Sesungguhnya Al-Qur’an itu ada [makna] lahir dan ada batinnya. Untuk setiap batin ada batinnya, sampai tujuh lapis [makna] batin. Al-Qur’an adalah landasan pokok seluruh ajaran Sufi. Sesuai dengan ciri utama Tasawuf yang lebih menekankan kepada dzauq (rasa) dan aspek esoteris (ruhani, batiniah), maka tafsir Sufi atas Al-Qur’an tak jarang amat berbeda dengan tafsir yang biasa kita kenal. Kadang tafsir Sufi disebut juga ta’wil. Tafsir Sufi banyak berhubungan dengan “rahasia-rahasia” di balik teks lahiriah (literal) yang maknanya tak aus oleh dinamika perubahan-perubahan dalam sejarah. Menurut Sufi, kemampuan seseorang dalam memahami makna Al-Qur’an amat bergantung kepada derajat dan kualitas keruhanian. Imam Ja’far as-Shadiq mengatakan bahwa Kitab Allah meliputi empat perkara: ibarat, isyarat, lathaif dan haqaiq. Ibarat adalah bagi orang awam, isyarat adalah bagi orang khusus, lathaif adalah bagi para Wali Allah, dan haqaiq adalah bagi para Nabi. Ibn Mas’ud mengatakan, “Siapa ingin memperoleh ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang kemudian, hendaklah ia membaca Al-Qur’an.” Seorang sufi mengatakan bahwa dalam Al-Qur’an terhimpun semua ilmu yang ada di dunia. Ini sejalan dengan keterangan Al-Qur’an sendiri, yakni al-Qur’an adalah “penjelasan bagi segala sesuatu” (Q.S. 6:6) dan “Tidak Kami lewatkan dalam al-Kitab sesuatupun” (Q. S. 6:38). Maka, tak heran jika dikatakan bahwa mu’jizat terbesar dari Rasulullah SAW adalah Al-Qur’an. Tentu saja pencapaian ilmu macam ini tidak bisa diperoleh dengan tafsir lahiriah atau akal/rasio. Dalam kasus pengetahuan Wahyu Ilahi, agar bisa memahami dan menguraikan pesan-pesan yang dikandungnya, kita mesti membersihkan diri kita; atau, dalam bahasa Islam, kita harus menjadi “buta huruf” (ummi). Pada dasarnya kita tidak mempunyai kemampuan sendiri untuk memahami wahyu; kita hanya bisa menempatkan diri kita sepenuhnya dalam kekuasaan Wahyu. Maka, agar makna terdalam dari Wahyu bisa dipahami, kita mesti menghentikan pemikiran dan refleksi intelektual atau akal, sebab dalam dirinya sendiri akal adalah terbatas dan pemikiran rasional boleh jadi dipengaruhi oleh kondisi jiwa yang kurang bersih. Sedangkan kebenaran Wahyu adalah suci dan tak terbatas, karena ia dari dan merepresentasikan Tuhan Yang Maha TakTerbatas ilmu-Nya. Yang terbatas mustahil menguasai yang tak terbatas. Jadi, Ketika hati sepenuhnya aman dari pemikiran reflektif dan lintasan-lintasan pikiran, maka ini adalah keadaan “buta huruf” dan siap menerima anugerah petunjuk Allah secara sempurna — inilah makna mistis dari fakta bahwa “Muhammad adalah Nabi yang buta huruf.” Di sisi lain, perkataan Aisyah bahwa akhlak Rasulullah adalah Al-Qur’an secara tersirat menyatakan bahwa sesungguhnya Al-Qur’an tak lain adalah diri kita sendiri. Yang dimaksud oleh Sufi dalam hal ini adalah ayat-ayat Al-Qur’an sesungguhnya sudah berada dalam diri kita sendiri. Setelah Allah menciptakan Adam, Dia mengajarinya “nama-nama segala hal” (Q.S. 2:31). Penamaan karenanya menjadi bagian dari sifat manusia, karena Allah mengajari manusia bahasa pada saat penciptaannya. Nama-nama yang diajarkan Allah kepada Adam adalah pengetahuan-Nya, yang “disimpan” dalam “tubuh” Adam. Jadi setiap bagian tubuh kita mengandung aspek tertentu dari nama-nama Ilahi. Dengan kata lain, realitas tubuh manusia adalah nama-nama yang memantulkan Citra-Nya: “Allah menciptakan Adam sesuai dengan Citra-Nya.” Setiap tubuh memantulkan nama-nama yang berbeda. Jadi kita membeda-bedakan realitas melalui diri kita, karena kita adalah citra yang beragam dari satu Tuhan. Dengan cara yang sama, kita membedakan segala sesuatu dengan memberi nama (misalnya, kita membedakan tempat duduk dan tempat tidur dengan memberinya nama kursi dan ranjang). Menurut pandangan Sufi, masalahnya adalah kita melupakan bahwa Allah telah mengajari kita nama-nama segala hal ini sejak awal penciptaan kita. Karena itu, untuk mengetahui “nama-nama” ini dan mengungkapkan hakikatnya, kita harus tahu nama-nama itu persis sebagaimana Allah mengajarkannya kepada kita, bukan sebagaimana yang kita pikirkan sendiri. Hal ini hanya bisa dicapai dengan mencintai Allah. Mencintai Allah, dalam ajaran Islam, hanya bisa dicapai melalui peniruan perilaku dan mengamalkan ajaran Rasulullah Muhammad. Maka, dengan mencintai Rasul, kita akan mencintai Allah, dan Allah akan mencintai kita dan melalui lantaran cinta inilah Allah akan mengingatkan kita kembali tentang “nama-nama segala hal” dan kita akan memandang sesuatu sebagaimana adanya (hakikat), bukan sebagaimana yang kita pikirkan. Jadi, ringkasnya, dengan menjadikan diri kita “buta huruf,” dan mengikuti suri tauladan akhlak Nabi Muhammad, yakni akhlak Al-Qur’an, pada akhirnya akan membuat kita mendapat petunjuk untuk memahami makna terdalam dari al-Qur’an — “maka berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kalimat-kalimat-Nya; ikutilah [akhlak] Nabi [Muhammad] agar kamu memperoleh petunjuk” (Q.S. 7:158). Kemudian, menurut Sufi, Al-Qur’an turun pada “Malam Kemuliaan” (Q.S. 97:1) dalam bentuk pengetahuan Allah yang utuh tak terbedakan, sebagai “totalitas kalimat” (jawami’ al-kalim) yang “dipatrikan” ke dalam hati Rasulullah. Wahyu tidak turun melalui “pikiran” Nabi, tetapi ke dalam seluruh keberadaannya, atau dalam “tubuh” Nabi yang dipercaya untuk melaksanakan dan mengamalkan titah Allah; seperti kata Aisyah, “Rasulullah adalah Qur’an yang berjalan.” Wahyu turun pada “malam,” yang melambangkan kerahasiaan yang tersembunyi, seperti kegelapan menyembunyikan sesuatu, dan juga malam adalah suasana yang menebarkan aroma misterius, seperti ada khazanah tersembunyi yang mesti diungkap agar diperoleh manfaatnya. Malam (Layla) dalam tafsir Sufi juga melambangkan “Zat Tuhan” yang tersembunyi dari pengetahuan siapapun. “Kegelapan” misteri haruslah diterangi dengan “Cahaya” yang terangnya “melebih seribu bulan,” yakni cahaya yang amat terang tetapi tak menyilaukan seperti matahari, sebab cahaya matahari justru membutakan. Dan dengan “cahaya seribu bulan” itulah tersibak apa-apa yang tersimpan dalam rahasia ayat-ayat Al-Qur’an. Tentu saja yang bisa menerangi misteri Ilahi hanyalah cahaya Ilahi saja. Maka, manusia harus meraih anugerah cahaya ilahi ini, yang bisa diakses oleh manusia melalui pensucian jiwa, melalui zikir, sebab seperti kata Syekh Athaillah As-Sakandari, “Zikir adalah cahaya yang menerangi.” Tazkiyat an-nafs (penyucian jiwa), karena itu, adalah kunci pertama dan utama dalam membuka rahasia Al-Qur’an. Tetapi jelas pula bahwa Al-Qur’an tidak diturunkan hanya kepada golongan elit spiritual seperti Nabi dan Wali Allah, tetapi juga kepada seluruh manusia yang bertingkat-tingkat kedudukan ruhaninya. Karena manusia dalam dirinya sendiri adalah “terbatas” dan memiliki banyak kekurangan, maka Allah berkenan mengejawantahkan Wahyu, yang tak lain adalah representasi Tuhan itu sendiri, ke dalam bentuk yang bisa dipahami manusia, agar manusia bisa mengenal Tuhannya melalui sarana Wahyu itu. Jadi, sebagaimana kita lihat sekarang, Al-Qur’an diajarkan dalam bentuk kalimat, yang tersusun dari kata, yang tersusun dari huruf. “Kalimat adalah dari huruf, dan huruf adalah dari udara, dan udara adalah dari Nafas al-Rahman.” demikian kata Syekh al-Akbar Ibn ‘Arabi. Untuk memahami kalimat ini manusia memerlukan kehadiran dari al-Rahman, yakni Tuhan, karena hanya karena Dia-lah yang bisa menghidupkan apa-apa yang menjadi kandungan dari kalimat-kalimat itu. Karena, seperti telah disinggung di atas, Al-Qur’an, atau “Kalimat Allah,” tak lain adalah makhluk termasuk manusia, maka unsur penyusun dari seluruh ciptaan tak lain adalah “huruf” dari tiupan “Nafas al-Rahman.” Ketika Allah meniupkan ruh ke dalam tubuh manusia, yakni tiupan rahmat, maka kemungkinan-kemungkinan yang ada di dalam Diri-Nya dihidupkan. Jadi, huruf-huruf dihidupkan, dihubungkan dan dibentuk menjadi makhluk atau kalimat-kalimat. Setiap huruf, seperti ditunjukkan dalam ilmu fonetik modern, adalah tempat di mana nafas berhenti atau dibelokkan. Kombinasi huruf menjadi kalimat, dan kalimat menyampaikan makna dari si pembicara, yakni Allah SWT. Karenanya dikatakan bahwa barangsiapa ingin bercakap dengan Allah hendaklah ia membaca al-Qur’an. Jadi, Al-Qur’an adalah kitab yang hidup, kitab yang diturunkan dari aras kesucian, dan karenanya, agar kita bisa “menghidupkan” ayat-ayatnya, maka kita harus menghubungkan ruh kita dengan “ruh” Al-Qur’an. Hal ini hanya bisa terjadi apabila hijab hawa nafsu yang mengalahkan ruh kita telah diangkat, atau setidaknya dibuat tak berdaya sehingga cahaya ruh kita yang telah suci bebas dari cemar nafsu bertemu dengan cahaya Al-Qur’an. Dalam hadis dikatakan bahwa tidak akan menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci dari hadats, yakni seseorang tidak akan “menyentuh” makna hakiki Al-Qur’an sebelum ia suci dari hadats hawa nafsu. Kita ingat riwayat bahwa sebelum Muhammad menjadi Nabi, beliau adalah “yang terpercaya” (al-amin) dan “buta huruf” (ummi) dan, sebelum menerima wahyu, dadanya telah dibedah oleh malaikat untuk disucikan hatinya. Penafsiran Sufi atas makna rahasia (batiniah) atas Al-Qur’an didasarkan pada perlambang, yang hanya bisa diungkap melalui kesucian. Tafsir sufi tidak terbatas hanya pada aspek lahiriah dan batiniah dari teks surat secara keseluruhan, ayat per ayat, tetapi juga menukik hingga ke tafsir atas huruf. Karena Al-Qur’an adalah Wahyu Allah, yang boleh dikatakan “merepresentasikan” segala Ilmu Allah, maka setiap huruf adalah ayat tersendiri yang melambangkan maksud tertentu. Rahasia-rahasia Al-Qur’an, mulai dari rahasia surat hingga ke rahasia huruf tak bisa diketahui melalui penalaran, tetapi melalui jalur lain, yakni mujahadah (jihad akbar) sampai seseorang mencapai mukasyafah dan musyahadah (kesaksian atas kenyataan batin). Imam Ja’far as-Shadiq mengatakan bahwa “Awalnya terbersit ‘pikiran’ dalam diri Tuhan, sebuah niat, sebuah kehendak. Obyek dari pikiran ini, atau niat dari kehendak ini, adalah huruf-huruf yang menjadi prinsip segala hal; menjadi ‘indeks’ dari segala sesuatu dalam ciptaan. Dari huruf-huruf inilah segala sesuatu diketahui.” Rasulullah bersabda, “Semua ayat Al-Qur’an mengandung makna lahir dan batin. Setiap hurufnya memiliki makna tertentu, dan setiap huruf menyatakan secara tak langsung tempat kedudukannya (matla’).” Al-Tirmidhi menyatakan bahwa semua ilmu ada dalam huruf-huruf karena asal-muasal ilmu sesungguhnya berasal dari Asma Agung Tuhan, yang melahirkan penciptaan dan pengaturan. Allah mengajari Adam pengetahuan dan akar pengetahuan. Pengetahuan itu terdiri dari “nama-nama”; akar pengetahuan adalah 28 huruf abjad [Arab]. Bahasa berakar pada huruf. Maka makna pengetahuan bukan hanya ditemukan dalam kalimat atau kata. Dua puluh delapan huruf Arab, menurut Muhyiddin Ibn ‘Arabi, adalah artikulasi (perwujudan) dari prinsip tunggal, yang masing-masing terkait dengan Nama Ilahi. Jadinya setiap bentuk dasar huruf mengindikasikan makna. Allah meletakkan pengetahuan ma’rifat “nama-nama” ke dalam hati Adam. Tempat di mana nama-nama itu mengambil bentuk (taswir) adalah di dada. Kemudian mereka diterjemahkan [ke dalam bentuk suara] melalui tenggorokan dan bibir. Dalam huruf-huruf itu tersimpan pengetahuan pengetahuan primordial (ilm al-bad’), pengetahuan Asma Agung Allah, juga ilmu pengaturan oleh Allah (ilm al-tadbir) yang meliputi ilmu dari Nabi Adam sampai Hari Kiamat. Nama adalah penanda atas sesuatu, sedangkan sifat (atribut) adalah penjelasan yang datang dari sesuatu itu. Nama adalah untuk bahasa, sifat adalah untuk penglihatan dan pemahaman. Tetapi jika Allah adalah tersembunyi, tak bisa disentuh, dilihat, dirasakan, dicium atau dipahami, maka bagaimana mungkin manusia bisa mengetahui atau melihat sesuatu itu? Allah tidak bisa dipahami dengan perasaan, sentuhan, penglihatan dan sebagainya, karena Dia adalah “Perbendaharaan Tersembunyi” yang Maha Gaib. Oleh karenanya, sebelum Dia menciptakan dunia, Dia memperlihatkan sifat-Nya demi kepentingan hamba-Nya. Setiap sifat ini kemudian diekspresikan dalam kombinasi huruf-huruf yang menjadi Asma al-Husna. Nama yang berasal dari atribut/sifat dan Allah bisa dideksripsikan karena ada sifat yang memancar ini (lihat Bab 2). Nama dan sifat hadir agar lidah bisa mengucapkannya hingga menjadi suara. Nama dan sifat, sebagai bentuk penjelasan, adalah seperti “cahaya yang menerangi langit dan bumi” sehingga segala sesuatu yang ada dalam ciptaan menjadi jelas — “Allah adalah cahaya langit dan bumi.” Melalui huruf-huruf inilah Allah menampakkan diri kepada hamba-Nya, seperti dinyatakan oleh Imam Ja’far: “Allah memperlihatkan Diri-Nya kepada hamba-Nya dalam kitab-Nya, namun mereka tidak melihat-Nya,” yakni memperlihatkan Diri-Nya dalam rahasia di balik huruf-huruf Kitabullah. Dengan demikian, untuk mengenal-Nya (ma’rifat), kita mesti membaca Al-Qur’an dalam pengertian mistis ini. Jadinya, Iqra’, bacalah, yakni siapa saja yang membaca Al-Qur’an dan Asma-Nya, ia laksana menyambungkan cahaya pengetahuan dari lidahnya ke Sumbernya. Dalam analisis terakhir, ada hubungan penting antara pensucian jiwa, membaca Al-Qur’an, dan pengetahuan Allah: Seseorang yang telah mensucikan diri dari segala hawa nafsu, ia akan “mengalirkan” khasanah Ilmu Allah ke dalam dirinya melalui perantaraan Al-Qur’an. Ia akan dikaruniai pengetahuan tentang makna lahir dan batin dari Al-Qur’an. Karena itu, dapat dipahami jika Nabi dan Wali Allah memiliki pemahaman tentang Al-Qur’an yang tidak dipahami oleh manusia biasa. Karenanya, menurut Al-Hakim al-Tirmidhi, salah satu tanda Wali Allah adalah ia menguasai ilmu huruf. Ilmu huruf ini dianggap kunci bagi semua ilmu lainnya. Turunnya Wahyu Al-Qur’an dalam bentuk huruf-huruf adalah semacam transformasi dari dunia yang “tak diciptakan” atau tak dapat dipahami menjadi dunia yang “terciptakan” atau dapat dipahami. Abjad Arab — yang merupakan bahasa Al-Qur’an — terdiri dari 28 huruf, yang terbagi menjadi dua bagian, 14 huruf-huruf yang jelas dan 14 huruf-huruf yang tersembunyi (dalam ilm tajwid ini dinamakan huruf syamsiyyah dan qamariyyah). Huruf yang berkaitan dengan dunia “yang tak terciptakan” adalah huruf-huruf misterius yang menjadi awal dari 29 surat. Huruf-huruf itu tidak “divokalkan” – misalnya ayat pertama surat al-Baqarah dibaca alif, lam, miim dibaca tanpa harakat (penanda vokal). Semua ayat Al-Qur’an bisa “dibaca” karena divokalkan, kecuali huruf-huruf pembuka beberapa surat, yang hanya bisa “dieja.” Huruf-huruf misterius ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para Sufi. Diriwayatkan bahwa Sayyidina Abu Bakar as-Shiddiq pernah mengatakan bahwa rahasia dalam Al-Qur’an terkandung dalam huruf-huruf fawatih atau muqatta’at (huruf-huruf yang misterius artinya yang ada di ayat pembuka beberapa surat Al-Qur’an). Interpretasi esoteris (mistis) atas huruf Arab tidak bisa dilakukan kecuali dengan menyertakan aritmologik (nilai numerik atau angka pada setiap huruf). Syekh Ahmad al-Buni dalam Kitab Syams al-Ma’arif al-Kubra menjelaskan: “Rahasia-rahasia Tuhan dan obyek Ilmu-Nya … adalah dua macam, yakni huruf dan angka. Angka adalah realitas tertinggi yang berbasis spiritual, sedangkan huruf berasal dari alam material dan malakut. Angka adalah rahasia kata, dan huruf adalah rahasia tindakan.” Dengan kata lain angka melambangkan dunia spiritual dan huruf melambangkan dunia jasmaniyah. Nilai numerik dari masing-masing huruf itu adalah sebagai berikut: Menurut para Sufi, huruf-huruf misterius yang “tak bermakna” itu dianggap mengandung ilmu-ilmu Allah yang diturunkan secara langsung dengan sangat cepat sehingga bahkan malaikatpun tak sempat memahami artinya. Dalam riwayat diceritakan ketika Jibril menurunkan ayat pertama Surat Maryam, Kaaf, haa, yaa, ‘ain, shaad, Nabi berkata, “Aku tahu artinya,” tetapi Jibril bertanya, “Bagaimana engkau tahu sesuatu yang aku tak tahu?” Melalui ilmu huruf dan angka ini para Sufi melahirkan pandangan yang eksotis tentang Al-Qur’an. Misalnya, huruf-huruf awal awal surat Maryam ditafsirkan sebagai perlambang dari Asma al-Husna: Karenanya, huruf-huruf ini mengandung makna dan “berkah” tertentu dari khasanah Asma-Nya, yang hanya bisa diketahui oleh para ahli-kasyaf. Sayyidina Ali ibn Abi Thalib menggunakan huruf-huruf ini sebagai wasilah untuk berdoa: Wahai Kaaf, Haa, Yaa, ‘Ain, Shaad, aku berlindung kepada-Mu dari dosa yang menyebabkan murka-Mu … Ya Allah tolonglah aku melawan diriku sendiri.” Demikian pula Sayyid Abu Hasan as-Syadzili berdoa dengan menggunakan huruf-huruf: “Qaaf, Jiim, adalah dua rahasia bersama-Mu. Keduanya menunjukkan kepada selain-Mu. Maka, dengan rahasia yang menyeluruh yang menunjukkan kepada-Mu, janganlah Engkau biarkan aku menuju selain-Mu. Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” Rahasia huruf dan angka ini juga dipakai untuk menentukan jumlah bacaan zikir. Misalnya, dalam Tarekat Qadiriyyah, murid pemula dianjurkan setiap hari membaca asma “Allah” sebanyak 66 kali, yang dianggap sebagai “dosis” yang pas, karena jumlah numerik “Allah” adalah 66 (alif = 1, lam, lam = 2 x 30, dan h = 5). Sebagai ilustrasi, berikut sedikit contoh tentang tafsir oleh para Sufi. Pertama kita ambil contoh ayat awal Surat Al-Fatihah yang merupakan induk Al-Qur’an, yakni ayat bismillahi ar-rahman ar-rahim. Untuk contoh pertama, di bawah ini hanya akan disajikan sedikit saja contoh tafsir kalimat “bismillah” disebabkan oleh keterbatasan tempat dalam buku ini. Surat ini oleh Al-Qur’an sendiri (Q.S. 15:87) disebut “Tujuh yang diulang” (sabt al-matsani) sebab Al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dalam shalat. Dalam al-Fatihah terdapat seluruh huruf kecuali tujuh huruf: za, kho, dzho, tsa’, syin, jim, fa Sebagian Sufi menyatakan bahwa Asma Paling Agung (Ism al-Adzam) Allah terkandung dalam huruf-huruf ini. Dalam sebuah tafsir lain dikatakan bahwa semua yang tercantum dalam Al-Qur’an ada dalam Al-Fatihah, dan semua yang ada dalam Al-Fatihah ada di dalam bismillahi ar-Rahman ar-Rahim (kalimat basmalah), dan semua yang ada di dalam kalimat basmalah itu ada dalam huruf ba’, dan huruf ba’ itu sendiri terkandung di dalam titik yang berada di bawahnya. Titik adalah asal-usul dari segala huruf. Menurut suatu riwayat, Sayyidina Ali ibn Abi Thalib mengisyaratkan tafsir ini dalam ucapan saat beliau mengalami fana: Anaa nuqtatu ba–i bismillah (Aku adalah titik huruf ba’ dalam bismillah). Kalam Ilahi dimulai dengan bismillahi — “Dengan menyebut Nama Allah” — yang diawali bukan oleh huruf alif (yang bernilai 1) tetapi oleh huruf ba’, yang bernilai 2. Kalimat bismi asalnya adalah bi-ism, yakni ada alif di antara ba’ dan sin. Alif, yang bernilai 1, melambangkan Zat yang Maha Esa dan Tak Terpahami (Transenden). Alif, perlambang Zat Maha Gaib dan wujud primer (wujud al-awwal) “disembunyikan” dalam huruf ba’ yang melambangkan manifestasi atau perwujudan (zuhur) atau eksistensi kedua (wujud al-tsani). Yang Gaib yang dihijab dalam huruf ba’ ini dimunculkan kembali melalui “nama” Allah, yakni nama yang menunjukkan Zat Yang Maha Gaib. Jadi Bismillah adalah pertemuan antara yang “tak diwujudkan” dengan “yang maujud,” yang lahir dan batin, yang tampak dan yang gaib. Ini adalah perlambang hubungan Tuhan dengan ciptaan-Nya, yang menyimbolkan imanensi atau “keserupaan” (tasybih) sekaligus transendensi atau perpisahan (tanzih): “Allah meliputi segala sesuatu” dan “tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya.” Maka dalam konteks eksistensi, ini melambangkan hubungan halus antara al-Khaliq dan makhluq: “Dia adalah engkau; engkau adalah engkau dan Dia adalah Dia” (al-huwa anta; wa anta anta wa huwa huwa). Jadi huruf ba’ adalah kinaya, metafora, yakni sesuatu yang menyembunyikan sesuatu yang lain. Ketika ba’ “divokalkan” menjadi bi, ia berarti “Dengan Aku,” yakni Aku Ilahi atau Allah sendiri. Menurut Syekh al-Akbar Ibn ‘Arabi, melalui Aku Ilahi ini, terdapat perbedaan antara bentuk hakiki dari Tuhan (al-sura al-haqiqiyya) dan bentuk citra-an atau metaforis (al-sura al-majaziyya), di mana melalui bentuk yang disebut belakangan inilah Dia menciptakan manusia — “Allah menciptakan manusia sesuai dengan bentuk atau citra-Nya.” Yang dimaksud adam di sini adalah insan kamil (Manusia Sempurna), yang memanifestasikan pola dasar keruhanian insan dalam gambaran-Nya. Jadi ba’ adalah bentuk pertama yang “mengejawantahkan” alif. Ba’ adalah pola dasar dan dapat dikatakan melambangkan adam dalam arti manusia di bumi. Karena manusia sempurna adalah cermin dari Bentuk Majazi-Nya, maka dialah yang diangkat menjadi khalifah-Nya dan memerintahkan malaikat untuk sujud kepadanya. Karena manusia diberi amanat kekhalifahan di muka bumi, maka Allah menjadikan manusia sebagai perwujudan yang kelihatan dari al-Batin. Ini berarti bahwa tercipta pula “pemisah” (hijab) antara Tuhan (Yang Maha Gaib) dengan manusia (manifestasi dari Yang Gaib). Kata “Allah” dalam kalimat basmalah juga mengilustrasikan urutan persatuan dan perpisahan, tasybih dan tanzih. Setelah mengucapkan bismi, pembaca al-Qur’an akan bertemu dengan asma Allah — bismillah, yakni dengan menyebut asma “Allah.” Kata ini terdiri dari empat huruf, alif, lam, lam, dan ha. Kata ini amat istimewa. Jika dari kata “Allah” ini kita hilangkan huruf alif, maka kita akan mendapatkan kata “lillah”; jika lam pertama kita singkirkan, maka kita akan mendapatkan kata “lahu”; jika lam kedua kita singkirkan, kita akan mendapatkan kata “hu” — Semua itu merujuk kepada “Allah.” Huruf alif dalam kata “Allah” yang bernilai 1 melambangkan Diri Tuhan dan Keesaan-Nya. Huruf lam pertama adalah alam malakut (kerajaan langit). Huruf lam kedua adalah alam mulk (kerajaan dunia bumi). Dan Hu adalah tak ada sesuatupun selain Dia. Ringkasnya, segala sesuatu adalah ada karena Allah dan “beserta” Allah. Kelangsungan hidup makhluk bergantung pada ruh yang “ditiupkan” ke dalam makhluk-Nya. Inilah tiupan rahmat, Nafas al-Rahman. Jadi, terwujudnya semesta, termasuk manusia, adalah lantaran Kasih-Nya. Allah disebut “ar-Rahman” selama Dia memancarkan “Wujud-Nya” yang tak terbatas, yang merupakan akar primordial dari semesta (kosmos). Karenanya, dalam satu pengertian, “Allah” dan “ar-Rahman” adalah identik sebab keduanya “mencakup segala sesuatu” — “Rahmat-Ku mencakup segala sesuatu” (Q.S 7: 156). Keidentikan ini juga diisyaratkan dalam ayat “Serulah Allah atau serulah ar-Rahman” (Q.S.17:10). Sampai di sini dapat dikatakan bahwa alif yang “tersembunyi” diejawantahkan atau dimanfestasikan dengan ba’, dan pengejawantahan ini adalah karena dan beserta “Allah,” dan manifestasi dipelihara dan dijaga dengan Rahmat-Nya yang tiada terbatas. Akan tetapi ciptaan tak pernah sama dengan Pencipta, dan karenanya ciptaan akan berakhir. Tujuan akhir dari manusia adalah keselamatan dan kenikmatan di sorga. Inilah rahmat yang lebih khusus, ar-Rahim, yang dimanifestasikan dengan jelas di dalam surga. Dan di dalam surga inilah terdapat tujuan tertinggi manusia—“melihat” wajah Allah atau bertemu (liqa’) dengan Allah—sebuah pertemuan yang membahagiakan di mana sang hamba kembali “menyatu” dengan-Nya. Bertemu dengan Tuhan adalah bertemu dengan diri sendiri yang sejati — “Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.” Sosok yang paling mengenal dirinya, dan karenanya, mengenal Tuhannya, tak lain adalah Insan Kamil (Manusia Sempurna), dengan perwujudannya atau personifikasinya yang tertinggi dan paling sempurna di dunia ini adalah Nabi Muhammad SAW. Kedatangan Muhammad sebagai Penutup Kenabian dan Kerasulan, sebagai Insan Kamil, adalah “kesimpulan” dari semesta. Jadi, secara garis besar, di satu sisi dapat dikatakan lingkaran eksistensi manusia muncul pertama kali dengan bismi, yang diawali oleh Adam yang menerima “nama-nama segala hal” dari Allah, ar-Rahman, dan diakhiri oleh ar-Rahim, yang dengan Asma ini Muhammad menyatukan kembali hal-hal yang “dipisahkan” oleh bismi. Tauhid Rasulullah adalah menyatukan kembali signifikansi Tauhid, tanzih-tasybih, rahasia dari makna “Dia-lah Yang Mahaawal dan Mahaakhir, Yang Mahazahir dan Mahabatin” (Q.S. 57:3). Namun, di sisi lain, dalam konteks azali (sebelum ada alam), segala sesuatu berasal dari Muhammad yang, menurut salah satu riwayat hadis, diciptakan “2000 tahun sebelum penciptaan Adam” (lihat Bab 3). Dengan demikian “yang akhir” kembali ke “yang awal,” dan lingkaran tujuan penciptaan semesta pun telah paripurna: “Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.” Dari sudut pandang lainnya, yakni dari segi “pragmatis,” maka kandungan Al-Qur’an bukan hanya ilmu pengetahuan lahir dan batin, tetapi juga mengandung aspek pragmatis untuk membantu manusia menghadapi hidup, dan bahkan juga bisa melahirkan keajaiban-keajaiban dalam kehidupan manusia. Al-Qur’an bisa memunculkan “keajaiban” jika diamalkan dengan cara tertentu, baik untuk tujuan keruhanian maupun keduniawian. Menurut para sufi, setiap surat dan ayat atau bahkan setiap kata dan huruf ada “khasiat” atau fadhilah (keutamaan) tertentu. Ilmu tentang rahasia khasiat ini juga termasuk dalam ilm ladunni. Misalnya, Rasulullah bersabda “Fatihah terbuka untuk segala maksud kaum mukminin” dan “Fatihah itu obat dari segala penyakit, kecuali kematian.” Tentunya yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana khasiat ini bisa direalisasikan. Inilah yang dimaksud dengan ilmu rahasia khasiat dan fadhilah, yang hanya bisa diketahui melalui ilm ladunni. Banyak Sufi yang dikaruniai pengetahuan gaib tentang cara-cara pengamalan agar manfaat Fatihah ini bisa terealisasikan. Sebagian dari pengetahuan gaib itu telah ditulis dalam banyak kitab. Misalnya, agar mendapat perlindungan dari segala bencana dan wabah, dianjurkan dibaca secara rutin 40 kali sesudah shalat subuh; atau untuk memudahkan rezeki, menurut Syekh Ahmad al-Ghazali, Fatihah dibaca 100 kali setiap hari, atau dibaca sesuai dengan jumlah hurufnya, yakni 125 kali. Muhyiddin Ibn ‘Arabi mengatakan Fatihah bisa memudahkan terkabulnya hajat jika dibaca secara rutin 40 kali selepas shalat maghrib; atau dibaca sebanyak bilangan pejuang badar, 313 kali, untuk membuka keberkahan dan menutup keburukan; dan masih banyak lagi cara lainnya. Wali Allah wanita yang bernama Fathimah biti ibn al-Mutsanna, memiliki kemampuan menguasai surat al-Fatihah. Beliau pernah berkata, “Aku diberi surat al-Fatihah dan aku bisa menggunakan kekuatannya untuk apa saja yang kuinginkan.” Dalam sebuah kisah, beliau memerintahkan al-Fatihah untuk membawa kembali seorang suami yang minggat dari rumahnya, meninggalkan istrinya untuk kawin lagi. Contoh lainnya, untuk bertemu dengan 4000 Wali Allah, kata Syekh Majduddin, seseorang dianjurkan mewiridkan “ayat lima” setiap hari (yakni Surat al-Baqarah: 246; Surat ali-Imran: 181; an-Nisa: 77; al-Maidah: 27; dan ar-Ra’du: 16). Pada level yang lebih tinggi, surat-surat dalam al-Qur’an pada hakikatnya memiliki sebentuk “wujud” tersendiri yang bisa diajak berkomunikasi. Al-Qur’an dapat menampakkan diri kepada Wali Allah dalam “modus” atau bentuk tertentu. Surat-surat yang secara kasat mata kita lihat sebagai tulisan dan kita dengar sebagai suara, bagi sebagian Wali Allah dapat muncul dalam bentuk visual. Ini disebabkan eksistensi memiliki empat derajat yang menyediakan wadah bagi makna. Muhyiddin Ibn ‘Arabi mengatakan: Segala “sesuatu” dalam wujud ini memiliki empat derajat … Pertama adalah wujud sesuatu di dalam realitas personalnya; yang kedua adalah wujud sesuatu di dalam pengetahuan; yang ketiga adalah wujud sesuatu di dalam suara; dan keempat adalah wujud sesuatu di dalam tulisan — Jika kita mengeja nama Shalahuddien, maka kita memahami maknanya [suara]; jika kita menulis nama Shalahuddien dalam secarik kertas, maka kita memahami maknanya [tulisan]; jika Shalahuddien sendiri muncul di hadapan kita, kita memahami maknanya [realitas personalnya]; dan jika kita mengingat atau membayangkan Shalahuddien dalam pikiran ketika dia tidak hadir di depan kita, maka kita memahmi maknanya [pengetahuan atau bentuk imajinal/al-khayal]. Syekh al-Akbar Ibn ‘Arabi sendiri pernah mengalami “penampakan” langsung dari bentuk-bentuk surat, setidaknya tiga kali. Salah satunya adalah pengalaman ketika surat al-Ikhlas mengungkapkan dirinya secara langsung di Aleppo, di mana dia diberi tahu bahwa surat ini “tak tersentuh oleh jin dan manusia.” Melalui penampakan langsung inilah Syekh al-Akbar Ibn ‘Arabi memahami konsep ikhlas, yang merupakan rahasia Allah yang hanya dipercayakan kepada hati orang-orang yang dicintai-Nya. Syekh al-Akbar juga pernah diselamatkan oleh surat “Yasin” dalam bentuk lelaki yang gagah dan tampan. Isyarat bentuk surat ini juga dikemukakan secara implisit oleh Sabda Rasulullah SAW bahwa surat as-Sajdah memiliki “dua sayap” yang akan menaungi pembacanya di hari kiamat. Selain itu, Wali Allah bisa menyaksikan atau bercakap langsung dengan makna atau kejadian yang dimuat dalam al-Qur’an. Setiap bentuk kitab atau buku adalah semacam “representasi” dari penulisnya. Dalam hal ini ada hubungan “gaib” antara penulis dengan buku, yakni seolah-olah buku itu menghubungkan si pembaca dengan si penulis. Sebagian Wali Allah dikaruniai kemampuan membaca buku hingga ke tingkat mutalaqqi, yakni ketika mereka membaca kitab, mereka langsung “bertemu” — baik secara ruhaniah atau tidak — dengan penulisnya, bahkan dalam kasus penulis yang sudah meninggal sekalipun. Dikisahkan Kyai Ihsan Jampes, Kediri, setiap beliau menelaah kitab al-Ihya Ulumuddin, maka Imam al-Ghazali akan langsung mendatanginya untuk memberinya penjelasan secara langsung. Penulis pernah bersilaturahmi dengan Wali Allah yang bila ingin memahami isi suatu buku, beliau cukup melihat nama pengarangnya, diam sejenak, lalu ditutup lagi bukunya. Jika ditanyakan kandungan buku itu, beliau bisa menguraikannya. Ada banyak kisah semacam ini dalam dunia Tasawuf. Selain itu ada “keajaiban” Qur’an dari aspek audionya, yakni dari pelafalan atau pembacaan Qur’an. Kata-kata dan bunyi al-Qur’an diyakini memiliki kekuatan “magis” tertentu yang bersumber dari asal-usul Ilahiahnya Al-Qur’an sendiri mengisyaratkan, “Sesungguhnya orang-orang beriman itu ialah orang yang apabila disebut Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka bertambahlah iman mereka karenanya” (Q.S. 8: 2). Dalam pengertian yang luas, membaca ayat al-Qur’an pada dasarnya adalah berzikir pula. Ayat lain yang menunjukkan kekuatan suara bacaan al-Qur’an adalah “Allah telah menurunkan perkataan yang terbaik [al-Qur’an] yang ayat-ayatnya saling menguatkan dan disampaikan berulang-ulang dan bulu roma orang yang bertakwa kepada Tuhannya pasti bergetar, kemudian kulit dan hati mereka menjadi lembuat karena mengingat Allah [zikirullah]” (Q.S. 39: 23). Sudah diakui bahwa bacaan ayat Al-Qur’an dengan suara yang jernih dan merdu akan memengaruhi suasana hati. Bacaan al-Qur’an akan lebih berkesan jika dibaca dengan suara yang merdu dan mengikuti kaidah tajwid secara sempurna. Berkah yang paling jelas yang didapat oleh seseorang ketika membaca al-Qur’an adalah turunnya “sakinah” atau “kedamaian.” Rasulullah menyatakan dalam sebuah hadis bahwa orang-orang yang membaca al-Qur’an dan saling membacakan al-Qur’an akan mendapat karunia sakinah, rahmat dan dikelilingi malaikat. Usaid ibn Hudhair ketika sedang membaca al-Qur’an tiba-tiba ia melihat awan putih mengelilinginya. Rasulullah kemudian memberi tahu bahwa awan itu adalah malaikat yang berkumpul untuk mendengarkan bacaannya. Karena begitu banyaknya malaikat yang berkerumun, sampai-sampai mereka tampak seperti awan. Rasululullah menyatakan bahwa awan itu adalah sebentuk sakinah. Dalam pandangan ulama Sufi, setiap ayat, dan bahkan setiap huruf, sesungguhnya ada penjaganya, yakni malaikat. Karenanya, ketika seseorang membaca suatu ayat sesungguhnya ia “menyapa” sang penjaganya. Pada satu titik di mana keadaan pembaca sudah sedemikian tinggi tingkat keruhaniannya, maka “bacaan” itu akan menyatu dengan dirinya, yang berarti pula ia akan selalu diliputi dan dijaga oleh para malaikat dari setiap huruf yang dibaca. Jika al-Qur’an telah “mendarah daging” dalam kehidupan seseorang, maka fadhilah dan khasiat setiap ayat akan terealisasi dengan sendirinya. Karenanya, dalam kehidupan sehari-hari, jika kita melihat ada orang kesurupan, kadang saat dibacakan ayat kursi atau surat al-Falaq dan an-Nas oleh orang yang kualitas spiritualnya rendah atau biasa saja, orang kesurupan itu tidak segera sembuh, tetapi ketika didatangkan “ulama khos,” bahkan belum sempat ia membacanya pun orang itu langsung pulih karena jinnya sudah lari terbirit-birit. Dibutuhkan kualitas spiritual yang tinggi agar manfaat untuk “pengusiran” jin dapat terealisasikan. Orang dengan kualitas ruhani yang tinggi, apalagi jika al-Qur’an telah mendarah-daging dalam dirinya, akan memiliki daya spiritual dan cahaya yang amat kuat, dan bahkan cukup dengan kehadirannya saja akan bisa membakar para jin dan sejenisnya. Orang yang lidahnya fasih dalam melafalkan huruf Arab dan menguasai tajwid dengan sempurna serta memiliki kualitas ruhaniah yang tinggi — atau cahaya ruhnya telah “bertemu” dengan cahaya ruh Al-Qur’an — akan mampu memengaruhi orang dengan membaca al-Qur’an, dan bahkan dalam beberapa kasus, mampu membuat pendengarnya jadzab. Inilah salah satu kualitas Wali Allah yang menakjubkan. Wali Allah yang sempurna akan benar-benar “menghadirkan” seluruh makna al-Qur’an kepada pendengarnya. Sahabat Rasulullah, Ibn Mas’ud, yang tak diragukan lagi kualitas kewaliannya dan kefasihan bacaannya, pernah diminta oleh Rasulullah untuk membacakan al-Qur’an. Ibn Mas’ud heran dan bertanya, “Wahai Rasulullah, mestikah saya membacakan al-Qur’an kepadamu, sedangkan al-Qur’an diturunkan kepadamu?” Rasulullah menjawab, “Benar, tetapi aku suka mendengarkan bacaan dari orang lain.” Lalu Ibn Mas’ud membacakan surat an-Nisa ayat 41. Ketika sampai pada kalimat “Maka bagaimanakah (keadaan orang kafir) apabila kami mendatangkan saksi [Rasul] dari tiap umat…” Rasulullah berkata, “Cukup.” Lalu air mata beliau bercucuran. Sayyidina Umar ibn Khattab yang terkenal garang pun luluh hatinya setelah mendengarkan bacaan al-Qur’an. Penulis pernah mendengar kisah kekuatan ayat al-Qur’an yang dibaca oleh seorang Wali Allah. Menurut seorang santrinya yang pernah disembuhkan sang Wali dari penyakit “gila” yang dideritanya, “ludah sang Wali ini setara dengan 41 al-Qur’an,”; dan seorang tamu lainnya yang ahli kasyaf jika hendak bersalaman dengan beliau, dia selalu berwudhu terlebih dahulu, karena menurut visinya dalam perut sang Wali ini “berisi” al-Qur’an. Penulis beberapa kali bersilaturahmi dengan sang kyai yang sudah menempati kedudukan Wali ini, dan menurut beliau, sampai sekarang beliau tidak mau meludah sembarangan, karena dikhawatirkan air ludahnya yang “setara” dengan al-Qur’an akan diinjak orang. Karenanya, tak mengherankan jika beberapa kyai Wali Allah zaman dahulu selalu punya tempat khusus untuk meludah. Kyai ini juga terkenal karena bacaannya yang membuat orang bisa “lupa daratan.” Dalam sebuah kisah, beliau diundang untuk membacakan ayat al-Qur’an dalam acara pernikahan anak lurah setempat. Sebenarnya beliau tidak mau, namun karena dipaksa akhirnya beliau bersedia. Beliau membaca surat ar-Rahman, namun baru pada ayat ketiga situasi menjadi kacau. Para tamu undangan menangis tersedu-sedu, pak lurah menangis berangkulan dengan istrinya, dan orang-orang di dalam rumah berhamburan keluar — bahkan sang juru masak bersama anak buahnya lari dari dapur sambil membawa kayu bakar yang masih menyala tanpa disadarinya. Akhirnya, seorang kyai sepuh ahli fiqh menghentikan bacaan itu. Sejak peristiwa itu, sang faqih ini menetapkan sang Kyai itu “haram menjadi imam atau makmum shalat.” Sebab jika menjadi iman dalam shalat jahr (isya, magrib dan subuh), para makmum yang mendengar bacaannya lupa diri dan tak membaca al-Fatihah, dan karenanya shalat mereka tidak sah. Tetapi beliau juga tak bisa menjadi makmum karena ada dalil fiqh dalam kitab Fathul Muin bahwa “tidak sah seorang qori (orang yang fasih bacaannya) bermakmum kepada imam yang ummi (yakni tingkat kefasihannya berada di bawahnya).” Pada akhirnya, agar tidak didaulat menjadi imam atau diundang membacakan Qur’an pada acara-acara tertentu, sang Wali ini terpaksa berkorban: beliau dengan sengaja mencopoti seluruh giginya, sehingga bacaannya tidak bisa fasih lagi. Tetapi bahkan ketika sudah ompong sekalipun, setiap kali beliau mengaji kitab, pengaruh ruhaninya luar biasa. Penulis pernah diajak mengaji kepadanya bersama beberapa tamu lain; namun belum lima menit sang kyai memaparkan ilmunya, para hadirin, termasuk penulis, terserang kantuk yang hebat — bahkan putra sang Wali tidur sampai mendengkur. Ketika beliau menghentikan bacaannya, mendadak semua tamu bangun dan hilang pula semua kantuk. Penulis, setelah tersadar dari kantuk yang hebat, merasakan kesegaran yang tidak biasanya. Namun, pada sisi lain, jika sang Wali memaparkan makna mistis dari al-Qur’an kepada orang yang belum siap kapasitas ruhaninya, akibatnya bisa buruk. Pernah pada suatu malam penulis beruntung karena tiba-tiba sang Wali mengajak penulis berbincang dalam waktu yang cukup lama. Beliau kemudian memaparkan beberapa makna al-Qur’an yang tidak lazim, dan sebagian besar tidak bisa penulis pahami. Setelah selesai, beberapa saat kemudian penulis merasa seluruh badan sakit semua dan panas. Sang Kyai kemudian menyuruh penulis untuk istirahat supaya sembuh — dan keesokan harinya kondisi tubuh pulih kembali sedia kala. Terakhir, beberapa Sufi menemukan keajaiban numerik dalam al-Qur’an yang menjadi dasar dari “struktur” al-Qur’an itu sendiri. Para Sufi merenungkan angka misterius yang dimuat dalam Q.S. 74: 30, “Di atasnya ada 19 penjaga.” Akhirnya sebagian sufi menemukan makna mistis dari angka ini — bahkan beberapa sekte spiritual mengagungkan angka ini, misalnya sekte Baha’iah. “Misteri 19” ini belakangan ditunjukkan melalui bantuan komputer oleh Prof. Rashad Khalifa Ph.D. Penemuannya mengukuhkan kebenaran tafsir mistis para sufi yang telah dikemukakan beberapa abad yang lalu. Kalimat basmalah terdiri dari 19 huruf, di mana basmalah disebut 114 kali (19 x 6), di mana 114 adalah jumlah surat al-Qur’an. Semuanya ada di awal surat, kecuali di surat ke-9; namun kalimat basmalah muncul di salah satu ayat di surat 27 ayat 30, sehingga totalnya tetap 114. Kata “Allah” dalam al-Qur’an muncul sebanyak 2.698 kali, atau 19 x 142. Jumlah total ayat yang mengandung kata “Allah” adalah 118.123, yang merupakan hasil dari 19 x 6.217. Surat pertama, yang berada diurutan no. 96 dalam mushaf, terdiri dari 19 ayat. Ayat-ayat pertama yang turun adalah 5 ayat dengan jumlah kata 19 buah, 76 huruf (1`9 x 4). Total huruf setelah genap 19 ayat adalah 304 atau 19 x 16. Surat 110 yang diturunkan terakhir terdiri dari 19 kata, dan ayat pertama dari surat itu terdiri dari 19 huruf. Contoh lainnya: huruf Qaaf dalam surat Qaaf muncul sebanyak 57 kali, atau 19 x 3. Dalam surat Yaa Siin, huruf Yaa dan Siin muncul 285 kali, atau 19 x 15 — Jumlah kemunculan huruf-huruf muqatta’at lainnya dalam surat yang relevan juga merupakan kelipatan dari 19. Angka 19 juga merupakan nilai gematrikal dari kata “Satu” dalam bahasa Arab, yakni wahid (wawu, alif, ha dan dal), di mana total nilai numerik (lihat tabel numerik di atas) untuk kata ini adalah 19. Angka 619 (yang diambil dari 6 x 19 = 114) adalah deret ke-114 dari bilangan prima; dan kalimat wahdahu la syarikalahu memiliki nilai numerik 619. Sebagai angka prima, ia tidak boleh di-syirkah, diduakan. Demikian segelintir contoh dari struktur numerik al-Qur’an. Jadi, setelah seluruh huruf dianalisis, pada akhirnya tampak bahwa tak satupun huruf yang bisa ditambah atau dikurangi, sebab melakukan perubahan itu akan menyebabkan strukturnya menyempal dari penjagaan angka 19 — Allah berfirman, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an dan Kami pula yang benar-benar menjaganya” (Q.S. 15: 9). Wa Allahu a’lam bi as-shawab.
— HadisTAFSIR SUFI
Kaaf = al-Kafi
Haa = al-Hadi
Yaa = al-Yaqin
‘Ain = al-‘Alim
Shad = as-Shadiq
Jadi, sejak awal huruf Kitabullah ini, pembaca Al-Qur’an telah diingatkan bahwa segala sesuatu selalu terkait dengan Allah, sebab “la maujuda illa Allah.” Setiap wujud selalu terkait dengan satu “nama” yang mengantarkan pada Zat-Nya, dengan kata lain pada hakikatnya hanya ada satu Wujud — Kesatuan Wujud (wahdat al-wujud). Tetapi, Kesatuan Wujud ini, sebagaimana Kitabullah, memuat prinsip diferensiasi (lihat kembali Bab 2). Jadi, membaca Al-Qur’an dengan benar akan membawa pembacanya pada visi atau pengalaman kesatuan wujud, tanpa mengacaukan aspek tanzih (transenden) dan tasybih (imanen).
Jadi, dari contoh tafsir di atas, yang hanya serba sedikit, tampak bahwa tafsir para sufi benar-benar memperhatikan detail hingga ke huruf-hurufnya. Dari mana datangnya pengetahuan tafsir simbolis semacam ini? Sufi As-Sady mengatakan, “Ketika Allah hendak menjadikan seseorang sebagai Wali, Dia akan mengajarinya ilm ladunni, dan ilmu ini tidak bisa diperoleh dengan penelitian rasional atau akal-budi” — ilm ladunni ini hanya bisa diperoleh melalui karunia dan pertolongan Ilahi setelah manusia mau berusaha untuk mensucikan hatinya dengan mendekatkan diri kepada-Nya.
Hal yang sama juga terjadi ketika Wali Allah membaca Al-Qur’an. Misalnya, ketika membaca ayat dalam surat al-Kahfi yang mengisahkan para “pemuda gua,” Wali Allah bisa jadi akan langsung diberi visi keadaaan para pemuda itu, bagaimana perjuangannya, dan seperti apa keadaannya saat tidur selama 309 tahun. Seorang Wali Allah menceritakan kepada penulis bahwa anjing yang mengikuti tujuh pemuda itu benar-benar patuh bahkan hingga mengikuti gerak-gerik para pemuda gua. Jika, misalnya, para pemuda itu tidur terlentang, si anjing ikut terlentang; dan jika mereka berubah posisi miring, si anjingpun ikut miring. Kemudian beliau mengatakan, ini adalah isyarat bahwa dengan mengikuti dan patuh pada Wali Allah, bahkan seekor anjing pun bisa masuk surga, apalagi manusia. Jadi beliau tidak hanya membayangkan dalam imajinasi kisah itu, tetapi “mengalami” langsung peristiwanya, dan bahkan bisa bercakap-cakap dengan tujuh pemuda gua itu. Contoh lainnya dalam “keanehan” sang Wali ini adalah sebagai berikut: Di ruangannya , yakni di sekitar tempat duduknya, terdapat banyak kitab agama, seperti kitab tafsir, kitab hadis, kitab tasawuf, dan sebagainya. Menurut keterangan, sebenarnya kitab-kitab itu telah dirapikan dan di simpan di kamar belakang. Namun Wali Allah ini kemudian memerintahkan putranya untuk mengembalikan kitab itu di ruangannya, di dekat tempat duduknya. Menurut Wali Allah itu beliau mendengar kitab-kitab itu memanggilnya, dan kitab-kitab itu berkata kepada beliau bahwa mereka tidak ingin jauh-jauh dari sang Wali Allah. Bahkan, dalam kasus pembacaan Al-Qur’an, terkadang Wali Allah ini tak kuat membaca suatu ayat. Dikisahkan oleh seorang putranya kepada penulis, ketika sang Wali membaca ayat yang menerangkan penderitaan Nabi Ayyub, sang Wali ini berhenti membaca dan menangis tersedu-sedu. Belakangan, menurutnya, ketika membaca ayat itu, Nabi Ayyub hadir langsung secara ruhaniah di hadapannya, menceritakan dan menunjukkan penyakit dan penderitaannya kepada sang Wali. Menurut sang Wali, kemampuan seperti ini hanya bisa diperoleh jika seseorang sudah tak lagi “melihat” atau “membaca” hal-hal yang subhat apalagi yang haram — bahkan dalam suatu kesempatan beliau mengatakan kepada penulis bahwa dirinya tak bisa lagi membaca berita koran, karena sudah “diharamkan” baginya.
Dengan berdasarkan huruf dan nilai numeriknya, Rashad menemukan bahwa struktur al-Qur’an “dijaga dari perubahan” berdasarkan angka 19. Struktur numerik dari ayat dan surat dan huruf diteliti dengan ilmu kriptografi dengan bantuan komputer. Tentu saja akan terlalu luas jika semua temuan itu diuraikan di sini, karenanya berikut ini akan disajikan sedikit contoh dari temuan misteri 19 penjaga itu.
Kamis, 01 Maret 2012
AL-QUR’AN DAN TAFSIR SUFI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
copyrigt; Juned Topan.. Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar