahasa dan kebudayaan. Ketika berkembang menjadi kedaulatan politik, nasionalisme merangkum atau mengikutsertakan nilai-nilai lainnya seperti adanya persamaan hak bagi setiap orang untuk memegang peranan dalam kelompok atau masyarakatnya serta adanya kepentingan ekonomi. Perkembangan lebih lanjut tentu saja adalah adanya hak untuk menentukan nasib sendiri (self determination) dan hak untuk tidak dijajah oleh bangsa lain (freedom from slavery). Dalam sejarah, tampak jelas bahwa hak untuk mengambil bagian secara aktif dalam kehidupan politik merupakan sebuah kesadaran baru yang dipengaruhi oleh revolusi Prancis tahun 1789. Sementara itu, hak untuk menentukan nasib sendiri dan hak untuk tidak dijajah bangsa lain telah menjadi dasar nasionalisme dari negara-negara Asia–Afrika dalam membebaskan diri dari penjajahan setelah Perang Dunia II. B. Pengertian menurut para ahli Telah ada banyak pemikir yang mencoba men-definisikan nasionalisme. Beberapa pemikiran para ahli tersebut dapat dikemukakan di sini. Oleh karena begitu banyak ahli atau pemikir yang berbicara me-ngenai nasionalisme, maka kita akan membatasi diri mengutip beberapa pemikir yang penting saja. Ada pemikiran yang diulas lebih panjang, ada yang singkat dan sekadar informasi. Pemikiran para pe-mikir yang dibahas di sini membantu kita untuk me-mahami nasionalisme Indonesia secara lebih baik dan lengkap. 1. Joseph Ernest Renan dari Prancis (1822–1892) Bangsa adalah sekelompok manusia yang punya kehendak untuk bersatu karena mempunyai nasib dan penderitaan yang sama pada masa lampau dan mereka mempunyai cita-cita yang sama tentang masa depannya. Persamaan masa lalu dan keinginan untuk menyongsong hari depan itulah yang menyatukan mereka dalam satu kelompok dan menimbulkan rasa kebangsaan. 2. Mohammad Yamin (Indonesia) Bangsa adalah sekelompok manusia yang bersatu karena adanya persamaan sejarah (rasa senasib dan sepenanggungan), persamaan bahasa dan persamaan hukum (hukum adat dan kebudayaan). Mohammad Yamin menyatakan bahwa pengertian “Bangsa Indonesia” dalam ikrar Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 adalah bangsa Indonesia dalam taraf “Bangsa Kebudayaan” (Cultuur Nation), sedangkan pengertian “Bangsa Indonesia” yang dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945 merupakan “Negara Bangsa” (Staats Nation). 3. Otto Bauer (Jerman, 1882–1939) Bangsa adalah suatu kesatuan perangai yang muncul karena adanya persatuan nasib. Jadi, bangsa merupakan kelompok manusia yang mempunyai persamaan karakter yang tumbuh karena adanya persamaan nasib. Bangsa sesungguhnya adalah kumpulan dari rakyat yang telah bertekad untuk membangun masa depan bersama. Mereka dipersatukan karena mempunyai persamaan sejarah dan cita-cita, yang kemudian merasa terikat karena mempunyai tanah air yang sama. Hasrat bersatu yang didorong oleh persamaan sejarah dan cita-cita tersebut mengarahkan rakyat yang mendiami suatu wilayah tertentu untuk menjadi bangsa, yang dalam perkembangannya menjadi salah satu unsur terbentuknya negara. Kemudian mereka mendirikan negara yang akan mengurus terwujudnya keinginan mereka tersebut. Dahulu orang berpendapat bahwa bangsa hanya dapat dibentuk oleh suatu masyarakat yang berasal dari suatu keturunan yang sama, satu adat-istiadat yang sama. Akan tetapi, pendapat itu belum dapat dipastikan sebagai satu-satunya pendapat yang benar. Sebab dari kenyataan, terdapat