BAB II
AGAMA BUDDHA
LATAR BELAKANG
Dalam bab agama Hindu kita mencoba menggambarkan dua
gerakan yang patut dicatat – para rishi Upanishad dan Sri Krishna –
yang bangkit di India melawan politeisme Brahmana dan
ritualisme. Betapa pun mereka akhirnya terserap dalam agama
Hindu dan ciri mereka yang khas lenyap karena kompromi dengan
sistem yang ditentang oleh mereka. Agama Buddha adalah revolusi
yang lain lagi terhadap agama Brahmana, dan gerakan besar ini
tidak dapat bercampur lagi dengan agama Hindu. Buddha bukanlah
suatu agama yang berbeda, melainkan suatu sistem yang positif.
Namun demikian, setelah suatu masa sukses dan popularitas yang
luas, agama ini terasing dari tanah kelahirannya oleh agama Hindu
yang dibangkitkan lagi. Tetapi sebelum hal itu terjadi, agama
Buddha telah tersebar ke berbagai negeri di luar India dan menjadi
satu dari agama dunia yang besar.
India dalam abad ke enam sebelum masehi bukanlah suatu
kerajaan yang luar biasa atau kekaisaran. Negeri itu mempunyai
sejumlah raja dari suku-suku serta marga tertentu yang memerintah
daerah-daerah kecil. Beberapa logat dipergunakan meskipun
Sansekerta adalah bahasa yang suci. Kitab Weda telah mendapat
gelar yang misterius sebagai kitab wahyu. Pengorbanan dan
upacara menurut faham Brahmana telah dijalankan secara luas
dengan penuh keyakinan, bahwa melalui upacara itu maka manusia
yang melakukannya akan memperoleh apa yang diinginkannya di
dunia ini maupun di akhirat. Para pendeta Brahmana dihormati dan
ditakuti sebagai setengah dewa. Masyarakat dibagi dalam empat
kasta secara ketat dengan kaum Brahmana yang memperoleh
34 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
kedudukan penuh fasilitas, di pihak lain kaum Sudra dan Paria
menjalani hidup dalam keadaan yang lebih buruk dari binatang
piaraan. Kitab hukum agama Hindu menyatakan : “Telinga seorang
Sudra yang mendengarkan penuh perhatian ketika Kitab Weda
dibacakan harus disumpal dengan logam cair, lidahnya harus
dipotong bila membacanya, badannya harus dibelah bila hafal
dalam ingatannya”.1 Bila seorang Sudra berbuat demikian besar,
misalnya memberikan sekelumit nasehat kepada seorang
Brahmana, minyak panas harus dituangkan ke telinganya.
Orang Hindu telah mengembangkan kegemaran untuk
berfilsafat secara hitam putih, yang tiada lain kecuali mencari
kebenaran atau menyalib orang. Ini adalah abad kekacauan yang
penuh untung-untungan dengan ilmu agama yang tidak tentu dan
pertengkaran yang membingungkan. Kehidupan akhlak sangat
menderita karena banyak permasalahan metafisik, dan perselisihan
keagamaan yang menyerang habis daya serta tenaga rakyat. Dalam
hutan dan gua-gua hiduplah banyak resi dan pertapa yang
menjalankan penyiksaan diri dan menolak kesenangan bagi diri
mereka untuk masa yang panjang dan percaya bahwa ini adalah
jalan untuk mencapai ketinggian rohani. .
Rakyat menyembah segala macam, mulai dari matahari hingga
batu biasa, dewa yang tinggi hingga setan, dedemit yang
menakutkan. “Di benua yang luas India”, tulis Dr. Radhakrishnan,
“kapasitas yang luar biasa untuk menciptakan dewa-dewa, maka
dengan kejahilan bertuhan memberi ruang lingkup yang luar biasa.
Tuhan dan hantu dengan daya melukai atau mengganggunya,
sebagaimana halnya perlu dipuji dan dipuja karena menguasai
kehidupan rakyat. Di sisi lain secara kontras, Weda penuh aturanaturan
dan upacara-upacara ritual dan seremonialnya saja”.2
1 T Rhys Davids, Buddhist India, p. 3 (Putnam’s New York, 8th edition, 1959)
2 S. Radhakrishnan, Indian Philosophy, Vol. 1, p. 354 (George Allen and Unwin, London,
1923)
AGAMA BUDHA 35
Di dunia inilah, Siddharta yang mempunyai nama keluarga
Gautama dan dibelakang hari menjadi Buddha dilahirkan.
RIWAYAT KEHIDUPAN BUDDHA
Fakta sejarah mengenai kehidupan pendiri agama Buddha telah
tenggelam dalam banjir dongeng yang muncul sejak awal sejarah
agama tersebut. Dari seluruh catatan yang telah ditulis tentang
beliau, hanya ada sebagian kecil yang dapat dianggap sebagai
kebenaran sejarah, sampai-sampai seorang yang ulama pun seperti
Ananda Coomaraswamy percaya bahwa Buddha bukanlah seorang
manusia melainkan suatu mitos Dewa Matahari.
“Pertimbangan-pertimbangan ini”, tulisnya, “membangkitkan
pertanyaan apakah ‘kehidupan’ dan ‘penakluk kematian’ dan ‘Guru
dari dewa dan manusia’ yang menyatakan bahwa ia dilahirkan dan
diturunkan di dunia-Brahma, dan yang turun dari langit serta masuk
dalam rahim dan lahir dari Maha Maya dapat dianggap sebagai
fakta sejarah ataukah sekedar suatu mitologi di mana sifat dan
tindakan dewa Weda yakni Dewa Agni serta Dewa Indra yang
kurang lebihnya telah bercampur dengan jelas di dalamnya”.3
Keraguan yang sama diungkapkan dalam sejarah Yesus Kristus
dan Lao Tzu. Jika mereka menggarisbawahi kesulitan tugas
cendekiawan yang ingin mengungkapkan fakta sejarah tentang
Buddha, Lao Tzu, dan Yesus karena kumpulan cerita dongeng yang
ada di sekelilingnya, namun untuk menganggap hal itu sepenuhnya
sebagai dongeng adalah sikap yang berlebihan diambil oleh
cendikiawan.
Siddharta Gautama yang kelak menjadi Buddha dilahirkan
pada tahun 563 sM di tanah Lumbini dekat Kapilavastu. Ayahnya
Suddhodana adalah seorang raja dari marga Sakya yang negerinya
3 Ananda Coomaraswamy dan I,B, Horner, The Living Thoughts of Gautama the Buddha,
p.1.2 (The Living Thoughts Libaray, Cassel and Co. London, 1948)
36 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
terletak di sudut Selatan Nepal dengan Kapilavastu sebagai ibu
kotanya.
Ibunya Maya meninggal dunia ketika dia berumur tujuh hari
dan anak itu dibesarkan oleh saudara perempuan ibunya, yakni
Pajapati. Dalam Sutta Nipata, kita temukan juru ramal Asista yang
datang ke istana Suddhodana yang haus akan Dharma yang sejati.
Kita membaca tentang betapa dia mengenal tanda-tanda pribadi
pada dirinya sebagai Buddha dan meramalkan kebesaran anak itu di
masa datang. Dia menangis karena berfikir bahwa dia sendiri sudah
tidak ada lagi sampai saat yang akan tiba itu dan mendengarkan
Kitab ajaran yang baru.
Ayahnya cemas, sehingga dia harus tidak tahu tentang gejolak
dunia. Dia dikelilingi dengan segala macam kecantikan dan
kemewahan. Namun Siddharta tidaklah seperti anak-anak muda
yang lain. Dia tidak ingin bebas riang gembira atau menyukai olah
raga berkelahi dan wanita. Ayahnya telah mengawani dengan
sepupunya yang cantik, yakni Yasodhara , Siddharta mencintai
istrinya tetapi dia pun tak sanggup mengobati kegelisahan hatinya.
Dia merasa sebagai seorang tawanan dalam istana serta tamantaman
kemewahan yang didirikan ayahnya. Dia meneguhkan
niatnya untuk mengadakan perjalanan guna melihat dunia nyata.
Kita baca dalam kitab-kitab suci bahwa bagaimana dia pergi
dengan Channa, sais keretanya, dan melihat berturut-turut seorang
tua renta seorang yang sakit dan meninggal dunia. Ia merasa sangat
tergoncang melihat penderitaan dan kematian manusia. Kemudian
dia melihat seorang pertapa berkepala gundul dengan jubah kuning
sudah tua dan pemandangan atas orang itu mengilhami keinginan
untuk mencari kedamaian hidup keagamaan, dan ketentraman serta
penyembuhan atas penderitaan kemanusian. Di malam yang larut
dia mengucapkan selamat tinggal kepada isterinya yang sedang
tidur dengan bayinya dan meninggalkan istananya. Di tepi hutan dia
AGAMA BUDHA 37
mengenakan jubah pendeta dan memulai karirnya sebagai seorang
pencari kebenaran. Ini adalah penolakkan keduniawan yang besar.
Dia mengembara di hutan dari satu guru ke lain guru,
mempelajari segala hal yang diajarkan kepadanya, tetapi tidak
menemukan kepuasan. Berikutnya dia mulai berpuasa berturutturut,
dengan keras menjalankan latihan meditasi dan membebani
dirinya dengan cobaan-cobaan yang dahsyat, dengan harapan
bahwa dengan cara ini dia akan menemukan kebenaran. Ini usaha
yang besar, meskipun seringkali dia di ambang maut, tetapi tidak
menemukan sekalipun dari gelombang kehidupan ini. Karena itu,
dia berkesimpulan bahwa hidup bertapa bukanlah jalan ke arah
penerangan. Dia memutuskan untuk makan minum lagi, sehingga
lima pertapa yang mengikuti dirinya, akhirnya pun
meninggalkannya. Akhirnya dia duduk bersila dengan gaya yang
disebut bunga teratai di bawah pohon yang yang suci dengan penuh
harapan memperoleh penerangan. Cerita mengisahkan kepada kita
bahwa pada saat krisis Siddharta diganggu oleh Mara, penggoda
yang mencoba dengan sia-sia dengan segala bentuk tema dan
godaan yang menggoncangkan. Dia teguh dalam meditasi dan
akhirnya pintu hijab pun terangkat di mata beliau, dan cahaya yang
membahagiakan meliputi beliau. Ini adalah penerangan yang besar,
dan Siddharta Gautama telah mencapai bodhi atau pemancar cahaya
dan menjadi Buddha atau seorang yang diterangi.
Selama tujuh hari atau lebih beliau tinggal di sana, Mara si
setan mencobanya lagi. Cobaan ini agar dia menerima sekaligus
menggenapkan atas pembebasan dirinya sendiri ketika itu juga
dengan kematiannya untuk langsung ke Nirwana. Ini cobaan yang
paling rumit. Fikiran bahwa dia mengumumkan ajarannya, maka
manusia tidak akan menerimanya, dan dia hanya akan kehilangan
ketentraman dirinya ini juga menakutkannya dan agar berbalik lagi.
Tetapi kasih sayang dalam kalbu Buddha membangunkannya demi
kebutuhan manusia yang abadi, dia merasa bahwa perasaaan
38 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
pribadinya yang mendalam untuk mengasihi dan menyayangi serta
menyuruh dia untuk mengabdi kepada sesama umatNya. Karena
itu, Sang Buddha memutuskan untuk terjun ke masyarakat dan
mengumumkan kepada dunia jalan ke arah kedamaian dan hidup
abadi.
Orang-orang pertama yang kepada siapa dia memutuskan
untuk menyam-paikan risalahnya, adalah lima pertapa yang dulu
telah meninggalkannya saat dia menghentikan hidup bertapa.
Beliau menemukan mereka di Varanasi, dan di sana di Taman
Menjangan, beliau mengajarkan khotbah pertama mengenai
‘Meletak-kan Diri dalam Gerak Roda Kebenaran’. Beliau
mengajarkan mereka Jalan Tengah, Empat Kebenaran Mulia, dan
Delapan Segi Jalan ke Arah Keselamatan. Mereka menjadi muridmuridnya
yang pertama dan Arahant (Wali yang sempurna)
Jumlah pengikutnya bertambah dengan cepat, dan beliau
mengutus mereka ke dunia dengan penuh kasih sayang kepada
sesama manusia untuk mengumum-kan Dharma (atau Dhamma
bahasa Pali), yakni Keimanan Sejati atau Hukum demi keselamatan
banyak orang. Buddha sendiri pergi Uruvella. Di perjalanan beliau
menemukan sekelompok orang-orang muda yang sedang
berdarmawisata dengan isteri mereka . Salah seorang dari mereka
membawa selirnya dan ternyata wanita simpanannya minggat
bersama harta miliknya. Si orang muda itu bertanya kepada Sang
Buddha kalau-kalau beliau melihat wanita itu. “Coba kau fikirkan
wahai anak muda” tanya Sang Buddha, “manakah yang lebih baik
bagi dirimu, mengejar seorang wanita atau mencintai Dirimu
sendiri?”. Dalam perjalanan ini, beliau dapat merebut hati orangorang
muda tersebut dari nafsu rendah ke jalan keagamaan dan
kemuliaan. Di Uruvela, Sang Buddha bertemu dengan sekolom-pok
penyembah api, dan beliau mengajarkan kepada mereka khotbah
apinya yang termasyur. Mereka juga bertobat dan menjadi muridmuridnya.
AGAMA BUDHA 39
Di Rajagraha, Sang Buddha menyadarkan Raja Humsara dan
menerima dari raja itu taman yang dikenal sebagai Celah Bambu
untuk digunakan jemaahnya sebagai tempat semedhi yang tetap.
Kemudian, beliau pergi ke Kapilavastu dan menjumpai ayah, isteri,
dan anaknya. Puteranya, Rahula, dan Ibunya, Prajapati, bergabung
dalam jemaah . Sang Buddha kurang senang menerima wanita
dalam jamaahnya, namun dibujuk untuk berbuat demikian oleh
saudara sepupu yang juga muridnya, Ananda Buddhacarita.
Riwayat hidup awal dari Buddha ditulis oleh Asvaghosa, berisi
banyak peristiwa mujizat yang dilakukan Buddha dan juga
perjalanan ke langit untuk mengajarkan Dharma kepada roh-roh
dari mereka yang sudah tiada.
Demikianlah Sang Buddha selama empat puluh tahun
melanjutkan kelana-nya dari satu tempat ke tempat lain untuk
mengajarkan Dharma dan Jalan kedamaian abadi dan hidup kekal.
Akhirnya, datanglah saat bagi beliau untuk meninggalkan badan
jasmaninya. Salah satu cerita tentang hari-hari terakhir Sang
Buddha diriwayatkan dalam Mahaparinibhana Sutta dari Digha
Nikaya. Beliau mengatakan kepada para pengikutnya untuk
membuat “Diri sendiri sebagai tempat mengungsi, dan pengungsian
Hukum Abadi mereka”. Kata-kata terakhir-nya, “Dapat rusaklah
segala perkara yang berpasangan; bekerjalah dalam kesung-guhan
demi tujuan Anda”. Gambaran yang utuh dari Buddha telah
menyinarkan cahayanya ke jutaan ummat manusia selama
duapuluhenam abad dan telah memenangkan penghormatan dan
kekaguman tidak hanya bagi para penganut agama Buddha,
melainkan juga manusia yang tidak melihat bagaimana caranya
untuk bergabung dalam kepercayaan itu
AJARAN SANG BUDDHA
40 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
Sang Buddha sendirι tidak menulis apa-apa. Tak sedikit pun
dari ajarannya yang tertulis setidaknya selama empat ratus tahun
sesudah wafatnya. Yang lebih buruk lagi, praktik-praktik para
pengikutnya dalam menerangkan agama Buddha telah menyisipkan
kata-kata dan komentar sendiri dari ucapan Guru Besar itu. Karena
itu mustahil memisahkan kata-kata asli dari Buddha dengan
segolongan besar kata-kata dan ceramah-ceramah yang tersiar yang
telah dinisbahkan kepadanya dalam kitab-kitab suci agama Buddha.
Cendikiawan Buddha terkenal, Chirstmas Humpreys menulis:
“Karena itu tidaklah kita mengetahui apa yang diajarkan
Buddha lebih dari apa yang diajarkan Yesus, dan saat ini sedikitnya
ada empat aliran dan masing-masing ada pembagian lagi yang
menyatakan bahwa pandangan mereka sendiri-lah yang
mencerminkan apakah agama Buddha”.4
Nyonya Rhys Davids mengakui bahwa kitab suci agama
Buddha yang pertama adalah sesuatu seperti “kritisisme lebih
tinggi” dan berdasarkan penemuannya, suatu usaha akan kita
paparkan di sini untuk menyajikan risalah asli dari Sang Buddha.
Sang Buddha adalah Buddha, sebab dia Buddha Yang Sadar,
Yang Diterangi, Yang Waspada” Kebenaran yang tertinggi telah
diwahyukan kepadanya. Siddharta Gautama bukanlah Buddha yang
pertama. Beliau sendiri berkata telah banyak Buddha atau Guru
Kebenaran yang mendapat penerangan penuh sebelum beliau, dan
banyak sekali yang akan datang sesudah beliau.
Inti sari ajaran Buddha adalah cinta kasih yang terdapat dalam
khotbahnya “Meletakkan diri dalam Gerak Roda Kebenaran”.
Beliau mengajarkan bahwa mereka yang ingin memasuki hidup
keagaman harus mencegah dua ekstrimitas yang mengumbar nafsu
pribadi, hidup menyiksa diri, dan mengikuti jalan tengah. Beliau
mengungkapkan Empat Kebenaran Mulia: (1) kebenaran pertama,
yakni tentang adanya penderitaan dan kesusahan di dunia ini, (2)
4 Christmas Humphreys, Buddhism Pelican Book, p. 11 (Harmondsworth, 1959)
AGAMA BUDHA 41
kebenaran kedua menyatakan bahwa sebab dari penderitaan dan
kesusahan itu adalah nafsu pribadi, (3) kebenaran ketiga menjamin
bahwa nafsu pribadi dan kesusahan dapat dibinasakan, (4)
kebenaran keempat menunjukkan jalan yang menuntut ke arah
menghilangkan kesusahan dan ketidakbahagian. Sang Buddha
memberikan gambaran yang mengagumkan dari Jalan Bersegi
Delapan yang mendorong ke arah akan diakhirnya penderitaaan,
dan ketidakbahagian. Yaitu pandangan yang benar, gagasan yang
yang benar, bicara yang benar, tindakan yang benar, hidup yang
benar, usaha yang benar, dan renungan yang benar. Pandangan
yang benar berarti pengetahuan atau empat kebenaran mulia. Tetapi
sepanjang kebenaran itu hanya dikenal oleh akal fikiran saja, maka
kebenaran itu tidak punya daya kehidupan. Karena itu harus
diketemukan dan dibuktikan oleh setiap orang dikedalaman hati
nuraninya sendiri. Karena itu, langkah pertama adalah
menimbulkan kesadaran suatu panggilan untuk meninggalkan cara
di mana kita telah kehilangan kebenaran dan nasib kita. Aspirasi
yang benar adalah menolak hawa nafsu rendah, tidak boleh
membenci atau menyakiti sesama makhluk. Bicara yang benar,
menyuruh kita agar menghentikan dusta, fitnah, caci maki, katakata
kasar, dan omong kosong. Tindakan yang benar, berarti
menghindari pencabutan jiwa atau mengambil apa yang tidak
diberikan atau dari akibat-akibat nafsu sex. Hidup yang benar,
berarti menghentikan setiap cara hidup yang terlarang, misalnya
menjadi pedagang senjata, penjual budak, mencari nama atau
penjual racun. Usaha yang benar, terdiri dari menahan timbulnya
nafsu jahat ,membinasakan nafsu rendah yang timbul dalam
mendorong nafsu baik dan menyempurnakannya bagi mereka yang
telah bisa mewujudkannya. Fikiran yang benar, adalah mencapai
penguasaan diri dengan sarana-sarana ilmu pengetahuan, pribadi.
Renungan yang benar mengambil bentuk dalam empat macam
semedi atau meditasi. Ini adalah akhir dan mahkota dari jalan
42 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
bersegi delapan. Ini adalah bagian penting dari kehidupan tertinggi
disaat nafsu kejahilan dan egoisme menghilang, dan pencerahan
serta kesucian menggantikannya. Ini adalah renu-ngan penuh
kedamaian dan kebahagian yang mendalam, menyertai bersatunya
pribadi sendiri dengan Pribadi Universal.5
Metode pengajaran agama Buddha dengan baik sekali
dilukiskan oleh ‘Perumpamaan Biji Mustard’. Kisah Gotami,
seorang wanita tua miskin, telah kehilangan putra tunggalnya.
Penuh kedukaan yang tak terhingga dia datang kepada Sang
Buddha dan memohon kepadanya agar menghidupkan puteranya
kembali. Buddha setuju untuk berbuat demikian, asal wanita itu
mau mengambil beberapa biji mustard dari satu rumah yang belum
mengalami kematian. Wanita itu pergi dari rumah ke rumah, tetapi
kemana pun dia pergi selalu diberitahukan bahwa tak ada sebuah
rumah pun yang tidak pernah mengalami kematian. Dengan cara
ini, dia memperoleh pengertian secara simpatik. Wanita itu kembali
kepada Sang Buddha, dan tidak lagi meminta agar puteranya
dihidupkan kembali, melainkan agar dia diberikan kedamaian dan
ketentraman.
Kisah yang mengharukan ini mengajarkan dua hal dari ajaran
Buddha yang paling penting. Pertama, segala sesuatu yang ada
dalam fenomena dunia selama-nya akan berubah dan sementara.
Apa pun yang ada akan berlalu, siapa pun yang dilahirkan akan
mati. Setiap makhluk hidup adalah suatu gabungan elemen-elemen,
cepat atau lambat akan bercerai berai. Karena itu, suatu penerimaan
yang wajar atas kematian adalah bagian yang penting dalam
penyesuaian yang sejati kepada kenyataan. Kedua dari ajaran ini
adalah menerima secara realistik terhadap kematian, dan
pelaksanaan kasih sayang yang tercurah kepada sesama makhluk
5 F.L. Woodward (Penterjemah), Some Sayangs of the Buddha, pp 7-13 (The World’s
Classics, Oxford University Press, London, 1939)
AGAMA BUDHA 43
yang seperti kita sendiri yang akan menjadi sasaran dan kesakitan,
serta penderitaan semacam itu.6
Sang Buddha mengajarkan kasih sayang dan simpati yang
universal:
“Tidak pernah di dunia ini kebencian dapat diluluhkan dengan
kebencian, hal itu hanya dapat diluluhkan dengan kasih sayang –
inilah hukum yang abadi” (Dharmmapala 1:5).
“Hendaklah manusia menundukkan kemarahannyα dengan
kasih-sayang, hendaklah dia tundukkan kejahatan dengan kebaikan,
hendaklah keserakahan dengan kedermawanan, kebohongan dengan
kebenaran.”7
Hanya sedikit tentang apa yang kita sebut dogmα dalam ajaran
agama Buddha. Dengan keluasan pandangan yang jarang pada
masa itu, dan tidak jamak pula di zaman kita, dia menolak kritik
yang ngotot. Sifat tidak toleran dianggap sebagai musuh agama.
Suatu peristiwa beliau masuk dalam balai pertemuan di
Ambalatthika dan mendapatkan beberapa muridnya sedang marahmarah
kepada seorang Brahman yang telah menuduh Buddha
sebagai seorang yang tidak jujur dan menemukan cacat dalam
jemaat yang didirikannya. “Saudara-saudara”, kata Buddha, “bila
orang lain berbicara menentang saya atau ajaran agama saya, atau
melawan jemaat saya, tidak ada alasan kalian untuk marah atau
tidak senang kepada mereka. Jika Anda berbuat demikian, tidak
saja Anda tidak akan mampu menimbang lagi apakah yang
dikatakannya itu benar ataukah tidak tepat”. Beliau melarang kritik
yang tidak jujur terhadap kepercayaan lain. Tidak ada satu peristiwa
pun di mana Buddha itu terbit amarahnya, tidak ada satu peristiwa
6 E.A. Burt (Editor), The Teaching of the Compassionate Buddha, pp. 43-46 (Mentor
Book, New York, 1956)
7 Dharmmapada (17:223), terjemahan oleh N.K. Bhagwat (The Buddha Society,
Bombay). Terjemahan lainnya yang dipetik bab ini dan diambil dari (i) S.Radhakrishnan
(Oxford University Press); (ii) Narada Thera (Wisom of the East series); (iii) F.Max
Muller (Sacred Books of the East), iv Juan Mascaro (Penguin Classics)
44 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
pun di mana kata yang tidak lemah lembut meluncur dari lisannya.
Beliau memiliki toleransi yang sangat luas terhadap sesama
manusia.
Sang Buddha tidak diragukan lagi adalah pembaharu
masyarakat yang terbesar di India. Hasil yang paling dapat dicatat
adalah penghapusan sistem kasta. Dia mengatakan bahwa seseorang
Brahmana tidak karena dilahirkan oleh orang tua Brahmana
sebagaimana diajarkan oleh agama Hindu, tidak pula karena dia
menjalankan upacara-upacara dan melakukan bentuk-bentuk luar
dari kasta Brahmana, tetapi dia adalah seorang Brahmana karena
akhlak dan pengabdiannya kepada kebenaran serta kehidupan.
“Seorang bukanlah Brahmana karena rambutnya yang dicukur
ataupun keturunan atau kastanya, dalam pribadi yang terdapat
Kebenaran dan Hukum dia adalah suci, dia adalah seorang
Brahmana”. (Dharmmapada 29:33).
Buddha tidak percaya kepada apa yang disebut juru selamat
dan penebusan dosa. Beliau mengajarkan bahwa manusia itu secara
pribadi harus bertanggung jawab atas tindak tanduknya sendiri.
Kebahagiaan atau kesusahannya, dosa atau kesuciannya adalah
sebagai akibat tingkah lakunya sendiri. Tak seorang pun dapat
menyelamatkan diri dari dosanya.
“Kejahatan itu hanya dilakukan oleh dirinya sendiri, dengan
dirinya sendiri seorang itu ternoda, karena dirinya sendiri sajalah
kejahatan itu diperbuat manusia, dengan diri sendiri sajalah
seseorang itu disucikan. Kesucian atau pun kekotoran tergantung
kepada pribadinya sendiri. Tak seorang pun dapat mensucikan
orang lain’. (Dharmmapada 12:165).
Pendeknya kita menuai apa yang kita tanam, baik di dunia ini
maupun di alam nanti. Orang baik akan ke sorga dan si jahat ke
neraka:
AGAMA BUDHA 45
“Para pahlawan yang tidak mengenal kekerasan dan selalu
mengendalikan dirinya untuk menuju Kediaman Abadi, di mana di
tempat itu seseorang bebas dari kedukaan.” (Dharmmapada 17:225)
‘Bagaikan satu kota berbenteng yang terletak di tanah
perbatasan dan terjaga baik di dalam mau pun di luarnya, hendaklah
seseorang itu mengendalikan dirinya sungguh-sungguh dan jangan
dia lewatkan sedikit pun tak terjaga, karena bagi mereka yang
terlewat sedetik saja akan jatuh ke dalam kesusahan, seolah-olah
mereka ditetapkan ke neraka.” (Dharmmapada 22:313)
Buddha menolak terlibat dalam pertentangan metafisik yang
meresahkan dan tidak terarah. Banyak ajaran yang sekarang
dianggap bagian penting agama Buddha, tidaklah merupakan
bagian ajaran yang asli dari Buddha. Nyonya Rhys Dacids, H.J.
Jennings dan Ananda Coosmaraswamy sepakat bahwa ajaran
reinkarnasi dari agama Hindu, “penolakkan diri” (Anatta) dan
kependetaan itu bukanlah termasuk asli agama Buddha. Tidak
diragukan lagi tentang kepercayaan Buddha terhadap keabdian
jiwa. Waktu beliau berbicara tentang penghancuran “diri sendiri”,
itu berarti penghancuran nafsu rendah. Nafsu rendah inilah yang
dinyatakan oleh Buddha sebagai tidak permanen dan tidak nyata.
Beliau yakin atas kenyataan dan keabadian dari nafsu yang lebih
tinggi.
“Jika seseorang mengetahui bahwa pribadinya itu berharga, dia
harus selalu menjaga dan mengawasinya dengan baik-baik.”
(Dharmmapada 12:157).
“Melalui diri sendiri seseorang harus mengajar Pribadi,
seseorang harus mengendalikan diri dengan Pribadi; jadi menjadi
Bhikku itu dijaga oleh Pribadi dan bukan fikiran, inilah yang akan
berjalan ke arah kebahagian.” (Dharmmapada 25:379)
Tidak satu pun yang lebih disalahfahami selain sikap Buddha
kepada Tuhan. Seringkali dikatakan bahwa Buddha itu tinggal diam
bilamana dia ditanya tentang Tuhan, diamnya itu ditafsirkan
46 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
sebagai penolakkan atas adanya Tuhan. Namun Ny. Rhys Davids
dan Sir Francis Younghusband, kedua-duanya menunjukkan bahwa
Buddha itu membawakan ajaran Upanishad. Dia tidak asing lagi
dengan fikiran-fikiran dan istilah-istilah keagamaan. Ketika
Upanishad menggunakan kata-kata “Pribadi” seringkali digunakan
dalam pengertian Pribadi Semesta atau Tuhan, prinsip metafisik
dari kehadiran – inilah Brahman, Pribadi yang tersembunyi dalamdalam
di segala makhluk.” Sang Buddha jelas-jelas menggunakan
kata Pribadi dengan pengertian yang sama ketika beliau berkata:
“Aku berlindung kepada Sang Pribadi” (Digya Nikaya 2:120), dan
dalam kata-kata berikut:
“Pribadi adalah Tuhan itu sendiri, apakah ada Tuhan yang lebih
tinggi dari itu? Bila seseorang menguasai baik-baik diri pribadinya,
maka dia akan menemukan Satu Tuhan yang sukar didapat.”
(Dharmmapada, 12: 159)
“Pribadi adalah Tuhan diri pribadi, Pribadi adalah tujuan diri
pribadi; karena itu kendalikan dirimu bagaikan seorang pedagang
yang mengendalikan seekor keturunan yang baik”. (ibid, 25:380)
Buddha seringkali menunjukkan Dharma (Dhamma dalam
bahasa Pali), keimanan yang sejati sebagai Brahmacariyam atau
jalan menuju Brahman, kehendak Tuhan yang kekal. Dalam suatu
peristiwa, beliau menunjukkan bahwa bila seseorang itu mengikuti
hidup yang mulia dan suci, “dengan kalbu penuh kasih sayang, luas
pandangan, bertumbuh menjadi besar dan selalu terukur”, orang
semacam itu mendekati persatuan dengan Brahman dan bahwa “dia
sesudah kematiannya dan ketika tubuh jasmaninya bercerai berai
akan menjadi satu dengan Brahman yang senantiasa sama” (Tevijja
Sutta). Brahman tentulah nama yang diberikan dalam Upanishad
untuk Satu Tuhan yang Sejati. Ananda Coomaraswamy menulis:
AGAMA BUDHA 47
“Hukum atau Dhamma selalu menjadi suatu nomen Dei, dan
dalam agama Buddha itu sinonim dengan Brahman.”8
Dan ini pula yang ditulis Sir Francis Younghusband tentang
masalah tersebut:
“Walaupun demikian, sikapnya tentang menuju ke idea Tuhan
seringkali disalahtafsirkan. Karena itu ia berusaha memperhalus
dan mempertajam pengertian Tuhan … ia meletakkan seorang ateis
dan Buddhis sebagai dentingan halus suatu renungan yang tidak
penting. Tetapi hal ini mungkin disebabkan Buddha terlalu besar,
tidak terlalu kecil, idea tentang Tuhan diperhalus untuk
menekankan pada diri sendiri agar memperoleh ketajaman
pengertian tentang kedewataan. Adalah sesuatu yang terlalu besar
untuk dinyatakan dalam kata-kata. Siapa, misalnya, yang dapat
mendefinisikan cinta? Buddha tidak memperkirakan untuk
mendefinisikan Tuhan, tetapi baik beliau dan muridnya telah jenuh
dengan konsep Kekuatan dibalik mata yang melihat, dan telingga
yang mendengar, dan semua kejadian di alam.”9
Jadi tujuan agama Buddha itu seperti semua agama lainnya
adalah Nirwana (bahasa Pali, Nibbhana), yang dalam risalah asli
dari Sang Buddha berarti kembalinya roh ke haribaan Tuhan.
SEJARAH AGAMΑ BUDDHA
Sungguh disayangkan bahwa kepemimpinan dan tafsir popular
agama Buddha itu jatuh ke tangan seorang yang bernama Sariputra.
Dia sebagaimana ditunjukkan oleh Edward Conze cenderung
sebagai seorang yang skeptis. Dia sungguh-sungguh boleh disebut
Santo Paulusnya agama Buddha. Dia mencap risalah-risalah Sang
Buddha sebagai bikinannya sendiri dan menafsirkannya sekehendak
8 Ananda Coomaraswamy dan I.B. Horner, The Living Thoughts of Gautama the Buddha,
p. 25 (The Living Thoughts Library, Cassel, and Co., Ltd., London, 1948)
9 F.L. Woodward (penterjemah), Some Saying of the Buddha: Introduction by Sir Francis
Younghusband, page xv (Oxford University Press, 1939)
48 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
hatinya. Dia mengabaikan banyak perkara dan melebih-lebihi
perkara lain dalam ajaran Buddha. Dengan mengutip kata-kata
Edward Conze:
“Tarikan Sariputra ke dalam ajaran agama Buddha tidak saja
dalam melatih kependetaan untuk jangka waktu yang panjang,
melainkan juga menentukan aspek-aspek mana dari ajaran Buddha
yang harus ditekankan dan mana yang harus disingkirkan ke bawah
tanah.”10
Hikmah lama atau aliran Hinayana dalam agama Buddha
memakai penafsiran Sariputra dan juga skeptisismenya. Sudah
umum dipercaya bahwa segera setelah wafatnya Buddha, suatu
konsili Buddha telah diadakan di Rajagaha untuk menetapkan isi
dari isi Tripitaka atau Tiga Keranjang Hukum. Konsili kedua,
dikatakan telah dilangsungkan di Vasali sekitar seratus tahun
kemudian untuk membereskan perbedaan-perbedaan tertentu yang
telah timbul dalam jemaat tersebut. Namun kebanyakan
cendekiawan meragukan riwayat dari konsili ini.
Sekitar dua ratus tahun setelah wafatnya Sang Buddha,
timbullah perpecahan yang pertama di antara ummat Buddha. Para
pengikut apa yang disebut aliran Hikmah Lama pecah dalam dua
sekte, Theravadi dan Sarvastivadin. Kaum Theravadi mendapat
dukungan di wilayah Timur India dan sekarang mereka menguasai
Ceylon, Burma, dan Thailand. Kitab suci mereka Tripitaka adalah
dalam bahasa Pali.11 Sarvastivadin berkembang di Barat dengan
Mathura, Gandhara (Lembah Peshawar) sebagai pusatnya. Sekte ini
menjadi padam sekitar 1100, namun kitab sucinya tetap dapat
diperoleh dalam bahasa Sanskrit.12
10 Edward Conze, Buddhism: Its Essence and Development, p. 91 (Harper Torch Books,
New York, 1959)
11 The Road to Nirvana- A Selection of the Buddhist Scripture in Pali, diterjemahkan oleh
E.J. Thomas (Wisdom of the East Series, London, 1950)
12 The Quest of Enlightenment – A Selection of the Buddhist Scripture in Sanskrit,
diterjemahkan oleh E.J. Thomas (Wisdom of the East Series, London, 1950)
AGAMA BUDHA 49
Sekitar tahun 240 SM, kita saksikan bangkitnya Mahayana
Buddha, sebagai reaksi terhadap Theravada yang direndahkan oleh
kaum Mahayana dengan nama Hinayana.
Konsili ketiga dari agama Buddha diadakan di Pataliputra
dalam abad ketiga sebelum masehi. Ini adalah konferensi sefihak
dari golongan Hinayana dan tujuannya adalah mengutuk gejalagejala
‘murtad’ sekte Mahayana. Dinyatakan bahwa konsili ini
diadakan oleh Asoka, salah satu raja mulia yang banyak jasanya
kepada agama Buddha.
Peristiwa penting selanjutnya dalam sejarah kaum Buddha
adalah masuknya Menander (Milinda), seorang raja keturunan
dinasti Bactria asal Yunani. Suatu buku kanonik yang penting dari
Buddha Hinayana berjudul Milinda Panha (Pertanyaan–pertanyaan
Raja Milinda) ditulis oleh filsuf Buddha terkemuka Nagasena
sebagai tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan tertentu yang
diajukan oleh Raja Menander. Kitab ini merupakan pembelaan
aliran Hinayana yang disusun untuk menenangkan fikiran yang
bergejolak saat itu dari elemen-elemen baru yang merusak serta
menyusup ke dalam agama Buddha.
Dengan bangkitnya Saka dalam tampuk kekuasaan di India,
maka timbul kesenjangan dalam pengetahuan kita tentang sejarah
Buddha. Namun dalam abad pertama, Saka ditaklukkan oleh suku
bangsa lain yang berasal dari Asia Tengah, Yueh-Chi atau Kushans.
Raja terbesar dari dinasti ini, Kaniksha (memerintah 120-162 )
menjadi Buddha, dan sebagaimana halnya dengan Asoka serta
Menander, dia memberi dukungan yang kuat kepada agamanya
yang baru. Di sekitar waktu inilah agama Buddha mengalami suatu
rangkaian perubahan yang membuatnya sangat berbeda dengan
ajaran asli Sang Buddha. Agama ini jatuh di bawah bermacammacam
pengaruh, seperti Hellenisme, Paganisme dari Asia Tengah
dan agama Brahma. Sang Buddha dipertuhankan dan patungnya
menjadi obyek sembahyang keagamaan. Beberapa waktu sebelum
50 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
ini, patung Buddha yang pertama telah dibuat orang sebagai
dukungan raja Kaniksha, seorang seniman besar dari aliran
Gandhara. Di antara para penulis besar periode ini, dapat
disebutkan Asvaghosa pengarang Buddacarita dan Mayayana
Sradhopada (Kebangkitan Iman). Masa ini juga memperlihatkan
bangkitnya dua Universitas Buddha yang terkenal, yakni
Universitas Taxila dan Universitas Nalanda di Magadha (Bihar).
Seorang filsuf besar, Nagarjuna, pendiri aliran Madhyamika dalam
agama Buddha dan pengarang Mahaprajna Paramita Shastra
tergolong dari Universitas Nalanda. Tamu-tamu terkemuka dari
Tiongkok, Hiuen-Tsian dan I-Tsing belajar bertahun-tahun di
univeristas ini dan menyatakan kekagumannya melalui tulisan
mereka.
Kanishka meniru cara Ashoka dengan memanggil Konsili
Buddha berikutnya, yakni keempat. Konsili ini tidak hanya
memunculkan Sarvastivadin, tetapi dimaksudkan pula untuk
menempatkan keharmonisan dengan tumbuhnya pengajaran dari
dua pendidikan utama tersebut.
Agama Buddha selanjutnya tumbuh dan mempunyai peran
besar dalam perkembangan intelektual dan moral pada masa
kejayaan Gupta. Pahatan dan lukisan terkenal di gua Ajanta dan
Ellora terdapat pada abad ini. Dengan kedatangan Huns dan Gujars
di India pada abad keenam, biara dan tempat belajar mengalami
kerusakan yang menyedihkan. Tetapi agama Buddha tumbuh
kembali dan berjaya pada kekuasaan raja Harsha dan abad Palas.
Namun setelah itu, agama Buddha mulai menunjukkan
kemunduran. Kemunduran agama Buddha berkaitan dengan
bangkitnya militan Hindu, suatu awal kejadian dimulai dengan
menebang pohon suci di Gaya dan membakar habis biara Buddha
oleh gerombolan dari Bengal dan Bihar. Pengajaran agama Hindu
oleh filsuf besar Shankara dari Vedanta dan juga pemikiran besar
AGAMA BUDHA 51
lainnya telah menjatuhkan agama Buddha. Sekitar abad ketujuh,
seluruh agama Buddha telah tiada di tanah kelahirannya.
Jauh sebelum kejatuhannya di India, agama Buddha telah
berkembang dan mengakar di banyak negara di luar India. Ia telah
tersebar di Ceylon pada masa Ashoka. Pada masa itu Ceylon (Sri
Lanka), menjadi pusat agama Buddha Theravada. Agama Buddha
mencapai Burma pada abad kelima dan Thailand abad kedelapan,
dan di kedua negeri ini sampai sekarang tetap setia pada
keimanannya. Agama Buddha mencapai China melalui Asia
Tengah (sekitar 50 ) dan dari China kemudian tersebar ke Korea
(372 ) dan Jepang (552 ). Agama Buddha yang masuk ke China
adalah Buddha Mahayana yang telah jenuh dengan ide-ide dan
praktik penyembah berhala dan Brahmanisme, dan di China
dicampur aduk dengan elemen-elemen ajaran lokal, Taoisme. Dua
sekolah baru Buddha Mahayana dikembangkan di China. Pertama
adalah Sekolah Tanah Suci (di Jepang disebut Jodo). Ia juga
disebut Sekolah Amitabha (di Jepang disebut Amida) dan didirikan
sekitar 350 oleh Hui-yuan dengan basis Sukhavati Sutra.Kedua
adalah Sekolah Chan (di Jepang disebut Zen) yang dikembangkan
di China pada abad keenam sebagai hasil ajaran Bodhidharma (di
China disebut Tamo dan di Jepang disebut Daruma), yakni ajaran
Buddha India dari Madras. Negara Buddha lainnya yang penting
disebut adalah Tibet. Agama Buddha masuk ke Tibet melalui raja
Gampo pada pertengahan abad ketujuh. Agama Buddha Tibet
seringkali disebut Lamaisme, yakni pencampuran dari agama
Buddha Tantric dengan agama setempat Bon. Di abad kesebelas
terjadi reformasi agama Buddha Tibet dengan menyingkirkan
elemen Bon, dan lahirlah sekte Gelupta, baik Dalai Lama dan Tashi
(Panchen) Lama merupakan bagiannya.
SEKTE AGAMA BUDDHA
52 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
Agama Buddha dibagi atas dua sekte besar, yakni Hinayana
(atau Theravada) dan Mahayana. Perkataan Hinayana (kendaraan
kecil) dan Mahayana (kendaraan besar) diucapkan oleh pengikut
Mahayana yang menyatakan bahwa “kendaraannya cukup besar
untuk mengangkut seluruh pengabdian kemanusiaan”. Jadi
sementara Hinayana menganggap Mahayana sebagai koruptor dari
ajaran asli Buddha atau tepatnya ajaran palsu dan cabang yang
melenceng. Sebaliknya, Mahayana menganggap Hinayana tidak
hanya palsu atau melenceng dari ajaran Buddha sebenarnya, tetapi
juga sederhana dan tidak lengkap atau mengada-ada ajaran Buddha.
Keyakinan dan praktik agama Buddha dipusatkan dan dipandu
oleh ajaran tiga bagian, yakni Tri-ratna (tiga manikam). Mereka itu
adalah (1) Buddha, (2) Dharma (bahasa Pali, Dhamma), dan (3)
Sangha.
Jika aliran Theravada membicarakan Buddha, maka mereka
mengartikan bahwa Siddharta Gautama adalah manusia, dialah
yang mencapai pencerahan dan telah menunjukkan jalan ke
nirwana. Agak awal dari sejarah agama Buddha, pemujaan Buddha
telah tumbuh, dan Buddha dijadikan symbol dan benda yang dipuja
secara keagamaan, tetapi Theravada tidak pernah menjadikan
Buddha sebagai Tuhan. Bagi mereka Buddha adalah Sattha (Guru),
Bhagwa (yang diberkati), Tathagata (yang mengalami dan
meningkatkan diri dari ketidak-sempurnaan hidup), dan Buddha
(mendapat penerangan sempurna). Pendeknya, ia adalah manusia
besar (Mahapurusa) dan tidak lebih dari itu.
Dengan Dharma yang kedua dari “tiga manikam”, kaum
Theravada mengartikan dengan ajaran pokok tentang penderitaan,
sebab musabab, dan pengobatannya. Kaum Buddhis Theravada
percaya bahwa alam semesta pada umumnya dan segala kehidupan
pada khususnya tiga ciri bersama (“Tiga tanda makhluk”): tidak
menetap (anicca), penderitaan (dukkha), dan ketidakhadiran jiwa
yang memisahkan dari raganya ke kehidupan lainnya (anatta).
AGAMA BUDHA 53
Mereka sependapat dalam menyatakan bahwa tidak ada prinsip
permanen atau kesatuan di dalam atau di balik alam semesta.
Segalanya mengalir. Tidak ada sesuatu kejadian yang tanpa henti
dan perubahan yang tak terputus. Tidak dzat. Kaum Theravadin
menyangkal adanya Tuhan, dan juga diri pribadi yang permanen
atau jiwa dalam diri manusia. Manusia itu tersusun dalam kualitas
yang tidak tetap serta selalu berubah , bersifat maya, dan dilahirkan
karena hawa nafsu. Selama manusia mempunyai nafsu
mementingkan diri sendiri, maka khayalan ini, selalu berubah
kualitasnya, di mana dia diciptakan, akan menetap, dan selama hal
itu masih menetap maka manusia akan lahir kembali terus menerus
di dunia kesedihan. (samsara). Manusia dapat membebaskan
dirinya dari roda kelahiran dan kematian dengan cara
menghancurkan hawa nafsu. Nirwana yang merupakan tujuan
agama Buddha, berarti “padamnya nafsu, padamnya kebencian, dan
padamnya khayalan.” Ini dapat dicapai, bahkan setelah kehidupan
sekarang. Orang yang telah melakukan ini disebut Arahant. Jika ia
meninggal, maka ia tidak akan dilahirkan kembali.
Moral kehidupan yang dicita-citakan kaum Theravadin adalah
menjadi seorang pendeta Buddha, dan itulah pentingnya Sangha,
atau tata kependetaan, hal yang ketiga dari tiga manikam.
Kehidupan dari seorang tuan rumah, hampir-hampir tidak dapat
dibandingkan dengan kehidupan yang lebih tinggi dari kehidupan
kerohanian. Hanya seorang pendeta sajalah yang dapat mencapai
ketinggian tingkat Arhant dan mencapai Nirwana.
Kaum Buddha Mahayana berbeda dengan aliran Theravadin
dalam menyatakan bahwa Menjadi Ada itu khayali dan Dzat itu
nyata. Puncak Realitas adalah esa dan tidak berubah. Ini semua
diatas konsep akal fikiran manusia. Kalau menginginkan istilah
yang lain disebut pula Tathata. Agama Buddha Mahayana adalah
bentuk idealisme mutlak. Kaum Mahayana menganggap Buddha
54 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
sebagai penjelmaan dari Realitas Mutlak Yang Esa, yang dapat juga
disebut prinsip Buddha yang abadi atau Tuhan Yang Maha Esa.
Ajaran Buddha tentang keesaan segala makhluk mengandung
arti bahwa nasib tiap pribadi dihubungkan dengan nasib dari
segalanya. Setiap orang dapat menyucikan diri mereka, karena
menghindari kesusahan dan keadaan yang penuh dosa, tetapi
penyelamatan diri manusia tidaklah sempurna selama masih ada
seseorang yang belum diselamatkan. Dalam kata-kata Masaharu
Anesaki, “Menyelamatkan diri sendiri dengan menyelamatkan
orang lain adalah ajaran keselamatan semesta yang diajarkan oleh
Buddha (Mahayana)”.13
Cita-cita kaum Theravada sebagai Arhant digantikan dalam
Buddha Mahayana sebagai Boddisattva. Seorang Boddisattva
adalah seorang yang telah mencapai keadaan suci dan terbebaskan,
yang menolak memasuki Nirwana dan melanjutkan pengorbanan
diri sendiri, demi bakti cintanya bagi mereka yang masih tertinggal
dibelakang dan menjadi segel untuk menolong mereka. Dia
menunda diri masuk ke dalam kebahagiaan yang sempurna, karena
rasa kemanunggalan rohani dengan orang lain menyebabkan dia
lebih suka menunggu dan dengan kasih sayang melayani mereka
hingga semuanya siap untuk masuk ke Nirwana bersama-sama.
Dalam kata-kata Anesaki, dia merasa bahwa kesela-matan sendiri
akan tidak sempurna dan bahkan tidak mungkin selama ada satu
makhluk yang belum terselamatkan.
Nirwana menurut agama Buddha Mahayana adalah keadaan
sejati dan kesempurnaan rohani. Ini adalah keadaan di mana kasih
sayang kemanunggalan dengan orang lain telah merasuki seluruh
fikiran dari pribadi orang itu bagaikan zat yang tak bisa dipisahkan
dan dibedakan. Diambil secara paradoks ini berarti bahwa dengan
mengemukakan Nirwana bagi diri pribadi, demi cinta terhadap
13 Masaharu Anesaki, History of Japanese Religion, p. 54 (Kegan Paul, Trench, Trubner
and Co. London: reprinted 1963)
AGAMA BUDHA 55
sesamanya, seseorang telah berada di Nirwana sebagaimana kita
pahami sungguh-sungguh. Sebab Nirwana dan Samsara bukan dua
realitas yang berbeda. Tidak ada sesuatu diluar Nirwana.
Ada satu lagi sekte agama Buddha yang perlu secara singkat
dibicarakan di sini. Ini adalah Zen Buddhisme. Zen memandang
aspek-aspek tradisional agama Buddha dengan kebencian. Ia
menolak renungan dan kitab suci serta mengabai-kan konvensi.
Juga mereka membenci spekulasi metafisik, tidak suka teori-teori,
dan cenderung untuk menghapuskan akal fikiran. Pandangan yang
langsung lebih dihargai dari pada menganyam benang fikiran yang
rumit-rumit. Kebenaran itu tidak dinyatakan dalam istilah yang
abstrak dan umum, tetapi sekongkrit mungkin. Mereka percaya
bahwa penerangan dan keadaan kemanunggalan dengan Yang Esa
tidak dapat dicapai hingga fikiran tentang logika dihancurkan.
Mereka mengembangkan teknik meditasi yang aneh (zazen), untuk
menghancur-kan kebiasaan berfikir dan berasio norma serta
mencapai penerangan yang tiba-tiba (satori).
KITAB-KITAB SUCI AGAMA BUDDHA
Kitab-kitab suci golongan Theravada adalah Tripitaka (Tiga
Keranjang, dalam bahasa Pali). Kitab-kitab tersebut adalah Vinaya
Pitaka, Sutta Pitaka, dan Abidhamma Pitaka.
1. Vinaya Pitaka bersangkut paut dengan disiplin, kerahiban,
dan menulis tentang aturan, serta tata cara untuk menguasai
kehidupan sebagai biarawan. Kitab ini mempunyai tiga
bagian utama: (a) Pattimokha, (b) Khandhakas, dan (c)
Parivara.
2. Sutta Pitaka adalah “Keranjang” yang berisi ceramah dan
ajaran. Kitab ini dibagi atas lima bagian yang disebut
Nikaya: (a) Digha –nikaya yang terbagi atas ceramah –
ceramah panjang berisi 34 Suttas. Beberapa dari suttas ini
adalah Samannaphala Sutta (berhubungan dengan pahala
56 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
hidup kerahiban), Ambattha Sutta (berhubungan dengan
sikap Buddha terhadap kasta, Kutadanta Sutta (berkaitan
dengan hubungan agama Brahmana dan agama Buddha),
Tevijja Sutta (pertentangan antara kebudayaan Brahmana
dengan cita-cita Buddhisme), Mahaparinibbhana Sutta
(yang menceritakan peristiwa hari-hari akhir Sang Buddha);
(b) Majjhima – nikaya, terbagi atas ceramah yang sedangsedang
panjang-nya, berisi 152 Suttas tentang semua segi
agama Buddha, (c) Samutta–nikaya, bagian yang terkait
dengan ceramahnya. Kitab ini berisi satu versi khotbah yang
terkenal “Meletakkan dalam Gerak Roda Kebe-naran”, (d)
Anguttra-nikaya yang mempunyai lebih dari 2000 suttas
dalam sebelas kelompok, (e) Khuddaka-nikaya, bagian yang
terdiri dari ceramah-ceramah pendek. Kitab ini berisi
sebagian besar bahan-bahan terbaik dalam kitab suci. Kitab
ini dimulai dengan Khuddaka patha yang dapat
digambarkan sebagai catatan harian dari kehidupan Sang
Buddha. Selanjutnya adalah kitab Dharmmada yang paling
terkenal dari semua kitab suci Theravada, yang berisi
tuntunan etika yang paling sempurna di dunia. Karya lain
yang terkenal termasuk dalam hal ini adalah Udana,
Itivuttak, dan yang baru saja termasyur adalah Sutta Nipata,
Kemudian ada cerita-cerita Jataka yang merupakan
kumpulan kisah-kisah awal yang berkaitan dengan
kehidupan Buddha.
3. Abidhamma Pitaka, yang merupakan “keranjang”
selanjutnya berhubu-ngan dengan psikologi, etika, dan
hanya kadang-kadang saja menyangkut metafisik
Sebagaimana dinyatakan sebelumnya, golongan Mahayana,
tidak melaku-kan penolakan ajaran, tetapi memperluas lebih lanjut
ajaran Hinayana atau Theravada. Karena itu, kaum Mahayana
menerima Tripitaka tetapi mereka menambahkan beberapa kitab
AGAMA BUDHA 57
suci dari bahan-bahan mereka sendiri. Tripitaka kaum Mahayana
bukan dalam bahasa Pali, melainkan sebagian besar dalam bahasa
China. Kitab-kitab itu diterjemahkan dari versi Sansekerta dari
sekte Sarvastivada. Mahayana Sutta yang khusus tentulah tidak
dapat dibandingkan dengan Tripitaka yang berbahasa Pali. Kitab ini
disusun dalam kelompok-kelompok, misalnya seperti golongan
Prajnaparamita (yang berisi Sutta yang terkenal seperti
Vajracchedika atau Sutta Intan), dan kelompok Avatamsaka. Yang
paling termasyur dari Mahayana Sutta adalah Lankavartra Sutra,
Bunga Teratai dari Hukum Kesempurnaan, Surangama Sutra, dan
Skhavati-Vyuha Sutra. Ada juga sejumlah besar Shastra di antara
kitab suci Mahayana. Ini di-bangun oleh sejumlah ahli dari sekte
Mahayana, seperti Nagarjuna, Vasubandhu, dan Asvaghosa. Di
antara Shastra yang lebih dikenal, maka Mahaprjnaparamita
Shastra dari Nagarjuna, dan Mahayana Sraddhopada (Bangkitnya
keimanan dalam Mahayana) karangan Asvaghosa perlu disebutkan
secara khusus.
Bahan-bahan yang terdapat dalam kitab suci agama Buddha
berbeda jauh waktunya. Kitab Suci bahasa Pali ditetapkan pada
konsili ketiga (abad ketiga sebelum masehi), dan untuk pertama kali
ditulis di Ceylon (Sri Lanka) pada abad pertama sebelum masehi,
itu berarti lebih dari empat ratus tahun setelah wafatnya Sang
Buddha. Para cendikiawan sepakat, bahwa semua kata yang
diatasnamakan keluar dari lisan Buddha dalam kitab suci itu,
sesungguhnya tidak sepenuhnya dari beliau. Ini adalah apa yang
ditulis oleh cendikiawan besar, Dr. E. J. Thomas tentang Kitab
Tripitaka :
Kitab ini kebanyakan tidak berisi apa yang dirasakan sebagai
betul-betul diucapkan Sang Buddha. Hal ini diakui sendiri oleh para
mufasir Buddhis, seperti ketika mereka menerangkan bahwa
58 AGAMA-AGAMA BESAR DUNIA
kalimat-kalimat tertentu atau seluruh ayat telah ditambahkan oleh
para perombak di salah satu konsili-konsili.”14
Kamis, 07 April 2011
Bab II AGAMA BUDHA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
copyrigt; Juned Topan.. Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar