Iwan Awaluddin Yusuf[1]
Fakta sejarah mencatat, pada awalnya musik berkembang melalui upacara adat/keagamaan sebagai instrumen latar dalam proses ritual. Drum yang kita kenal dan dijual bebas saat ini awalnya adalah salah satu alat yang digunakan dalam ritual keagamaan di Afrika. Dalam perkembangannya industrialiasi musik mengubah fungsi musik menjadi panggung hiburan dengan segala hiruk-pikuk dan ornamennya.
Perkembangan industri musik di kawasan Eropa dan Amerika sebenarnya dimulai dari penjualan tulisan lirik lagu dan pencetakan sheet musik (notasi). Perusahaan paling tersohor kala itu adalah ”Tin Pan Alley” yang memproduksi notasi musik untuk konsumsi para musisi dan penyanyi terkenal.
Selama akhir tahun 1800-an sampai dengan awal tahun 1900-an, berkembang aktivitas re-produced music dengan menggunakan perlengkapan mekanik berbentuk music box/Nickelodeons untuk konsumsi publik. Pada tahun 1877 Thomas Edison menemukan teknologi rekaman akustik. Ia berhasil membuat phonograf (terbuat dari silinder yang diputar) dan berfungsi sebagai alat untuk memainkan musik rekaman. Beberapa tahun kemudian, yakni tahun 1882, Emile Berliner menyempurnakannya dengan model baru yang diberinama gramophone (seperti halnya phonograf tapi berbentuk flatdisk). Pada tahun 1890 Lippincot memulai penggunaan koin untuk mengoperasikan phonograf di Penny Arcades (sebuah arena hiburan komersial).
Tahun 1906 Victor Talking Machine Company memperkenalkan phonograf yang lebih sederhana sehingga dapat dinikmati di rumah-rumah. Salah satu merek phonograf yang paling populer kala itu adalah “Victrola”. Phonograf berkembang pesat dan menjadi produk massal. Pada akhir Perang Dunia II, lebih dari 2 juta phonograf jenis ini laku setiap tahun. Rekor penjualan terjadi pada kurun waktu 5 tahun, yakni tahun 1914 dengan penjualan 23 juta unit menjadi 107 juta unit pada tahun 1919.
Setelah Perang Dunia II, industri musik Amerika diramaikan jenis kelahiran musik baru yang sangat berpengaruh, yakni musik rock. Rock merupakan musik populer di Amerika yang merefleksikan pencampuran budaya di negara itu. Rock, khususnya jenis rock ‘n roll dianggap mampu menekan perbedaan/kesenjangan selera muda dan tua (isu di tahun 1950-an). Rock adalah musik yang menyatukan berbagai genre musik sebelumnya, yakni:Rhytm & Blues (R&B) yang dikenal sebagai musik rakyat, musiknya orang kulit hitam, dan kental akan isu ras; Country & Western (C&W) yang berbasis pada gitar dengan topik lagu berkisar pada kmiskinan, kerasnya hidup, cerita tentang kesedihan, dan sebagainya; White Popular (POP)dicirikan oleh musik/lirik yang sentimental. Musik POP seringkali diidentifikasikan dengan simbol sex, uang, kekuasaaan, status, dsb; sertaJazz yang dikenal sebagai musik dengan bercitarasa tinggi dan kaya akan improvisasi.
Jika dipetakan, perkembangan dan kemajuan yang mendorong tumbuhnya industri musik di Amerika dapat disederhanakan dengan titik tonggak sejarah penting sebagai berikut:
Pertama, masa penemuan, eksperimentasi dan eksploitasi, yang berlangsung pada akhir tahun 1800-an sampai Awal tahun 1900-an. Ditandai dengan beberapa persitiwa:
- Penemuan awal yang menjadi cikal bakal recorded music. Di antaranya phonograf, monograf, gramofon, dsb. Temuan ini kemudian diproduksi massal dan menjadi konsumsi publik.
- Ditemukannya electriomagnetic recording dan diproduksi secara massal oleh Minnesota Mining and Manufacturing Company (3M).
- Dikembangkan record & record player. Dalam hal ini Peter Goldmark memperkenalkan microgroove 33 1/3 rpm long playrecord yang mampu menyajikan musik selama 25 menit.
- Dikenalnya marketing procedur. Di masa ini dikenal adanya konsepstraight line marketing system yang merangkaikan kepentingan manufaktur ,distributor, retailer, dan consumer. Di era ini pun semakin disadari pentingnya kontrol sehubungan dengan penyanyi, musisi, studio, dan manufaktur untuk menghasilkan rekaman yang berkualitas.
- Lahirnya aliran musik rock yang sangat luas dinimkati masyarakat, menyebabkan animo terhadap industri rekaman semakin besar.
Kedua, pada pertengahan tahun 1960-an, industri musik pun masih cukup melambung tinggi. Hal ini didukung oleh beberapa faktor:
- Penemuan FM Radio menyebabkan kualitas dan daya jangkau pemutaran musik semakin luas. Kondisi ini menyebabkan meningkatnya penjualan kaset.
- Keuntungan yang besar dalam bisnis musik menyebabkan pengusaha rekaman berlomba-lomba menciptakan “bintang” dengan suatu rekayasa kerjasama.
- Perkembangan musik kala itu bermakna lebih dalam karena menyangkut keterlibatan sikap budaya (cultural involvement). Contoh: musik rock merupakan bagian yang cukup vital dalam menyampaikan opini tentang anti perang dan merefleksikan realitas politik/penyimpangan budaya.
Ketiga, Pada tahun 1970-an saat Amerika dilanda krisis ekonomi, perkembangan bisnis musik pun mengalami berbagai hambatan. Semuanya dapat berjalan normal kembali karena terobosan, kreativitas, dan teknologi yang dikembangkan dalam industri rekaman. Salah satu yang menonjol adalah Music Video yang berkembang di tahun 1983. Michael Jackson menjadi ikon perkembangan industri musik kala itu. Kehadiran Music Television (MTV) yang dirilis pada tahun 1981 juga telah membawa pengaruh besar pada perkembangan music recording dewasa ini. Pengaruh MTV sebagai barometer musik dunia mau tak mau mempengaruhi tren musik bagi masyarkat, terutama kaum muda.
Perkembangan Musik di Indonesia
Di luar akar budaya musik tradisonal Indonesia yang telah terbentuk selama ratusan tahun, pada abad XX, perubahan dalam teknologi rekaman dan praktik pemasaran ala Barat mempengaruhi pola produksi dan konsumsi musik di Indonesia. Menurut Sen dan Hill (2001:194-195), alat musik gramofon buatan Amerika diimpor ke Hindia Belanda pada awal tahun 1900-an. Saat itu, menurut catatan sejarah, terdapat tiga perusahaan rekaman milik orang Cina, dua antaranya berada di Batavia dan satu berada di Surabaya. Perusahaan rekaman milik orang Cina ini beroperasi melayani permintaan pasar kecil di kalangan elit perkotaan (Ensikopedi Musik, 1992: 237-238).
Pada tahun 1951, sebuah perusahaan pribumi bernama IRAMA mulai memproduksi rekaman piringan hitam. Pada 1954 perusahaan rekaman REMACO dan DIMITA juga melakukan hal serupa. LOKANANTA, perusahaan rekaman milik negara yang didirikan di Solo tahun 1955 segera mendominasi industri rekaman dalam negeri dan berfokus pada musik-musik Jawa. Dominasinya berlangsung singkat kerena perubahan teknologi pada tahun 1960-an mengakibatkan masuknya perusahaan serta teknik produksi yang baru dalam industri musik di seluruh dunia, termasuk Indonesia (Sen dan Hill, 2001: 195).
Tanggal 17 Agustus 1959 saat Presiden Soekarno membacakan pidato Manifesto Politik, mendesak anak-anak muda untuk melawan kebudayaan dari negara-negara nekolim (Neo-Kolonialisme dan Imperialis Barat) termasuk musik-musik ala Barat yang dianggap ngak-ngik-ngok. Kritik ini melahirkan tumbuhnya musik pop Indonesia yang lebih nasionalistis (Sen dan Hill, 2001: 195). Selain itu juga terjadi pelarangan pemutaran musik-musik barat, dan pembakaran kaset yang dinilai mengusung semangat Amerikanisasi dan westernisasi.
Perubahan politik dari Orde Lama ke Orde Baru pada 1965-1966 membuka kembali pasar musik Indonesia bagi produk Barat dan mendorong tumbuhnya berbagai kelompok band pop baru. Lagu-lagu yang sebelumnya dilarang digabungkan dengan aliran musik pop mereka. Lagu-lagu dari grup band Barat seperti Rolling Stone dan Deep Purple, atau dari Indonesia seperti Rollies dan God Bless terus-menerus dimainkan di stasiun-stasiun radio amatir dan pertunjukan konser musik rock di berbagai kota besar di Indonesia selalu dipenuhi penonton (Hatley, dalam Sen dan Hill, 2001: 197).
Pada tahun 1990-an industri musik Indonesia berjaya di Asia Tenggara. Menurut data yang dihimpun Sen dan Hill (2001: 199) dari Euromonitor,International Marketing Data and Statistics (1997), industri musik Indonesia termasuk kecil di dunia, namun tergolong paling besar di Asia Tenggara. Angka resmi tahun 1995 (tidak termasuk bajakan) menunjukkan bahwa total eceran musik rekaman di indonesia mencapai hampir US$ 290 juta, kurang dari US$ 12880 juta angka penjualan di Amerika. Sebagai perbandingan, angka penjualan musik di Filipina hanya 16% dari penjualan di Indonesia, di Singapura hanya 31%, Malaysia 50%, dan Thailand 65%.
[1] Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, peneliti di Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP) dan Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA), Yogyakarta.
0 komentar:
Posting Komentar