Analogi Istihsan tidak terikat pada keketatan analogi qias karena dimungkinkan adanya qias alternatif (qias kahfi) yang terlepas dari elemen 'illah (dalam analogi qias biasa), atas pertimbangan sesuatu alasan yang lebih kuat. Alasan itulah menjadikan qias jali (biasa) dialihkan kepada qias khafi (alternatif) dan hasilnya disebut Istihsan. Termasuk pula dalam kategori Istihsan, pengecualian masalah tertentu dari suatu ketentuan pokok yang bersifat umum, atau dari suatu kaidah hukum, karena pengecualian itu didukung oleh suatu nash, atau ijma', atau 'urf atau dharurah, atau mashlahah. Dengan kata lain pertimbangan adanya ketentuan lain atau kesepakatan, atau kebiasaan, atau keadaan darurat atau suatu kepentingan nyata, semua itu merupakan elemen-elemen dalam hukum Istihsan.
Dalam perkembangan pemikiran hukum Islam, Istihsan ini ditempatkan sebagai sumber hukum sekunder, di kalangan penganut aliran pemikiran madzhab Hanafiyah. Kemudian berkembang pula secara terbatas dalam aliran Malikiyah dan Hambaliyah, sekalipun dengan istilah-istilah yang berbeda. Imam yang menolak menempatkan Istihsan adalah Imam Syafi'i, karena beliau berpendapat, kaidah-kaidah interpretasi atas ketentuan-ketentuan syari'ah (al-Qur'an dan Sunnah) ditambah dengan analogi qias, sudah cukup, untuk menampung segala perkembangan yang terjadi.
Istişlah merupakan suatu konsep dalam pemikiran hukum Islam yang menjadikan
maşlahah (kepentingan/kebutuhan manusia) yang sifatnya tidak terikat (mursalah)
menjadi suatu sumber hukum sekunder. Karenanya juga konsep ini lebih dikenal dengan sebutan, al-maşlah al-mursalah atau al-maşalih al-mursalah. Konsep penalaran ini bermula dikembangkan dalam aliran pemikiran hukum Islam (madzhab) Malikiyah. Tapi dapat dicatat bahwa pada hakekatnya konsep ini telah dikenal dan digunakan oleh angkatan pertama ahl al-ijtihad di kalangan sahabat dan tabi'in.Dan ternyata kemudian diambil alih juga oleh Imam al-Ghazali dari aliran Syafi'iyah dengan beberapa penyempurnaan. Tapi perlu dicatat, konsep ini ditolak oleh aliran Zhahiriyyah dan Syi'ah.
Landasan pemikiran yang membentuk konsep ini ialah, kenyataan bahwa, syari'ah Islam dalam berbagai pengaturan dan hukumnya mengarah kepada terwujudnya maşlahah (apa yang menjadi kepentingan dan apa yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya di permukaan bumi). Maka tidak dituntut untuk dilakukan manusia untuk kepentingan hidupnya, dan manusia tidak dicegah melakukan sesuatu, kecuali hal-hal yang pada galibnya membahayakan dan memelaratkan hidupnya. Maka, upaya mewujudkan maşlahah dan mencegah mafsadah (hal-hal yang merusak) adalah
Selasa, 12 April 2011
Lanjutan
10.53
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
copyrigt; Juned Topan.. Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar