Selasa, 05 April 2011

Postmodernisme vs Tauhid

Umat Islam harus jeli melihat banyaknya permainan kata-kata yang dilontarkan kaum postmo

Hawa lumpur panas, nampaknya tak hanya terjadi di Sidoarjo. Di beberapa kota, beberapa bulan ini ikut kena getah hawa panasnya pula. Tentu, ini bukan hawa panas imbas luapan lumpur Porong, Sidoarjo. Namun akibat isu panas maraknya artis-artis erotis dan artis porno masuk sebagai salah satu bakal calon (balon) di pemilihan kepala daerah.

Sebut saja bintang panas Ayu Azhari, penyanyi berpakaian seronok Julia Perez, mantan video “porno” Maria Eva, penyanyi dangdut Inul, dan terakhir bekas “ratu ekstasi” Zarima Mirafsur.

Maria Eva misalnya, artis yang ramai dalam kasus skandal seks dengan salah satu mantan politisi Golkar ini, membenarkan dirinya siap maju dalam pilkada. Dia mengaku sudah dilamar partai politik. Salah satunya adalah partai berlambang banteng gemuk dengan background merah.

Karir politik Maria Eva memang bukan seumur jagung. Ia berbeda dengan Julia Perez atau Inul Daratista. Maria memang sedikit lebih “terdidik” dengan tampilan gelar master di ekor namanya. Karier politiknya pun tidak disulap cepat seperti ayu Azahari. Setidaknya Maria sudah pernah ikut dalam pusara pemilihan legislatif pada basis konstituennya di Malang medio 2004 silam. Sayangnya, urutan nomor sepatu belum mengizinkannya melenggang ke Senayan.

Peraturan Mendagri

Isu naiknya Maria Eva sontak menimbulkan pro kontra. Artis yang familiar dengan goyangan dangdut vulgar itu, digadang-gadang akan merusak basis akhlak dan moral masyarakat. Terlebih Jawa Timur dan Sidoarjo adalah sendimentasi basis santri yang lekat pada dinamika kultural kedaerahan.

Menurut khalayak, Maria tidak hanya dinilai cacat moral, namun stigma seksis akan terus melekat padanya. Ini bukan dogma atau sekedar stigma sepihak, namun setidaknya lakon artis panas memang masih kerap diumbar olehnya saat pesta-pesta musik dangdut yang sering dibawakan dengan tampilan panas. Jadi alangkah wajar apabila rakyat Sidoarjo, terlebih Indonesia amat geram melihat Maria Eva sendiri yang belum ada niatan pensiun dari wilayah remang-remang itu.

Menangkap gelagat tidak baik ini dan berpihak pada kegelisahan masyarakat atas pelbagai kasus seksis pada kontestasi Politik Daerah, Mendagri Gamawan Fauzi kemudian mengusulkan penambahan syarat tidak cacat moral pada ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Tidak hanya itu, selain usulan tidak cacat moral, Gamawan juga mengajukan usulan perbaikan kualitas calon kepala daerah dengan mengacu keharusan memiliki pengalaman di partai politik atau paling tidak organisasi kemasyarakatan.

Ternyata kedua usulan yang diajukan Gamawan bukan tanpa sebab. Seperti dikutip Kompas 23 April 2010 lalu, pada kenyatannya Gamawan berpandangan bahwa pemerintah perlu melakukan "intervensi" karena rakyat Indonesia dipandang belum cukup matang dalam memilih pemimpinnya.

Tentu saja bergulirnya niat tulus revisi itu menimbulkan kegeraman bagi Maria dan artis-artis lakon panas lainnya. Artis bergelar master bidang marketing itu lantas menilai bahwa usulan Pak Menteri itu terlalu naif, mengada-ngada, dan sarat muatan politis.

Lalu Maria Eva dengan gaya khas postmo-nya justru berbalik menyerang Gamawan untuk memperjelas definisi zina. Menurutnya, pak Menteri harus menjelaskan apa yang dimaksud zina. Apakah zina mata? Zina badan? Kalau seperti itu, menurut Eva, berarti semua orang pun pernah berzina. Termasuk Gamawan Fauzi sendiri mungkin.

Maria bahkan menganggap pernyataan pak Menteri bisa menimbulkan keresahan di masyarakat. "Menteri itu kan baru dilantik kemarin sore, jangan sok membuat pernyataan yang meresahkan masyarakat," kata Maria dikutip Tempointeraktif.

Tutur kata Maria Eva seperti itu, adalah begitu khas posmo. Mencari kebenaran pada susunan tiang-tiang huruf yang coba dirubuhkan pada arti dan definisi.

Posmodernisme Kebenaran

Posmodernisme sebenarnya adalah nama gerakan di kebudayaan kapitalis lanjutan. Istilah Posmodernisme sendiri muncul pertama kali di kalangan seniman dan kritikus di New York, tepatnya pada tahun 1960 dan diambil alih oleh para teoritikus Eropa pada tahun 1970-an. Tokoh yang sering diasosiasikan dengan Posmodernisme antara lain Derrida, Lyotard, dan Baudrillard, yang kesemuanya bernaung atas payung filsafat.

Mengubah realitas, menurut Derrida, juga berarti mengubah teks, dan teks itu sendiri adalah realitas kehidupan manusia. Untuk mengubah realitas, orang perlu terlebih dahulu mampu memahami dan menggambarkan realitas. Ada keterkaitan yang mendalam antara menggambarkan (to describe) dan mengubah (to transform).

Secara garis besar, yang menjadi konsen dari posmodernisme adalah membicarakan ulang kembali arti kemapanan. Memperhitungan kembali kebenaran hakiki. Dalam konstruk Posmo, satu tambah satu belum tentu dua. Bisa tiga, bisa empat, atau bisa juga dua. Namun dua dalam versi yang lain.

Hal-hal semacam itu kita kenal dengan istilah dekonstruksi. Alih-alih dekontruksi ingin melakukan reformasi, anak kandung posmo ini malah semakin membingungkan. Ia mencoba merusak makna sesuatu yang sebenarnya sudah clear (jelas).

Jika ayam berkokok, bagi orang posmo, dia akan berkata, “Ayam yang mana dulu?” Ayam Kentucky kenapa tidak berkokok, tapi malah disiram saus. Cantik memang, tapi hancur. Manis memang, tapi sinis. Dekonstruksi mencoba mengajak Anda menari untuk secara bertahap melupakan kebenaran tunggal.

Derrida, misalnya, ia melakukan dekonstruksi tidak hanya bergerak di tataran filsafat, melainkan juga menyentuh literatur, politik, seni, arsitektur, dan bahkan ilmu-ilmu alam. Seperti pada umumnya, dekonstruksi Derrida menggambarkan sebagai suatu kekuatan untuk mengubah dan membelah kepastian dan pakem-pakem lama yang tidak lagi dipertanyakan.

Di dalam tulisan-tulisannya, Derrida berulang kali menuliskan bahwa kekuatan untuk mengubah dan membelah itu sebenarnya sudah terkandung di dalam teks itu sendiri. Yang ia lakukan hanyalah mengaktifkan kekuatan itu, dan kemudian menyebarkannya ke keseluruhan teks. Derrida mau melakukan de-sedimentasi terhadap teks, dan membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang sebelumnya tidak terpikirkan. Dalam arti ini ia mau menciptakan gempa di dalam teks.

Hasilnya banyak konteks dekonstruksi ini coba dicarikan ruangnya dalam dimensi keislaman. Salah satu hasilnya adalah lahirnya buku “Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat”. Dan di antara penulis-penulisnya tersimpul nama-nama “beken”, seperti Almarhum Nurcholish Madjid yang dibuku itu menulis tentang “Menyemarakkan dialog agama”. Lalu ada Kautsar Azhari-Noer yang berkisah dengan judul terang “Melampaui nama-nama Islam dan postmodernisme”. Ada pula Komaruddin Hidayat yang hasil tulisannya bertajuk “Dari tahapan moral ke periode sejarah pemikiran neo-modernisme Islam di Indonesia”. Tentu itu hanya sedikit nama.

Hasilnya apa? Salah satu bentuk dekonstruksi itu dengan sembrono dilakukan Nurcholish Madjid yang mengubah konsep dasar makna Islam menjadi sekedar “sikap pasrah”. Islam mengalami reduksi dari artian sebagai konsep, sistem kehidupan, menjadi hanya sebuah sikap menyerahkan diri. Jadi apapun agamanya, jika ia menyerahkan diri kepada Tuhan, sudah termasuk bagian dari amar ma'ruf, bahkan jihad. Kendati orang itu masih suka berselingkuh dengan Tuhan-tuhan yang lain.

Posmodernisme Demokrasi

Jika kita coba kembali ke Maria Eva, akan kita temukan sesuatu yang unik. Di mana perseteruan Eva-Gamawan lantas dengan sigap diberi ruang oleh media. Televisi-televisi pun berusaha mengundang Eva dalam suasana yang lebih santai dan terbuka. Salah satunya di program “Mata Najwa Metro TV”.

Setelah mengundang Musdah Mulia pekan lalu, acara yang dipandu host Najwa Shihab itu kini menghadirkan banyak pembicara. Setidaknya Julia Perez, Maria Eva sendiri, Gamawan Fauzi, dan Syaiful Mujani melakukan wawancara silih berganti.

Pada sesi wawancara untuknya, Maria terangan-terangan mempertanyakan perihal keabsahan makna moralitas itu sendiri. Maria berkata setengah bingung dan skeptik tentang bagaimana ukuran sebenarnya dari standar moralitas. Apa tapal batas dari kriteria moralitas? Di mana ujungnya?

Sekilas, Maria Eva bertanya lebih sebagai Albert Camus berkisah tentang Tuhan yang tiada ujung dan pasti tidak memuaskan.

Hingga tiba di penghujung acara, Najwa Shihab akhirnya menyimpulkan bahwa ia menyadari kegelisahan masyarakat, tapi tidak juga menutup mata atas hegemoni artis panas pada persaingan politik. Akhirnya, dengan nada pasti, Najwa mencoba mengambil jalan tengah dengan mengatakan bahwa pilihan itu akan berpulang kepada diri kita sendiri. Kalau tidak setuju dengan para artis panas ini, ya jangan dipilih. Tapi kita pun juga tidak boleh membatasi hak politik mereka, begitu kira-kira asumsi putri kandung Prof Quraish Shihab tersebut.

Kita yang tidak setuju memang boleh geram, namun khususnya saya menyadari bahwa beginilah pahitnya hidup pada negara dengan asas di mana standar kebenaran ada di tangan rakyat, bukan Allah.

Atau mungkin asas demokrasi bangsa kita sekarang bergeser menjadi tema demokrasi tubuh, demokrasi posmo, atau mungkin demokrasi “tergantung pilihan Anda”.

Dalam analisa lebih jauh, kebenaran dalam sistem posmo ini pun bisa dikompromikan. Sebagai contoh, jika ada kebenaran yang merugikan rakyat, maka pihak yang dirugikan bisa mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan peraturan tersebut. Kasus ini terjadi saat Jaringan Islam Liberal (JIL) meminta pencabutan UU Penodaan Agama yang baru-baru heboh di kalangan umat Islam. Padahal jika kita menilik dalam kerangka Islam, yang haq pasti tidak akan bisa dikompromikan, apalagi dijual. Terlebih-lebih dengan harga murah.

Oleh karena itu, kita harus mampu melihat secara jernih bahwa relativisme kini pada dasarnya tidak hanya lahir pada bahasan pluralisme Agama. Namun ia masuk ke tema-tema yang terbilang sederhana. Seperti sebuah moto yang terselip pada koran Jakarta, "Kebenaran tidak pernah memihak".

Kalau kita memperhatikan dengan seksama, bahasa Najwa Shihab pun sekilas terlihat menarik, "Tidak perlu membatasi politik mereka” (para artis porno), seolah untuk menunjukkan bahwa kitalah adalah orang yang tidak bijak dalam kasus ini.

Dalam tradisi Posmo sebisa mungkin kebenaran teologis memang harus mengalami reduksi. Jangankan itu, kebenaran akan timbul dalam varian. Versi-versi yang antara satu dan yang lainnya saling bertentangan.

Bahkan jangan kaget jika kemudian hari kita pun akan digiring untuk berbenturan pada opini-opini, "Jadi yang milih Jupe tidak bermoral dong?”

Tauhid vis a vis Posmodernisme dan Moralisme

Kita memang perlu mengapresiasi itikad baik yang dikeluarkan Menteri Gamawan Fauzi. Bagaimana pun beliau punya rasa simpatik terhadap keselamatan moral bangsa. Namun karena kita menyandarkan moralitas pada standar-standar nilai kemanusiaan, kita pun akan khawatir kasus Maria Eva hanya akan tertutup sejenak dan akan kembali muncul tapi dalam rupa berbeda. Ia seakan lenyap dari peredaran tapi hakikat dan ruhnya tetap tidak tersentuh. Bukankah ini serupa dengan adagium menutup satu lobang, lalu tersingkaplah lubang yang lain?

Sebenarnya, kasus relativitas moral hanya dapat luluh dengan sentuhan tauhid sebagai pilar asasinya. Islam tidak hanya mengajarkan hambanya untuk stabil dalam segi moral, namun labil pada akhlak yang lain. Islam pun selalu mengaitkan standar kebaikan yang langsung online kepada ketetapan Allahuta'ala. Hamba dalam sistem tauhid hanya mau diatur kepada ketentuan Allah yang pasti adil dan mengerti kebutuhan hambanya.

Selanjutnya, berbeda dengan moralisme pada standar kemanusiaan dan postmodernisme, Islam mempunyai batas moralisme yang jelas, tidak sumir, apalagi memberi ruang untuk ditafsirkan sendiri-sendiri. Islam sudah sempurna dan tidak butuh standar kebenaran kompromistis.

Dalam Surat Al Maidah: 3, disebutkan, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu."

Di ayat lain Allah juga mengatakan secara tegas,” “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab sebagai penjelas segala sesuatu.” (An-Nahl : 89)

Kita pun dapat memetik pelajaran pada catatan shirah nabawiyah bagaimana Rasulullah lebih mendahulukan panji tauhid tinimbang acuan moralisme.

Oleh karenanya, Asy Syahid Sayyid Quthb dalam kitab Ma'alim Fi Ath-thariq nya, dengan cantik menjelaskan perihal mengapa Allah mengharuskan Nabi Muhammad shollallahu 'alaih wa sallam mengibarkan bendera La ilaha ill-Allah, bukan bendera lainnya.

Bendera tauhid dan bukan bendera moralisme, padahal dengan mengibarkan bendera La ilaha ill-Allah bangsa Arab bukan saja enggan menerima seruan tersebut, tetapi bahkan menentang dengan keras sampai ke tingkat mengusir dan memerangi Nabi shollallahu 'alaih wa sallam dan para sahabat.

Sayyid Quthb menceritakan bahwa pada waktu Rasulullah s.a.w. diutus, tingkat kesusilaan di Semenanjung Arab berada dalam titik yang amat rendah dalam banyak seginya, di samping hal-hal yang mulia yang asli Baduwi (di perkampungan dan bukan di kota, pent) yang masih ada dalam masyarakat. Ketidakadilan merajalela dalam masyarakat, tergambar dalam kata-kata penyair Zuhair bin Abi Salma:

"Siapa yang tidak mempertahankan kolam airnya dengan senjatanya, akan diruntuhkan, dan siapa yang tidak menganiaya manusia, akan dianiaya."

Karena itu amat wajar jika istri Nabi Aisyah sampai-sampai harus mengatakan:

“Andaikan awal yang diturunkan dari Al-Qur'an adalah jangan minum khamr, niscaya mereka berkata, “Demi Allah kami takkan meninggalkan khamr”. Andaikan awal yang diturunkan dari Al-Qur'an adalah jangan berzina, niscaya mereka berkata, “Demi Allah kami takkan meninggalkan zina”. Akan tetapi awal yang diturunkan ialah surah mengenai surga dan neraka, sehingga hati menjadi teguh mengingat Allah. Barulah kemudian (lambat-laun) diturunkan (daftar perkara) halal dan haram.”

Sayyid Quthb pun mempertegas itu pula dalam kitab Fiqhud Da'wah-nya bahwa ketertundukkan kepada Allah membebaskan manusia dari ketertundukkan kepada yang lainnya dan menyelamatkannya dari menyembah sesama hamba, menuju menyembah kepada Allah. Kehidupan manusia akan baik, lurus, meningkat, atau menjadi kehidupan yang layak dengan tauhid.

Di situ jelas bahwa hamba Allah sudah memiliki kebenaran moral versi tersendiri yang pasti kokoh, karena ia turun langsung dari Sang penciptanNya. Yang mengerti betul siapa hambaNya dan Bagaimana cara mengaturnya.

Kita sebagai umat Islam akhirnya harus jeli melihat banyaknya permainan kata-kata yang dilontarkan kaum postmo yang pada hakikatnya adalah menipu. Permainan yang mudah sekali ditebak dan sudah jelas tujuannya karena selalu berkutat pada problem mengincar tahta-tahta duniawi. Semoga kita selalu dilindungi oleh Allah dari tipu daya dunia fana ini. Wallahua'lam.[www.hidayatullah.com]

Penulis adalah konselor Muslim dan aktif di Kajian Zionisme Internasional.

0 komentar:

Posting Komentar

copyrigt; Juned Topan.. Diberdayakan oleh Blogger.