bangsa-bangsa yang berhasil didirikan berdasarkan keanekaragaman corak budaya dan etnis. Contohnya: bangsa Amerika Serikat dan juga bangsa Indonesia. Kedua bangsa ini terdiri atas beranekaragam suku bangsa, budaya, agama, etnis dan lain-lain, tetapi ternyata tetap dapat mewujudkan dirinya sebagai satu bangsa. Dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, bangsa Indonesia berhasil mewujudkan dirinya sebagai satu bangsa yang kompak. Bagaimana kita dapat menyimpulkan pengertian nasionalisme di atas? Apa yang dikemukakan para pemikir tersebut sebenarnya adalah poin-poin penting yang harus ada bagi terbentuknya sebuah nasionalisme. Friedrich Hertz, seorang ahli asal Jerman dalam bukunya, Nationality in History and Politics dapat membantu kita untuk memahami poin-poin penting bagi terbentuknya nasionalisme dan sekaligus menjadi kesimpulan atas pendapat para ahli di atas. Bagi Hertz, pembentukan sebuah bangsa harus memenuhi empat unsur aspiratif berikut. Dalam kenyataannya, keempat unsur ini men-jadi faktor penting bagi munculnya suatu bangsa. Adanya persamaan nasib, keinginan dan cita-cita merekatkan kelompok-kelompok masyarakat menjadi satu bangsa dan membentuk negara, yang di-yakini dapat melindungi, menampung dan mewujudkan cita-citanya. C. Diskusi Kontemporer Nasionalisme tidak akan pernah selesai diper-debatkan karena dialah satu-satunya ideologi yang sungguh-sungguh mengikat dan mempersatukan sekelompok masyarakat dalam sebuah perasaan yang sama dan tekad untuk untuk membangun kehidupan bersama. Kalau diperhatikan perdebatan mengenai nasionalisme dewasa ini (kontemporer), dikotomi nasionalisme sebagai identitas kultural atau identitas politis akan terus mewarnai perdebat-an ini. Lima pemikir di bawah ini diambil sebagai contoh untuk menunjukkan diskusi kontemporer mengenai nasionalisme. Setelah itu, pemikiran-pemikiran mereka akan kita simpulkan. Dari sana kita mencoba memahami pembentukan sebuah negara berdaulat berdasarkan semangat nasionalisme. 1. Ernest Gellner Ernest Gellner memahami nasionalisme seba-gai proses pembentukan kultur suatu bangsa. Gellner mengenal dan membedakan kebudayaan tinggi atau high culture dan kebudayaan rendah atau low culture. Kalau nasionalisme dipahami sebagai proses pembentukan kultur bangsa, maka yang Gellner maksudkan adalah proses pembentukan high culturesebuah bangsa. Dalam proses ini kultur yang sifatnya tinggi tersebut dikodifikasi. Ada dua pertanyaan yang dapat diajukan. Pertama, apa yang dimaksud dengan kebudayaan tinggi dan kebudayaan rendah? Kedua, apa yang dimaksud dengan kodifikasi kebudayaan dan menga-pa hal itu perlu dilakukan? Sekali lagi, high culture adalah kebudayaan yang oleh sebuah negara dianggap bernilai tinggi dan pantas dijadikan sebagai kebudayaan nasional. Menurut Gellner, kriteria sebuah kebudayaan bernilai tinggi atau rendah adalah apakah kebudayaan tersebut rasional atau tidak. Misalnya sikap ramah (hospitality) suatu kelompok masyarakat menerima siapa saja yang datang dalam hidup mereka. Kare-na dapat dipahami secara rasional, sikap ramah dapat diterima menjadi salah satu kebudayaan nasional. Sebaliknya, jika suatu adat, kebiasaan atau hasil karya yang membahayakan hidup orang lain atau menggangu ketenteraman hidup orang lain akan sulit diterima dan diakui sebagai bagian dari kebudayaan nasional. Dalam kasus seperti ini negara bisa saja menolak bahkan melarang kebudayaan seperti itu. Ingat, arti kebudayaan adalah keseluruhan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Proses pembentukan high culture dalam nasionalisme adalahproses standardisasi kebudayaan nasional. Standardisasi ini selain dapat mengalahkan, memperlemah, atau membunuh kebudayaan-kebudayaan lokal atau kedaerahan, dapat juga membunuh kebudayaan-kebudayaan yang sifatnya etnik yang sebetulnya telah ada sebelum adanya negara. Negara sebenarnya bukan hanya dapat mengadopsi salah satu kebudayaan etnik yang ada menjadi kebudayaan nasional, tetapi juga menolak atau melarangnya. Misalnya, pemerintah Inggris mengizinkan kebebasan beragama dan beribadah di Inggris, tetapi melarang pengajaran agama Kristen di sekolah dasar dan sekolah lanjutan. Dalam contoh yang paling terakhir, pemerintah Inggris mengizinkan sekolah-sekolah melarang pemakaian jilbab di sekolah bagi siswi muslim dengan alasan supaya semua siswa-siswi dapat berbaur tanpa hambatan atau halangan eksternal dan internal. Bagaimana dengan Indonesia? Orde Baru sangat mengutamakan kodifikasi atau standardisasi kebudayaan nasional ini. Dalam bidang agama, misalnya. Orde Baru melarang sekte-sekte dari suatu agama bila praktik ritual mereka dipandang mengganggu ketertiban umum dan membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Begitu juga dengan bentuk atau ungkapan kebudayaan lainnya. Dalam arti ini praktik-praktik keagamaan dari sekte-sekte tertentu itu bukan merupakan kebudayaan nasional. Pemerintah Orde Baru bahkan berani menentukan agama mana yang resmi dan agama mana yang tidak resmi. Agama yang resmi menurut versi Orde Baru dapat dianggap sebagai high culture, sementara di luar itu adalah low culture. Yang dimaksud dengan kodifikasi kebudayaan adalah proses standardisasi kebudayaan. Dengan kata lain, proses menentukan mana kebudayaan yang dapat menjadi kebudayaan nasional dan mana kebudayaan yang harus ditolak. Kodifikasi ini dilakukan untuk menjamin keberlangsungan hidup suatu bangsa. Meskipun demikian, sering terjadi bahwa kodifikasi ini sengaja dilakukan penguasa atau elit politik tertentu dengan maksud untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Dalam arti itu kodifikasi kebudayaan didahului oleh adanya propaganda yang sifatnya sangat ideologis. Menurut Gellner, kodifikasi kultur sebenarnya dimaksud untuk mencegah monopoli penentuan kultur nasional hanya oleh elit atau kelompok tertentu saja. Nah, ini berarti dalam menentukan mana kebudayaan yang tinggi dan mana yang rendah ha-rus mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat. Bagi Gellner, proses kodifikasi dengan mengikut-sertakan masyarakat ini sangat mungkin untuk dilakukan, karena pendidikan massal telah berhasil menyatukan negara dan kebudayaan secara bersama. Setelah terjadinya proses kodifikasi atau standardisasi kebudayaan nasional biasanya diikuti de-ngan pendirian museum-museum, penulisan sejarah negara, pendirian badan-badan ilmiah tertentu yang bertujuan mempropagandakan dan menyebarluaskan pengetahuan resmi (pemerintah). Pandangan Ernest Gellner bukan tanpa kele-mahan. Kelemahan utama pandangan Gellner adalah bahwa high culture bersifat sangat rasional. Dalam hal ini, rasionalitas tampaknya terlalu diagung-agungkan. Bagaimana dengan low culture? Apakah identitas kebangsaan hanya dibentuk oleh high culture? Apakah low cultureseperti praktik-praktik kultik atau ritus-ritus agama tertentu atau praktik-praktik magi dan sebagainya harus dikendalikan dan dilarang karena sifatnya yang tidak rasional. Dewa-sa ini lebih diterima bahwa low culture juga meng-untungkan bagi pembentukan identitas kebang-saan. Dalam arti ini pemerintah atau negara tidak perlu melarang praktik-praktik magi dan perdukunan sejauh praktik-praktik tersebut tidak membahayakan hidup masyarakat itu sendiri. Karena itu, pemikiran sementara orang untuk melarang praktik magi atau membuat perangkat hukum untuk menghukum praktik santet bukan hanya tindak-an yang tidak masuk akal, tetapi juga tindakan yang bodoh. Kalau kamu perhatikan acara-acara televisi kita dewasa ini, banyak sekali dipenuhi dengan acara setan, alam gaib, dan semacam-nya. Menurut kategori Gellner, semua ini adalah low culture, karena tidak rasional. Meskipun demikian, ungkapan kebudayaan seperti ini ikut membentuk identitas kebudayaan Indonesia. Sejauh tidak membahayakan ketertiban umum, ekspresi kebudayaan seperti itu sah-sah saja eksis di bumi pertiwi Indonesia. 2. Eric Hobsbawn Berbeda dengan Gellner yang memahami na-sionalisme sebagai proses pembentukan high cultu-resebuah bangsa, nasionalisme menurut Eric Hobsbawn dipahami sebagaipembentukan iden-titas kebangsaan. Pertanyaannya, siapa yang mem-bentuk identitas kebangsaan itu? Apakah identitas kebangsaan dibentuk oleh seluruh warga masyarakat atau hanya kelompok elit saja? Hobsbawn berpendapat bahwa yang membentuk identias kebang-saan adalah elit. Masyarakat pada umumnya tidak ikut serta dan tidak diikutsertakan dalam proses pembentukan identitas kebangsaan. Dalam proses pembentukan identitas kebangsaan ini elit umumnya menciptakan simbol-simbol yang dapat mendukung tercapainya identitas ke-bangsaan. Misalnya, untuk menunjukkan bahwa identitas bangsa sebagai bangsa bahari, para elit menciptakan simbol-simbol yang berhubungan dengan dunia bahari. Misalnya, kapal laut, perahu nelayan, patung nelayan, dan sebagainya. Setelah diciptakan, simbol-simbol ini kemudian ditafsirkan oleh para elit. Tafsiran tersebut umumnya meng-gambarkan identitas ideal suatu bangsa. Simbol-simbol dalam bentuk monumen-monumen menjadi contoh yang sangat jelas bagaimana identitas kebangsaan hendak dibangun. Di Indonesia kita memiliki banyak sekali monumen yang maknanya penuh dengan nilai-nilai kebangsaan. Kalian bisa mendalami apa makna di balik simbol Monumen Nasional (Monas), monumen Pancasila sakti, dan monumen proklamator di Jakarta. Menurut Hobsbawn, dalam membentuk identitas kebangsaan, para elit juga berusaha menafsirkan tradisi-tradisi sebegitu rupa, dengan dukungan ideologi tertentu, dengan maksud untuk menghubungkan identitas kebangsaan sampai ke masa yang sangat lampau. Penciptaan identitas kebangsaan semacam ini biasanya juga mengedepankan nilai-nilai luhur nenek moyang suatu bangsa yang dapat dijadikan anutan masyarakat dewasa ini. Misalnya, Indonesia ingin menanamkan nilai-nilai kebangsaan dengan belajar dari nilai-nilai kebangsaan yang ada pada Kerajaan Sriwijaya. Menurut Dr. P.J. Suwarno (Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Kanisius, Yogyakarta: 1993, hlm. 20-21), Sriwijaya yang berpusat di Sumatra, telah mempraktikkan nilai-nilai persatuan, ketuhanan, kemasyarakatan, ekonomi, dan hubungan internasional. Di mata para elit, nilai-nilai hidup yang ada dalam masyarakat Kerajaan Sriwijaya ini menjadi bukti bahwa sudah sejak lama bangsa Indonesia memiliki kepribadian atau identitas bangsa yang agung dan luhur. Tidak hanya itu. Menurut Eric Hobsbawn, dalam membentuk identitas kebangsaan, para elit juga sering mengadakan perayaan-perayaan dan upa-cara-upacara kenegaraan. Melalui perayaan-perayaan semacam inilah para elit menanamkan dalam diri masyarakat akan nilai-nilai luhur bangsanya, misalnya dengan merenungkan kembali jasa-jasa para pahlawan bangsa, dan sebagainya. Karena itu, jangan heran jika dalam suatu negara perayaan-perayaan kenegaraan dianggap sebagai bagian yang penting dari proses pembentukan identitas kebangsaan. Bagi Hobsbawn, massa rakyat menerima begitu saja simbol-simbol dan propaganda-propaganda yang dilancarkan elit. Di sini sering kali orang lupa, bahwa elit melakukan propaganda melalui simbol-simbol dan perayaan-perayaan keagamaan tidak hanya sebatas menyimbolkan perasaan menjadi bagian dari suatu bangsa. Elit melakukan ini juga dengan tujuan melegitimasikan kekuasaan mereka. Bagaimana kita menyikapi pandangan Eric Hobsbawn ini? Ada dua kelemahan utama yang dapat dikemukakan, yakni Pertama, Massa rakyat dianggap bodoh. Rakyat dianggap tidak memiliki sikap kritis dan hanya menerima begitu saja penciptaan simbol-simbol dalam proses pembentukan identitas bangsa. Rakyat juga dianggap bodoh dan mengikuti sa-ja upacara-upacara kenegaraan tanpa mempertanyakan relevansinya. Pandangan semacam ini sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang. Kedua, Eric Hobsbawn lupa, bahwa simbol yang dicip-takan oleh para elit sebenarnya bukan semata-mata merepresentasikan sesuatu. Simbol-simbol tersebut juga memberi kemungkinan agar orang lain selain elit atau penguasa menerap-kan makna ke dalam simbol-simbol tersebut. Dengan demikian, jarang terjadi bahwa simbol-simbol atau upacara kenegaraan hanya memiliki makna tunggal. Bagi para elit, upacara 17 Agustus dapat menjadi momen pembentukan iden-titas bangsa. Akan tetapi bagi sebagian orang, upacara 17 Agustus adalah saat di mana rakyat berpesta makan, minum, dan mengadakan pertandingan olahraga di lingkungan masing-masing tanpa ada hubungan dengan semangat nasionalisme. Di sini Hobsbawn lupa bahwa makna harus bersifat plural, juga dalam produksi identitas kebangsaan. Masyarakat mampu menciptakan simbol dan menafsirkan sesuai kehendak mereka. 3. Benedict Anderson Nama ahli politik yang satu ini cukup dikenal di Indonesia. Dia menulis buku Imagined Community yang amat terkenal. Guru besar ilmu politik dari Cornell University (AS) ini adalah salah seorang Indonesianis garda depan. Benedict Anderson memahami nasionalisme sebagai komunitas khayalan (imagined community) yang disatukan oleh sebuah persahabatan horisontal yang mendalam di mana anggota-anggotanya diyakini mengkonstitusi (menciptakan) sebuah en-titas yang kuat dan utuh. Bagi Anderson, komunitas khayalan ini ada atau terbentuk karena kekuatan media massa, khususnya media cetak. Media cetak sangat berperan dalam menyebarluaskan diseminasi (penggandaan) gagasan/ide dari bangsa. Anderson menekankan bahwa bacaan atas surat kabar harian atau majalah mingguan yang secara teratur dan sinkronik membentuk para pembacanya untuk berbagi perasaan, gagasan atau serangkaian minat bersama, karena isi dan fokus dari berita. Menurut Anderson, penga-laman kebangsaan berakar setiap hari karena sha-red reading ini. Mari kita kemukakan sebuah contoh untuk menjelaskan konsep yang abstrak ini. Tanggal 26 Desember 2004 gelombang tsunami menghancurkan Provinsi Nangro Aceh Darussalam dan mene-waskan ratusan ribu orang. Seluruh masyarakat bangsa Indonesia ikut bersedih dan membantu saudaranya yang tertimpa musibah tersebut. Perasaan bahwa Aceh adalah bagian dari saudara kita umumnya ditimbulkan oleh media massa yang kita baca, tonton, atau dengar. Kalian bisa bayangkan apa jadinya kalau bencana itu terjadi pada zaman di mana media massa belum mengalami kemajuan seperti sekarang ini. Barangkali tidak akan muncul banyak orang yang mengetahui dan membantu. Nah, kira-kira proses pembentukan nasionalisme menurut Benedict Anderson terjadi seperti itu. Suatu komunitas pada akhirnya memiliki perasaan kebangsaan yang sama karena perasaan itu ditimbulkan oleh kesamaan minat dan perhatian mereka. Kesamaan minat dan perhatian itu ditimbulkan oleh media cetak (koran dan majalah) yang mereka baca. Kesamaan minat dan perhatian itu pada gilirannya memicu perasaan komunitas tersebut untuk mengkhayalkan sebuah masyarakat tempat mereka hidup bersama sebagai warga masyarakat. Wujud konkret dari komunitas khayalan itu adalah negara. Konflik antara Indonesia dan Malaysia di perairan Ambalat yang memicu gelombang protes masyarakat Indonesia pun dapat dipahami dengan memakai pemahaman Anderson ini. Harus diakui bahwa kita mengetahui adanya konflik tersebut dari media massa. Media massalah yang menimbulkan perasaan kebangsaan kita. Kehadiran kapal-kapal perang dan tentara Indonesia yang siaga dua puluh empat jam memicu khayalan kita untuk membayangkan sebuah keutuhan wilayah dan kebesaran bangsa Indonesia. Khayalan-khayalan seperti inilah yang menyatukan masyarakat dalam gelombang protes terhadap tindakan sewenang-wenang Malaysia. Di sini memang perasaan lebih memainkan peran daripada pikiran. Nasionalisme sebagai imagined community harus lebih menonjolkan perasaan daripada pikiran. Bagaimanapun juga, pemikiran Anderson ada kelemahannya juga. Kelemahaman pandangan Anderson adalah bahwa dia hanya menekankan peran media cetak dalam menghasilkan kultur dan identitas kebangsaan. Padahal masih ada lagi produksi kultur dan identitas kebangsaan melalui ruang musik (music hall) dan teater, musik-musik popular, pesta-pesta, arsitektur, fesyen, juga melalui televisi, film, radio, dan teknologi informasi lainnya. 4. Anthony Smith Masih ingat pandangan Ernest Gellner dan Eric Hobsbawn mengenai nasionalisme? Di atas sudah dikemukakan kelemahan-kelemahan dari pandang-an mereka. Nah, Anthony Smith sendiri mengkhususkan diri untuk mengkritik secara tajam pandangan Gellner dan Hobsbawn tentang sifat nasionalisme. Gellner dan Hobsbawn berpendapat bahwa nasionalisme adalah produk modern, jadi masa-masa sebelum zaman modern belum ada nasionalisme. Bagi Smith, nasionalisme atau perasaan kebang-saan sudah ada jauh sebelum lahirnya suatu bang-sa. Perasaan kebangsaan sudah ada bahkan dalam diri kelompok etnis yang kemudian mendorong me-reka untuk membentuk negara itu sendiri. Di sini Smith memahami etnisitas sebagai kelompok sosial dengan identitas tertentu dan yang membedakan diri mereka dari orang lain. Umumnya kelompok-kelompok etnis membentuk sendiri batas-batas (boundaries) dan menciptakan simbol-simbol yang menjadi tanda bahwa “kita” (us) berbeda dari “mereka” (they). Dalam perkembangannya, kelompok-kelompok etnis semacam ini bisa saja membentuk sebuah negara. Kalau ini yang terjadi, maka nasionalismenya bersifat nasionalisme etnik. Selain berpendapat bahwa perasaan dan identitas kebangsaan sudah ada jauh sebelum terbentuknya sebuah negara, Smith juga berpendapat bahwa nasionalisme berhubungan dengan pembentukan identitas nasional suatu bangsa. Pembentukan identitas nasional dapat terjadi melalui penciptaan simbol-simbol nasional. Bagi dia, simbol-simbol nasional tidak diciptakan sepihak oleh elit, tapi oleh berbagai kelompok yang berbeda. Karena mengikutsertakan banyak kelompok masyarakat dalam penciptaan simbol-simbol nasional, maka sering terjadi konflik dalam proses penciptaan simbol-simbol nasional ini. Konflik-konflik tersebut wajar dan perlu sejauh tidak membawa perpecahan bangsa. Menurut Smith, dalam menciptakan simbol-simbol tersebut tidak ada cetak biru (blue print) yang siap dipakai sebagai contoh. Tidak hanya itu. Bah-kan dalam proses pembentukan kebudayaan nasio-nal pun tidak ada cetak biru. Karena itu, seluruh lapisan masyarakat benar-benar harus terlibat dan berpartisipasi dalam proses pembentukan identitas nasional dan kebudayaan bangsanya. Jika terjadi bahwa dalam proses pembentukan identitas bangsa melalui penciptaan simbol-simbol tersebut tidak ada serangakaian simbol yang dapat diterima bersama, maka pada saat ini kelompok-kelompok sosial yang ada harus memilih simbol-simbol yang multipel dengan maksud supaya kelompok-kelompok yang berbeda pandangan dapat didorong untuk menerima dan mengidentifikasikan dirinya dengan simbol-simbol tersebut. Menurut Smith, dapat saja terjadi bahwa ada kebudayaan dari etnis tertentu yang diterima sebagai kebudayaan nasional asal memenuhi persyaratan. Syaratnya adalah kebudayaan dari etnis tersebut harus masuk akal dan kredibel. Perhatikan di sini bahwa masuk akal tidak sama dengan rasional. Sesuatu yang masuk akal belum tentu rasional, sementara sesuatu yang rasional sudah tentu masuk akal. Ziarah ke kuburan dan bersemedi untuk meminta “berkat dan pertolongan” dari arwah nenek moyang atau tokoh-tokoh terkenal yang sudah mati memang tidak rasional, tetapi masuk akal. Karena itu upacara seperti ini dapat menjadi ekspresi dari kebudayaan nasional Indonesia. Dengan pandangan semacam ini Smith sebetulnya memiliki pemahaman yang sangat baik mengenai kebudayaan. Bagi dia, kebudayaan adalah sesuatu yang dinamis. Sifat dinamis ini ada karena proses pembentukannya tidak mengikuti cetak biru tertentu, tetapi proses bersama dari seluruh anggota masyarakat. Selain itu, kebudayaan suatu bangsa terdiri dari macam-macam unsur, an-tara lain unsur repository (kebudayaan-kebudayaan yang sudah ada sekarang dan masih terpelihara), unsur warisan antargenerasi, serangkaian tradisi, dan pembentukan secara aktif makna dan imaji-imaji oleh masyarakat itu sendiri. Unsur yang terakhir ini—pembentukan secara aktif makna dan imaji-imaji oleh masyarakat itu sendiri—terejawan-tah dalam nilai-nilai, mitos-mitos, dan simbol-simbol yang pantas untuk menyatukan sekelompok orang dengan pengalaman-pengalaman dan kenangan-kenangan yang sama dan yang membeda-kan me-reka dari kelompok luar. Sebagai kritik terhadap pandangan Gellner dan Hobsbawn, pandangan Anthony Smith nyaris sempurna; karena itu tidak perlu dikritik. Kita akan kembali ke pandangan-pandangannya ketika membica-rakan proyeksi nasionalisme Indonesia dan pembentukan negara Republik Indonesia. 5. Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo Sebagai sejarawan, Prof. Sartono Kartodirdjo tentu saja merefleksikan nasionalisme dari pers-pektif Indonesia. Tidak dapat dipungkiri, nasionalisme Indonesia timbul sebagai reaksi terhadap kolonialisme Belanda dan Jepang. Dalam artikelnya berjudul Kebangkitan Nasional dan Nasionalisme Indonesia(Lihat: http://202.159. 18.43/jsi/1sartono.htm), Sartono berpendapat bahwa nasionalisme pertama-tama adalah penemuan identitas diri. Ini merupakan tingkat yang paling primordial di mana kelompok masyarakat tertentu berusaha merumuskan identitas dirinya berhadapan dengan kelompok-kelompok sosial lainnya. Identitas diri tersebut, begitu selesai dirumuskan, akan menempatkan kelompok sosial tersebut sebagai yang berbeda dengan kelompok sosial lainnya. Dengan demikian, proses penemuan identitas diri sekaligus menjadi proses penetapan boundaries yang membedakan “kelompok kita” dari “kelompok mereka”. Dalam konteks Indonesia, proses penemuan identitas diri ini muncul pertama-tama karena pengalaman negatif dijajah oleh Belanda. Penjajahan Belanda telah menghasilkan diskriminasi yang melembaga yang menimbulkan rasa inferioritas dalam diri orang Indonesia sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari Belanda secara sengaja mendiskriminasi orang-orang Indonesia melalui pakaian, bahasa, tempat tinggal, dan simbol-simbol otoritas lainnya. Menurut Sartono, pengalaman didiskriminasi seperti ini telah mendorong kaum terpelajar Indonesia untuk membentuk organisasiBoedi Oetomo (BO) pada tanggal 20 Mei 1908. Pembentukan BO ini sendiri adalah antitesis terhadap sikap diskrimi-natif Belanda sekaligus menjadi momen merumus-kan identitas kebangsaan Indonesia. Wujud tertinggi dari proses pencarian dan perumusan identitas kebangsaan ini adalah munculnya nasionalisme politik yang lebih jelas arah dan tujuannya. Nasionalisme politik mengusung proyek kemerdekaan Indonesia sebagai tujuan yang hendak dicapai. Nah, begitu kesadaran kebangsaan seperti ini muncul, kesadaran ini sendiri langsung membedakan bangsa Indonesia dari bangsa Belanda. Nasionalisme politik kemudian diikuti dengan langkah-langkah praktis-konkret upaya memperjuangkan kemerdekaan. Seluruh perjuangan organisasi politik dan tentara Indonesia bermula dari pene-muan identitas kebangsaan semacam ini. Dalam arti ini BO memainkan peran yang sangat penting sebagai organisasi yang mengintegrasikan kaum kaum terpelajar dengan kaum elit lainnya dan sebagai simbol identitas kolektif masyarakat. Boedi Oetomo mendefinisikan identitas kolektif bangsa Indonesia, yakni ingin hidup merdeka dan bermartabat.
Jumat, 11 November 2011
MEMAHAMI NASIONALISME
Keinginan untuk mencapai kesatuan nasional yang terdiri atas kesatuan sosial, ekonomi, politik, agama, kebudayaan, komunikasi dan solidaritas.
Keinginan untuk mencapai kemerdekaan dan kebebasan nasional yang sepenuhnya, yaitu bebas dari dominasi dan campur tangan bangsa asing terhadap urusan dalam negeri.
Keinginan dalam kemandirian, keunggulan, individualitas, keaslian, atau kekhasan. Misalnya, menjunjung tinggi bahasa nasional.
Keinginan untuk menonjol (unggul) di antara bangsa-bangsa dalam mengejar kehormatan, pengaruh dan prestise.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
copyrigt; Juned Topan.. Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar