SASTRA ARAB SEBELUM ISLAM Abdul Hadi W. M. Sekalipun sampai datangnya agama Islam kebudayaan mereka mengalami kemunduran, tidak berarti bangsa ini benar-benar kehilangan akar budaya mereka yang utama Khususnya dalam membentuk dan mengembangkan jati dirinya. Bahasa dan kesusastraan yang merupakan fundamen utama dari kebudayaan dan bahkan peradaban, malah tumbuh dan berkembang subur dalam kehidupan mereka. Berkembangnya kesusastraan, khususnya puisi, disebabkan oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain ialah kecintaan bangsa Arab terhadap bahasa mereka yang indah. Kita tahu bahasa merupakan sarana komunikasi paling penting dalam pergaulan umat manusia, tetapi bangsa Arab lebih lagi melihat bahasa mereka terutama sebagai sarana utama dalam membentuk jati diri. Bagi bangsa Arab yang tidak memiliki sarana lain untuk mengekrpesikan diri, kecuali melalui bahasa, maka seni bertutur dan bersyair merupakan pilihan utama untuk membangun kebudayaan dan peradaban. Melalui syair yang indah dan memikat mereka menggambarkan dan menceritakan kehidupan mereka, serta menuturkan pengetahuan kepada anak cucu. Melalui sastra pula mereka dapat merekam peristiwa-peristiwa sejarah yang pernah dialami, sehingga puisi tumbuh subur. Penyair menduduki tempat yang istimewa dalam dalam sosial bangsa gurun ini. Seorang ahli sejarah Arab terkemuka Ibn Rasyiq menuturkan dalam kitabnya `Umdah, sebagai berikut: “Biasanya setiap kabilah Arab yang mendapatkan seorang pemuda yang mampu menciptakan syair yang bagus, maka anggota kabilahnya akan berdatangan untuk memberi ucapan selamat dan mereka menyediakan pula berbagai jenis makanan (untuk merayakannya). Kaum wanita pun ikut berdatangan dengan bermain bunga seperti halnya pada pesta perkawinan. Anak-anak kecil juga ikut datang bersama orang tua mereka untuk ikut bergembira menyambut munculnya seorang penyair. Mereka berbuat demikian karena beranggapan bahwa seorang penyair adalah pembela kabilah dari serangan dan ejekan penyair dari kabilah lain dan penyair itu pasti akan menjaga nama harum kabilah itu sendiri.” ( Yunus Ali al-Muhdar 1983:38). Sambutan hangat yang diberikan kepada munculnya seorang penyair itu menunjukkan betapa puisi memainkan peranan penting dalam kehidupan masyarakat Arab. Sambutan hangat serupa diberikan kepada bayi yang baru lahir dan kuda kesayangan yang tangkas. Orang Arab menyebut penulis puisi sebagai sha`ir (kata jamaknya shu`ara) yang mengandung arti bahwa orang yang menyandang sebutan tersebut memiliki pengetahuan supra alami, seperti halnya kahin atau tukang sihir yang sanggup berhubungan dengan jin dan kekuatan supra alami yang lain. Kabilah-kabilah Arab itu sangat tergantung kepada mereka dalam memperoleh kekuatan magis. Seorang penyair memiliki kekuatan supra alami yang sangat diperlukan oleh masyarakat luas. Tidak mengherankan jika syair-syair Arab awal, sebagaimana dikecam dalam Surat al-Shu`ara (al-Qur’an), adalah syair-syair yang berkaitan dengan ilmu nujum. Sedangkan penyair, dianggap sebagai tokoh yang dapat memberikan petunjuk kepada masyarakatnya mengenai berbagai hal, termasuk siasat dan strateg perang yang sedang terjadi. Dari latar belakang inilah lahir syair-syair tentang wadi (sumber air di padang pasir), syair peperangan dan pemujaan terhadap berhala. Apalagi setiap kabilah memiliki berhala pujaan tersendiri yang diletakkan di dinding Ka’bah. Setelah itu muncul puisi cinta (ghazal). Namun kekuatan puisi dalam masyarakat yang dilingkari persaingan antar kabilah terletak pada kemampuannya mengejek dan mengecam kabilah lain. Dari berkembanglah dengan suburnya hija`, puisi yang mengandung, cemooh, sindiran, ejekan dan olok-olok yang ditujukan kabilah lain yang merupakan saingan dan musuh. Namun betapa pun juga perkembangan puisi Arab sebelum Islam tidak begitu jelas jejaknya. Sumber-sumber tertulis sangat sedikit dan kebanyakan syair-syair itu disampaikan turun temurun secara lisan. Puisi yang ditulis hanya syair-syair yang memenangkan sayembara di Pasar `Ukaz, tidak jauh dari Ka`bah, yang diadakan setahun sekali pada musim ziarah. Puisi yang ditulis itu digantung di dinding Ka`bah agar dibaca khalayak luas dan disebut mu`allaqat. Walaupun jejak sejarah puisi Arab sebelum Islam samar-samar, namun ahli sejarah sepakat berpendapatbahwa puncak perkembangan puisi terjadi pada abad ke-6 M, seabad sebelum datangnya Islam. Ketika berlangsung Perang Basus yang dahsyat dan menyebabkan terbakarnya banyak kampung. Semua benda pusaka mereka lenyap ditelan api, termasuk naskah-naskah yang merekam puisi-puisi sebelum abad ke-6 M. Untungnya sebagian dari puisi-puisi itu masih dihafal banyak orang dan terus dipertuturkan secara lisan. Sejak itulah tradisi mu`allaqat berkembang. Babakan penting dalam sejarah sastra Arab juga bermula pada masa ini. Untuk pertama kalinya jenis puisi yang disebut qasida muncul. Qasida adalah ragam syair puji-pujian yang digemari penulis Arab hingga sekarang. Penyair Arab pertama yang dipandang sebagai penulis qasida ialah Muhalhil bin Rabi`a dari kabilah Taghlibi. Dia menulis qasida sebagai upaya mengenang kematian saudaranya Kulayb, seorang tokoh suku Taghlib yang merupakan orang pertama yang menyulut pecahnya peperangan dahsyat antara kabilah Bakr dan Taghlib. Karya Muhalhil menarik perhatian penyair Arab yang lain hingga berusaha menirunya. Pada umumnya qasida merupakan untaian sajak (bayt) yang jumlah barisnya beraneka ragam, tetapi tidak kurang dari 25 baris dan tidak lebih dari 100 baris. Rima pada baris pertama biasanya diulang pada baris-baris berikutnya. Rima-rima tersebut biasanya berperan sebagai hiasan untuk memperindah penuturan dan jarang sekali berkaitan langsung dengan isi syair. Jenis-jenis rima lazim diberi nama perempuan seperti shakina, tulina, mukina, mukhlidi, uwwadi, ryamuh’, silamuha, haramuha, dan lain-lain. Syair yang panjang disebut mu`allaqat dan digantung di dinding Ka`bah. Pada awal perkembangannya syair Arab merupakan penuturan menggunakan bahasa berirama yang tidak menggunakan saj’ (sajak) atau pola bunyi akhir, mirip prosa berirama (taromba) dalam sastra Melayu atau matsnawi dalam sastra Persia. Tetapi kemudian sajak digunakan untuk memperindah penuturan. Sebagai gantinya digunakan rajaz, yaitu aturan irama dalam penuturan yang biasanya terdiri dari empat atau enam suku kata pada setiap baris, tetapi orang Arab menyebutnya dua atau tiga suku kata saja. Nama rajaz ialah: kamil (sempurna), wafir (luas, banyak), tawil(panjang), basit (luas), khafif (terang) dan seterusnya. Nama-nama ini dibicarakan secara panjang lebar oleh ahli tatabahasa Arab terkenal Khalil bin Ahmad (w. 791 M) dan juga oleh Ibn Qutayba dalamKitab al-Shi`r wa al-Shu`ara (hal. 36). Adapun jenis-jenis puisi Arab yang berkembang pada abad ke-6 itu antara lain ialah: Ghazalyang juga disebut tasybib, hamasah atau fakhir, madah, rawtsa’, hija`, i`tizar dan wasfun. Ghazal ialah puisi-puisi cinta yang isinya antara lain membicarakan kecantikan seorang wanita, cinta dan berahi penyair kepada wanita bersangkutan. Tempat tinnggal kekasih dan hal-hal yang bersangkutan dengan cinta dibicarakan juga dalam ghazal. Fakhir atau hamasah dapat disebut sebagai puisi banggaan, sebab isinya mengenai kebanggaan penyair terhadap kelebihan, keunggulan dan keistimewaan yang ada pada ssuatu kaum, suku atau kabilah dari mana penyair berasal. Madah merupakan puisi puji-pujian terhadap seseorang berkenaan sifat, kebesaran, kedermawanan dan keberanian yang dimilikinya. Atau pada keluhuran budi pekerti dan ketinggilan ilmu yang ada padanya. Rawtsa’ merupakan puisi yang ditulis untuk mengenang jasa seseorang yang telah meninggal dunia. Hija` adalah puisi yang mengandung cemooh, kecaman, sindiran dan ejekan, dengan mendedahkan keburukan-keburukan seseorang yang dikecam atau disindir. I`tizar adalah puisi yang mengandung permintaan maaf atas kesalahan yanhg dibuat dengan mengemukakan erbagai alasan. Wasfun merupakan jenis puisi yang digunakan untuk mengggambarkan suatu peristiwa atau kejadian yang menarik, seperti jalannya peperangan, keindahan alam yang dilihat dan lain sebagainya. Pentingnya kedudukan penyair seperti dikemukakan Ibn Rasyiq dapat dilihat pada kisah Al-`Asyah, seorang penyair yang hidup pada zaman Nabi Muhammad s.a.w., sebagaimana dijumpai dalam arikh al-Adab Lughah I (h.99). Ketika penyair ini mendengar tentang ketinggian akhlaq dan kedermawanan Nabi Muhmmad, maka dia datang ke kota Mekkah untuk menemui Nabi. Tetapi rencana kedatangannya itu dketahui oleh Abu Sufyan, seorang tokoh Mekkah yang menentang Nabi. Kuatir pertemuannya dengan Nabi dapat mempengaruhi penduduk Jazirah Arab, Abu Sufyan mendatangi para pemuka suku Quraysh. Mereka lantas menumpulkan seratus ekor unta untuk dihadiahkan kepada al-`Asyah dan dengan demikian dia mau pulang ke kampung halamannya tanpa perlu menemui Nabi Muhammad s.a.w. Rancangan ternyata berhasil. Muhallik, seorang anggota suku Kilab, mempunyai tiga anak gadis yang belum dilamar orang. Atas anjuran istrinya, dia mengundang al-Asyah bermalam di rumahnya. Undangan itu diterima dan al-`Asyah dijamu dengan menyembelih seekor unta. Penyair itu sangat terkesan oleh sambutan keluarga Muhallik. Lebih terkesan lagi karena ia tahu bahwa keluarga itu bukan keluarga kaya. Keesokannya al-Asyah langsung menuju ke Pasar Ukaz, tempat orang Arab berkumpul pada musim ziarah dan di situ para penyair berlomba membacakan sajak-sajak gubahannya yang terbaru. Al-Asyah segera menggubah puisi dan membacakannya kepada khalayak, memuji kedermawanan Muhallik dan keluarganya. Tidak lama kemudian tiga putri Muhallik dilamar orang dan namanya dikenal penduduk Arab. Sedangkan al-Asyah menerima hadiah 100 ekor unta dan pulang ke kampung halamannya tanpa lagi berpikir ingin berjumpa dengan Nabi Muhammad. Begitulah ia tidak sempat memeluk agama Islam seperti beberapa penyair Jahiliyah lain yang sezaman dengannya. Puisi al-Asyah menunjukkan ciri puisi Arab pada masa itu, khususnya jenis madah yang sangat populer hingga kini. Bukti tentang pentignya kedudukan puisi dalam masyarakat Arab juga terlihat dalam rekaman Perang Basus yang bermula pada akhir abad ke-5 M, sebagaimana diabadikan dalamAyyam al-`Arab (Hari-hari Peperangan Bangsa Arab). Di situ tampak bagaimana puisi dijadikan sebagai sarana saling mengumpat antara pihak yang bertikai, di samping sebagai sarana untuk mengobarkan semangat perjuangan. Rekaman lain ialah syair yang menurut Ibn `Ishaq dalam kitabnya Sira Muhmmad, dituturkan oleh Abu al-Salt bin Abdl Rabi`a dari kabilah Thaqif kepada anaknya Umayya, ketika pasukan Abrahah gagal menghancurkan Ka`bah pada tahun 570 M. Abu Salt adalah penyair terkenal dan seorang hanif, yang syairnya dihafal oleh banyak orang Arab. Syairnya berikut ini, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Nicholson (1962), menunjukkan di kalangan bangsa Arab yang memuja berhala itu terdapat orang yang berpegang pada faham Tauhid: Lo, the signs of our Lord are everlasting None disputes them exept the unbeliever He created Day dan Night: unto all men Is theoir Reckoning ordained, clear and certain Gracious Lord! He illumines the daytime With a sun widely scattering radiance. He the Elephant stayed at Mughammas Selain mencerminkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Syair tersebut mencerminkan semangat kepahlawanan orang-orang Arab Hejaz pada saat tentara Abrahah menyerbu Mekkah.
Rabu, 14 Maret 2012
LINTASAN SEJARAH ISLAM (7)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
copyrigt; Juned Topan.. Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar