Diterjemahkan dari tulisan Lal Khan, 20 April 2011. Seiring dengan angkat kakinya pasukan terakhir rusia dari Afganistan dan kembali ke Uni Soviet pada 1989, seorang filsuf blasteran Jepang-Amerika dari Universitas St. James, Maryland sekaligus seorang anggota CIA, bernama Francis Fukuyama tampil dengan tesis “Akhir dari Sejarah”nya. Bagaimanapun juga meskipun tembok berlin telah runtuh dan Uni Soviet telah ambruk tesis ini dengan cepat terbantahkan dengan meletusnya perang teluk pada 1991. Mabuk kemenangan terhadap “berakhirnya komunisme” segera berubah jadi sakit kepala karena ekonomi kapitalisme langsung meluncur ke dalam resesi dan krisis dunia yang semakin parah. Dengan demikian imperialis butuh strategi baru untuk menjinakkan dan membingungkan kemungkinan akan perlawanan baru berbasis perjuangan kelas. Karena apa yang sebenarnya runtuh di Rusia dan Eropa Timur bukanlah sosialisme, melainkan karikaturnya, yaitu birokrasi stalinis. Kegagalan versi maois dari stalinisme juga telah berujung pada degenerasi kapitalis dari birokrasi Cina. Peristiwa-peristiwa monumental ini telah berdampak buruk pada kesadaran kelas pekerja, terutama di negara bekas jajahan. Kapanpun terjadi kemunduran atau kebuntuan dalam perjuangan kelas, kelas penguasa selalu mengintensifkan eksploitasi kapital terhadap kaum buruh. Krisis sosial ini telah berujung pada keresahan sosial dan gerakan-gerakan rakyat tertindas. Di tengah kebangkitan perlawanan-perlawanan ini, kaum imperialis telah mengembangkan kontradiksi palsu untuk membingungkan dan dan menyesatkan massa dari perjuangan mereka yang sebenarnya melawan penindasan dan eksploitasi kapitalis. Di tengah situasi ini, intelektual AS, Samuel P. Huntington, yang juga dikenal sebagai “Tukang Jagal di Vietnam” karena peran brutalnya dalam perang yang kacau tersebut, muncul dengan tesis kreatif lainnya. Dia menduduki posisi yang sama di CIA dan mengajar di universitas yang sama dengan Fukuyama. Dia menamakan teorinya, “benturan peradaban”. Ini diciptakan untuk memantik konflik relijius, sehingga mendorong munculnya fundamentalisme Islam dan fanatisme keagamaan lainnya. Namun fundamentalisme Islam di dunia modern diciptakan pada epos awal tahun 1950an. Setelah tumbangnya monarki di Mesir pada 1952, muncullah gelombang revolusi di Iran, Syria, Yemen, Indonesia, Iraq, dan negara-negara lainnya. Perlawanan massa di Mesir telah mendorong nasionalisasi Terusan Suez oleh Nasser. Hal ini memicu perang Suez dimana Israel, Inggris, dan Prancis menyerbu Mesir namun berhasil dikalahkan. Kemenangan Nasser melambungkan populisme dengan kecenderungan sosialis dan kecondongan ke arah kiri di dunia yang sering disebut sebagai daerah islam. Disini kepentingan dan hegemoni imperialis mulai terancam. Pada kenyataannya fundamentalisme Islam di dunia modern merupakan buah pikiran dari John Foster Dulles, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) di era Kepresidenan Eisenhower. Saat itu sebuah operasi dilancarkan oleh CIA untuk mensponsori, mendanai, dan menggalang pengelompokan-pengelompokan grup Islami yang memainkan peran reaksioner melawan rezim-rezim kiri dan kecenderungannya yang anti imperialis, serta dalam beberapa kasus anti kapitalis, di negara-negara tersebut. Misalnya Ikhwanul Muslimin di Timur Tengah, Jamaah Islamiah di Asia Tenggara, dan Masyumi serta Nahdlatul Ulama di Indonesia pada 1965 dan Bengali Timur pada 1971. Sepanjang masa Imperialisme selalu menunggangi agama untuk melancarkan politik pecah belah lalu kuasai. Di anak benua Asia, India, Inggris memperkenalkan sebuah barisan agama pada sensus 1872. Pada 1905, Lord Curzon menjalankan divisi Bengali atas basis agama dengan tujuan serupa. Setelah pemberontakan pelaut pada 1946, yang membuahkan pemogokan umum dari Karachi ke Madras, India tengah terguncang. Kelas penguasa Inggris takut akan kenyataan bahwa gerakan kemerdekaan di anak benua mungkin tidak akan berhenti pada pembebesan nasional namun akan menuju pada revolusi sosial yang akan mengakhiri kemungkinan eksploitasi pasca kolonial di wilayah tersebut. Bahkan saat Jinnah telah menerima rencana misi kabinet akan konfederasi kesatuan India, Churchill meyakinkan melalui Edwina Mountbatten bahwa Nehru yang impulsif akan memprovokasi Jinnah dan para pemimpin Liga Muslim akan kembali pada keputusan semula untuk memisahkan diri. Oleh karena itu dinding pemisah atas dasar perbedaan sektarianisme keagamaan telah mnyebabkan hilangnya 2,7 juta jiwa tak berdosa. Luka lama atas perbedaan ini lebih menghantui daripada milyaran massa yang berkubang dalam jurang penderitaan, kemiskinan, dan penyakit. Permusuhan agama ini merupakan sumber eksploitasi imperialis serta digunakan untuk memberi pembenaran luas akan penghamburan dana untuk senjata-senjata penghancur terutama dari monopoli kompleks perusahaan industri militer barat. Hari ini, India telah menjadi importir erbesar dalam persenjataan diikuti dengan Cina, Korea Selatan, dan Pakistan. Perang di Afghanistan tidak meletus pada 2001 setelah serangan teroris 11 September ke New York, Virginia, dan Pennsylvania. Hal ini sebenarnya merupakan konflik lama berumur 32 tahun lamanya. Semuanya dimulai sebagai operasi rahasia CIA pada musim panas 1978 untuk menjatuhkan pemerintahan sayap kiri dari Partai Demokratik Rakyat Afghanistan pimpinan Nur Muhammad Taraki, yang berkuasa melalui Revolusi Saur sebelum intervensi Rusia pada Desember 1979. Pengaruh dari Saur atau Revolusi musim semi saat itu menginspirasi kaum tertindas dan mengancam kepentingan imperialis di wilayah tersebut. Disinilah modus operandi sekali lagi dipakai untuk mengobarkan fundamentalisme Islam. CIA yang beroperasi melalui agensi intelijen Saudi dan Pakistan, melatih, mengindoktrinasi, membiayai, dan mempersenjatai kaum fanatis keagamaan dari negara-negara berpopulasi muslim. Osama Bin Laden direkrut oleh Zbigniew Brzezinski, seorang penasehat keamanan nasional Jimmy Carter, pada 1978 agar ‘ksatria’ muslim ini melawan kaum ‘kafir’ komunis. Salah satu tindakan pertama yang dilancarkan mujahidin didikan imperialis ini adalah menyerbu sekolah-sekolah campuran, membakar bangunannya dan membunuh kepala sekolahnya. Sumber daya utama yang diberikan oleh CIA sebagai dana “Dolar Jihad “, sebagaimana yang ada di kebanyakan pemberontakan-pemberontakan kontra revolusioner, adalah penyelundupan Narkoba, tebusan dari penculikan, dan kriminal-kriminal lainnya. Intervensi Rusia digunakan barat sebagai strategi propaganda untuk menggalang pemberontakan reaksioner ini. Bahkan setelah pasukan-pasukan Rusia menarik diri dari Afghanistan melalui perjanjian Jenewa 1988, pemerintahan PDRA tetap berkuasa hingga 1992. Kekalahannya bukan oleh “Mujahidin” sebagaimana yang dipropagandakan oleh media-media borjuis. Melainkan karena kesalahan-kesalahan ideologis dan blunder metodologisnya termasuk pengkhianatan dan pembelotan dari para stalinis dalam rezim yang menyebrang ke kubu lawan. Setelah Amerika meninggalkan Afghanistan, pertikaian sengit meletus antar berbagai faksi dari Mujahidin. Kabul, yang dulu dikenal sebagai paris timur tengah, kemudian digilas dan dihancurkan oleh prasangka-prasangka biadab dari fanatisme keagamaan. Gelombang jihad tumpah ruah ke Pakistan dengan Kalashnikov-kalashnikov serta kultur narkobanya dan meracuni seluruh masyarakat. Dktator militer neo-fasis, Zia ul Haq menerapkan fanatisme hingga tingkatan yang tak terkira. Dia menimbulkan malapetaka, menghancurkan budaya, memusnahkan seni, sastra, dan masyarakat secara keseluruhan. Menerapkan hukuman cambuk di depan umum dan memperkenalkan hukum-hukum bengis yang membuat hidup sengsara. Kaum pekerja dan massa yang termiskinkan akhirnya menghadapi dunia terburuk. Tirani ini dilepaskan untuk melanggengkan kekuasaannya atas nama kesalehan dan Islam namun dengan bantuan penuh dari tuan-tuan imperialisnya. Bahkan setelah ia dicampakkan oleh bos-bosnya karena makin megalomaniak, gila kekuasaan, dan menganggap dirinya Amir ul Muslimin yang dapat membangkang ke Amerika, organisasi-organisasi fundamentalis agama tetap utuh dan makmur. Sejumlah besar uang haram yang dihasilkan dari bisnis menggiurkan ini telah mengalir ke negara dan masyarakat. Hal ini digunakan untuk membangun madrasah dan tempat-tempat keagamaan lain untuk penganut fanatisme keagamaan yang mana dalam prosesnya pimpinan-pimpinannya telah menjadi milyarder. Ekonomi hitam ini kini meliputi hingga lebih dari dua pertiga dari total ekonomi Pakistan. Kalangan fundamentalis Islam diuntungkan dari kapital ini sementara ekonomi hitam menggunakan kelompok relijus dan mafia politik untuk melindungi kepentingannya. Bagaimanapun juga, terlepas dari ancaman sosialnya yang bergelantung di atas masyarakat seperti pedang Damocles, dukungan massa politisnya minim. Sebenarnya hal ini merupakan kelemahan elit borjuis Pakistan yang menciptakan ruang sehingga fanatisme ini tumbuh subur. Basisnya ada pada kelas-kelas menengah. Setelah ambruknya Stalinisme dipropagandakan sebagai “kegagalan sosialisme”, sebuah kekosongan politik muncul. Fundamentalis keagamaan mencoba mengisinya namun dengan sedikit kesuksesan. Mereka bermain di ketidakpastian dan tekanan-tekanan ekonomi, ketidakamanan sosial, kemiskinan, dan keterasingan dari kelas-kelas menengah serta dengan demikian mampu mendapatkan basis sementara dalam kelas yang naik turun ini, yang bagaimanapun juga, segera menghilang. Lapisan-lapisan menengah dari tentara, kehakiman, dan institusi-institusi negara lainnya juga terinfeksi dengan pola pikir relijius yang terlihat dari keputusan-keputusan pengadilan tingkat rendah dan fraternisasi seksi-seksi tentara dengan kalangan Islamis. Migrasi-migrasi besar dari daerah pedalaman ke perkotaan serta ekspansi kota-kota bergubuk pinggiran membawa pada permasalahan-permasalahan serupa seiring dengan alienasi urban yang juga dieksploitasi oleh kelompok-kelompok relijius. Namun para pekerja dan petani miskin ini tidak memiliki basis signifikan dan kehadiran semu mereka dalam serikat-serikat serta daerah-daerah pedalaman adalah karena kurangnya alternatif revolusioner dan sosialis saat ini. Retorika anti amerika mereka tidak mampu mendapatkan dukungan luas dan mayoritas dari massa. Hal ini terlepas dari menyebarnya kebencian terhadap agresi imperialis di antara massa luas. Mayoritas pemuda yang diajak berdemonstrasi berasal dari madrasah-madrasah dan mereka tidak tahu banyak mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Secara elektoral, mereka mengalami kegagalan yang mencemaskan. Hanya pada 2002 saja mereka berhasil meraih dukungan suara sebanyak 11 persen. Namun itu pun karena praktek-praktek kecurangan melalui aparat-aparat negara yang ingin menggunakan mereka untuk bernegosiasi dengan imperialisme. Bahkan beberapa serangan teroris konon diatur untuk tujuan yang sama. Sebagaimana yang terjadi pada ekonomi formal dan informal, kalangan elit liberal dan bos-bos relijius yang kaya raya selalu berada dalam konflik, serta hidup dan saling bergantung satu sama lain karena kekayaan dan kekuasaan mereka berdasarkan ekonomi pasar. Meskipun ada warna dan keluhan umum tentang ancaman dan teror dari kalangan fundamentalis terhadap elit liberal dan “masyarakat sipil” borjuis kecil, mereka selalu menyerah dan mengaliansi diri mereka sendiri dengan partai-partai islam kapanpun kelas pekerja dan massa tertindas bangkit dalam perjuangan revolusioner. Ekstrimisme relijius hanya eksis dalam masyarakat karena borjuasi Pakistan telah gagal menuntaskan tugas-tugas historis dari revolusi demokratik nasional, termasuk dalam hal pemisahan agama dari negara dan sekulerisme. Dalam kasus apapun sangat tidak mungkin membuat sebuat negara sekuler yang diciptakan di atas basis agama. Sama halnya dalam kasusnya dengan imperialisme. Keduanya melandaskan diri pada sistem ekonomi yang sama yaitu kapitalisme. Mereka telah bersekutu di masa lalu dengan derajat yang sama saat mereka dihadapkan dengan tantangan revolusioner dari kelas pekerja. Tanpa penghapusan kemiskinan, kemelaratan, penderitaan serta keterasingan budaya dan sosial, dalam semua periode ini ketika perjuangan kelas surut, maka prasangka dari masa lalu dan tenaga-tenaga reaksioner akan kembali menghantui dan menganiaya masyarakat. Hal ini merupakan dampak tak terhindarkan dari krisis yang kian parah. Krisis yang dihasilkan sistem eksploitatif telah membuat masyarakat tercekik dan membuat baju sosial mereka terkoyak-koyak. Hanya penjungkalan dan transformasi sosio-ekonomis yang akan mencabut akar-akar teror fundamentalis dan menghancurkan dominasi imperialisme. Tugas menuntaskan revolusi 1968-1969, yang membawa sosialisme begitu dekat, hari ini dibebankan sejarah kepada generasi pemuda dan pekerja Pakistan.
Jumat, 24 Februari 2012
FUNDAMENTALISME AGAMA DAN IMPERIALISME – BERSEKUTU ATAU BERSETERU
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
copyrigt; Juned Topan.. Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar