Selasa, 05 April 2011

Menyimak kembali pernyataan akhir para pejabat tinggi Eropa mengenai kegagalan multikulturalisme di kalangan masyarakat Barat, tersembur jelas bahwa pluralisme budaya di Eropa telah sekarat. Hanya selang beberapa dekade lalu, puak-puak Eropa dengan begitu bangganya menjadikan multukulturalisme sebagai spesifikasi utama masyarakatnya. Suatu model masyarakat multibudaya yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip penerimaan dan penghormatan terhadap keyakinan dan kebudayaan lain.

Kali ini giliran Presiden Perancis Nicolas Sarkozy yang mengungkapkan kegagalan masyarakat multikulturalisme di Eropa. Sarkozy merupakan pemimpin Eropa yang ketiga mengungkap kegagalan itu setelah sebelumnya Kanselir Jerman Angela Merkel dan Perdana Menteri Inggris David Cameron membeberkan ihwal yang sama. Senada dengan Merkel dan Cameron, Sarkozy pun menilai multikulturalisme di Perancis sebagai sebuah kegagalan bermasyarakat.

Dalam sebuah wawancara televisi, Sarkozy memaparkan, "Perancis tidak bisa menerima orang-orang yang tidak bisa melebur dengan budaya negara ini ataupun menyesuaikan dirinya dengan budaya yang ada". Orang nomor satu Perancis itu menambahkan, "Saudara-saudara sebangsa kita yang muslim memang sudah semestinya melaksanakan prinsip-prinsip keagamaannya, namun kami di Perancis tidak ingin adanya orang-orang yang shalat di jalanan secara terang-terangan".

Pengakuan Sarkozy soal kegagalan masyarakat multikulturalisme sejatinya berangkat dari kekhawatiran kubu sayap kanan dan puak-puak anti-Islam di Perancis terhadap perkembangan Islam dan keteguhan masyarakat muslim Eropa dalam beragama. Selama ini pun, baik ketika masih menjabat sebagai menteri dalam negeri di era Presiden Jacque Chirac maupun sebagai presiden, Sarkozy senantiasa melontarkan kebijakan anti-Islam yang banyak merugikan masyarakat muslim Perancis. Pada dasarnya, pengakuan Sarkozy soal tidak adanya toleransi multibudaya di kalangan masyarakat Perancis tak lebih dari sekedar dalih untuk menjustifikasi kebijakan anti-Islamnya.

Sebelumnya, menyinggung tumbangnya masyarakat multikulturalisme di Eropa, Perdana Menteri Inggris David Cameron dalam Konferensi Keamanan Munich awal Februari lalu menandaskan, "Kita telah gagal dalam mendefinisikan dan menciptakan visi sebuah masyarakat yang menghargai keberadaan dan partisipasi beragam kebudayaan". Dengan mendedahkan pernyataan tersebut, Cameron sesugguhnya telah mengumumkan secara resmi kematian politik multikulturalisme di Inggris, sebuah kebijakan yang mengakui dan menghormati kebhinekaan budaya.

Lebih jauh, Cameron berkomentar, "Kebijakan multukulturalisme pemerintah Inggris telah berakhir dengan hasil yang mengenaskan. Perbedaan budaya di negara ini juga makin mengemuka dan menghambat penguatan identitas komunal di Inggris". PM dari kubu konservatif ini bahkan sempat mengungkap adanya kelompok-kelompok masyarakat dengan kultur berbeda di negaranya yang bisa mengancam keutuhan dan keselarasan nasional, seperti masyarakat muslim. Cameron menegaskan, "Perilaku masyarakat terpisah ini bertentangan dengan nilai-nilai Inggris".

Cameron dalam analisa dangkalnya menganggap ketimpangan sosial di Inggris murni akibat perbedaan agama dan budaya di kalangan warganya. Karena itu, ia pun lantas hanya mampu menyodorkan solusi yang sangat gegabah juga yaitu dengan menerapkan kebijakan penyeragaman budaya.

Sebelum Cameron dan Sarkozy melontarkan kegagalan politik multikuturalisme di Eropa, Kanselir Jerman Angela Merkel terlebih dahulu membeberkan isu tersebut. Ia secara terang-terangan menginginkan warga imigran untuk menjadi "lebih Jerman" lagi atau dengan kata lain menghendaki mereka untuk melepas budaya asal dan melebur ke dalam budaya umum masyarakat Jerman.

Merkel saat berbicara di hadapan angkatan muda Partai Demokrat Kristen di kota Potsdam, Oktober tahun lalu menyatakan, "Ide yang menyatakan bahwa orang-orang dari beragam latar belakang budaya bisa hidup berdampingan tanpa melebur ke dalam masyarakat Jerman merupakan pemikiran yang gagal". Tentu saja lewat pernyataan semacam itu, sejatinya adalah penegasan akan kematian perlahan semangat pluralisme budaya di Eropa dan menguatnya kebijakan anti-Islam dan anti-imigran asing di kalangan negara-negara Eropa. Padahal nyata sudah, politik penyeragaman budaya bertentangan dengan pelbagai konvensi hukum Eropa seperti yang digariskan dalam Konvensi Tahun 1999 Amsterdam yang menjamin kesetaraan masyarakat Eropa apapun latar belakang ras dan agamanya.

Selama ini, negara-negara kecil dan menengah Eropa pun merasa khawatir bakal kehilangan identitas budaya dan nasionalnya dalam proses integrasi ke dalam Uni Eropa. Karena itu, Konvensi Amsterdam menekankan urgensi kesetaraan ras dan agama.

Bila menengok kembali lembaran sejarah Eropa, diskriminasi budaya, etnik dan agama memiliki jejak yang sangat panjang. Pembersihan etnis dan penyeragaman budaya menjadi salah satu domain penting kehidupan politik dan sosial di Eropa. Salah satu kasus terakhir adalah genosida terhadap warga muslim Bosnia Herzegovina oleh etnis Serbia antara tahun 1992 hingga 1995. Tak hanya itu saja, sampai saat ini pun di sebagian negara Eropa seperti Belgia, upaya mempertahankan identitas budaya dan bahasa lokal merupakan sebuah cita-cita yang menjadi bagian dari program partai politik.

Selama ini, terbentuknya Uni Eropa dan terintegrasinya masyarakat Eropa diharapkan bisa meredam egoisme kultural dan terwujudnya masyarakat yang bisa menerima beragam budaya dan menyingkirkan semangat-semangat fasisme dan rasis. Namun kenyataan yang terjadi berbicara lain bahkan memunculkan model-model baru dikriminasi budaya dan rasialisme. Tindakan represif pemerintah Perancis terhadap imigran Gipsi Romania dan pembatasan ketat terhadap warga muslim di berbagai negara Eropa dengan dalih perang anti-terorisme dan ekstrimisme merupakan contoh nyata kebijakan diskriminatif pemerintah negara-negara yang selama ini mengklaim dirinya sebagai pejuang demokrasi dan kesetaraan hak-hak setiap manusia dari apapun latar belakang budaya dan etnisnya.

Terlepas dari penegasan Konvensi Amsterdam yang mengakui kesetaraan budaya, prinsip-prinsip liberalisme yang dianut negara-negara Barat juga secara umum mengakui toleransi budaya. Berdasarkan prinsip tersebut, penghormatan terhadap pelbagai keyakinan dan agama merupakan bagian penting dari nilai-nilai liberalisme. Ironisnya, di saat Sarkozy, Cameron, dan Merkel getol menyuarakan gagalnya salah satu lima prinsip Liberalisme di negaranya, namun mereka tetap menjadikan kepemimpinan nilai-nilai liberalisme di dunia sebagai landasan utama kebijakan luar negerinya.

Selama ini Inggris, Perancis dan Jerman gencar melancarkan intervensi terhadap urusan negara-negara lain dengan dalih untuk menegakkan nilai-nilai demokrasi liberal. Namun kini justru mereka sendiri yang mengakui bahwa politik multikulturalisme sebagai bagian penting dari liberalisme tidak lagi efektif dan relevan untuk diterapkan.

Pasca Perang Dunia II, negara-negara Eropa memerlukan banyak tenaga kerja murah untuk membangun kembali negara mereka setelah luluh lantak akibat perang. Karena itu, banyak negara Eropa yang mendatangkan buruh asing dari berbagai negara bekas jajahannya mulai dari Afrika, Amerika Latin, hingga Asia. Sebagian besar buruh-buruh asing itu masih bertahan di Eropa hingga beranak-pinak dan turut memiliki andil besar dalam membangun Eropa. Namun ironisnya, hingga kini banyak dari mereka yang masih mendapat perlakuan diskriminasi dan hanya menjadi warga kelas dua. Meski ada sebagian kecil para buruh asing yang berhasil meningkatkan taraf hidupnya namun mayoritas dari mereka banyak yang masih bertahan hidup dengan pas-pasan.

Tak ayal, sikap negara-negara Eropa yang mulai mengabaikan prinsip-prinsip multikulturalisme akan merugikan eksistensi masyarakat muslim di sana. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir ini, masyarakat muslim sendiri telah banyak memperoleh perlakuan diskriminatif dan tidak adil akibat penerapan program pemberantasan terorisme dan ekstrimisme. Padahal jelas sudah, penerapan kebijakan yang ketat dan diskriminatif terhadap kelompok-kelompok minoritas justru akan memicu sikap-sikap ekstrim di kalangan mayoritas. Hal itu bisa dibuktikan dengan dukungan luas kelompok-kelompok ultranasionalis, rasialis, dan anti-imigran di Inggris terhadap pernyataan akhir PM David Cameron tentang gagalnya kebijakan multikulturalisme di negaranya.

Tidak hanya itu saja, banyak tokoh dari partai-partai politik berhaluan garis keras dan anti imigran yang masuk ke dalam tampuk kekuasaan dan parlemen di banyak negara Eropa seperti di Swiss, Belgia, Belanda, Jerman, Perancis, dan Inggris. Tak ayal kebijakan yang mereka terapkan pun bisa dipastikan sarat akan kandungan anti-Islam dan banyak merugikan kalangan minoritas budaya dan agama di Eropa. Karena itu, pengakuan para pemimpin Perancis, Inggris, dan Jerman soal kegagalan politik multikulturalisme di Eropa harus dinilai dan dimaknai sebagai bagian dari skenario besar politik diskriminasi rasial dan anti-Islam partai-partai ultrasayap kanan.

irirb.ir

0 komentar:

Posting Komentar

copyrigt; Juned Topan.. Diberdayakan oleh Blogger.