ILMU SUFI MENGENAI JIWA
MOHAMMAD AJMAL
Psikologi Jiwa dan Metafisika
Ketika kita berbicara tentang psikoterapi, biasanya yang kita maksudkan adalah modus perawatan nonmedik bagi orang yang terganggu mentalnya dengan menggunakan metode-metode psikologis. Modus perawatan itu kemungkinan tidak didasarkan atas sebuah teori komprehensif mengenai kepribadian dan mungkin menghilangkan suatu segmen dari pengalaman manusia, memusatkan perhatian padanya, dan setelah itu menciptakan sebuah “penyembuhan”. Penyembuhan itu sendiri merupakan sebuah kata yang memiliki sangat banyak arti sehingga hampir tidak ada pembahasan yang masuk akal (sensible) atau rasional untuk membuktikannya, kecuali jika kita mendefinisikannya sebagai upaya menghilangkan suatu gejala atau hilangnya suatu sindrom. Sindrom adalah sebuah ungkapan lain yang sering digunakan oleh para psikiater, namun dengan makna yang berlaku khusus di kalangan mereka.
Aspek lain dari psikoterapi modern adalah bahwa ia tidak terkait sama sekali dengan prinsip-prinsip metafisika. Setiap rujukan kepada metafisika, menurut pendapat para ahli psikoterapi, akan melemahkan karakter ilmiah teori mereka dan jelas akan menciptakan kekacauan dalamm praktik mereka. Yang saya maksudkan dengan istilah metafisika bukanlah metafisika modern yang menciptakan rangkaian argumen tanpa akhir dan hanya akan menimbulkan teka-teki baru dan bukannya memecahkan permasalahan yang sebenarnya. Dengan istilah metafisika, yang saya maksudkan adalah apa yang ditegaskan oleh René Guénon, “Dalam seluruh konsepsi metafisika sejati diperlukann pertimbangan hal-hal yang tidak dapat digunakan.”
Psikologi sufi dan penyembuhan terhdap penyakit-penyakit mental, atau psikoterapi, bagaimanapun, merupakan cara perawatan psikologis yang didasarkan atas metafisika yang berisi prinsip-prinsip tradisi Islam dalam arti bahwa tradisi itu digunakan oleh para penulis seperti Guénon dan F. Schuon. Tradisi Islam mengemukakan bahwa sumber setiap jiwa adalah surga. Realitas artipal ini merupakan “gagasan primordial” yang terselubung di dlaam setiap jiwa. Akan tetapi, ia dapat mewujudkan dirinya melalui praktik spiriyual yang didasarkan atas zikir (dzikr) atau mengingat nama ALLAH Yang Mahatinggi secara berulang-ulang. Dengan cara ini, pusat kepribadian “sejati” yang terlupakan dapat diaktifkan kembali: suatu pusat yang imanen dan sekaligus pula transeden.
Pandangan Tradisional Mengenai Kepribadian
Metafisikatradisional mempunyai teori yang jelas mengenai kepribadian. Kepribadian manusia, menurut tradisi islam, mengandung tiga aspek: ruh (rûh), hati (qalb), dan jiwa (nafs). Harus dibuat perbedaan menyangkut hal berikut ini: [1] al-nafs al-hayawaniyyah [jiwa hewan], jika yang secara pasif tunduk pada hasrat-hasrat alamiah; [2] al-nafs al ammarah [jiwa yang memerintah], jiwa yang menuruti hawa nafsu dan egois; [3] al-nafs al-lawwamah [jiwa yang menyalahkan], jiwa yang sadar akan kekurangan-kekurangannya sendiri; dan [4] an-nafs al-muthma’innah [jiwa yang damai], jiwa yang menyatu kembali kedalam ruh dan tenang dalam kepastian. Tiga ungkapan yang terakhir itu berasal dari Al-Quran.
Pandangan mengenai kepribaadian ini telah dijelaskan oleh berbagai otoritas sufi. Misalnya, M. Asyraf ‘Ali Tsanvi, dalam karyanya Bawadil Al-Nawadir, telah menyajikan uraian yang sangat jelas mengenai proses dan tahapan pikiran manusia. Pikiran melewati lima tahapan sebelum ia menjadi sebuah keputusan. Tahapan pertama [hajis] adalah tahapan pemikiran sekilas. Tahapan kedua [khathir] adalah tahapan ketika pikiran bertahan selama beberapa waktu. Tahapan ketiga adalah hadist al-nafs, dialog batin yang dilakukan ego dengan “jiwa” [nafs]-nya. Tahapan keempat [hamm] tercapai ketika sudah ada kesiapan untuk mengambil keputusan , dan tahapan kelima [‘azm] adalah tingkat keputusan yang tercipta dengan sendirinya. Dari sudut penyakit mental, tahap ketiga merupakan tahapan yang paling penting. Ia adalah tahapan verbalisasi batin atau mungkin subvokalisasi, dan jika seseorang terus-menerus berbicara dengan dirinya sendiri, maka akan timbul gangguan mental. Tahapan-tahapan batin ini telah dijelaskan oleh seorang sufi Darqawi, Syaikh habib, dari Tetuan, sebagai “impulsimpuls pikiran”. Dia berkata, “waspadalah terhadap tipuan dari impuls-impuls pikiran; impuls-impuls itu melemahkan nasihat yang baik dan sering berdusta.”
Menurut sebuah hadist Nabi Saw, “Allah telah menagmpuni atas umatku pikiran2 yang melintas dalam diri mereka sendiri selama mereka tidak mengucapkannya.” M. Tsanvi telah mengulas sabda ini dan memberikan analisis tentang proses pikiran manusia. Dia berpendapat bahwa jika seserang memasuki keadaan muqorobah atau meditasi mengenai pikiran, dia akan menemukan bahwa pikiran itu melingkar. Bahkan, sesungguhnya ia dapat dianggap sebagai lingkaran setan. Lingkaran setan dalam pikiran ini hanya dapat diputus dengan cara memasuki lingkaran yang lebih tinggi. Oleh karena itu, dia mengatakan, “Jadikanlah saudara yang tulus sebagai sahabat karib. Dia akan memisah-misahkan impuls-impuls pikiran dan membuang sumber keraguan dalam dirimu.”
Seluruh verbalisasi subvokal menyiratkan proposisi filosofis dan menjadi pertanda bagi sikap tertentu terhadap kehidupan. Verbalisasi semacam itu mungkin kelihatannya seperti omong kosong belak, namun jika kita menganalisisnya, ternyata ia merupakan ungkapan serius mengenai sebuah sikap laten. Ia benar-benar merupakan pernyataan dari sebuah proposisi filosofis yang mengungkapkan rasa takut dan kekhawatiran.
Dari perspektif yang lain, gambaran mengenai kepribadian manusia menurut pandangan sufi adalah berikut ini:
Ruh [al-ruh] dan jiwa [al-nafs] terlibat dalam pertemuan memperebutkan putra kandung mereka, yaitu hati [al-qalb]. Ini adalah suatu cara simbolik untuk mengungkapkan hakikat ruh, yang bersifat maskulin dan hkikat jiwa, yang bersifat feminin. Al-ruh yang kami maksudkan adalah prinsip intelektual yang melampaui hakikat individu dan al-nafs adalah kecenderungan-kecenderungan kompulsif pada inti diri, yang bertanggung jawab terhadap hakikat “Aku” yang menyebar dan dapat berubah. Al-qalb adalah titik pertemuan cahaya “vertikal”, yaitu al-ruh, dengan bidang horizontal, yaitu al-nafs.
Dua hal yang bertentangan itu, al-ruh dan al-nafs, berusaha menguasai qalb. Jika nafs memenangi pertempuran, hati akan “terselubung” olehnya. Nafs juga menyukai perubahan keadaan dunia yang berlangsung cepat. Secara pasif , ia bergantung pada bentuk yang mudah menghilang. Ada sebuah hadist Nabi Saw, yang menyatakan Ketahuilah bahwa di dalam tubuh manusia ada segumpal daging yang padanya bergantung kebaikan maupun keburukan manusia. Jika gumpalan daging ini sehat, manusia akan tetap sehat (secara spiritual). Jika ia tidak sehat maka manusia akan tersesat. Gumpalan daging itu adalah hati manusia (ilmu sufi mengenai jiwa, 2003:397). Hati dalam konteks ini tidak boleh dicampuradukkan dengan hati yang lain yang bersifat fisik, emosi-emosi atau pikiran manusia. Kiranya relevan jika disini ada kutipan F. Schuon, yang telah memberi penjelasan sangat bagus mengenai fungsi-fungsi hati yang dikaitkan dengan akal dan intuisi intelektual. Dia berkata: “Genius intelektual tidak boleh dicampuradukkan dengan ketajaman mental menurut para ahli logika. Intuisi intelektual pada dasarnya terdiri dari daya kontemplatif yang sama sekali tidak mungkin masuk ke dalam kapasitas rasional, karena yang disebut terakhir itu lebih bersifat logis dari pada kontemplatif. Ia merupakan daya yang mampu menerima cahaya. Itulah yang membedakan kecerdasan transenden dari akal”. Untuk memahami godaan terus-menerus yang ditimbulkan oleh nafs, perlu digali lebih dalam makna hati dan hakikatnya.
Kamis, 07 April 2011
ILMU SUFI MENGENAI JIWA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
copyrigt; Juned Topan.. Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar